Thursday, August 18, 2011

17 Agustus 2011 : Akhlak Bangsa

Petang ini, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya berdiri di atas mimbar gereja untuk memberikan homili atau siraman batin yang biasanya diberikan oleh seorang pastor. Entah apa yang ada di benak pastor kepala paroki Santa Helena, Romo Heri, ketika suatu pagi menelpon dan meminta saya menggantikannya memberi homili pada Misa Kemerdekaan 2011. Sebuah misa besar yang dipersembahkan 3 orang pastor (misa biasa dipersembahkan oleh seorang pastor), lengkap dengan bendera dan panji-panji, tarian pengiring persembahan dan iringan koor kelompok musik keroncong. Di awal Misa, bahkan diputarkan cukilan pembacaan naskah proklamasi yang dibacakan Soekarno mewakili bangsa ini, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Awalnya saya bilang akan saya pertimbangkan. Lalu saya menanyakan, "Romo, temanya apa?" Beliau menjawab, "Kemerdekaan yang membebaskan (kerap kali kemerdekaan disalahartikan sebagai hak untuk berbuat sesuka hati. Mestinya kemerdekaan menjadi sarana untuk meraih tujuan-tujuan mulia, termasuk dalam bernegara dan berbangsa)." Saya lalu membalas sms Beliau sambil mencandai, "O Ok Romo, Tak semdhi sik Romo. Hehe" (baik romo saya semedi dulu ya). Sebuah candaan yang keliru, karena dianggap sebagai "ya" oleh Romo Heri yang segera menyahut, "Syukurlah. Terima kasih ya, Salam."

Saya lalu ingin mencari tahu lebih dalam, "Bacaannya apa Romo?" Berikut adalah daftarnya :Putera Sirakh 10:1-8, 1Petrus 2: 3-17 dan Injil Matius 22 :15-21 Intinya, bacaan pertama dan kedua mengenai penyelenggaraan kepemimpinan sebuah negara dan yang terakhir pencobaan terhadap Yesus mengenai bagian Allah dan bagian Kaisar.

Saya lalu berpikir keras. Should I do this? Mau ngomong apa saya? Di hadapan umat dalam sebuah Misa Besar pula? Tapi seketika saya seperti mendapat jawaban bahwa ini kehendak Tuhan, dan saya diberi amanah untuk menyampaikan pesanNya. Maka saya pun mempersiapkan diri, melakukan uji coba materi pada berbagai pihak, apakah pesan yang saya akan sampaikan sensitif untuk kuping umat, atau bisa diterima. Sampai pagi ini, saya baru menuangkannya dalam bentuk speech pointers satu halaman.

Setiap pagi, saya selalu mengirimi kata bijak kepada 200 lebih kontak BB dan pagi ini tanpa terkecuali. Sayangnya isi kata bijak tersebut mendapat reaksi negatif dari seorang kerabat dekat. Ia bilang, kalimat saya tidak bisa di forwardkan kepada teman-temannya. Dia bilang percuma. Saya bertanya, "kenapa? memangnya kamu tidak ingin berpartisipasi dalam membangun negeri ini?" Dia menjawab : buat apa melakukan semua ini? tidak ada gunanya, seperti menggarami air di laut. Saya bilang, "Garam di laut terdiri dari bulir bulir garam. Jadi setiap bulir memiliki arti penting dalam menyumbangkan rasa asin air laut." Beliau melanjutkan : ya tapi tidak dengan cara seperti ini. Romo pasti takut bicara soal negara dan melimpahkannya kepada kamu! Saya bilang, wah saya malah melihatnya sebagai penugasan Tuhan yang luar biasa yang sedang saya alami, bahwa saya, warga yang tidak ada apa-apanya ini diberi kesempatan menjadi saluran berkatNya kepada orang lain. Saya menambahkan, "Rancangan kita bukan rancangan Allah."

Pembicaraan tadi mengusik hati saya juga, yang tadinya mantap menjadi galau dan bertambah grogi melihat betapa banyak umat yang hadir, dan persiapan gereja yang luar biasa besarnya untuk Misa ini. Saya segera menangkap Gereja memberikan sinyal penting bagi umat dan masyarakat atas berkah kemerdekaan yang diperoleh bangsa ini. Jadilah, selesai bacaan pertama, saya sempat menghilang ke belakang untuk menurunkan rasa deg-deg an. Saya berdoa, "Tuhan, tentu ada maksudnya Engkau menunjuk aku untuk menjadi saluran berkahMu. Turunlah atas aku dan berbicaralah melalui aku, agar nanti, yang berbicara bukanlah aku, namun Dikau." Setelah agak tenang, saya segera memasuki ruangan gereja lagi.

Menjelang bacaan Injil dikumandangkan, saya merasa ada aliran yang sangat panas menjalar ke seluruh tubuh. Saya segera menyadari ke"aneh"an ini dan sempat menganalisanya, bahwa bila semua ini karena ke nervous an saya, mestinya efek yang terasa adalah dingin dan jantung berdebar. Kenyataannya tubuh saya menghangat dan jantung saya berdetak lembut. Detik itu saya meyakini Kuasa Roh Kudus turun atas saya.

Saya lalu maju dengan sangat tenang dan memulai homili. Selama 15 menit saya merasakan seluruh gereja senyap. Yang terdengar adalah suara saya yang merasuk hingga ujung ruangan. Saya memperhatikan segenap umat memperhatikan dengan seksama. Sebuah pemandangan yang jauh berbeda ketika biasanya saya berada di kursi umat, dan terkantuk-kantuk mendengar kotbah panjang pastor.

Apa yang saya sampaikan sebetulnya tak banyak berubah dari yang telah saya persiapkan. Di menit-menit pertama saya melakukan reality check tentang pencapaian 66 tahun kemerdekaan Indonesia, mulai dari kemerdekaan bernegara, ekonomi, pendidikan dan budaya, serta kemerdekaan berpendapat. Saya memperhatikan umat yang tadinya tak acuh mulai melek dan memperhatikan setiap telaahan saya yang singkat tapi tajam terhadap kebebasan yang kita peroleh selama 66 tahun. Kemudian saya mengejutkan umat ketika membeberkan bahwa pada saat ini bangsa Indonesia menduduki peringkat kekuatan ekonomi dunia ke 18, sehingga masuk dalam negara G20 dan diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun lagi, Indonesia akan mencapai posisi ke 4 kekuatan dunia. Yang saya pertanyakan adalah, ketika kita meraih posisi tersebut, apakah kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri, atau sekali lagi kita tersingkir dan terjajah?

Saya lalu mengutip kalimat yang saya ciptakan untuk disebarkan melalui bbm tadi pagi :

The treasure of a country lies in its nature and its people, but the future of a nation relies only on its people.

Kekayaan sebuah negara terletak pada alam dan manusianya, tetapi masa depan sebuah bangsa terletak hanya pada manusianya.

Dan unsur yang paling penting dari manusia adalah akhlaknya.

Di sinilah ajaran-ajaran kekatolikan berperan, karena semua ajaran Yesus adalah mengenai cinta kasih dan akhlak. Sebagai seorang katolik, tingkah laku kita harus mencerminkan cinta kasih dan akhlak seperti yang diajarkan Yesus. Karena itu saya mengimbau umat untuk mempraktekkan apa yang diajarkanNya, mulai dari diri sendiri, anak, keluarga kemudian kepada komunitas.

Saya katakan, kita bisa mulai dari hal yang kecil, misalnya, pada bacaan injil disebutkan apa yang menjadi hak Allah berikanlah kepada Allah, apa yang menjadi hak Kaisar, berikanlah kepada Kaisar. Ketika kita pergi ke gereja, kita memberikan hak Allah. Kalau kita datang terlambat, pulang lebih dahulu, bukankah kita telah melakukan praktek korupsi terhadap hak Allah? Bila kita membawakan mainan, games, dan buku gambar agar anak bisa tenang di gereja, bukankah kita mengajarkan anak kita untuk korupsi waktu terhadap hak Allah dan memberikan gambaran dan pengajaran yang keliru tentang tatanan beribadah? Jadi mulailah dari hal yang sehari-hari, yang terdekat dengan diri kita.

Saya lalu menceritakan pembicaraan saya dengan kerabat tadi pagi. Saya bilang, kalau kita setuju bahwa setiap bulir memberi arti bagi rasa asin di laut, maka Anda akan setuju bahwa setiap dari kita memberi arti bagi terbentuknya akhlak bangsa Indonesia. Akan kah kita berpartisipasi membangunnya?

Saya menutup homili dengan mencuplik sebuah puisi indah yang dikarang pujangga Cina Lao Tzu :

Watch your thoughts, they become words
Watch your words, they become actions
Watch your actions, they become habits
Watch your habits, they become character
Watch your character, it becomes your destiny

Jagalah pikiranmu karena akan menjadi kata-kata
Jagalah perkataanmu karena akan menjadi tindakan
Jagalah tindakanmu karena akan menjadi kebiasaan
Jagalah kebiasaanmu karena akan menjadi karakter
Jagalah karaktermu karena akan menjadi takdirmu.

Semoga sepuluh tahun mendatang, ketika kita merayakan kemerdekaan kita yang ke 76 dan memiliki kekuatan ekonomi terbesar ke 4 di dunia, kita bukan saja menjadi tuan rumah di negera kita sendiri, namun menjadi bangsa yang berdaulat, berakhlak dan bermartabat.

Sesaat saya mengakhiri homili, terdengar tepuk tangan semua umat menggema mengiringi langkah saya kembali ke bangku umat. Romo lalu mencandai bahwa sepanjang sejarah keromoannya, baru kali ini ada homili yang mendapat applaus - yang lalu disambut tertawa oleh semua umat mencairkan suasana senyap selama 15 menit tadi. Yang saya rasakan adalah syukur atas keagungan Tuhan yang telah berkarya melalui lidah dan pikiran saya.

Sesuai misa, saya mendapat salam apresiasi dari berbagai umat, sampai ada yang mengira saya ini dewan gereja. Saya tertawa, "Wah boro-boro dewan gereja pak, kartu keluarga gereja saja saya belum punya." Saya kemudian men-sms Romo, berterimakasih atas kepercayaan dan kesempatan yang diberikan. Ini sungguh pengalaman pertama yang luar biasa bagi saya. Jawaban Romo? "Saya yang terima kasih. Umat juga merasa disegarkan. Salam hangat."

(catatan : tulisan tentang homili saya beserta komentar umat juga ada di blog www.parokisantahelena.blogspot.com tulisan Romo Heri. Selamat menikmati)

2 comments:

Heri Kartono said...

Pak Lawrence, renungannya amat inspiratif, gamblang dan menggugah rasa kebangsaan umat. Pak Lawrence telah menyampaikannya dengan sangat baik. Selamat dan terima kasih.
H.Kartono

Agatha Mey said...

laikkkk dizzzz