BERKACALAH PADAKU!
Belakangan ini, saya mulai mengalihkan perhatian saya dari media-media serius yang hampir seluruh isinya tersita perang Irak, ke media-media hiburan yang cenderung bergosip ria. Rasanya seperti siraman air es di tengah kejenuhan gempuran informasi yang isinya membuat suram hidup. Kali ini, yang saya buka adalah majalah lokal yang isinya lebih mirip katalog untuk menjajakan tubuh model yang penutup tubuhnya pun terasa tak muat menanggung beban. Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada iklan sebuah mobil mewah yang menawarkan model terbarunya. Wow! What is this! In the middle of all of these? Dasar orang komunikasi, adrenalin saya yang tadinya terpacu oleh gambar mulus, jadi beralih ke iklan ini.
Coba sekarang kita buat role-play. Kalau Anda jadi marketing manager nya, di (media) mana Anda akan memasang iklan Anda (baca: mengkomunikasikan produk Anda)? Sering kali, kalau saya meeting dengan klien untuk membahas target media, mereka cenderung memberi usulan berdasarkan pengalaman pribadi mereka. Mungkin ada kepuasan dan kebanggaan tersendiri bila melihat produk yang ditanganinya, dimuat di majalah atau koran kesayangannya. Kalau tidak, rasanya program pemasaran dan komunikasi yang sudah disusun kurang efektif, karena “tidak terbaca” oleh kita. Atau soal pemilihan tempat pameran. Sepertinya pameran kita hebat kalau diadakan di klub atau mall yang biasa kita datangi, karena nanti pasti ada respons dari teman teman kita yang melintas di depan counter pameran. As for the ad above, argumen yang saya dapat adalah, “nggak usah munafik lah, banyak lho eksekutif berduit, yang membaca majalah kayak gini.” Ya mungkin, benar, tapi sudahkah terpikir apakah majalah itu sesuai dengan “positioning” produk Anda? Apakah betul, pembaca majalah itu adalah profil yang tepat bagi produk Anda? Jangan-jangan itu hanya karena diam-diam Anda sendirilah fans fanatik majalah itu?
Kalau sudah begitu, mungkin ada baiknya kita back to basic. Yang dimaksud komunikasi itu: “siapa berkata apa kepada siapa dengan sarana apa dengan cara apa dan dengan reaksi apa yang diharapkan dari si pendengar.” Yang jadi fokus kita kali ini adalah siapa, sarana apa, dan reaksi apa. Sarana jadi penting karena mau tidak mau majalah, atau koran atau teve yang menjadi sarana kita, juga punya positioning dan personifikasi sendiri, yang harus sesuai pula dengan positioning dan personifikasi produk kita. Kedua unsur ini kemudian menyatu dengan profil, positioning dan personifikasi pembaca yang menjadi target audience kita.
Majalah yang kita baca contohnya, a+. Majalah ini memiliki positioning dan attitude dan personifikasi tersendiri. Itulah mengapa, walaupun target pembacanya dan distribusinya sangat fokus, majalah ini tetap diminati oleh berbagai produk yang memiliki profil dan positioning yang sama dengan profil majalah dan pembacanya. Sayangnya banyak media yang kurang jaga diri. Setelah profil terbentuk, mata mulai hijau, dan iklan apapun diterima, jadilah lembaran majalahnya seperti pasar kelontong, apa juga ada.
Di sinilah pentingnya kita meneliti dulu semua aspek sebelum menentukan pilihan. Kalau perlu, adakan riset dulu. Kini, mari kita simulasi lagi, kalau Anda jadi Marketing Manager, media mana yang Anda pilih untuk keperluan Anda? Tips saya hanya satu, yang mau Anda ajak bicara adalah target audience Anda, bukannya Anda sendiri. Jadi, pilih sarana yang merupakan cerminan sinergi profil dan positioning produk dan target pembelinya.
T/J
T. Saya baru saja kembali dari luar negeri dan akan meneruskan usaha ayah di Indonesia. Saya punya gelar doktoral dan pengalaman kerja di sana. Anda punya saran buat saya?
J. Kalau Anda punya daya tawar pada ayah Anda dan punya kemewahan dari segi waktu, saran saya : bekerjalah dahulu di sebuah perusahaan nasional yang dasarnya adalah perusahaan keluarga, barang dua atau tiga tahun. Jangan melamar di perusahaan publik yang sudah established, apa lagi yang multi nasional. Juga jangan melamar kerja atas dasar KKN. Ini penting buat Anda. Amati, rasakan, dan resapkan semua kejadian di sana, suka dan dukanya. Saat Anda bekerja, Anda akan ditempa untuk memiliki cara pandang down to earth dan mengerti benar masalah yang dialami sebuah perusahaan keluarga di negeri tercinta ini. Setelah itu, saat masuk ke perusahaan Ayah, kalau bisa, mulailah bukan dari posisi puncak. Kalau Anda tak punya kesempatan “magang”, saran saya: banyak lah bergaul dengan karyawan bawah hingga atas, pasang mata, telinga, hati dan pikiran. Jangan terburu-buru menerapkan teori dan pengalaman yang pernah Anda dapat di luar negeri. Dijamin, semua angan dan idealisme saat Anda baru menjejak kaki di pertiwi, berganti menjadi kedewasaan seorang pemimpin yang bijaksana, yang memiliki pengetahuan mendunia, tapi dengan keteguhan dan mata hati yang membumi.
I am My Own Boss
Kata sebagian orang, you have to have guts untuk memutuskan keluar dari perusahaan untuk kerja sendiri. Saya pernah mengalaminya, dan terkaget-kaget karena banyak hal yang ternyata tidak masuk dalam perhitungan professional saya:
1. Memilih partner yang tepat. Kalau partner usaha Anda adalah sahabat atau saudara, bersiap-siaplah pada kemungkinan terburuk: Anda kehilangan sahabat dan saudara Anda. Pilih partner yang Anda kenal karena hubungan kerja, bukan karena hubungan pribadi. Banyak bukti menunjukkan, mereka yang “fun” di ajak jalan, malah jadi partner kerja yang paling “irritating”, apalagi kalau sudah bicara soal duit dan kedudukan.
2. Banyak tetek bengek yang tidak masuk hitungan karena di tempat kerja kita, semuanya beres berkat sistem dan posedur yang sudah mapan. Mulai dari pengurusan izin, sampai urusan mengatur office boy yang bikin pusing.
3. Percaya diri perlu, optimisme apalagi, tapi jangan terlalu mengandalkan angan-angan matematika Anda soal billing yang akan masuk ke kantong setelah Anda hengkang dari kantor Anda yang sekarang. Siapkan diri juga untuk yang terburuk. Baiknya, singsingkan lengan baju. Lihat Peluang. Peluang. Peluang. Dan Kerja Keras. Kerja Keras. Kerja Keras. Klien yang biasa setia kita dampingi, akan berpikir panjang sebelum memutuskan meng”hire” Anda. Mungkin karena mereka memahami, bahwa keberesan kerja seseorang, ada kaitannya juga dengan keseluruhan kinerja perusahaan yang menaungi Anda. Sebagai perusahaan baru, kita harus membuktikan dulu kinerja kita.
4. Kerja sendiri bukan berarti semaunya sendiri. Kini Anda pemilik, yang punya tanggung jawab atas anak buah, dan berkembangnya usaha Anda. Tanggungan Anda juga tidak sebatas anak buah, ada sekian puluh perut yang bergantung atas ketangguhan Anda. Jargon “enak, bisa mengatur waktu kerja sendiri” jadi lebih tricky.
5. Despite everything happened, jaga bara semangat dan percaya diri kelompok kerja Anda, tapi jangan terbakar karenanya.
6. Satu ini, pegangan teguh saya dalam berkarya. Bekerja dengan tulus dan jujur, dan jangan pernah “maruk”. Saya selalu ingat pepatah “God loves the needy, not the greedy”.
7. Last but not least. Doa. Doa. Doa. Bukan melempar tanggung jawab pada Tuhan, tapi mohon bimbingan dan restuNya. Bekerjalah menurut ridhoNya dan berserahlah padaNya. Kata-kata “ora et labora” tidak diciptakan sekenanya. Karena itu berbuatlah sesuai urutan. Berdoalah (ora) dahulu, baru bekerja (labora).
No comments:
Post a Comment