Monday, April 25, 2011

Memberi dan Menuai

Malam ini saya melayat ke orang yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Almarhum adalah kenalan teman baik saya. Ia seorang pemuda kristen usia 24 tahun yang taat beribadah, santun dan aktif di organisasi kepemudaan gereja. Orang tuanya bercerai saat ia duduk di bangku SMP karena ibunya kecantol orang lain.

Tanggal 12 April lalu, ia melamar di tempat teman baik saya bekerja dengan niatan agar ia dapat memperoleh penghasilan lebih untuk membiayai pengobatan ayahnya yang gagal ginjal. Akhir pekan lalu, saat jeda makan siang, ia menjemput kekasihnya untuk bersantap bersama, dan sepulang ia mengantar sang pacar kembali ke kantor - dalam perjalanan kembali ke kantornya sendiri, ia kecelakaan dan kepalanya terlindas dua ban truk. Seketika wajahnya yang tampan dan bersinar menjadi tak berbentuk. Teman-teman SD nya kemudian saling bahu-membahu dan memantau perkembangan kesehatan si pemuda. Tadi pagi, ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Tepat di hari Manajer SDM teman saya akan menghubungi untuk menerimanya menjadi karyawan tetap dengan penghasilan tiga kali lipat dari yang didapatnya sekarang.

Dengan penghasilan yang pas-pas an dan almarhum sebagai tulang punggung keluarga, tentu sanak keluarganya bingung atas biaya mengeluarkannya dari rumah sakit, dan pengurusan pemakamannya. Tanpa sepengetahuan keluarganya, teman-temannya sudah lebih dahulu bertindak. Bahu-membahu mereka mengumpulkan dana dan dari masing-masing teman kemudian menyebar ke teman lainnya, bahkan yang tak mengenal ikut menyumbang. Dengan jejaring yang ada salah seorang rekannya menelpon ibunya yang punya kenalan pemilik rumah duka terkenal di Jakarta. Rumah duka itu kemudian memberi 3 ruangan khusus bagi almarhum dan mengurus ambulans dan peti jenazahnya secara cuma-cuma. Ibu si teman tadi juga menghubungi temannya yang lain yang pengusaha roti. Si pengusaha roti lalu menyumbangkan kotak konsumsi selama jenazah disemayamkan di rumah duka. Soal pemakaman? Sang pemilik rumah duka ikut meminta kesediaan berbagai pihak sehingga almarhum dapat dimakamkan secara cuma-cuma di San Diego Hills kamis ini.

Malam ini saya dibuat terperangah oleh penuhnya orang dari segala macam kalangan yang hadir untuk mengikuti kebaktian tutup peti. Tidak hanya memenuhi ke 3 ruangan yang disediakan secara cuma-cuma, tetapi meluber hingga memenuhi lorong jalan umum.

Detik itu juga saya seperti disambar petir dan diingatkan :

1. Benarlah atas nasihat : Give and you will be given. Saya melihat cerminan ketulusan dan keikhlasan hati almarhum selama hidupnya dalam memberi tanpa pamrih. Sehingga Beliau diberi kemudahan bahkan saat sudah meninggal dunia.

2. Benarlah pepatah yang mengatakan : Untuk melihat kebesaran seseorang, lihatlah pada saat ia mati. Sang pemuda bukanlah orang kaya dan berkedudukan, namun ia telah menunjukkan kemuliaannya saat ia meninggal.

Dari kejadian ini saya kembali ditunjukkan, bahwa dalam hidup ini jangan ragu untuk memberi dan berderma. Kita tidak akan kekurangan karena berbagi dan menolong orang. Give and you will be given.

Malam ini ketika merenungkan semua yang terjadi dengan penuh ketakjuban, saya memperoleh sebuah email yang berisikan kata bijak yang ditorehkan Peggy Collins, katanya :

In helping others and receiving help through networking, you are creating a spirit of interdependence that is practical and beneficial as well. No other business skill is as valuable or provides a more lasting legacy than networking to help you reach your goals. In the process, you can build relationships which last a lifetime.

Saat yang benar-benar tepat menerimanya dan tidak hanya berlaku dalam dunia usaha saja namun di setiap lini kehidupan. Semoga saya semakin bijak karena kejadian ini. Dalam hati saya tak putus mendoakan agar almarhum dapat menerima kepergiannya dengan ikhlas dan memahami bahwa bahkan dalam kepergiannya, ia masih saja memberi, bahkan pada orang yang tak dikenalnya. Bagi saya ia memberikan pelajaran hidup dan kasih dan memberi yang tak ternilai harganya.

Semoga Tuhan berkenan mengampuni dosanya dan memberinya istirahat kekal.
Amin.

Wednesday, April 20, 2011

Alam Khayali

Saya mendapat pesan di blackberry messenger yang berisi informasi bahwa seorang teman sekelas di SD akan (akhirnya) menikah bulan Mei ini. Diceritakan pertemuan sang dokter spesialis yang super nerd ini bertemu dengan calon pengantinnya yang ternyata puteri guru SMA kami. Ketika itu si dokter tengah dipanggil untuk mengobati seorang pasien dan ternyata sang calon nyonya ada di sana. Teman saya yang sudah ibu-ibu itu berkomentar,"Ooo so sweet...."

Saya tertawa melihat komentarnya lalu segera mengetik balasan pesan, "you make it sounds sooooo romantic!" Kenyataannya mungkin jauh dari itu. Saya jadi teringat ketika dunia tersihir uforia berita pernikahan Pangeran Charles dan Puteri Diana. Semua hati mata pikiran dan pembicaraan tertuju pada pernikahan akbar itu. Seolah-olah pernikahan kerajaan yang adanya di dongeng-dongeng menjadi kenyataan. Kenyataannya sang pangeran dan sang puteri tidak hidup "happily ever after." Yang ada hanyalah perselingkuhan, balas dendam, pertengkaran dan intrik. Kini setelah puluhan tahun cerita dongeng itu terkubur bersama tewasnya sang Puteri di lorong kota Paris, dunia pun jatuh cinta pada kisah cinta dan pernikahan Pangeran William dan kekasih putus sambungnya Kate Middleton. Sekali lagi angan dan khayalan melambung, menghidupkan pernikahan impian ini.

Terus terang, saya yang hidup dan mengikuti kisah mereka, sedikit banyak terkena kehebohan persiapan pernikahan akbar tahun ini. Kemarin saya melihat iklan program televisi yang didedikasikan khusus bagi pernikahan Will & Kate. Koran Kompas pun setiap hari menurunkan berita yang tidak kecil mengenai perkembangan persiapan pesta akbar ini.

Di tengah kemeriahan fairy tale royal wedding, saya tiba-tiba terhenyak. Iya ya, kita ini senang sekali hidup dalam khayalan. Rasanya nyaman dan nikmat sekali. Karena itu sinetron glamor dan percintaan remeh temeh sangat digemari, tak peduli usia. Apa salahnya membumi? mensyukuri dan menikmati realita walaupun tak seindah mimpi? Justru dengan melihat realita kita tidak tertipu oleh bayangan yang menipu sehingga kita tidak salah hidup atau salah langkah. Tapi tampaknya rakyat dunia memang sedang perlu cuti dari realita. Kita letih dengan resesi yang berkepanjangan, perang tak berkesudahan, kerserakahan dan semua berita negatif yang berputar di sekeliling kita. Belum lagi berbagai kejadian yang bersinggungan dengan kita pribadi.

Saya lalu berpikir, apakah saya terlalu serius menanggapi kehebohan remeh temeh yang ditunjukkan dunia terhadap berita baik pernikahan ini? Rasanya sih iya. Padahal orang cuma sedang butuh hiburan saja, refreshing. Jadi, kalau saya ikutan menikmati berita gembira ini, tak ada salahnya juga. Asal tidak kebablasan, bisa tak bisa kembali dari alam khayali...