Seorang teman saya mengeluhkan kemanjaan anaknya yang sekarang sedang belajar di luar negeri. Usia yang semestinya sudah mandiri, tapi tetap saja santai dan bergantung pada orang tuanya. Puncaknya, kartu kredit tambahan yang dibuatkan khusus untuk keperluan emergensi digunakan untuk belanja barang yang bukan kebutuhan pokok. Saya lalu buka mulut, "blokir saja."
Orang tua sekarang, termasuk kakak-kakak saya adalah orang tua yang terlalu protektif dan memanjakan anaknya. Takut anaknya susah. Takut anaknya kenapa-kenapa. Padahal di sanalah pangkal perkaranya. Anak cenderung menggampangkan dan merasa bahwa kalau ada apa-apa toh ada bantal empuk yang siap menolongnya. Saya lalu mengutip lagi kalimat sakti "Life begins at the end of your comfort zone." Kalau anak-anak selalu di comfort zone, bagaimana mereka hidup?
Sebagai orang tua kita harus menantang dan mendorong mereka untuk melihat realita hidup. Kebanyakan orang tua yang berdiskusi dengan saya soal hal ini merasa terusik karena tidak nyaman dan takut anaknya terperosok dalam pergaulan dan lingkungan yang salah kalau dibebaskan. Saya bilang, "tidak akan, jika kita sebagai orang tua meletakkan dasar nilai dan tanggung jawab yang cukup." Nilai untuk memiliki visi hidup, mensyukuri keadaan dan bertanggung jawab, tidak kepada orang lain termasuk kepada orang tuanya, tetapi terlebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan Tuhan.
Maka saya sarankan teman saya memberikan uang secukupnya kepada sang anak, dan memberi aturan bahwa "cukup tidak cukup, ya segitu yang saya berikan kepada kamu. Kalau kamu mau ini itu, ya menabung, atau carilah tambahan yang halal." Teman saya cerita kalau anaknya waktu itu mau membuat kartu kredit sendiri namun ia larang karena takut kalau ia tak bisa membayar. Saya bilang, biar saja, biar dia mengerti akibatnya kalau ia tidak melakukan perencanaan hidup dengan baik. Saya lalu memberi contoh di tahun 1983 - 1987 saya mendapat jatah seratus ribu dari orang tua untuk hidup setiap bulannya di Salatiga. Uang itu sudah mencakup uang kos, cuci baju, makan dan hiburan, termasuk belanja buku bacaan dan kaset atau menonton kegemaran saya. Dana itu juga termasuk ongkos foto kopi dan biaya operasional kuliah, kecuali uang kuliah yang jumlahnya di luar uang bulanan. Orang tua saya tidak akan memberi tambahan bila saya kekurangan. Jadi saya harus memperhitungkan dengan cermat keadaan keuangan saya. Saya kos di tempat yang sederhana, makan berdua teman se kos dari rantangan, dan kalau makan di luar, saya cuma makan serba standar, tidak tambah sate ini atau itu. Tapi di sana lah saya belajar bertanggungjawab dan menyukuri apa yang saya miliki. Buktinya, saya tetap happy dan berprestasi, tak pernah mengeluh. Saya tidak hanya diajari mengenai nilai dan tanggung jawab, tetapi lebih dari itu, ayah ibu saya mengajarkan jiwa kebangsaan dan nasionalisme. Keadaan ini saya bagikan kepada teman saya tadi.
Mendengar cerita ini, seorang kenalan lalu menukas, "iya, tapi zaman kita dulu kan berbeda dengan zaman sekarang?" Saya lalu menjawab kembali, "zaman kita muda dulu, orang tua kita juga bilangnya sama. Jadi apa bedanya? Setiap zaman tentu berbeda, dan karena itulah semakin penting bekal yang kita berikan kepada anak kita adalah bekal nilai dan tanggung jawab, bukan materi. Karena materi akan habis dalam sekejap, sedangg bekal nilai dan tanggung jawab akan merupakan sumbu yang menjadi modal untuk menerangi hidupnya sepanjang masa."
Jadi, cinta tidak harus diwujudkan dalam bentuk bantal empuk yang selalu menadah sehingga anak atau saudara kita jadi serba menggampangkan. Cinta yang baik adalah cinta yang mendidik. Cinta yang membuat orang yang kita cintai memiliki visi hidup, bersyukur atas anugerah yang diperolehnya dan bertanggung jawab atas hidupnya kepada dirinya sendiri dan Tuhan. Memang tidak mudah untuk menerapkannya, terutama cinta yang benar itu tidak selalu manis dan enak dirasa, tetapi memberi "hidup" bagi yang dicintainya. Mungkin ia tidak merasakan sekarang, tapi akan memetik hasilnya di kemudian hari.
No comments:
Post a Comment