Hari Valentine kemarin saya mendapat hadiah sebuah lagu yang dinyanyikan kelompok musik Blue, berjudul Best in Me :
From the moment I met you I just knew you'd be mine
You touched my hand
And I knew that this was gonna be our time
I don't ever wanna lose this feeling
I don't wanna spend a moment apart
Chorus:
'Cos you bring out the best in me, like no-one else can do
That's why I'm by your side, and that's why I love you
Every day that I'm here with you
I know that it feels right
And I've just got to be near you every day and every night
And you know that we belong together
It just had to be you and me
'Cos you bring out the best in me, like no-one else can do
That's why I'm by your side, and that's why I love you
And you know that we belong together, It just had to be you and me
'Cos you bring out the best in me, like no-one else can do
That's why I'm by your side
'Cos you bring out the best in me, like no-one else can do
That's why I'm by your side, and that's why I love you
'Cos you bring out the best in me, like no-one else can do
That's why I'm by your side, and that's why I love you
Welcome to the world of Lawrence Tjandra where you celebrate life to its fullest. Come to see places I've been, read the articles published in media and share thoughts and views on diverse issues of life!
Monday, February 21, 2011
The King's Speech : Mematahkan Takut Pada Diri Sendiri
Saya menonton film "The King's Speech" yang dimainkan dengan sangat luar biasa oleh Colin Firth. Tak heran kalau ia kemudian memenangkan Golden Globe untuk perannya sebagai Raja George VI, ayahanda Ratu Elizabeth II yang sekarang bertahta.
Diceritakan kalau Sang Raja menaiki tahta tanpa rencana. Yang seharusnya naik adalah kakaknya yang memilih menikah dengan seorang janda Amerika. Sebagai calon raja di peringkat ke dua, ia tak punya pilihan lain untuk menerimanya, padahal sebagai raja, ia punya cacat yang luar biasa mengganggu pekerjaannya : gagap. Permaisuri pun lalu mencari berbagai terapis namun selalu gagal, sampai akhirnya ia menemukan nama Lionel Logue (Geoffrey Rush), seorang ahli terapi bicara asal Perth, Australia yang nyentrik. Lionel lah yang berhasil membimbing Bertie, nama rumah sang raja, mengatasi kegagapannya.
Sepanjang film rasanya saya melihat diri sendiri yang sering dihadapkan dengan ketakutan-ketakutan saya sendiri yang menghambat kemajuan saya. Orang yang gagap ternyata tidak tergagap dalam membaca ketika telinganya tidak dipekaki oleh suara musik klasik sehingga tidak dapat mendengar suaranya sendiri. Begitu emosi dan ketakutan merasuki kalbu, saat itu juga ia mulai tergagap kembali. Maka cara terbaik untuk mengatasi luapan emosi adalah mengalihkan perhatiannya dari ketakutan dan emosinya ke hal-hal yang menenangkan dan membuatnya nyaman.
Orang yang mengenal saya mungkin heran kalau saya bilang saya sering punya masalah menaklukkan ketakutan saya sendiri. Contohnya saja dari luar, tampaknya saya santai-santai dan beran-berani saja tapi saya sering takut ini takut itu. Bahkan takut menelepon karena takut salah waktu atau salah ucap. Meskipun bergerak di bidang komunikasi, saya merasa kemampuan komunikasi untuk urusan pribadi saya kacau sekali. Tapi itulah saya yang sebenarnya.
Film ini sungguh membuka mata bahwa kegagalan yang terbesar dalam hidup ini diakibatkan karena ketakutan terhadap diri sendiri yang tidak teratasi, dan satu-satunya jalan yang harus dilakukan adalah menghadapinya sendiri pula. Lionel mengajak mantan the Duke of York itu untuk kembali dan menghadapi trauma masa kecil dan meyakinkan dirinya bahwa apa yang dikhawatirkan dan ditakutkan sudah tidak ada lagi. Awalnya sulit sekali menguak masalah pribadi apa lagi berurusan dengan pewaris tahta kerajaan Inggris, namun cara yang blak-blakan dan tulus membuktikan bahwa baja setebal apa pun terkoyak dan terbukalah mata hati yang bertahun-tahun terluka. Begitu luka itu tersembuhkan, bersinarlah kualitas negarawan sang raja yang memang telah mendedikasikan hidupnya bagi bangsa dan negara...
Kalau ada waktu, saksikan filmnya, dijamin terinspirasi....
Diceritakan kalau Sang Raja menaiki tahta tanpa rencana. Yang seharusnya naik adalah kakaknya yang memilih menikah dengan seorang janda Amerika. Sebagai calon raja di peringkat ke dua, ia tak punya pilihan lain untuk menerimanya, padahal sebagai raja, ia punya cacat yang luar biasa mengganggu pekerjaannya : gagap. Permaisuri pun lalu mencari berbagai terapis namun selalu gagal, sampai akhirnya ia menemukan nama Lionel Logue (Geoffrey Rush), seorang ahli terapi bicara asal Perth, Australia yang nyentrik. Lionel lah yang berhasil membimbing Bertie, nama rumah sang raja, mengatasi kegagapannya.
Sepanjang film rasanya saya melihat diri sendiri yang sering dihadapkan dengan ketakutan-ketakutan saya sendiri yang menghambat kemajuan saya. Orang yang gagap ternyata tidak tergagap dalam membaca ketika telinganya tidak dipekaki oleh suara musik klasik sehingga tidak dapat mendengar suaranya sendiri. Begitu emosi dan ketakutan merasuki kalbu, saat itu juga ia mulai tergagap kembali. Maka cara terbaik untuk mengatasi luapan emosi adalah mengalihkan perhatiannya dari ketakutan dan emosinya ke hal-hal yang menenangkan dan membuatnya nyaman.
Orang yang mengenal saya mungkin heran kalau saya bilang saya sering punya masalah menaklukkan ketakutan saya sendiri. Contohnya saja dari luar, tampaknya saya santai-santai dan beran-berani saja tapi saya sering takut ini takut itu. Bahkan takut menelepon karena takut salah waktu atau salah ucap. Meskipun bergerak di bidang komunikasi, saya merasa kemampuan komunikasi untuk urusan pribadi saya kacau sekali. Tapi itulah saya yang sebenarnya.
Film ini sungguh membuka mata bahwa kegagalan yang terbesar dalam hidup ini diakibatkan karena ketakutan terhadap diri sendiri yang tidak teratasi, dan satu-satunya jalan yang harus dilakukan adalah menghadapinya sendiri pula. Lionel mengajak mantan the Duke of York itu untuk kembali dan menghadapi trauma masa kecil dan meyakinkan dirinya bahwa apa yang dikhawatirkan dan ditakutkan sudah tidak ada lagi. Awalnya sulit sekali menguak masalah pribadi apa lagi berurusan dengan pewaris tahta kerajaan Inggris, namun cara yang blak-blakan dan tulus membuktikan bahwa baja setebal apa pun terkoyak dan terbukalah mata hati yang bertahun-tahun terluka. Begitu luka itu tersembuhkan, bersinarlah kualitas negarawan sang raja yang memang telah mendedikasikan hidupnya bagi bangsa dan negara...
Kalau ada waktu, saksikan filmnya, dijamin terinspirasi....
Labels:
'lawrence tjandra',
'The King's Speech'
Bantal
Seorang teman saya mengeluhkan kemanjaan anaknya yang sekarang sedang belajar di luar negeri. Usia yang semestinya sudah mandiri, tapi tetap saja santai dan bergantung pada orang tuanya. Puncaknya, kartu kredit tambahan yang dibuatkan khusus untuk keperluan emergensi digunakan untuk belanja barang yang bukan kebutuhan pokok. Saya lalu buka mulut, "blokir saja."
Orang tua sekarang, termasuk kakak-kakak saya adalah orang tua yang terlalu protektif dan memanjakan anaknya. Takut anaknya susah. Takut anaknya kenapa-kenapa. Padahal di sanalah pangkal perkaranya. Anak cenderung menggampangkan dan merasa bahwa kalau ada apa-apa toh ada bantal empuk yang siap menolongnya. Saya lalu mengutip lagi kalimat sakti "Life begins at the end of your comfort zone." Kalau anak-anak selalu di comfort zone, bagaimana mereka hidup?
Sebagai orang tua kita harus menantang dan mendorong mereka untuk melihat realita hidup. Kebanyakan orang tua yang berdiskusi dengan saya soal hal ini merasa terusik karena tidak nyaman dan takut anaknya terperosok dalam pergaulan dan lingkungan yang salah kalau dibebaskan. Saya bilang, "tidak akan, jika kita sebagai orang tua meletakkan dasar nilai dan tanggung jawab yang cukup." Nilai untuk memiliki visi hidup, mensyukuri keadaan dan bertanggung jawab, tidak kepada orang lain termasuk kepada orang tuanya, tetapi terlebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan Tuhan.
Maka saya sarankan teman saya memberikan uang secukupnya kepada sang anak, dan memberi aturan bahwa "cukup tidak cukup, ya segitu yang saya berikan kepada kamu. Kalau kamu mau ini itu, ya menabung, atau carilah tambahan yang halal." Teman saya cerita kalau anaknya waktu itu mau membuat kartu kredit sendiri namun ia larang karena takut kalau ia tak bisa membayar. Saya bilang, biar saja, biar dia mengerti akibatnya kalau ia tidak melakukan perencanaan hidup dengan baik. Saya lalu memberi contoh di tahun 1983 - 1987 saya mendapat jatah seratus ribu dari orang tua untuk hidup setiap bulannya di Salatiga. Uang itu sudah mencakup uang kos, cuci baju, makan dan hiburan, termasuk belanja buku bacaan dan kaset atau menonton kegemaran saya. Dana itu juga termasuk ongkos foto kopi dan biaya operasional kuliah, kecuali uang kuliah yang jumlahnya di luar uang bulanan. Orang tua saya tidak akan memberi tambahan bila saya kekurangan. Jadi saya harus memperhitungkan dengan cermat keadaan keuangan saya. Saya kos di tempat yang sederhana, makan berdua teman se kos dari rantangan, dan kalau makan di luar, saya cuma makan serba standar, tidak tambah sate ini atau itu. Tapi di sana lah saya belajar bertanggungjawab dan menyukuri apa yang saya miliki. Buktinya, saya tetap happy dan berprestasi, tak pernah mengeluh. Saya tidak hanya diajari mengenai nilai dan tanggung jawab, tetapi lebih dari itu, ayah ibu saya mengajarkan jiwa kebangsaan dan nasionalisme. Keadaan ini saya bagikan kepada teman saya tadi.
Mendengar cerita ini, seorang kenalan lalu menukas, "iya, tapi zaman kita dulu kan berbeda dengan zaman sekarang?" Saya lalu menjawab kembali, "zaman kita muda dulu, orang tua kita juga bilangnya sama. Jadi apa bedanya? Setiap zaman tentu berbeda, dan karena itulah semakin penting bekal yang kita berikan kepada anak kita adalah bekal nilai dan tanggung jawab, bukan materi. Karena materi akan habis dalam sekejap, sedangg bekal nilai dan tanggung jawab akan merupakan sumbu yang menjadi modal untuk menerangi hidupnya sepanjang masa."
Jadi, cinta tidak harus diwujudkan dalam bentuk bantal empuk yang selalu menadah sehingga anak atau saudara kita jadi serba menggampangkan. Cinta yang baik adalah cinta yang mendidik. Cinta yang membuat orang yang kita cintai memiliki visi hidup, bersyukur atas anugerah yang diperolehnya dan bertanggung jawab atas hidupnya kepada dirinya sendiri dan Tuhan. Memang tidak mudah untuk menerapkannya, terutama cinta yang benar itu tidak selalu manis dan enak dirasa, tetapi memberi "hidup" bagi yang dicintainya. Mungkin ia tidak merasakan sekarang, tapi akan memetik hasilnya di kemudian hari.
Orang tua sekarang, termasuk kakak-kakak saya adalah orang tua yang terlalu protektif dan memanjakan anaknya. Takut anaknya susah. Takut anaknya kenapa-kenapa. Padahal di sanalah pangkal perkaranya. Anak cenderung menggampangkan dan merasa bahwa kalau ada apa-apa toh ada bantal empuk yang siap menolongnya. Saya lalu mengutip lagi kalimat sakti "Life begins at the end of your comfort zone." Kalau anak-anak selalu di comfort zone, bagaimana mereka hidup?
Sebagai orang tua kita harus menantang dan mendorong mereka untuk melihat realita hidup. Kebanyakan orang tua yang berdiskusi dengan saya soal hal ini merasa terusik karena tidak nyaman dan takut anaknya terperosok dalam pergaulan dan lingkungan yang salah kalau dibebaskan. Saya bilang, "tidak akan, jika kita sebagai orang tua meletakkan dasar nilai dan tanggung jawab yang cukup." Nilai untuk memiliki visi hidup, mensyukuri keadaan dan bertanggung jawab, tidak kepada orang lain termasuk kepada orang tuanya, tetapi terlebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan Tuhan.
Maka saya sarankan teman saya memberikan uang secukupnya kepada sang anak, dan memberi aturan bahwa "cukup tidak cukup, ya segitu yang saya berikan kepada kamu. Kalau kamu mau ini itu, ya menabung, atau carilah tambahan yang halal." Teman saya cerita kalau anaknya waktu itu mau membuat kartu kredit sendiri namun ia larang karena takut kalau ia tak bisa membayar. Saya bilang, biar saja, biar dia mengerti akibatnya kalau ia tidak melakukan perencanaan hidup dengan baik. Saya lalu memberi contoh di tahun 1983 - 1987 saya mendapat jatah seratus ribu dari orang tua untuk hidup setiap bulannya di Salatiga. Uang itu sudah mencakup uang kos, cuci baju, makan dan hiburan, termasuk belanja buku bacaan dan kaset atau menonton kegemaran saya. Dana itu juga termasuk ongkos foto kopi dan biaya operasional kuliah, kecuali uang kuliah yang jumlahnya di luar uang bulanan. Orang tua saya tidak akan memberi tambahan bila saya kekurangan. Jadi saya harus memperhitungkan dengan cermat keadaan keuangan saya. Saya kos di tempat yang sederhana, makan berdua teman se kos dari rantangan, dan kalau makan di luar, saya cuma makan serba standar, tidak tambah sate ini atau itu. Tapi di sana lah saya belajar bertanggungjawab dan menyukuri apa yang saya miliki. Buktinya, saya tetap happy dan berprestasi, tak pernah mengeluh. Saya tidak hanya diajari mengenai nilai dan tanggung jawab, tetapi lebih dari itu, ayah ibu saya mengajarkan jiwa kebangsaan dan nasionalisme. Keadaan ini saya bagikan kepada teman saya tadi.
Mendengar cerita ini, seorang kenalan lalu menukas, "iya, tapi zaman kita dulu kan berbeda dengan zaman sekarang?" Saya lalu menjawab kembali, "zaman kita muda dulu, orang tua kita juga bilangnya sama. Jadi apa bedanya? Setiap zaman tentu berbeda, dan karena itulah semakin penting bekal yang kita berikan kepada anak kita adalah bekal nilai dan tanggung jawab, bukan materi. Karena materi akan habis dalam sekejap, sedangg bekal nilai dan tanggung jawab akan merupakan sumbu yang menjadi modal untuk menerangi hidupnya sepanjang masa."
Jadi, cinta tidak harus diwujudkan dalam bentuk bantal empuk yang selalu menadah sehingga anak atau saudara kita jadi serba menggampangkan. Cinta yang baik adalah cinta yang mendidik. Cinta yang membuat orang yang kita cintai memiliki visi hidup, bersyukur atas anugerah yang diperolehnya dan bertanggung jawab atas hidupnya kepada dirinya sendiri dan Tuhan. Memang tidak mudah untuk menerapkannya, terutama cinta yang benar itu tidak selalu manis dan enak dirasa, tetapi memberi "hidup" bagi yang dicintainya. Mungkin ia tidak merasakan sekarang, tapi akan memetik hasilnya di kemudian hari.
Labels:
'lawrence tjandra',
bantal
Monday, February 14, 2011
Mengalir
Saya baru saja keluar dari rumah sakit. Saya terpaksa bermalam di "hotel" istimewa itu selama sehari karena tekanan saya tiba-tiba naik menjadi 190/130, maka dokter saya mengatakan sebaiknya "tinggal" sehari saja di sini. Tapi istirahat sehari itu menjadi heboh di antara keluarga dan mereka yang tahu, padahal saya sekarang baik-baik saja. Semua itu adalah akibat "kenakalan" saya terlalu rakus melihat segala macam makanan lezat saat mengaduk-aduk isi Jakarta kota dalam rangka Tahun Baru Cina. Bahkan saya sudah periksa ke dokter Munawar, dokter jantung kepresidenan yang kebetulan saya kenal baik, di Rumah Sakit Jantung Binawaluya dan hasilnya semua baik, cuma ya itu tadi, bandel makan.
Kehebohan ini sedikit banyak disebabkan karena dokter saya berpesan agar saya istrirahat total, tidak menerima telepon atau tamu apa lagi yang berhubungan dengan pekerjaan. Namanya orang Indonesia, semakin dilarang, semakin banyak yang ingin tahu kenapa dan sakit apa. Akibatnya tetap saja saya tak bisa mencegah kakak saya datang bersama serombongan sepupu dan tante saya dan membuat heboh karena suara ketawanya keluar sampai ke lorong rumah sakit. Karena tak sempat menengok, maka Sabtu malam kemarin seorang tante dan om saya kemudian mengambil inisiatif cemerlang menjenguk dan menginap di rumah tanpa memberitahu saya.
Tentu saja saya kagetnya setengah mati. Saya tidak siap, bahkan tidak tampak bekas-bekas sakit, apa lagi saya baru saja bermalam minggu dan baru menginjakkan kaki di rumah sehabis acara dinner dan nonton film. Tapi ya, namanya diberi perhatian, saya ya terima juga dan menyiapkan kamar. Ketika jam menunjukkan waktu lewat tengah malam, saya segera menyudahi acara basa basi dengan alasan besok mau ke gereja jadi saya akan mengantar mereka pulang pagi-pagi sebelum ke gereja. Belum selesai bicara, saya menangkap ada yang janggal di meja makan : kaca penutup candle holder saya pecah. Si Tante cuma bilang, "Iya tadi itu kesenggol om, pecah. Gampanglah semprong kayak gitu banyak di Jelambar nanti tante beliin lagi!" Tanpa banyak mulut saya naik ke kamar tidur.
Saya lalu tak bisa tidur. Cukup rasanya! Buat saya kehadiran om dan tante itu sangat tidak menghargai yang punya rumah, meskipun niatnya baik! Saya yang terbiasa semua terencana dan dibicarakan di awal, tidak suka kejutan. Bahkan ibu atau kakak saya yang mau datang ke rumah saja memberitahu terlebih dahulu. Jangan salah sangka, saya senang sekali kalau ada yang datang bahkan bermalam di rumah, akan saya jamu sebaik-baiknya. Saya juga tentu tak akan pernah menolak siapa yang akan datang ke rumah, untuk bermalam sekalipun, but let me know first so I can prepare and be prepared. Siapa tahu saya sudah ada rencana sebelumnya, atau saya sedang tidak dalam keadaan siap menerima tamu, siapa pun itu. Saya juga dalam hati mengomel atas sikap "bela diri" tante soal semprong yang pecah. That's not the issue. Buat saya, kalau salah ya ngaku saja minta maaf and shut up!
Maka, hari Minggunya saya bangun lebih awal, dan "curhat" pada anak si om tante sambil memintanya untuk membantu menasihati orang tuanya agar lebih "thoughtful". Lalu saya bergegas menyiapkan makan pagi dan mengantar mereka pulang ke rumahnya di daerah Jakarta Pusat. Karena di pusat, saya mengubah rencana untuk ke gereja katedral saja, mengikuti misa yang jam 10.30. Saya terlambat 10 menit dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pergi ke gereja katedral, saya berdiri di pojok belakang. Penuhnya orang dan sirkulasi katedral yang kurang baik membuat saya berkeringat dan ingin agar misa cepat selesai saja.
Tapi justru di akhir misa, pastor memberitahu bahwa museum katedral sedang dibuka setelah misa. Museum ini adalah tempat penyimpanan benda-benda sejarah perjalanan agama Katolik yang tidak dibuka setiap saat. Saya sudah lama ingin berkunjung, tapi waktunya tidak pernah klop. Kali ini, tanpa disangka keinginan yang sudah terpendam bertahun-tahun itu terbuka begitu saja dan menjadi pengalaman dan kenangan yang tak akan terlupakan.
Tiba-tiba saya sekali lagi disadarkan untuk berterima kasih kepada om, tante yang datang tanpa disangka-sangka. Kalau tidak karena mereka, saya tak akan repot-repot mau ke Jakarta pagi-pagi mengantar mereka dan ngebut ke gereja siang. Sepulang dari gereja, saya memutuskan untuk mampir ke Grand Indonesia dan menemukan pengganti semprong yang pecah, bagaikan disimpankan untuk saya, karena tinggal satu-satunya.
Tuhan itu luar biasa. Saya lalu memohon ampun atas kekeraskepalaan saya. Saya seketika menyadari bahwa saya tidak bisa membuat segala sempurna. Ketika ada yang terjadi tidak sesuai dengan kehendak, saya hendaknya ingat untuk mengikuti arus tanpa banyak berontak, karena Tuhan sudah punya rencana buat kita.
Saya lalu jadi ingat : rencanaKu bukanlah rencanamu. dan semuanya akan dijadikan indah pada waktunya. Pagi ini saya menerima pesan bbm :
Life is too short
to wake up with regrets
Love the people who treat you right and
forget the ones who don't!
Believe that everything happens for a reason.
If you get a chance - take it
if it changes your life - let it
Nobody said life would be easy
they just promised
it would be worth it!
It certainly is. Terima kasih Tuhan! Terima kasih Om, Tante. I am the one who should apologize. Thank you for the wonderful experience in life, because of you...
Kehebohan ini sedikit banyak disebabkan karena dokter saya berpesan agar saya istrirahat total, tidak menerima telepon atau tamu apa lagi yang berhubungan dengan pekerjaan. Namanya orang Indonesia, semakin dilarang, semakin banyak yang ingin tahu kenapa dan sakit apa. Akibatnya tetap saja saya tak bisa mencegah kakak saya datang bersama serombongan sepupu dan tante saya dan membuat heboh karena suara ketawanya keluar sampai ke lorong rumah sakit. Karena tak sempat menengok, maka Sabtu malam kemarin seorang tante dan om saya kemudian mengambil inisiatif cemerlang menjenguk dan menginap di rumah tanpa memberitahu saya.
Tentu saja saya kagetnya setengah mati. Saya tidak siap, bahkan tidak tampak bekas-bekas sakit, apa lagi saya baru saja bermalam minggu dan baru menginjakkan kaki di rumah sehabis acara dinner dan nonton film. Tapi ya, namanya diberi perhatian, saya ya terima juga dan menyiapkan kamar. Ketika jam menunjukkan waktu lewat tengah malam, saya segera menyudahi acara basa basi dengan alasan besok mau ke gereja jadi saya akan mengantar mereka pulang pagi-pagi sebelum ke gereja. Belum selesai bicara, saya menangkap ada yang janggal di meja makan : kaca penutup candle holder saya pecah. Si Tante cuma bilang, "Iya tadi itu kesenggol om, pecah. Gampanglah semprong kayak gitu banyak di Jelambar nanti tante beliin lagi!" Tanpa banyak mulut saya naik ke kamar tidur.
Saya lalu tak bisa tidur. Cukup rasanya! Buat saya kehadiran om dan tante itu sangat tidak menghargai yang punya rumah, meskipun niatnya baik! Saya yang terbiasa semua terencana dan dibicarakan di awal, tidak suka kejutan. Bahkan ibu atau kakak saya yang mau datang ke rumah saja memberitahu terlebih dahulu. Jangan salah sangka, saya senang sekali kalau ada yang datang bahkan bermalam di rumah, akan saya jamu sebaik-baiknya. Saya juga tentu tak akan pernah menolak siapa yang akan datang ke rumah, untuk bermalam sekalipun, but let me know first so I can prepare and be prepared. Siapa tahu saya sudah ada rencana sebelumnya, atau saya sedang tidak dalam keadaan siap menerima tamu, siapa pun itu. Saya juga dalam hati mengomel atas sikap "bela diri" tante soal semprong yang pecah. That's not the issue. Buat saya, kalau salah ya ngaku saja minta maaf and shut up!
Maka, hari Minggunya saya bangun lebih awal, dan "curhat" pada anak si om tante sambil memintanya untuk membantu menasihati orang tuanya agar lebih "thoughtful". Lalu saya bergegas menyiapkan makan pagi dan mengantar mereka pulang ke rumahnya di daerah Jakarta Pusat. Karena di pusat, saya mengubah rencana untuk ke gereja katedral saja, mengikuti misa yang jam 10.30. Saya terlambat 10 menit dan untuk pertama kalinya dalam sejarah pergi ke gereja katedral, saya berdiri di pojok belakang. Penuhnya orang dan sirkulasi katedral yang kurang baik membuat saya berkeringat dan ingin agar misa cepat selesai saja.
Tapi justru di akhir misa, pastor memberitahu bahwa museum katedral sedang dibuka setelah misa. Museum ini adalah tempat penyimpanan benda-benda sejarah perjalanan agama Katolik yang tidak dibuka setiap saat. Saya sudah lama ingin berkunjung, tapi waktunya tidak pernah klop. Kali ini, tanpa disangka keinginan yang sudah terpendam bertahun-tahun itu terbuka begitu saja dan menjadi pengalaman dan kenangan yang tak akan terlupakan.
Tiba-tiba saya sekali lagi disadarkan untuk berterima kasih kepada om, tante yang datang tanpa disangka-sangka. Kalau tidak karena mereka, saya tak akan repot-repot mau ke Jakarta pagi-pagi mengantar mereka dan ngebut ke gereja siang. Sepulang dari gereja, saya memutuskan untuk mampir ke Grand Indonesia dan menemukan pengganti semprong yang pecah, bagaikan disimpankan untuk saya, karena tinggal satu-satunya.
Tuhan itu luar biasa. Saya lalu memohon ampun atas kekeraskepalaan saya. Saya seketika menyadari bahwa saya tidak bisa membuat segala sempurna. Ketika ada yang terjadi tidak sesuai dengan kehendak, saya hendaknya ingat untuk mengikuti arus tanpa banyak berontak, karena Tuhan sudah punya rencana buat kita.
Saya lalu jadi ingat : rencanaKu bukanlah rencanamu. dan semuanya akan dijadikan indah pada waktunya. Pagi ini saya menerima pesan bbm :
Life is too short
to wake up with regrets
Love the people who treat you right and
forget the ones who don't!
Believe that everything happens for a reason.
If you get a chance - take it
if it changes your life - let it
Nobody said life would be easy
they just promised
it would be worth it!
It certainly is. Terima kasih Tuhan! Terima kasih Om, Tante. I am the one who should apologize. Thank you for the wonderful experience in life, because of you...
Subscribe to:
Posts (Atom)