Sunday, February 28, 2010

28 Februari 2010: Bongkar pasang

Seminggu yang lalu, saya berkesempatan membeli tiga kain batik lasem di sebuah rumah di kawasan BSD. Biasanya, saya paling malas membeli kain dan lebih suka beli jadi karena membeli kain itu ribet. Masih harus dijahit yang memerlukan proses bertele-tele. Harus pergi ke tukang jahitnya, diukur, dipas, dan belum tentu jadinya benar. Tapi kali ini saya sudah terlanjur jatuh cinta pada motif kainnya...

Namanya juga malas, maka saya mencoba memotong prosesnya yang berbelit dengan menitipkan ketiga kain tersebut kepada pembantu saya, sambil tak lupa membawakan sebuah contoh baju jadi yang pas di badan saya. Dan ketiga baju itu jadilah.... kedodoran. Saya lupa, kalau setelah disiplin berolah raga dan mengatur pola makan, tubuh saya menyusut dari 78 kg menjadi 65 kg. Tapi saya tak mati akal, saya meminta pembantu untuk mengembalikan ketiga baju itu untuk dikecilkan sesuai contoh baru yang saya berikan. Mumpung mengecilkan, saya juga minta agar baju batik yang kainnya saya beli di sentra batik Laweyan,Solo beberapa waktu lalu dan jadinya tidak simetris untuk juga diperbaiki. Itu juga hasil main titip dan dalam prosesnya saya sama sekali tidak bertemu dengan si penjahit...

Hari ini, keempat baju itu jadi. Ada yang benar, tapi ada juga yang jatuhnya kurang baik. Selidik punya selidik, ternyata ada bagian jahitan di pinggang yang tidak lurus. Lalu, nasib baju kain lasem yang satu : ternyata border yang saya impikan ada di bawah baju, jadinya menghilang entah kemana, padahal warna merah tua di border itulah yang membuat saya naksir berat kain itu. Setelah berdiskusi dengan Atik pembantu saya, kami sepakat untuk pertama-tama mencoba disetrika dulu. Siapa tahu besok setelah disetrika jatuhnya berubah menjadi baik. Kalau tetap kurang baik, maka terpaksa baju itu untuk kesekian kalinya dipulangkan ke tukang jahit. Tak terbayang nanti masamnya si tukang, tapi apa boleh buat.

Saya menyesali kemalasan saya yang sok mau short cut. Jadinya ya short cut beneran...
Coba saya tidak sok malas, mencari waktu dan pergi bersama Atik ke tukang jahit, menjelaskan sendiri maunya seperti apa, diukur langsung oleh sang penjahit, mungkin satu kali jahit bajunya benar semua. Tapi hal seperti ini tidak hanya terjadi sekali ini. Dalam urusan pribadi, saya sering memutuskan sesuatu, kemudian ketika hasilnya tidak pas di hati, saya minta dibongkar lagi sehingga yang tadinya bisa ngirit, malah menjadi mahal. Perfeksionis gak puguh gara-gara malas dan sok punya feeling.

Renovasi rumah tahun kemarin menjadi saksi betapa menyebalkannya urusan bongkar pasang ini. Saking sebalnya, sampai kontraktor saya juga sudah malas dan putus asa, namun di lain pihak saya juga malas dan putus asa dengan kontraktor yang melakukan pekerjaannya tidak sepenuh hati. Salah satu contohnya adalah tegel powder room. Dari warna pucat kusam, diganti warna lain, ternyata tidak sreg, diganti warna lain lagi sampai empat lima kali, baru saya oke kan, itu pun karena tidak mau dibilang super cerewet, berhenti saja sampai di situ dengan hasil lumayan. Soal cat juga begitu. Saya sudah berikan sampelnya, salah melulu pengerjaannya. Lain lagi pemasangan tegel kamar mandi yang cenderung asal-asalan. Kalau yang satu ini, ya saya suruh benahi sampai lumayan benar. Tidak seratus persen sempurna sih, tapi ya sudah lah, masih bisa ditoleransi...

Maka hari ini saya belajar untuk tidak nanggung. Kalau mau sesuatu harus dikerjakan dengan baik dan benar. Karena kalau separuh-separuh, jadinya bongkar pasang dan hasil akhirnya tidak bisa seindah kalau dibuat sekali jadi. Seperti baju batik tadi, karena sudah dipotong, dijahit, kebesaran terus dikecilkan, maka pasti ada bagian indah yang terbuang, dan cuttingnya tidak bisa sesempurna bentuk awalnya. Semoga saja besok setelah disetrika bajunya semua jadi sempurna dan tidak perlu dibongkar pasang lagi. Kali ini, saya benar-benar kapok...

Saturday, February 27, 2010

27 Februari 2010 : Cengli Cincai Coan Ciok Cia Cao

Meskipun bukan pengguna aktif, paling tidak beberapa jam sekali saya membuka akun facebook. Selalu ada saja hal yang menarik dari facebook. Mulai dari update kabar, sampai komentar atau informasi yang tidak akan pernah saya dapatkan dari sumber lain. Pagi ini, saya tiba tiba tertarik membuka artikel yang dituliskan oleh Kafi Kurnia dalam facebooknya. Komentar-komentarnya yang dipersonifikasi dalam bentuk kata-kata Otong dan Engkong, selalu menggelitik dan segar. Namun, artikel bergambar babah itu membuat saya tertarik untuk membaca lengkap. Mohon Maaf Kafi, saya akhirnya mengutip keseluruhan artikel Anda untuk di share kepada teman-teman saya yang belum masuk dalam jejaring facebook Anda. Semoga Anda tidak keberatan :

6 Filosofi Bisnis a-la Hok-kian

Sejak jaman dahulu kala, bumi Nusantara sudah menjadi jalur lalu-lintas, budaya, agama, seni, ilmu pengetahuan dan juga perdagangan. Apabila daratan Tiongkok dan Asia Tengah dikenal dengan jalan sutera, maka Nusantara dan ASEAN dikenal sebagai jalan rempah-rempah yang tidak kalah berharganya. Itu sebabnya selama beratus-ratus tahun, Indonesia telah dikunjungi bangsa Tionghoa, India, dan juga Arab.

Malah banyak kaum perantuan Tionghoa atau yang kita kenal dengan sebutan Hoakiao, menjadikan Nusantara akhirnya sebagai tempat kediaman mereka. Dimana mereka membuka usaha, mengadu rejeki, menikah dengan wanita setempat dan meneruskan kehidupan mereka. Kaum perantauan Tionghoa ini, tidak berasal hanya dari satu etnik. Melainkan justru bervariasi, seperti etnik Kong Hu (Cantonese), Hakka, Tio Ciu, dan juga Hok-kian. Distribusi dan penyebaran mereka juga tidak merata. Etnik Hakka misalnya menyebar lebih merata di Jawa. Sementara di Medan didominasi etnik Hok-kian. Dan Kalimantan lebih banyak orang-orang etnik Tio Ciu.

Secara geografis, asal etnik Hok-kian memang berasal dari provinsi Fujian di daratan Tiongkok. Namun bahasa Hok-kian pengaruhnya dalam fusi budaya ternyata jauh lebih dominan dan dalam bahasa dialek Betawi banyak meninggalkan jejak yang sangat unik. Bahasa pergaulan di Betawi sejak jaman dahulu banyak kita dapati kata pinjaman atau ‘loanwords’ dari bahasa dialek Hok-kian. Nominasi mata uang seperti “go-ceng (lima ribu)” – “ce-ban (sepuluh ribu)” – “cepe (seratus)” – “gopeh (limaratus)” semuanya berasal dari bahasa dialek Hok-kian. Hingga penyebutan kata diri seperti “gue” dan “lu” juga berasal dari sumber yang sama.

Menurut sebuah artikel di kampungbetawi.com, banyak istilah sehari-hari Betawi yang berhubungan dengan tradisi dan adat istiadat makanan, yang juga berasal dari bahasa dialek Hok-kian ini. Misalnya saja “kecap” – “mie” – “bihun” – “tauge” – “tauco” – “tahu” “juhi” – “lumpia” dan banyak lagi, semuanya berasal dari bahasa dialek Hok-kian. Kekentalan pengaruh ini juga merembes ke budaya yang lain. Termasuk perdagangan dan ekonomi. Di wilayah-wilayah pusat distribusi barang sejak jaman dulu, seperti Glodok, Pasar Pagi, hingga Senen dan Jatinegara, tanpa tertulis, beredar sebuah kode etik yang mendasari prilaku dan suksesnya orang Tionghoa berbisnis saat itu.

Belum lama ini, seniman beken Teguh Ostenrik mengirimkan sebuah artikel pendek yang mengingatkan saya pada filosofi berbisnis orang Tionghoa ini. Unik dan cukup menggelitik. Bagi orang Tionghoa, ada 3 “C” yang harus dijadikan pilar berbisnis. Dan 3 pantangan “C” lagi yang harus dihindari. “C” yang pertama adalah “Cengli”. Artinya adil. Kelihatan-nya sederhana. Tetapi ini menyangkut kredibilitas dan reputasi. Kalau ada pengusaha yang bisnisnya dianggap tidak “cengli”, mau menang sendiri, suka curang, dan menipu, biasanya dia akan di “black-list” oleh komunitas pengusaha dan akan dijauhi. “Cengli” mirip dengan paspor atau rating perbankan. Seseorang yang “cengli” artinya boleh dan sangat bisa dipercaya. Kalau seseorang dikatakan “cengli”, biasanya dia akan mudah meminjam uang atau meminta pertolongan pengusaha lain. “Cengli” memiliki pengertian yang sangat dalam, bahwa seorang pengusaha yang baik harus selalu berlaku “fair” terhadap teman dan lawan. “Cengli” secara kemasyarakatan mengatur kondisi dan iklim berusaha yang saling menghormati, sportif dan tidak akan ada yang curang dan melanggar peraturan.

“C” yang kedua adalah “cincai”. Sederhana-nya,“Cincai” memiliki arti fleksibel dan mudah kompromi. Dalam kajian filosofis, justru “Cincai” memiliki arti yang dalam sekali. Pertama mengajarkan sikap merendah dan mengalah. Asalkan ada untung sedikit, maka kompromi jalan terus. Inilah strategi ‘win-win’ ala Tionghoa. Kedua, filosofi ini juga mendisplinkan kita agar lebih baik berteman dan membentuk net-work, daripada bermusuhan dan menciptakan lawan dan musuh sebanyak-banyaknya. Pengusaha yang “cincai” seringkali sangat dihormati oleh komunitasnya, karena dianggap pemurah, baik-hati dan mau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk bersama-sama maju. Bilamana ada kawan dan lawan bisnis yang cidera janji, selalu saja ia siap memberikan keluwesan dan tenggang waktu yang lebih lama. Ketika selesai kuliah, saya pernah belajar filosofi ini langsung dari almarhum M.S. Kurnia, pendiri Hero Group. Menurut beliau, orang yang menguasai filosofi ini biasanya sangat pandai sekali bernegosiasi. Sisi buruknya, pengusaha “Cincai” sering dilecehkan oleh lawan bisnisnya, karena dianggap terlalu lembek dan baik hati. Padahal “Cincai” menganut ilmu bambu, yang sangat kuat dan tidak mudah dipatahkan. Kekuatan-nya justru ada pada kemampuan-nya yang lentur dan fleksibel.

“C” yang ketiga dan yang juga terpenting adalah “Coan”, atau artinya “laba”. Kata ini sering dijadikan ledekan dan hina-an. Misalnya seringkali kita mendengar “ Ah, pengusaha anu, yang dipikirkan cuma ‘coan’ doang sih !” Padahal kata inilah yang menjiwai semangat bisnis pengusaha Tionghoa. Baik dari segi kompetitif, atau persaingan, berkembang secara agresif, hingga kekuatan survival yang kokoh. Banyak orang awam, yang tidak mengerti filosofi ini. Padahal filosofi inilah yang mendasari ‘sustainability’ bisnis pengusaha Tionghoa. Mengapa misalnya, pengusaha Tionghoa berperilaku tekun, rajin dan hemat. Itu sebabnya pengusaha Tionghoa seringkali kelihatan sangat kompetitif dan agresif; karena hitungan laba mereka seringkali sangat mepet dan tipis sekali. Tetapi dalam segi jumlah dan tekhnik mereka mengelola ‘cash-flow’, kita jumpai ‘coan’ yang tersembunyi; yang tidak diperhitungkan musuh atau lawan bisnis. Filosofi ini juga mendisplinkan mereka untuk hemat dan menabung. Serta bijaksana melakukan investasi di wilayah-wilayah yang tidak pernah dilirik orang.
Dengan pilar 3 “C” yang semuanya meminjam bahasa dialek Hok-kian, pengusaha Tionghoa mengembangkan bisnisnya. Uniknya 3 “C” menjadi sebuah etika bisnis yang tidak tertulis. Adalah kewajiban tiap pengusaha Tionghoa untuk menghormatinya untuk menciptakan lingkungan berbisnis yang harmonis, tentram dan mampu menciptakan kesejahteraan bagi setiap pengusaha. Mirip sebuah budaya perusahaan. Seorang konglomerat sepuh, mengeluh pada saya bahwa generasi muda pengusaha Tionghoa yang menikmati pendidikan di luar negeri, cenderung secara filosofis tidak memahami ketiga pilar ini. Maka persaingan menjadi kasar dan semua main kemplang se-enak-nya saja.

Konglomerat yang sepuh ini bercerita bahwa kalau 3 “C” tadi tidak kita hormati lagi, maka bencana-nya semua orang akan melakukan 3 “C” pantangan pengusaha Tionghoa. Pantangan pertama adalah “Ciok” alias hutang. Anda boleh tertawa, jaman sekarang mana ada pengusaha yang tidak berhutang ? Dan menguras kredit dari bank ? Tetapi hutang itu punya akibat mendalam. Yaitu harus berani bertanggung jawab dan membayarnya dengan disiplin. Jangan asal berhutang, kalau nanti tidak bisa bayar, perusahaan dibubarkan saja. Beres sudah. Bilamana ini terjadi, konglomerat sepuh ini mengingatkan kekacauan yang akan terjadi. Yaitu munculnya pantangan “C” yang kedua yaitu “Cia” alias makan. Para pengusaha akhirnya saling makan dan menipu sesama-nya. Kalau sudah morat-marit akhirnya muncul tragedi “C” yang terakhir – yaitu “Cao” alias kabur dan ngilang. Sang konglomerat sepuh lalu menghitung sejumlah nama pengusaha yang sudah minggat keluar negeri. Ternyata jumlahnya sudah melebihi jumlah jari beliau. Saya cuma sanggup senyum-senyum saja. Karena memang tidak terbantahkan. Menurut beliau 6 “C” ini saling berkaitan satu sama lain. Rantai yang mengikat. Sehingga mutlak dijalankan dan diamalkan.


Wah, hari ini saya mendapatkan ilmu luar biasa dari Kafi. Terima kasih banyak. Namun saya perhatikan lagi, ke 6 C itu ternyata tidak hanya untuk berdagang, namun juga untuk kehidupan pribadi. Saya harus tetap cengli dan cincai terhadap teman, memperhatikan "coan" yang berbuah ketekunan, rajin dan hemat. Juga jangan ciok alias berhutang, cia orang lain dan cao dari tanggung jawab. Sekali lagi xie xie Kafi...

Friday, February 26, 2010

26 Februari 2010 : Rezeki

Malam ini saya kekenyangan hingga perut terasa begah. Menu ikan sebelah bakar, cumi goreng tepung,ca kangkung dan aneka sambal yang sangat mantap dari warung Almarhumah Ibu Wati ludes tak bersisa. Warung seafood Bu Wati adalah salah satu di antara deretan warung ikan bakar di bibir pantai Anyer belakang Hotel Marbella Anyer. Warung tersebut sudah menjadi favorit langganan saya sejak tahun 2003. Dan kini, ketika sang pemilik sudah kembali ke ribaan Sang Pencipta, warung yang diteruskan oleh anak dan saudara-saudaranya itu tetap digemari pelanggannya. Ia menjadi satu-satunya warung ikan paling ramai di kawasan itu.

Sambil menyantap makanan lezat, saya memperhatikan orang yang lalu lalang. Mereka yang melihat ssaya lahap kemudian tergiur dan memutuskan untuk mencoba kelezatan makanan Warung Ibu Wati. Tapi tidak semua belok ke warung itu. Sekelompok orang tidak terpengaruh pesona ramainya pengunjung di warung tempat saya makan dan memutuskan untuk bersantap di warung sebelah. Dalam hati saya bilang, wah mereka belum tahu saja tak ada yang lebih enak dari masakan warung ini!

Seketika saya disadarkan bahwa rezeki tak kemana. Warung sebelah yang biasanya sepi malam ini ketiban rezeki tanpa harus ada alasan apa pun. Teman saya bilang mungkin karena mereka mencari sepi nya. Mungkin. Saya lalu teringat beberapa waktu yang lalu diundang untuk bertemu dengan Ibu Munawar, pencetus dan pendiri Rumah Sakit Jantung swasta pertama di Jakarta. Ketika saya bertanya apakah tidak takut bersaing dengan fasilitas jantung di rumah sakit swasta lainnya, Beiau dengan enteng menjawa,"Wah, Mas, buat apa takut, yang namanya rezeki itu tidak kemana. Lha wong tukang jual buah berderet masing-masing juga ada yang beli..."

Iya, ya benar juga. Kemarin saya baru ngomel-ngomel soal kepasrahan seorang kerabat pada nasibnya. Ia seorang profesional handal tapi penghasilannya viasa-biasa saja bahkan cenderung tidak bisa memenuhi kebutuhan gaya hidupnya. Kerabat saya yang lain membela kalau ia harus mulai dengan lahan baru rasanya sudah tak memungkinkan karena harus bersaing dengan profesional lain yang jauh lebih muda dan agresif. Saya bilang, kalau saya, melihat kecenderungan yang semakin tidak menjanjikan saya pasti sudah dari dulu-dulu pasang ancang ancang atur plan B. Jadi apa yang harus dilakukan? Menunggu rezeki datang, atau berusaha?

Ingatan saya lalu melayang saat pertama kali saya bertemu dengan Almarhumah Ibu Wati, tujuh tahun yang lalu. Tentu yang membuat saya kesengsem adalah ikan bakarnya yang luar biasa lezat, cumi gorengnya yang mengalahkan semua calamari di dunia, sambalnya yang benar-benar gurih dan enak. Namun di luar itu, Ibu Wati adalah seorang "people person" yang mau menyapa pelanggannya, dan ingat akan mereka. Dari obrolan yang remeh temeh, kemudian kami menjadi cukup akrab sehingga bisa berdiskusi mengenai penyakit paru yang dideritanya. Ketika Ibu Wati bercerai, dan akhirnya kembali lagi dengan sang suami, Beliau bercerita hingga detil. Saking jadi langganan tetap dan favorit, saya dengan mudah keluar masuk dapurnya menambah sendiri sambal dan tambahan lainnya. Bu Wati juga tak kenal putus asa. Ketika beberapa kali warungnya habis tersapu ombak, ia lalu membuat warung darurat di depan rumahnya. Beliau pun mulai mendidik dan menurunkan ilmu masak dan mengelola warung kepada anak dan saudaranya. Atas inisiatif Beliau pula, warung kecil itu menerima pesanan melalui nomor telepon genggam. Saat malang tak dapat ditolak dan Beliau meninggal akibat disambar motor seturun dari angkot, seluruh kawasan pantai Marbella berduka. Saya mendapat kabar pertama dari penjual otak-otak, lalu penjual rujak tentang kepergian Beliau. Setelah 40 hari, anak-anaknya meneruskan perjuangan ibunda tercinta dan sampai saat ini warung Bu Wati tetap ramai.

Ingat Bu Wati, saya juga jadi teringat Yu Nanik, penjual pecel lele di kawasan Cinere. Saya ini penggemar berat pecel lele, dan saya sudah jadi langganan Yu Nanik sejak tahun 1990 saat Yu Nanik masih berjualan pecel lele berpindah-pindah akibat digusur petugas. Gorengan lelenya kering dan gurih, namun yang lebih dahsyat lagi adalah sambalnya. Saya pernah menongkrongi bagaimana Yu Nanik membuat sambal dan menurunkan resepnya pada pembantu saya. Saat Yu Nanik keguguran anaknya dan tidak bisa berjualan untuk beberapa saat, Beliau mendidik saudara-saudaranya untuk menjalankan usahanya. Kini, Yu Nanik tidak lagi mengulek sambal. Dia punya 5 cabang pecel lele di Jakarta Selatan yang dipercayakan kepada saudara-saudaranya. Ia tinggal mensupervisi keliling. Kalau pas lagi di Cinere dan saya pas lagi makan di sana, ia tak pernah lupa menambahkan ekstra sambal.

Malam ini saya seolah diberi jawaban untuk pertanyaan saya di atas di antara keramaian warung Bu Wati dan warung sebelahnya, bahwa dibutuhkan usaha dan rezeki alias hoki untuk bisa berhasil. Kalau hanya bergantung pada rezeki, setelah untung sekali tanpa usaha bisa-bisa rezeki itu pun kabur di kali kedua. Karena itu saya akan terus berusaha, sambil tak henti-hentinya mohon kelimpahan rezeki...

Thursday, February 25, 2010

25 Februari 2010: Student of the Month

Setelah bertubi-tubi meeting marathon, dari pagi sampai sore, saya melepas lelah sejenak di ruang perpustakaan kantor, dan mulai browsing majalah edisi terbaru. Majalah favorit saya tentu yang tidak berhubungan dengan politik dan issue-issue hard news. Yang menjadi lirikan saya adalah Cleo, Dewi, Kartini (karena kenalan saya Ibu Aryanti mendapat liputan beberapa halaman soal anaknya Michael dan keluarganya), Rollingstone, Maxim dan FHM!

Saya tertegun ada sebuah rubrik yang judulnya "Student of the Month" yang tidak menampilkan prestasi otak, melainkan prestasi bentuk badan pelajar wanita. Mungkin, kalo saya ini pecinta anak di bawah umur, saya akan ngiler berat. Kenyataanya saya merasa sangat jijik atas otak sang pemilik majalah yang tega-teganya melecehkan citra siswa Indonesia dengan menampilkan buah dada dan lekukan (maaf) selangkangan sebagai barang dagangannya. Mungkin saya dibilang kuno dan sok moralis. Biar saja, yang jelas saya sakit hati melihatnya. Kalau saja penampilan mereka tidak diembel-embeli label student, mungkin saya punya persepsi yang berbeda. Namun jualan pelajar sebagai objek seks, apa-apaan ini? Mengapa kita bangga melecehkan diri sendiri dan diri mereka yang menjadi tumpuan masa depan kita?

Ada sebuah iklan yang saya ingat betul, tentang seorang cowok ganteng yang melakukan blind date dan mengira cewek seksi yang berbaju merah adalah date nya, padahal teman kencannya yang sesungguhnya adalah cewek gendut. Saya merasa marah dan heran, kenapa si cewek gendut itu mau berperan dalam sebuah karakter yang melecehkan dirinya sendiri? Demi terkenal?

Kalau demi terkenal, bukan saja orangnya sendiri melakukan pelecehan pribadi. Orang tua kadang-kadang sampai tega menyodor-nyodorkan anaknya sebagai objek tempat tidur orang yang punya kuasa untuk menentukan apakah dia bisa dapat peran atau tidak.

Dulu, tudingan itu serta merta ditujukan kepada kaum hawa. Sekarang, pria pun melakukan hal yang sama. Sudah tidak takut-takut lagi menelanjangi diri di berbagai majalah dengan pose yang sangat merendahkan martabatnya. Tapi mereka tentu malah bangga, karena tubuh polos dan berototnya jadi pin up banyak orang.

Saya sungguh sedih dan kecewa, di mana harga diri dan martabat bangsa ini. Orang hidung belang ada di mana-mana, namun kalau kita punya bekal iman dan martabat yang cukup, tentu kita punya perisai yang cukup tebal untuk menangkis godaan itu. Kenyataannya, pembekalan moral bangsa ini sudah jauh terlupakan dan sangat dangkal. Siang ini saya juga membaca bahwa di sebuah daerah, bupati dan semua masyarakat setempat geger karena warnet dijadikan tempat mesum oleh pelajar dengan ditemukannya berbagai kondom bekas dan beha di sela-sela meja dan kursi warnet. Semua kenyataan ini mengkonfirmasikan dekadensi moral bangsa ini.

Hari ini saya diingatkan tentang pentingnya menjaga martabat diri. Kalau selama ini saya hanya melihatnya dari pengalaman seseorang yang terpaksa melupakan harga diri untuk uang, ternyata ada banyak orang yang melecehkan harga dirinya untuk kepentingan semu seperti ketenaran dan kebanggaan yang salah arah. Saya jadi tergerak dan berjanji pada diri sendiri kalau nanti berkesempatan bertemu dengan orang-orang yang memiliki jangkauan dan otoritas di bidang yang berkaitan, saya akan mengangkat issue ini agar kita bisa membangun kembali moral bangsa ini secara komprehensif dan menegakkan lagi kebanggaan kita sebagai bangsa yang bermartabat dan bermoral. Rasanya kesempatan itu ada karena kemarin saya bertemu dengan Ketua Kaukus Wanita di DPR RI. Siapa tahu saya juga berkesempatan bertemu kembali dengan Menteri Pendidikan, Menteri Kebudayaan, Menteri Peranan Wanita dan bahkan Bapak Presiden dan Ibu Negara...

Di lain pihak, saya seperti dibukakan mata, kalau bertindak harus hati-hati dan dilihat dampaknya bagi orang lain. Seperti gadis yang difoto di rubrik "Student of the Month" itu. Mungkin buat dianya sendiri senang, tanpa berpikir panjang bahwa ulahnya itu kemudian menjadi cap yang menyamaratakan posisi siswa di mata orang lain. Maka, setepuk dua pulau terlampaui, hari ini saya disadarkan untuk berhati-hati dalam melangkah, dan berpikir panjang akan dampak kelakuan saya bagi masyarakat yang lebih luas.

Wednesday, February 24, 2010

24 Februari : Asal

Pagi ini ketika mata masih berat untuk dibuka, saya bangun dan seperti robot langsung melakukan aktivitas rutin. Saya lupa berdoa, dan ketika ingat saya segera kembali sejenak ke tempat tidur, sambil seadanya mengucap doa, dan langsung melanjutkan aktivitas. Di mobil, secara tidak sengaja, saya salah mengambil buku, dan membuka sebuah lembar doa yang saya print dari hasil forward teman. Ketika melihat doa pagi yang begitu indah yang dikarang oleh mendiang Paus Johannes Paulus II, saya tertegun.
Iya ya, kalau diperhatikan beberapa waktu belakangan ini, doa saya semakin asal-asalan dan malas sekali. Padahal beberapa minggu yang lalu saya diingatkan untuk berdoa di setiap kesempatan.

Saya mencoba doa di setiap kesempatan, tapi doanya singkat sekali, dan bunyinya, Tuhan saya mau melakukan ini, Tuhan saya mau melakukan itu. Itu pun kalau ingat. Kalau tidak, ya lewat saja kesempatannya. Padahal, saat saya dilanda sakit atau kesulitan, waduh, doa novena dan koronka tak pernah terlambat pagi siang malam. Rajin dan khusuk. Kini ketika suasana adem ayem, saya kehilangan rasa khusuk itu, karena cenderung malas dan asal asalan saja.

Saya jadi tertegun dan menarik napas panjang. Sambil mengetuk kepala botak dung dung dung! saya menegur diri sendiri. Kenapa saya jadi seperti ini? Rasanya doa itu jadi jauuuuuh sekali, padahal dulu saat berdoa khusuk rasanya dekat dengan Tuhan dan komunikasinya lancar. Akhirnya saya memahami, saya ini mualas. Perlu dipecut Tuhan supaya melek dan aktif khusuk berdoa.

Kemarin malam, saat bertemu dengan teman SMA saya Anita setelah bertahun-tahun tidak berjumpa, hal pertama yang dikeluarkan dari tasnya adalah sebuah buku. Ia memberi saya buku berjudul "Dia dan aku" sebuah kisah kesaksian Gabriella Bossis mengenai kasih Allah. Gabriella Bossis menerima karunia Wahyu Allah. Bagian pertama buku itu ternyata tentang doa. Saya kutipkan sedikit dari berbagai paragrafnya:

"Aku lebih menyukai bila orang tidak berdoa dengan menghafalkannya. Bila perhatianmu tidak ada pada waktu berdoa, maka hal itu juga tidak berarti apa-apa bagiKu.

Apakah sukar sekali untuk berbicara denganKu? Berdoa janganlah menjadi sesuatu yang melelahkan bagimu. Mengapa kamu harus memaksakan diri? Berdoalah dengan sederhana saja, berdoa secara menyenangkan, buatlah seperti engkau sedang berbicara denan seorang di dalam keluargamu.

Bagaimana engkau harus berbicara denganKu? Dengan kalimat-kalimat pendek, jangan susah-susah, karena semakin sederhana doamu itu, maka semakin banyak pulah kasih di dalamnya.

BagiKu, bukan apa yang kau katakan kepadaKu yang membuat Aku senang mendengarkanmu, melainkan kenyataan bahwa engkau mau berbicara denganKu.

Memang benar, ucapan terima kasihmu dan puji-pujianmu sanat Aku hargai. Tetapi apa yang lebih Kucari darimu adalah persatuan dari hati ke hati, dan ucapan-ucapan penyerahanmu kepadaKu.

Janganlah beranggapan membuang-buang waktu bila engkau beristirahat sebentar untuk mengasihiKu, untuk menghormatiKu. Berceritalah tentang dirimu. Itulah yang sebenarnya disebut doa.

bila engkau tidak melakukan doa, maka sama halnya engkau tidak menepati suatu janji yang kau buat atau terlambat datang pada sebuah janji. Tidak ada pekerjaan lain yang lebih penting daripada doa.

Aku akan selalu datang lebih dahulu untuk memenuhi janjiKu, meskupun terkadang Aku membiarkanmu mencari-cari Aku."

Sambil merenungkan kalimat-kalimat di atas, saya mencoba menelaah kemalasan saya selama ini. Mungkin karena pakem-pakem doa yang ada di agama saya memang panjang-panjang dan perlu waktu khusus untuk mendoakannya. Tapi kalau dipikir lagi, kalau saya berkomitmen, maka semua itu tidak menjadi masalah. Kalau saya bisa berkomitmen selama dua bulan ini untuk setiap hari menulis di blog ini, kenapa saya tidak bisa melakukan yang sama untuk Tuhan? Saya ingat mendiang ayah saya yang begitu rajinnya setiap hari menyediakan waktu untuk berdoa dan saat menjelang ajal, Beliau diberi kemudahan dan keindahan luar biasa dalam melangkah ke alam baka.

Saya bersyukur kepada Allah yang ternyata sudah terlebih dahulu memperhatikan kegundahan saya yang mengkhawatirkan betapa saya semakin tidak khusuk dan asal-asalan dalam berdoa. Saya diberi petunjuk melalui sebuah buku baru yang memberi siraman batin mengenai bagaimana berkomunikasi padaNya. Bahwa berkomunikasi dengannya tak perlu rumus dan pakem yang rumit. Cukup dengan kesungguhan hati. Buku yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya karena kalau dilihat dari bentuknya dan kalau saya melihatnya di toko buku pasti tidak akan saya sentuh. Tapi nyatanya buku itu "datang" sendiri pada saya, dan yang lebih hebat lagi, Allah sudah mengatur kapan buku itu sampai kepadaku. Kalau saja buku itu tiba nya saat sedang beribadah dengan benar, tentu tidak ada artinya.

Hari ini pipi saya ditepuk halus oleh Tuhan, melalui kesadaran dan buku baru yang diberikanNya pada saya, yang diawali dari salah mengambil buku. Mulai sekarang, saya akan kembali lagi menegakkan doa dengan sebagaimana mestinya saya melakukan komunikasi yang hangat dan penuh hormat terhadap Allah.

o ya, Anda mau tahu barisan doa yang diciptakan sang mendiang Paus? Ini dia saya bagikan pada Anda, agar kita bisa bersama sama melafalkannya di pagi hari. Doanya sederhana dan universal sehingga bisa didoakan menurut kepercayaan kita masing-masing, dengan sedikit modifikasi. Semoga kasih Allah melingkupi dan membimbing hidup kita pada kedamaian dan kesejahteraan Abadi.

DOA PAGI SEBELUM MEMULAI SEGALA AKTIVITAS.

Allah Bapa di dalam surga,
aku bersyukur atas berkatMu hari ini di mana aku masih bisa melihat dan mendengar.
Aku sungguh terberkati karena Engkau adalah Allah yang Maha Pengampun dan Maha Mengerti.
Engkau sudah berbuat begitu banyak dan mengampuni begitu banyak bagiku.
Ampuni aku untu semua pikiran, perkataan dan perbuatanku yang tidak berkenan bagiMu.
Saat ini aku mohon pengampunanMu.

Lindungi aku dari segala mara bahaya.
Tolonglah aku untuk memulai hari ini dengan sikap positif dan penuh rasa syukur.
Biarkan aku melakukan yang terbaik setiap saat sehingga pikiranku terbuka untuk mampu mendengarkan firmanMu.
Hohon kembangkan wawasanku sehingga aku mampu menerima segala sesuatu yang berbeda dengan pandanganku sendiri
Jangan biarkan aku menginginkan dan mencampuri segala sesuatu yang berada di luar kemampuanku.

Bantulah aku memandang dosa dari sisi pandanganMu dan menghujatnya sebagai perbuatan setan.
Dan bila aku berdosa, bantulah aku untuk mengakuinya lewat mulutku kepadaMu sehingga aku patut menerima pengampunanMu.
Dan bila dunia ini seakan memusuhiku, bantulah aku untuk mencontoh Yesus :
mencari tempat yang sunyi untuk berdoa.
Inilah cara yang terbaik bila aku terdesak dalam situasi yang melampaui batas kemampuanku.
Aku tahu bila aku tidak mampu berdoa, Engkau tahu apa yang ada di dalam hatiku.
Aku berserah padaMu.

Berkati aku sehingga aku bisa jadi saluran berkat bagi orang lain.
Kuatkan aku hingga aku bisa menolong yang lemah.
Bangkitkan aku hingga aku bisa memberi semangat kepada oang lain yang sedang dalam keadaan frustrasi dan tertekan.

Aku berdoa bagi mereka yang sesat jalan hidupnya.
Aku berdoa bagi mereka yang tidak mengerti atau salah pengertian tentang ajaranMu.
Aku berdoa bagi mereka yang tidak mau percaya padaMu.

Aku bersyukur karena aku sungguh percaya padaMu.
Aku percaya bahwa Engkau megnubah orang-orang dan segala sesuatunya.
Oleh karenanya aku berdoa bagi sanak keluargaku agar mereka Kau karuniai kedamaian, saling mengasihi satu sama lain serta kesejahteraan dan kebahagiaan dalam rumah tangga mereka.
Aku berdoa semoga setap orang yang mendapatkan doa ini menjadi sadar bahwa di dalam Engkau tidak ada maslah yang tdak akan terpecahkan.
Semua perjuangan hidup terletak pada kekuasaanMu.
Aku berdoa agar semua mata yang bisa melihat dan mulut yang bisa berbicara mampu menyebarkan dan bersaksi akan kebesaranMu.
Di dalam Nama Yesus Kristus aku panjatkan doa ini kehadiratMu.
Amin.

Johannes Paulus II.

Tuesday, February 23, 2010

23 Februari 2010 : Calon

Hari ini, saya membuat pusing Account Manager di kantor. Saya berencana untuk membuat sebuah kegiatan memasak yang inspiratif, eksperimentatif, imajinatif dan segar. Kegiatan ini tidak dimaksudkan agar peserta menjadi ahli memasak - apalagi untuk orang-orang semacam saya yang tidak bisa memasak dan menjahit, namun lebih dari segi experience nya dan dari segi memahami pesan-pesan yang ingin disampaikan dari kegiatan memasak ini. Oleh karenanya, saya ingin menghadirkan seorang ahli memasak yang menarik, bukan cuma pandai memasak. Saya terpikir Farah Quinn. Dia cantik, mungil dan segar. Saya memang tidak tahu apakah masakannya enak atau tidak, tapi bukan itu yang saya perlukan darinya. Ia bisa membuat suasana menjadi segar dan hidup, dan membuat acara tersebut unik dan memorable. Perannya dia dalam acara saya bukan untuk mendemokan kehebatannya memasak, tetapi berkeliling di antara peserta, mengarahkan, memberi komentar dan ide yang menggoda, dan men-challenge mereka agar berpikir segar dan kreatif.

Sayangnya di tanggal yang diinginkan, dia tidak available. Maka harus dicari pengganti. Muncul berbagai usulan, namun ternyata tidak mudah mencari orang yang bisa mewujudkan peran yang tepat. Sampai saat ini, rekan-rekan kerja saya masih berputar otak dan browsing, siapa yang bisa dijadikan calon yang tepat. Saya sih berpikirnya perempuan, cantik, menggoda tapi tidak murahan, dan bisa men-challenge peserta dengan charm nya. Kalau Anda punya calon, tolong saya diberi tahu.

Saya juga pernah ber-angan mengadakan sebuah acara talkshow seri di televisi untuk salah satu klien dengan mengadaptasi Oprah Show. Sayangnya, tidak ada yang bisa menjadi Oprah nya Indonesia. Kalau tidak sang calon terlalu selebriti, maka calonnya mantan wartawan yang kurang bisa luwes dan connect dengan audiens sebagai rakyat biasa. Oprah bisa membawakan dirinya dengan baik, berkomunikasi dan connect dengan segala lapisan masyarakat. Mulai dari yang muda, tua, miskin, sampai presiden. Di Indonesia, saya masih belum mendapatkan figur seperti itu.

Cari calon bukan hal yang gampang. Calon karyawan pun begitu juga. Saat ini saya menginterview dua calon karyawan yang cantik cerdas, namun karena pewawancaranya beberapa orang, komentar yang bermunculan dari kedua calon tersebut menarik untuk disimak. Ada yang suka, ada yang tidak suka, dan yang bikin ruwet sehingga proses rekrutmennya tidak selesai-selesai, masing-masing berargumen berdasarkan feelingnya sendiri, bukan atas dasar fakta. Begitulah kalau masing-masing pewawancara punya hak prerogatif. Di lain pihak, saya juga dibikin pusing dengan banyaknya permintaan referensi untuk mengisi lowongan jabatan di berbagai perusahaan. Syaratnya macam-macam. Mulai dari yang smart, sampai harus berpenampilan cantik dan menarik. Saya sampai berkomentar, ini mau cari karyawan atau mau cari pacar ya? Dalam hati saya berkata, memangnya saya ini head hunter, cari kandidat yang pas buat karyawan sendiri saja pusingnya bukan main dan tidak dapat-dapat.

Memang pada akhirnya jodoh di tangan Tuhan. Mau jodoh kerja atau jodoh pasangan hidup. Namun, kalau kita diberi kesempatan mencari atau memilih dari beberapa kandidat seperti memilih calon karyawan, maka sebagai pewawancara dan pencari karyawan harus selalu kembali pada job description alias tugas pokok dan fungsi jabatan yang tersedia dengan kriteria kualitas sang calon. Kalau itu sudah terpenuhi, masih ada satu hal lagi yang perlu dilengkapi sang calon. Bisa masuk dalam lingkungan yang akan dijalaninya. Karena sebagus apapun kualitasnya, dia akan tetap terpental begitu dia tidak bisa fit in dengan lingkungan kerjanya. Masalahnya, banyak orang yang melamar, tapi sedikit yang bisa memenuhi kriteria kualitas, dan lebih langka lagi orang yang bisa memenuhi kriteria lingkungan. Itu lah yang menyebabkan sulitnya mencari calon yang tepat. Seperti cari karyawan yang tepat. Seperti cari Oprah Indonesia. Seperti cari pengganti Farah Queen. Dan akhirnya, seperti cari pasangan hidup.

Ah, that's it. Saya sekarang jadi mengerti mengapa begitu sulit cari pasangan hidup yang pas. Rupanya, seleksinya sama saja dengan proses rekrutmen karyawan atau seorang yang bisa merepresentasikan produk dan jasa kita. Soal calon pasangan hidup, kalau kita mau membuka diri, selalu saja ada calon yang bisa dipertimbangkan. Dan kalau mau jujur, calonnya pasti lebih dari satu. Masalahnya apakah ada yang bisa memenuhi ketiga unsur di atas : yang memenuhi kriteria kualitas sesuai job desc, dan yang memenuhi syarat fit in dengan lingkungan kita.

Saya bukannya kesombongan, mau sok pilih-pilih. Kalau mau having fun saja, tidak perlu kriteria. Tapi, saat berbagai having fun itu masuk bursa calon kandidat, maka mau tak mau "proses rekrutmen" harus diberlakukan. Dan mungkin bukan cuma itu saja, tapi setelah mengatakan "ya", proses komitmennya juga harus diterapkan. Dalam hubungan kerja kita mengenal diterapkannya tiga bulan masa percobaan/ probation, yang kalau lulus dilanjutkan kontrak setahun, baru kemudian ditentukan jadi "karyawan tetap" atau selesai sampai di sini saja. Malam ini saya jadi berpikir, apakah hal ini perlu juga diterapkan dalam sebuah hubungan pribadi. Tentu saja "karyawan tetap" nya adalah lonceng pernikahan, sedang masa pacarannya dibagi menjadi probation period dan kontrak setahun tadi.

Saya tahu, setelah ini pasti saya dapat banyak komentar, tapi malam ini saya disadarkan bahwa proses ini perlu dilakukan agar tidak merugikan kedua belah pihak. Saya juga tahu dan berpengalaman betapa sulitnya untuk memberitahu karyawan yang bersangkutan bahwa dia tidak lulus masa probation, dan sudah terbayang lebih susah lagi melakukannya untuk urusan pribadi, tapi harus. Tiba-tiba juga teringat bahwa kami sering keep our option open. Artinya, tidak butuh-butuh amat karyawan, tapi kalau ada yang bagus, mengapa tidak dicoba? Bahwa setelah di tes kanan kiri, kemudian hasilnya di pending, itu lain soal. Saya jadi berpikir, hmmmm dalam hidup ini, hal seperti ini kayaknya terjadi juga... selama belum ada komitmen apa-apa, kenapa tidak? Wah, kayaknya sudah terlalu melantur, nih. Yang jelas malam ini saya terinspirasi menjalankan proses rekrutmen karyawan untuk proses rekrutmen pasangan hidup. Semoga hasilnya berakhir dengan kalimat ... and they live happily ever after.

Monday, February 22, 2010

22 Februari 2010 : Baru

Petang ini, diam-diam saya mengganti Blacberry Bold saya dengan tipe yang lebih baru. Yang pertama-tama saya lakukan adalah memastikan bahwa semua data, termasuk foto dan blackberry messenger contact saya dapat ditransfer dan tak ada yang hilang. Lalu saya memastikan bahwa semua set up email kantor & pribadi, facebook dan yahoo messenger saya bisa terpasang dengan baik tanpa ada yang hilang.

Setelah semua terpasang rapi, saya kemudian melengkapi gadget baru itu dengan anti gores yang anti spy, pelindung body, dan mobile charger untuk mobil. Lalu saya memandangi Blackberry Onyx yang baru. Kemudian mulailah saya belajar mengenali seluk beluknya, mencoba ini itu, menginstall ini itu, termasuk download ulang bible dan dictionary/thesaurus. Beberapa kali saya gagal menginstall ini itu, tapi kemudian berhasil. Sebelum tulisan ini dibuat, saya sudah mencoba hampir semua fitur nya, dan gadget saya siap digunakan untuk keperluan kerja atau pribadi.

Ada satu hal yang ingin saya lakukan, tetapi karena waktunya terbatas, maka tertunda, yaitu mengcopy contact yang ada di handphone yang satunya lagi ke blackberry ini. Tapi saat berpisah dengan si penjual, saya meminta semua data di
Blackberry Bold saya yang lama dihapus.

Selama saya mengutak atik Blackberry yang lebih mungil dan ramping ini, saya teringat, kok kayaknya hidup saya seperti handphone baru ya. Mungkin urutannya seperti ini:

1, Saya memutuskan dan bertekad untuk hidup baru : kehidupan pribadi yang sama suksesnya dengan kehidupan kerja.
2. Saya menukar hidup yang lama dengan hidup baru yang memiliki kriteria dan fitur-fitur tertentu: tidak lagi menganut pola gagal yang berulang-ulang saya jalani, tidak lagi mau terlalu berusaha memberikan yang terbaik pada pasangan nanti, menjadi diri sendiri dan menampilkan sisi harimau diri ini. Dan banyak fitur lainnya yang tidak dimiliki kehidupan yang lalu.
3. Mulai mengatur hidup yang baru sesuai dengan fasilitas dan fitur-fitur yang ada. Menata ulang kebiasaan-kebiasaan dan pola-pola yang ada menjadi yang baru, namun tetap nyaman dan sesuai dengan pribadi dan kebutuhan saya.
4. Mulai membuat aturan main yang baru yang memagari pola hidup baru saya sehingga sesuai dengan tujuan perubahan hidup yang lebih baik. Seperti rules of the games yang melindungi dan memastikan bahwa semuanya jalan di relnya, sama seperti ketika saya memasang pelindung dan anti gores handphone.
5. Mulai bereksperimen dan menerapkan pola hidup baru, sama seperti ketika saya mengetes berbagai fitur yang baru
6. Dan kalau semuanya sudah siap, saya akan menutup semua lembar lama, dan hidup baru sama sekali dengan bekal segala kesiapan dan persiapan yang baru. Sama seperti saya menghapus semua data di hp yang lama karena semua data yang penting-penting sudah tersimpan rapi di hp saya yang baru.

Lalu sampai di mana saya kalau dibandingkan langkah-langkah di atas? Terus terang, kemarin-kemarin ini dalam tahap coba-coba karena sejujurnya, saya tidak tahu harus mulai dari mana. Saya pikir dengan menulis blog ini saya bisa belajar lebih baik. Memang iya sih, tapi terus terang tidak terstruktur dengan baik karena apa yang akan terjadi esok saya tak tahu, apa yang akan saya pelajari besok saya juga tidak tahu, tergantung apa yang terjadi besok.
Maka dengan gadget baru, hari ini saya seolah ditunjukkan langkah bagaimana mempersiapkan dan menggunakan hidup baru ini seperti saya mempersiapkan dan menggunakan Onyx saya yang baru. Semoga saya bisa mengisi kerangka ini dengan baik sehingga saya bisa menjalani kehidupan pribadi yang baru dan lebih baik, sama seperti ketika saya menggunakan gadget terbaru saya yang fitur-fiturnya lebih baik dari yang sebelumnya...

Sunday, February 21, 2010

21 Februari 2010 : Lebih Baik

Terus terang saya langganan majalah Time bukan karena isinya, namun karena iming-iming hadiah teleskop yang akan saya peroleh bila berlangganan paling tidak setahun. Bonusnya, ya beberapa edisi majalah Time yang collectible items seperti edisi Person of the Year nya.

Edisi kali ini bergambar depan kunci Toyota yang dibengkokkan. Namun sekali lagi perhatian saya malah tertuju ada sebuah headline kecil di bagian belakang majalah: Bangkok is tidier these days, but its spirit shines as brightly as ever. Ya, kalau lihat Bangkok masa kini dan langsung memalingkan wajah pada ibu kota kita tercinta, Jakarta, iri rasanya. Dua-tiga puluh tahun yang lalu, Bangkok dan Jakarta sama ruwetnya soal traffio, ruwet pula tatanan hidup masyarakatnya, terutama di strata masyarakat kelas bawahnya. Saat ini, Bangkok memang masih rumit, tapi tatanannya menjadi jauh lebih teratur dari Jakarta yang sudah seperti benang ruwet yang kena injak. Bangkok punya sistem subway yang dipuji bahkan oleh majalah seinternasional Time. Sedang di Jakarta, yang ada cuma tiang-tiang MRT yang terbengkalai padahal saat pembuatannya sudah bikin macet setengah mati. Juga airport internasional yang tidak malu-maluin seperti yang terjadi di Soetta,Soekarno Hatta. Ngomong-ngomong soal Soekarno Hatta, saya heran, bandara daerah saja bisa lebih nyaman dari gerbang Indonesia ini.

Lalu soal traffic. Dua hari menjelang akhir pekan lalu di Jakarta menjadi saksi saya naik darah akibat macet yang tak berujung. Juga aksi gila Jakmania yang berakhir keributan di daerah Sudirman, dan saat saya terhimpit di antara dua bis doyong penuh awak Jakmania dari segala arah, polisi cuma diam saja, cuma melambai-lambaikan tangan agar lalu lintas bergerak lebih cepat. Apanya yang lebih cepat kalau isi jalanan berbaur dengan tingkah Jakmania serta semrawutnya kendaraan? Lalu ide pembuatan busway di tengah jalan, sedangkan sistem lalu lintas kita adalah sistem stir kanan. Bahkan DIY jauh lebih pintar dengan membuat busway sesuai dengan tatanan lalu lintas kita. Saya sendiri tidak pernah menginjak busway Jakarta sebagai aksi protes terhadap kebijakan yang justru memperparah kemacetan justru di jalan-jalan utama di Jakarta. Di dalam tol yang mestinya bebas hambatan, justru isinya hambatan melulu, macet! Saya jadi berpikir, kenapa sih mobil niaga tidak dibatasi masuk ke tol dalam kota di saat padat? Misalnya saja kalau mobil niaganya boleh lewat jam 22:00 - 05:00, dan kalau masuk di luar jam itu dikenakan tarif 10 kali lebih mahal, mungkin tidak akan semacet sekarang. Selama ini kalau berangkat kantor, saingan saya adalah truk-truk besar yang mestinya nyawanya hidup di malam hari!

Mengenai keluhan-keluhan ini, teman wartawan saya menertawakan saat saya mengomel habis tentang mereka yang sok jumawa bilang ahli. Saya heran, kemauan saja tidak ada, apa lagi melakukan. Saya sangat prihatin, kalau saja ada sedikit saja jiwa melayani nya, tentu kota Jakarta tidak separah ini. Mungkinkah apa yang dikeluhkan orang saat saya menanyakan mengapa mereka memilih dokter luar negeri ketimbang dokter kita sendiri, dan salah satu jawaban utama adalah kemampuan analitisnya kurang, ini juga berlaku umum? Buktinya sekian banyak pemimpin provinsi ini, tak ada yang bisa memberikan gambaran komprehensif mengenai rencana tata kota Jakarta. Karena itulah seorang wartawan senior lainnya pernah mencap Jakarta sebagai kampung kosmopolitan, karena tatanannya bukan kota, tatanannya masih kampung yang terseret arus global. Singapura, Kuala Lumpur dan Bangkok adalah contoh dimana petugas negaranya masih memikirkan kepentingan rakyatnya. Jadi yang membedakan adalah kemauannya. Kata pepatah, when there is a will, there is a way. Bangkok dan Kuala Lumpur adalah buktinya. Tiga puluh tahun yang lalu, mereka tertinggal dari Jakarta. Kini, bahkan Vietnam yang dipandang sebelah mata pun sebentar lagi melesat meninggalkan Jakarta.

Lalu saya terdiam. Saya ini mengomel soal pejabat daerah kita, padalah tingkah saya sama saja. Hidup saya ruwet, tapi tetap saja korupsi kemauan, karena kok ternyata yang ruwet itu enak ya? Tanpa terasa keruwetan itu menggerogoti hidup kita dan kalau sudah sampai keadaan darurat, baru saya nya panik. Salah satu contohnya adalah penjadwalan saya. Di luar jam kerja, time management saya untuk kehidupan pribadi sangat tidak karu-karuan dan rumit. Ada yang sudah saya rancang dari lama, tapi banyak juga yang bersifat tentatif. Artinya, kalau ada hal yang saya anggap penting, saya akan mencoba menggeser kanan kiri. Lalu menjadwal ulang. Itu kenapa acara janjian saya dengan teman baik saya Chandra terjadwal ulang terus-terusan. Dan juga beberapa teman lainnya.

Hari ini saya seperti diberi peringatan untuk memberi contoh pejabat kita soal membenahi. Saya berjanji membenahi jadwal pribadi saya mulai awal Maret (karena jadwal sekarang hingga akhir bulan sudah keburu hancur) sambil mengimbau, siapa tahu mereka yang memiliki wewenang tergerak hatinya, membenahi diri sendiri dan prioritas jabatannya sebagai pengemban amanah rakyat (dan bukan amanah dirinya sendiri atau isteri atau anaknya) dan punya kemauan untuk berbakti bagi nusa bangsanya (dan bukan pada dirinya sendiri atau isteri atau anaknya)Bukankah kalau ada kemauan, terbuka jalan? Semoga Jakarta kita menjadi lebih baik karena memiliki pengemban amanah rakyat yang punya nurani dan kemauan untuk menjadi lebih baik. Enak dan bangga kan, kalau membaca majalah Time headlinenya berbunyi : Jakarta is tidier these days, but its spirit shines as brightly as ever...

Saturday, February 20, 2010

20 Februari 2010: Menyinggung

Apa yang harus saya tulis hari ini? Selama 24 jam ini saya mengalami banyak hal dan saya belajar banyak hal, namun saya tidak bisa menuliskannya di blog ini, karena kalau saya memaparkan apa yang terjadi, siapa-siapa yang terlibat di dalamnya terlalu jelas, dan orang-orang yang terdekat di hati itu pasti akan tersinggung berat, dan saya tidak mau kehilangan mereka hanya karena saya belajar dari apa yang berkaitan dengan mereka. Disamarkan pun terlalu jelas untuk diraba siapa dia, jadi saya rasa hari ini saya sebaiknya tidak menulis apa-apa tentang yang saya pelajari. Maaf.

Ternyata, kompromi itu penting. Di awal tahun baru kemarin, saya sempat hampir ribut dengan keponakan saya karena saya menulis tentang seseorang yang kami kenal bersama dan meskipun disamarkan, tetap saja cukup jelas siapa dia. Saya bilang padanya, saya tidak bisa menulis tentang apa yang saya pelajari tanpa menceritakan apa yang terjadi. Kalau kurang ilustrasi, maka Anda tak akan mengerti apa yang sebenarnya terjadi sebagai pangkal pembelajaran saya. Keponakan saya hampir menangis karena dia mendapat kepercayaan untuk mendapat curhat pribadi dari orang itu, dan karena ia mempercayai saya, dia kemudian bercerita dan saling tukar pandangan apa yang harus dilakukan orang yang kami kenal. Ternyata, di malam harinya melalui blog ini, saya hampir mengkhianati janjinya untuk tidak bercerita pada orang lain, dan janji saya pada keponakan saya untuk pegang rahasia.

Pada malam itu, saya belajar arti sebuah kepercayaan, namun juga pentingnya menjaga perasaan orang yang dekat di hati. Dan ternyata menjaga perasaan itu bukan hal yang mudah. Sering kali kita terlalu sibuk dengan diri kita sendiri, sehingga lupa bahwa tindakan kita yang kadang cenderung egois itu kemudian melukai atau menyakiti hati orang-orang terdekat yang sudah begitu setia mendukung kita. Kata-kata inilah yang tadi pagi saya pakai untuk mengomentari sebuah kejadian. Namun kejadiannya apa, saya tidak bisa ceritakan karena alasan yang dipaling atas tadi. Maka, malam ini saya cuma bisa berdoa agar kata-kata saya tadi mengena dan mengetuk hatinya.

Karena kejadian di awal tahun baru itu pula lah, saya sekarang jauh lebih hati-hati dalam melakukan suatu tindakan, dan bertanya terlebih dahulu apakah tindakan ini berpotensi menyakiti orang lain, dan kalau iya, apakah ada cara lain yang lebih baik sehingga kerusakannya tidak separah tindakan semula. Tidak selalu berhasil, karena mulut saya masih sering terpeleset mengucapkan kata setajam silet, tapi saya sudah lebih sadar dan memahami.

Salah satu bukti kehati-hatian saya adalah dalam menulis blog ini. Sebenarnya, kalau tidak ada saringan, saya yakin blog ini akan jauh lebih seru dan bakal jadi best-seller! Namun karena kejadian yang saya alami dan tulis adalah kejadian real life to real people dan lebih spesifik lagi kejadian dan orang-orang yang saya kenal dan dekat di hati, maka saya harus berpikir ulang berkali-kali. Blog ini adalah blog yang hidup tentang kehidupan, bukan blog seorang pengamat kehidupan yang memberikan ilustrasi pada teori-teorinya dengan contoh-contoh fiktif. Blog ini adalah pelajaran hidup saya dari apa yang benar-benar saya alami dalam sehari ini, dan tentang memori kejadian nyata di waktu yang lalu. Karenanya tidak ada yang fiktif dalam blog ini. Real lessons from real life experiences and stories. Karena itu saya tidak bisa sekedar mengarang cerita fiktif sebagai ilustrasi, dan akhirnya saya belajar fiktif pula dari kisah fiktif itu.

Saya harus mempertimbangkan perasaan orang-orang yang saya tulis di sini, dan juga komentar serta perasaan orang yang kemungkinan mengenal siapa orang yang tersamarkan dalam blog ini. Karena bisa jadi, setelah membaca blog ini orang lain bisa memiliki pandangan dan pendapat tertentu tentang seseorang. Dan saya tidak mau itu terjadi. Apa yang niatnya baik, harus tertera dengan baik, dan diterima secara baik juga. Saya pernah memberitahu kepada orang yang kisah hidupnya saya paparkan disini dan memintanya berkomentar. Ternyata dia bilang bahwa saat membaca, dia memperoleh pelajaran karena saya melihatnya dari sisi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Saya tahu, belum tentu yang ditulis akan marah dan keberatan, tapi saya juga bisa meraba siapa-siapa saja yang akan keberatan kisahnya ditulis. Mungkin, bisa saja suatu saat saya menceritakan kejadian hari ini di blog ini, saat semuanya sudah dapat menerima dengan perspektif yang berbeda. Namun untuk saat ini, belum.

Seperti yang saya katakan di atas, malam ini, saya belajar berkompromi dengan menghormati perasaan orang lain. Semoga saya semakin peka sehingga semakin kurang orang yang sakit hati pada saya. Kalau pun ada dan Anda salah satunya, tolong beritahu saya secara pribadi sehingga saya bisa mohon maaf secara tulus dari hati yang terdalam. Dan setelah itu semoga Anda dapat memaafkan saya dengan hati ikhlas ...

Friday, February 19, 2010

19 Februari 2010 :Jujur

Beberapa hari ini, pemberitaan di Kompas menyoroti mengenai maraknya aksi plagiat di kalangan akademisi. Awalnya ribut soal aksi ini di kalangan guru besar (!) dan kemudian berkembang hingga murid. Hm. Apakah ini fenomena dari atas turun ke bawah, atau memang sudah dari kecil punya jiwa tak jujur?

Saya sendiri sudah menerapkan ketidakjujuran ini sejak SD, dan didukung oleh ayah dan ibu saya pula! Saya ini paling payah soal prakarya. Jadi kalau ada proyek yang harus dibawa pulang, maka yang membuat prakarya adalah ayah dan ibu. Kalau ada yang soal menggergaji dan bikin ini itu, ayah yang membuatkan. Kalau ada yang soal jahit menjahit, ibu yang turun tangan. Dan ini berlangsung terus hingga SMP. Untung SMA sudah tidak ada lagi prakarya. Hanya saja, ketidakjujuran saya beralih. Kalau dulunya soal prakarya, maka di SMA ada masalah yang lebih rumit, saya tidak suka ditempatkan di IPA. Karena kesal namun tak bisa memilih, jadinya saya super malas dan merasa super bodoh. Karena tidak suka dengan pelajarannya, rasanya semua yang diajarkan memantul saja dari otak ini. Akibatnya, saya jadi ahli. Ahli mencontek. Mencontek PR, mencontek ulangan, bahkan ujian akhir pun mencontek. Jadi, saya lulus karena hasil mencontek. Di kuliah, karena bidangnya pilihan saya sendiri, ganti saya yang menjadi sumber contekan. Saya lulus summa cumlaude asli dari hasil keringat saya.

Karena sudah terbiasa tidak jujur, maka saya juga menggunakan teknik tidak jujur ini saat menghadapi klien, Pernah, saat di perusahaan iklan, klien saya membutuhkan company profile nya siap sebelum makan siang sehingga bisa dikirim ke Bali untuk dibagikan di sebuah acara santap malam. Jam 10 pagi ketika saya check, ternyata company prolfie itu baru selesai cetak dan sedang proses pengeringan proses vernis. Jam 11.30, baru diproses binding. Saat makan siang tiba, masih juga proses bindingnya belum selesai. Klien sudah mulai menelpon, dan saya bilang ini sudah siap antar. Jam 12.30 saya bilang sudah dikirim, padahal masih dalam proses dirapikan. Jam 13.00 klien sudah mulai marah marah, dan saya mulai gemetar. Barangnya belum jadi. Ketika belum jadi juga pada jam 14.00 padahal bukunya mau dipakai jam 19.00 dan waktu di Bali satu jam lebih awal dari Jakarta dan klien murka besar, akhirnya saya menyerah. Saya minta maaf dan bilang apa adanya. Setelah murkanya selesai, datang keajaiban. Saya dan klien saya tiba-tiba jadi satu tim, mencari solusi bagaimana caranya agar company profile itu bisa tetap sampai tepat waktu di Bali. Jam 14.30 ketika company profile itu sampai di tangan saya, saya langsung ngebut ke tempat klien dan sampai dalam waktu 30 menit. Dalam waktu kurang dari satu jam, barang itu sudah dalam perjalanan ke Bali, dititipkan ke teman pilot sang klien. Booklet itu tiba tepat sesaat dibutuhkan.

Dari situ saya belajar, jangan berbohong. Jujur. Karena kalau kita jujur dan berbagi masalah, maka masalah itu jadi beban bersama dan bisa diselesaikan bersama-sama juga. Maka, saat ini kalau ada suatu masalah yang bisa dishare dengan klien, saya tidak akan menutup-nutupi sok pinter bisa menyelesaikan sendiri masalahnya. Karena kemungkinan masalah yang begitu rumit buat saya, bisa diuraikan dengan mudah dengan sumber daya dan jejaring orang lain. Saya juga mencoba menanamkan soal kejujuran ini pada anak buah di kantor.

Di luar kantor, saya pernah menjadi korban sekaligus aktor ketidakjujuran. Mulai dari bohong-bohong kecil, sampai bohong luar biasa besarnya. Saya pernah mengalami kebohongan besar itu saat ditipu beberapa kali oleh orang yang saya percaya, dan herannya saya percayaaa saja. Saya juga memperhatikan, sering kali orang memulai katanya dengan, "Jujur, saya...." "Jujur, saya...." "Jujur saja, saya..." Saya jadi berpikir, kalau kali itu orang itu bilang jujur..., maka yang lainnya tidak jujur dong? What's wrong with our society? Sudah terbiasa tidak jujur, sehingga kejujuran ini jadi barang langka? Saya sendiri, jarang sekali ikut-ikutan mengatakan "jujur" kalau tidak diarahkan lawan bicara saya. Karena bagi saya, setelah kepentok kasus di atas, mestinya kita ini bicara apa adanya saja. Bahkan saking jujurnya, saya sering menyakiti kuping dan hati orang lain.

Tapi soal kejujuran ini ternyata tak sama dengan tidak menceritakan semuanya. Ketika saya ditanya oleh sebuah media yang ingin menulis soal kehumasan, saya mengatakan bahwa hakiki komunikasi yang baik itu jujur, tidak membohongi, namun bukan berarti kita harus telanjang di depan semua publik, seperti yang sekarang ini diartikan oleh infotainment kita. Ada bagian yang perlu diketahui publik, ada juga yang tidak. Sama seperti kalau ada tamu yang datang ke rumah, maka kita akan memilih berdasarkan kedekatan. Ada yang hanya perlu ditemui di halaman rumah, namun sudah tentu pasangan kita bebas menjelajahi semua ruang. Bahkan kakak saya saja tidak sering sering masuk ke ruang tidur saya, kecuali kalau saya ajak. Sayangnya, pemilahan informasi ini kemudian jadi rancu dan rawan masuk ke area tidak jujur. Maksudnya supaya menghindar orang masuk ke rana yang tidak kita inginkan, kita jadi tidak jujur. Dan itu, menurut pengalaman saya, terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita, baik pada orang yang baru kenal atau orang yang sudah sekamar dengan kita.

Hm. sekarang saya yang pada persimpangan. Jadi, harus bagaimana dong kita? Saya baru menyadari bahwa menjadi jujur itu ternyata sangat rumit. Kejujuran itu ternyata banyak tingkatan dan kadarnya. Setelah berhenti menulis selama 20 menit, akhirnya saya menyimpulkan untuk kembali ke yang hakiki. Jujur pada diri sendiri dan hati. Biarlah hati yang menuntun dan mengarahkan langkah saya. Semoga hati ini tidak salah mengarahkan. Bismillah...

Thursday, February 18, 2010

18 Februari 2010 : Aaaaarrrrghhhh!

Kondisi jalanan di Jakarta sulit diduga. Hari ini, macetnya luar biasa, dari pagi hingga malam. Pagi hari, ketika saya seharusnya ada pertemuan dengan kolega dari Singapura, jalanan sepertinya tidak mau tahu. Macet total, sehingga waktu tempuh yang biasanya satu seperempat jam, jadi dua jam lebih. Padahal saya sudah berangkat lebih awal. Pulangnya, setelah acara di daerah kota tua, kalau ditotal mencapai 5 jam! Tidak ada penyebab khusus, katanya sih karena hujan dan banjir. Tapi sepanjang jalan tol, saya tidak melihat genangan air di bawah. Kenyang rasanya hidup di mobil. Sudah habis satu film, beberapa CD, radio, chatting ngalor ngidul dengan teman wartawan dan sms.

Apakah saya menerima dengan rela kejadian kemacetan ini? Tentu tidak. Saya belingsatan di mobil. Geram. Kesal. Marah. Murka. Yang jadi sasaran ya Gubernur DKI yang katanya ahli. Ahli janji maksudnya. Beberapa kali saya berteriak. AAAAARRRRGHH! Yang kasihan ya supir saya, keringat dingin mencoba mencari jalan terdekat, tapi sialnya ya kok malah tambah macet. Teman saya bermaksud menghibur, tapi malah kena sembur naga. Salah sendiri, sudah tahu orang stress berat masih dicoba dibikin kalem dengan bilang sabaaaar, sabaaaaar...

Sabar? Sepertinya hal ini sudah saya tulis di hari pertama tahun ini. Tapi sampai saat ini masih gagal juga melaksanakannya. Sudah tahu keadaannya tidak bisa diapa-apakan, masih bilang sama supir saya, Pak, cepetan kenapa sih!

Pada akhirnya, toh hari ini berlalu juga. Teman saya bertanya mengenai event yang tadi diadakan di kota tua. Saya bilang event sih okay, but today is just not my day. Maksudnya muahhhceettttttttt itu lhoooo. Teman saya bilang, ya itulah risiko di Jakarta. Saya selalu percaya everything happens for a reason. Tapi, tidak tahu kenapa soal kemacetan ini rasanya teori itu tidak mau saya berlakukan. There must be something that we can do with this damn traffic jam. Kenyataannya, toh tidak bisa. Saya tahu dan mengerti itu. Yang saya masih belum bisa mengerti bagaimana caranya untuk bisa menerima kemacetan itu dan relaks saja di mobil. Toh tidak ada yang bisa dilakukan. Mau khawatir relasi saya muarah besar, ya tidak ada gunanya, saya masih stuck di mobil. Meskipun sempat saya sesali tidak berangkat lebih awal, toh kenyataannya saya masih di mobil. Pada akhirnya saya menelpon relasi bule saya dan dia menyatakan kemaklumannya, bahkan membahas mengenai langkah-langkah selanjutnya melalui telepon.

Saya lalu merenung, segala energi yang saya keluarkan untuk marah marah dan stress karena macet itu pun tak ada gunanya karena tidak menghasilkan apa-apa. Jadi mengapa tidak melakukan yang terbaik dari keadaan yang terburuk? Saya sering bilang nasi sudah menjadi bubur, lalu kalau buburnya karena macet, kenapa saya tidak menjadikannya bubur yang enak? Mungkin karena stress kelewatan meeting ini dan itu, yang kemudian beralih menjadi hati yang geram. Tapi setelah saya sadari, toh tak ada gunanya.

Malam hari, di tengah kemacetan di jalan tol menuju rumah, saya kemudian disadarkan sekali lagi, untuk relaks. Menerima kenyataan yang terjadi yang di luar kuasa kita, menikmatinya dan menjadikan yang terbaik. Dan ketika menulis blog ini, saya juga dipaparkan bahwa sebuah pelajaran kemungkinan tidak bisa serta merta diterapkan, tapi membutuhkan proses. Seperti kasus sabar ini. Tahun baru lalu saya sudah diingatkan, tapi sampai saat ini kenyataannya saya masih belum bisa sabar. Perlu proses,dan perlu peringatan ke dua seperti sekarang.Dan saya masih belajar. Belajar. Belajar. Sabar. Sabar. Sabar. Herannya, kalau saya yang bilang sabar, saya bisa terima. Tapi kalau teman yang bilang sabar, rasanya ingin menelannya. Memang benar-benar ilmunya masih cetek. Saya masih jauh dari sabar, tapi hari ini, setelah dongkol dan marah yang tak tersalurkan karena macet, saya kembali di eskpos tentang kesabaran, dan bagaimana mengatasinya. Pasrah dan Menikmati saja, sambil melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan di ruangan kurungan kecil ber ac bernama mobil...

Wednesday, February 17, 2010

17 Februari 2010 : Rabu Abu

Hari ini adalah Rabu Abu, awal masa pra paskah, 40 hari menjelang Hari Raya Paskah bagi umat kristiani. Rabu Abu, mengingatkan kita bahwa kita ini asalnya dari abu dan akan kembali ke abu. Rabu Abu juga menandai dimulainya masa Puasa dan Pantang. Berbeda dengan saudara-saudara kita yang beragama Islam, Puasa dan Pantang Katolik sangatlah ringan. Puasa hanya wajib di hari Rabu Abu dan Jumat Suci, aturannya pun hanya makan kenyang sekali dalam sehari itu. Pantang dilakukan setiap hari Jumat selama masa pra paskah dan dibebaskan kepada masing-masing individu untuk memilih ingin pantang apa. Kalau kebiasaannya merokok, ya pantang rokok. Kenalan saya James yang addicted to coke, memilih pantang coca cola selama masa prapaskah. Saya sendiri, biasanya pantang.... mundur! :-)

Tapi itu dulu, selama beberapa tahun belakangan ini, saya mencoba menjalankan ibadah Pantang ini dengan pantang daging. Kalau biasanya pantang daging itu kategorinya hanya daging sapi, maka buat saya segala macam daging, termasuk daging udang dan jenis fauna apa pun lainnya. Maka hari ini menu makan siang saya adalah karedok dan di malam hari adalah nasi capcay, tanpa daging.

Malam ini, saya menghadiri reuni terbatas dengan bekas sekretaris di Matari, Linda yang setelah keliling Eropah dan Amerika, stop over di Jakarta selama dua hari untuk melanjutkan perjalanan ke Hong Kong, sebelum pulang ke rumahnya di Brisbane, Australia. Acara makan-makan itu menjadi agak ribet karena saya menjadi satu-satunya yang pantang, padahal yang lain pesan pangsit dan segala macam menu lezat. Melihat saya wanti-wanti pada waiter agar pesanan saya bebas daging, Linda kemudian nyeletuk, "Udah, makan aja, besok baru pantang... gak usah ngikuti Vatikan. I'll do my fasting tomorrow." Saya melongo, "Haa?"

Lama-lama saya pikir, bener juga sih, yang namanya peraturan itu kan manusia yang bikin ya. Yesus nggak pernah tuh mengajari kapan pantang dan puasa. Yesus cuma diceritakan puasa 40 hari lamanya. Tapi saya pikir-pikir lagi, saudara saya yang Muslim, nggak ada tuh yang protes puasa dengan lebih berat selama 40 hari dan menjalaninya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan hati. Kami yang puasa dan pantangnya super ringan, kok malah nawar-nawar? Lalu saya bertanya pada diri sendiri: "Kamu itu dulu kan gak mau melakukan yang gini-gini, kenapa sekarang kamu melakukannya? Bertobat dan jadi balik ke rel gereja?"

Lama saya bergumul dengan diri sendiri, lalu timbul jawabannya. Oke, saya melakukannya untuk diri sendiri, bukan untuk gereja. Gereja cuma memberi saya sarana hari dan masa pra paskah saja, selebihnya itu keputusan saya untuk menjalankannya. Saya menjalankannya untuk beberapa alasan. Yang pertama tentu alasan religius, sehingga setiap saya berpantang, saya diingatkan akan Tuhan dan pentingnya penguasaan diri agar lebih dekat padaNya. Yang kedua, dan ini tidak masuk dalam kategori alasan gerejawi, adalah unsur kesehatan. Masa prapaskah menjadi alasan buat saya untuk memilih makanan yang lebih sehat. Sayur sayuran.

Beberapa hari yang lalu, saya menonton Oprah yang sedang mengetengahkan bahasan tentang resep favorit. Salah satu bintang tamunya adalah ahli masak Paula Deen, yang memamerkan kepiawaiannya membuat cake. Saat cemplung sana cemplung sini bahan kuenya, saya mengikuti Oprah dengan membelalakkan mata. O My God! Kuning telurnya sekian, tepungnya sekian, gulanya sekian, whipped creamnya segunung, margarinnya seciduk, rum dan lain-lain masuk semua ke adonan! Saya baru sekali ini sadar bahwa makanan yang saya telan isinya dari berbagai macam bahan yang tidak sehat dalam jumlah besar! Ngeri saya membayangkan semua bahan itu masuk ke mulut dan tubuh saya. Pantas saja es krim satu scoop itu berisi ratusan kalau tidak ribuan kalori, sehingga perlu olah raga berjam-jam untuk mengikisnya keluar dari tubuh. Masalahnya, yang masuk bukan cuma cake dan es krim, tapi berbagai hal masuk semua ke dalam tubuh, sehingga olah raga yang tercanggihpun tak akan mampu mengejar derasnya arus kalori yang masuk ke tubuh. Lalu kita jadi obes, kelebihan berat badan yang kelewat banyak. Seolah mewakili keterkejutan saya, Oprah lalu spontan bertanya pada Paula,"Waduh, kebayang nggak sih kalori yang masuk ke tubuh kita?" Tukas Paula, "I don't know, I'm your cook, not your doctor!" Hahaha benar juga. Dia kan koki, bukan ahli gizi...

Tapi acara itu membuat saya ngeri dan berpikir tajam. Saya harus mengurangi makanan yang tidak sehat seperti itu. Masih banyak pilihan makanan sehat lainnya yang tersedia bagi kita. Saya memang sudah mulai banting setir selama setahun lalu, ketika berat saya melammbung jadi 78 kg di awal tahun 2009 sepulang dari Perth. Waktu itu, selain perut saya menjadi melembung, dokter menemukan kadar kolesterol saya sudah di atas batas aman. Ancaman sang dokter : mau minum obat, atau tanpa obat tapi olah raga dan makan yang sehat! Saya memilih yang kedua. Maka dalam waktu 11 bulan, saya kehilangan 13 kilo, kini saya di kitaran 65 kilo, bahkan setelah liburan 3 minggu di Perth yang biasanya membuat berat badan saya meledak!Dan kadar kolesterol saya stabil di angka normal. Apa yang saya lakukan? Saya giat membaca buku dan majalah soal diet, dan menyaring informasi yang masuk akal. Banyak metode diet yang ditawarkan, tapi saya menganggap kebanyakan sangat ekstrim dan menyiksa. Padahal buat saya, diet yang benar adalah tetap menikmati hidup, hanya saja pola makannya diatur. Kalau sampai tidak makan sama sekali, wah itu pasti tidak benar karena sudah membuat saya sengsara.

Maka, selama setahun kemarin, dan sampai hari ini, saya mengusahakan agar saya bisa berolahraga paling tidak 30 menit sehari, menguras 300 kalori di pagi hari, antara bangun tidur dan sarapan pagi. Saya memilih tidak ke fitness center karena buang-buang uang saja. Selain jadwal kerja saya tidak bisa diajak regular untuk urusan fitness center, yang ada malah jadi lahan cuci mata saja jadinya. Jadi saya memilih berinvestasi di sepeda statis. Setiap pagi di hari kerja, saya bersepeda statis di depan televisi sambil menonton acara infotainment pagi, agar tidak terasa unsur olah raganya. It works! Saya jadi betah. Dan setiap Sabtu pagi, biasanya saya mengayuh sepeda onthel saya keliling kompleks agar ada suasana lain. Lalu saya sarapan roti gandum, ditambah madu dan jus buah goji masing masing sebanyak 2 sendok makan. Siang, saya biasanya memakan bekal dari rumah, dengan menu yang tidak gorengan dan banyak sayurnya. Malam, saya usahakan tidak makan nasi dan hanya makan sayur dan lauk saja. Ditambah buah di siang dan malam hari. Saya memilih buah yang murah meriah tapi sehat, pepaya, agar lancar ke belakang dikeesokan harinya.

Masalahnya, upaya hidup sehat ini banyak excusenya juga. Saya sering termakan rayuan, "waaah sekali-sekali." Hari ini saja. Kali ini saja. Dan sekali-sekalinya jadi setiap hari! Tadi, saya juga dapat rayuan seperti itu saat makan malam bersama, tapi kali ini tidak mempan. Saya menggunakan momentum pantang katolik untuk memberi warning yang lebih tegas. Saat mandi malam tadi, saya malah berpikir, bagaimana ya kalau selama 40 hari saya tidak makan nasi? Wah, hasilnya pasti lebih tokcer. Jadi, saya sekarang sedang mempertimbangkan akan melakukan eksperimen selama 40 hari tidak makan nasi, hanya lauk saja. Saya memang belum bilang pada pembantu yang menyiapkan bekal saya, jadi masih ada waktu untuk membuat keputusan.

Hari ini untuk pertama kalinya saya berpikir secara analitis tentang mengapa saya puasa dan pantang. Saya menemukan jawabannya. Saya melakukannya untuk diri saya sendiri. Supaya bisa lebih mengontrol diri sambil menyehatkan diri dengan menggunakan sarana yang disediakan oleh gereja : masa prapaskah. Bonusnya? Jadi lebih dekat dengan Tuhan. Jadi bukan seperti orang kebanyakan yang puasa untuk lebih dekat dengan Tuhan duluan, yang lain-lain bonus. Boleh dong sedikit beda, semoga hasilnya sama saja....

16 Februari 2010 : Tegar

Malam ini saya menyaksikan Teater Koma yang menampilkan lakon Sie Jing Kwie. Kisah yang memakan waktu 4,5 jam itu baru berakhir di hari berikutnya jam 00:15. Sebenarnya saya belajar banyak dari kisah kepahlawanan Sie Jing Kwie yang kemudian menjadi legenda rakyat Tiongkok. Mulai dari kesetiaannya, keteguhan hatinya, soal tak boleh memandang sebelah mata, dan sebagainya, namun yang terngiang di pikiran saya malah hasil menonton sebuah film pagi tadi saat melakukan perjalanan dari rumah ke kantor. Judulnya Love happens, yang diperankan oleh AAron Eckhart dan Jennifer Anniston.

Love Happens bercerita tentang seorang ahli terapi kesedihan yang memperoleh pengalaman dari kematian isterinya. Ia menjadi motivator dan penulis yang terkenal saat ia menuliskan bagaimana ia bisa mengatasi kesedihan kehilangan isterinya. Banyak orang yang dibantunya mengatasi kesulitan hidup, padahal ia sendiri sebetulnya belum selesai mengatasi rasa bersalah dan kesedihannya. Selama ini, ada hal penting yang tidak ia ceritakan kepada siapa pun. Bahwa kecelakaan yang seketika merenggut nyawa isterinya itu diawali sebuah cek cok kecil mengenai warna tembok dapur. Saat mobil yang ditumpangi isterinya di malam berhujan itu mencoba menghindari seekor anjing sehingga berakibat fatal menghantam tiang listrik, dirinya lah yang mengemudikan mobil naas tersebut. Di hadapan ratusan seminar, ia kemudian menangis dan menunjukkan sisi diri yang sesungguhnya. Selama ini ia mencoba bersikap tegar. Ia membohongi diri sendiri dan sekitarnya, mengatakan dia baik-baik saja, padahal dalamnya hancur luar biasa.

Saya melihat sosok itu dalam diri saya. Selama ini saya pandai menutupi apa yang saya rasakan. Saya jadi orang berjiwa baja, yang selalu meyakinkan diri bahwa saya ini kuat! Itulah sebabnya banyak orang yang tidak menyangka bahwa saya sudah bercerai 10 tahun yang lalu, dan sudah menjalani berbagai carut marut kehidupan. Bahkan teman-teman pernah bertanya: bercerai? kapan bercerainya? kok gua nggak tau? Ya tidak bakal tahu, karena saya pandai menyembunyikan kepedihan hati saya. Mantan saya tahu persis kelakuan saya. Ketika kami kemudian berpisah, dan saya memberitahu dia bahwa saya tidak akan lagi berhubungan dengan dia, dia mengeluh pada kakak saya, seolah 8 tahun itu tak ada artinya buat saya. Padahal, sebenarnya di dalam ini berdarah-darah. Tapi, buat saya, apa gunanya orang lain tahu? Semua ini tidak ada urusannya dengan orang lain, jadi saya tetap mau jadi Tjandra yang dikenal orang lain. Mantan saya sempat gemas dan mencela kekerasan hati saya, tapi saat itu saya tidak peduli. Ini hidup saya, jangan merusak tatanan yang sudah saya tetapkan.

Seorang peserta seminar dalam film itu menanyakan, bagaimana caranya mengatasi rasa kehilangan itu? Dan tampak jelas sang motivator tidak bisa menjawabnya, karena selama ini yang dikemukakannya hanya teori, prakteknya, ia sendiri tidak tahu. Saya juga begitu. Saya gemar menganalisa ini dan itu, tapi prakteknya, jujur saja saya tidak tahu.

Saya baru mulai membuka rahasia hidup dan belajar dengan jujur dari kehidupan ini sejak 1 Januari silam, melalui tulisan-tulisan di blog ini. Sambil menulis, saya belajar dan merenung. Ketika merenung, saya mencoba menelanjangi diri sendiri, bersikap jujur dan keluar dari kepompong topeng diri agar saya bisa benar benar mengerti dan belajar.

Bagaimana si motivator akhirnya belajar menerima kenyataan? Saat ia menangis di depan umum, sang mertua yang tadinya datang untuk melabrak karena ia sudah mencuri burung kakaktua mendiang isterinya untuk dilepas di alam bebas sesuai janjinya sebelum mendiang meninggal, akhirnya menghampiri dan memeluknya. Sang mertua berkata, mereka tak pernah menyalakan menantunya. Semua terjadi karena takdir. Mereka justru merasa kehilangan tidak saja puterinya, namun juga menantunya karena menghilang selama tiga tahun, bahkan tak berani hadir di acara pemakaman isterinya sendiri. Mereka lalu menangis bersama dan berpelukan, melepas segala belenggu rasa bersalah, dan menjadi orang baru. Intinya, kita harus berani menghadapi kesedihan dan rasa kehilangan itu, harus berani menghadapi realita tanpa rasa bersalah, baru kita bisa melangkah maju, meneruskan perjalanan hidup kita. Kalau tidak, kita stuck di sana.

Dalam seminggu terakhir, kepergian ibu mertua kakak membawa saya bertemu muka untuk pertama kalinya dengan dua mantan saya. Mantan isteri saya yang datang dengan suami barunya, dan mantan kekasih saya. Mulainya ada rasa takut dan cemas, namun pertemuan demi pertemuan mengalir dengan baik, dan di akhir perjumpaan, saya mengantar kepulangan mantan isteri dan suaminya dan berdamai dengan masa lalu. Saya lega.

Akan halnya mantan kekasih, saya awali dengan penuh keketusan dan tidak bersahabat. Bukan dia namanya kalau tidak mengenal saya luar dalam dan dengan lihainya meluluhkan hati saya. Mulai dari sms, sampai pin bbm kini sudah saling bertukar, dan mulailah mengalir pembicaraan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan, bahkan kemudian kami sepakat untuk bertemu 4 mata, dinner dan berbicara. Saya merasa perlu bertemu untuk bicara dan menutup lembaran cerita dengannya, hingga saya bisa meneruskan hidup ini ke babak selanjutnya. Apa pun hasilnya nanti, sekarang saya merasa jalan saya sudah lebih ringan dari saat saya membawa topeng dan benteng yang berat.

Ternyata apa yang saya tonton di Love Happens dan yang saya alami selama seminggu kemarin seolah berkaitan, bahwa saya harus belajar jujur pada diri sendiri, menghadapi segala kenyataan pahit dan berdamai dengan diri sendiri, lalu melangkah melanjutkan perjalanan. Kita ini tidak pernah tahu, saat kita bermusuhan dengan orang-orang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidup kita, kita juga kehilangan sebagian dari hidup kita. Kalau kita bisa menerima dan merangkul kenyataan, ternyata hidup ini terasa lebih lengkap. Seperti kutipan berikut ini :

We are not put on this earth for ourselves, but are placed here for each other. If you are always there for others, then in time of need, someone will be there for you.
Jeff Warner

Monday, February 15, 2010

15 Februari 2010 : Galak

Dalam sebuah buku saku lost and found terdapat sebuah tulisan : I lost my favorite tree in our back yard as a result of a lightning storm, I found a view of the golf course I never knew existed. Dalam rangka menemukan "lapangan golf yang tak pernah saya lihat sebelumnya" inilah, saya membuka diri dan hati. Saya tidak pernah putus asa dengan harapan suatu saat saya akan mendapatkan seorang soulmate sejati.

Dalam pencarian itu, saya memang kemudian segera bertemu dengan beberapa orang yang pada awalnya membuat saya merasa nyaman di dekatnya. Saking nyamannya, saya juga memperkenalkan blog ini kepadanya, dan saya mendapat komentar-komentar yang membangun agar blog ini menjadi lebih menarik. Namun, karena blog ini berisi pelajaran apa yang saya dapat di hari ini, blog ini juga sedikit banyak menyentuh titik kehidupan tempat saya memperoleh pelajaran hidup. Jadi, sedikit banyak, melalui blog ini, pembaca tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup saya, termasuk ketika saya sedang kangen dengan seseorang atau yang lain. Ternyata, saya mendapat komentar yang membuat saya merasa tidak nyaman. Dia bilang, mulai sekarang, jangan ingat dia lagi ya. Saya jadi berpikir, waduh, kok perasaan diatur-atur begini ya. Ini baru di awal, bagaimana jadinya nanti? Lalu, pagi ini teman saya yang lain memberi komentar yang kurang lebih "mengultimatum" bahwa saya harus mengganti "utang" valentine dinner dengannya, which I don't mind, kecuali mungkin cara ia mengungkapkannya membuat saya yang sensitif soal ultimatum begini menjadi menyala lampu merahnya.

Saya tahu, setelah ini saya bakal diadili. Tapi ini adalah soal pelajaran buat saya sendiri juga, karena saya merasa sungguh mengganjal. Saya kemungkinan akan menerima alasan bahwa apa yang diungkapkan adalah dalam rangka bercanda. Well, saya tidak pernah membuat candaan soal hidup ini, apa lagi cinta dan perasaan. Karena itu segala hal yang berurusan dengan hidup dan hati sering kali bocor, masuk tanpa tersaring. Mungkin ini salah, tapi bagi saya hidup ini memang tidak pernah mudah, karenanya saya tidak pernah main-main.

Saya lalu merenung. Kalau mau jujur, dulu saya juga tidak ada bedanya. Ketika punya pasangan, kerjanya melarang dan mengancam. Kalau saya telaah lebih lanjut, mungkin karena saking sayangnya, sehingga tak ingin berbagi dengan orang lain. Kenyataannya, segala larangan dan ancaman tak ada gunanya, bahkan mungkin membuatnya lebih jauh dan semakin menghindari saya. Kalau saya ingat-ingat lagi, larangan kepada mantan dulu sampai termasuk batas kerja malam (mantan dulu kalau bekerja tak kenal waktu), weekend hanya untuk kami berdua, kecuali kalau sedang darurat, itu pun saya yang mengantar dan menjemput dia bekerja, kalau keluar kota, kalau perlu saya ikut, jadi bodyguard. Tak suka kalau ia ikut gym di mal-mal karena isinya orang lirik kanan kiri saja. Tapi, sebaliknya dia juga melakukan hal yang sama. Tidak senang kalau saya pergi dengan teman-teman yang katanya sangat superficial, sehingga saya jadi kuper. Dilarang sering-sering ke mal, karena takut diajak flirting orang di sana. Dan banyak lagi larangan-larangan yang kalau dilanggar menjadi gawat karena larangan-larangan tersebut sudah satu paket dengan kemarahan dan hukuman. Sekarang saya bisa merasakan betapa tidak nyamannya dilarang-larang seperti itu, dan menyesali sudah melakukan hal yang buat saya tidak nyaman kepada mantan. Kalau saja dulu saya tidak melakukan seperti itu, mungkin sampai saat ini dia masih di pelukan saya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, jadi saya mau bikin bubur yang enak saja...

Saat ini saya disadarkan bahwa kalau kita mencintai seseorang dan ingin agar orang yang kita cintai itu selamanya ada di sisi kita, maka yang terpenting adalah bagaimana membuat agar bara itu tetap berkobar di hati kita berdua. Saya sempat memperhatikan episode suami-suami takut isteri di Trans TV yang isinya menggambarkan bahwa hidup bersama isteri itu penuh tekanan, dan ketakutan-ketakutan. Tiap detik, isinya digalakiiiiin melulu oleh isteri-isteri yang siap menjadi algojo begitu ada gerakan yang keliru. Kenyataannya, para suami yang terpasung itu, tetap saja lirik kanan kiri begitu sedikit saja berada di luar radar isteri. Sama seperti seorang teman yang saya kenal baik, dan begituuu takutnya sama isterinya, apa-apa mesti telepon melapor dan dicheck. Kalau bicara pada isterinya... waah, santunnya bukan main, tapi kuping saya juga tak kalah capeknya mendengar rayuan gombal yang berbusa-busa keluar dari bibirnya kepada tak tahu siapa itu di balik telepon. Saya sering marah-marah kalau dipakai tameng pada isterinya : perginya sama Tjandra, padahal saya sama sekali tak tahu-menahu dan bertanggung-jawab atas kelakuannya di luaran.

Jadi, tak ada gunanya buat ultimatum ini dan itu, karena semakin dijerat, semakin liar dan buas saat terbebas. Sama seperti anjing herder ayah saya dulu, si Boy, yang kerjanya dikandangi sepanjang hari, dan baru dilepas di malam hari, tanpa ada orang yang berani mendekat saking buasnya, kecuali pembantu saya almarhumah Supinah yang sudah seperti pawang bagi si Boy - itu pun tak lepas dari carut marut gigitan dan cakaran si Boy.

Saya jadi teringat akan sebuah kejadian, saat teman saya minta nasihat bagaimana membina hubungan yang baik. Saat itu saya bilang, waduh kamu ini salah alamat, tapi karena ditanya saya minta waktu 10 menit untuk merenungkan. Di akhir tenggat waktu, saya mengatakan pada teman tersebut: Oke, dari pengalaman yang saya peroleh selama ini, saya mendapatkan 6 hal yang paling penting dalam sebuah hubungan :

1. Passion. Bara dan setrum cinta, semua unsur-unsur kimia jiwa raga bekerja bersama membangun chemistry yang membuat saya dan pasangan tanpa perlu disuruh jadi lengket bagaikan magnet.

2. Commitment. Tanpa komitmen, ya tak ada ikatan kasih.

3. Trust. Ada cinta, ada komitmen tapi kalau tidak kepercayaan ya tidak jadi apa apa juga. Jadinya curigaaaa melulu, cemburuuuu melulu...

4. Balance. Bukan berarti bahwa saya punya seratus, situ juga harus punya seratus, tapi saling mengisi, mengimbangi kekurangan masing masing dengan tulus dan ikhlas.

5. Effort. Those small things that keep the fire alive. Candle light dinner, sms cinta, kado kecil dan perhatian kecil-kecil, semuanya yang menjaga bara asmara tetap menyala. Dari kelima unsur ini, kalau passion tidak ada, maka effort bisa jadi unsur penyeimbang, tapi sampai kapan? Kalau tiba-tiba ketemu orang lain yang unsur passionnya besar, effort yang tadinya ditujukan kepada pasangan pertama segera pindah tangan ke pasangan yang memiliki passion.

Detik ini, saya perhatikan lagi. Dari ke lima unsur yang saya buat sendiri lebih dari 10 tahun yang lalu ini, tidak ada tuh yang memasukkan unsur melarang ini dan itu, mengultimatum ini dan itu. Semuanya serba positif, dan semuanya serba atas kemauan sendiri melakukan setiap unsurnya. Tidak ada unsur paksaan. Lalu mengapa dalam berhubungan saya memasukkan unsur ancaman dan intimidasi? Waduh, selama ini saya salah konsep. Apa ya yang merasuki otak saya sehingga bisa berkesimpulan kalau mau dia tetap sama saya ya nggak boleh ketemu teman-temannya, gak boleh ini gak boleh itu. Padahal, yang namanya magnet itu bersatu dengan sendirinya, biar mau ditarik sekuat apapun, daya bersatunya kuat sekali. Jadi kesimpulannya, tidak dilarang-larang bukan berarti kitanya tidak peduli, namun justru memberi dia ruang gerak yang cukup leluasa karena percaya bahwa kemana pun ia pergi, pulangnya ke saya juga, nyamannya ke saya juga, dan nikmatnya ke saya juga, sehingga dia tidak akan berniat "macam-macam". Kalau sampai dia selingkuh, saya lah yang pertama kali patut dipertanyakan, jangan-jangan ada yang saya lakukan yang justru menghalau dia pergi. Kecuali kalau sudah dicheck dan semuanya benar, baru tanya jangan-jangan ada yang tidak beres dan salah di pihak pasangan. Mau dikerangkeng bagaimanapun juga, kalau sifatnya sudah mendarah daging ya akan lepas juga...

Maka hari ini saya disadarkan, kalau dapat pasangan lagi, saya tidak akan bikin ultimatum ini itu. Saya mau mengikat pasangan saya dengan cinta kasih, bukan dengan tekanan dan ketakutan. Pokoknya semua mengarah pada usaha yang membuat kekasih jadi kangen dan betah, dan tak mau pindah ke lain hati...

Sunday, February 14, 2010

14 Februari 2010 : Jomblo

Meskipun hari ini adalah Tahun Baru Cina, saya juga meng sms dan di sms teman yang mengucapkan selamat hari valentine. Dari sekian sms yang masuk, yang paling menarik perhatian saya adalah jawaban seorang teman atas sms ucapan selamat valentine saya, "Makasih ya, tapi aku nggak merayakan valentine karena aku jomblo... :-)" Jawaban saya kurang lebih menukas bahwa yang namanya valentine tidak harus sama pacar... bisa dengan teman, sahabat, keluarga terdekat...

Malam ini saya jadi teringat kembali bagaimana kisah cinta teman saya yang tadinya indah menjadi begitu pahitnya karena sang kekasih tiba-tiba lenyap ditelan bumi, tak berkabar dan tak bisa dihubungi. Saya lalu belagak menganalisa. Hari ini, saya bertemu dengan berbagai orang, mulai dari kakak, keponakan, sampai kenalan yang lain. Masing-masing dengan kisah cintanya sendiri-sendiri. Sampai keponakan saya yang enam tahun pun sempat dibahas bahwa ia suka cewek yang rambut panjang seperti Cut Tary. Cut Tary? Kami semua tertawa dan menyalahkan kalau dia terlalu banyak nonton infotainment.

Tapi, balik lagi ke soal kisah asmara masing-masing orang yang saya kenal, tak satu pun yang berjalan sempurna 100%, bahkan untuk ukuran ayah dan ibu saya yang selalu terlihat sempurna. Saya tidak bisa menceritakan secara detil urusan asmara orang di sini, karena kalau itu saya lakukan, saya bisa dipecat jadi adik, paman, dan teman. Tapi secara garis besar, ada orang yang memiliki kendala sehingga harus berhubungan jarak jauh dengan orang yang dikasihinya, namun tampak jelas bahwa masing-masing sangat mencintai pasangannya dan bara-bara itu terlihat dari percikan-percikan semangat asmara sampai hal terkecil. Ada lagi yang memiliki hubungan jarak jauh, dan setelah sekian lama tak bersua, ketika akhirnya punya kesempatan bertemu dan si isteri ingin menghambur kepelukan suaminya, sang suami segera memberi jarak dan seketika itu juga hawa dingin langsung terasa. Ada juga yang harus melalui liku perkawinan yang hambar, dan baru menyadari bahwa kekasih sejatinya bukan sekedar orang lain, dan harus ia perjuangkan sampai akhirnya keluarga dan mantan isterinya bisa menerima dan berdamai dengan kenyataan tersebut. Ada lagi kisah orang yang tadinya semua baik-baik saja, namun di tengah perjalanan yang mulus itu, sang pasangan menceritakan bahwa ia sempat goyah, meskipun kemudian menyadari bahwa selingkuh sesaatnya adalah kesalahan yang terbesar yang dilakukannya, dan bahwa cinta sejatinya adalah sang pasangan yang sudah hidup bersamanya bertahun-tahun. Ada sebuah komentar yang menarik soal ini, ketika ia mendapat pengakuan selingkuh pasangannya, "Kenapa kamu ceritakan sekarang? Pada akhirnya karena satu ketidakjujuran ini, apa semua yang kita alami bersama terkesan bohong belaka."

Itu baru dari segelintir orang yang saya kenal, belum dari para selebriti di infotainment. Saya melihat, dari keragaman kisah cinta yang terpapar di hadapan saya, kisah cinta yang di awalnya indah, harus diuji dengan waktu dan kenyataan. Saya sendiri mengalaminya. Apa yang di awalnya indah, belum tentu berlangsung indah, apa lagi berakhir indah. Sebuah hubungan yang tadinya berbunga-bunga, kemudian menjadi surut karena ternyata orang yang tadinya kita anggap Chemistry nya baik sekali dengan kita, ternyata tukang pagar: jangan ini, jangan itu! Awas kalau ini, awas kalau itu! Ada juga yang setelah sekian lama berjalan penuh gelora, ternyata saat naik ke tahap lebih lanjut kelihatan bahwa apa yang selama ini dipikir cocok, ternyata banyak yang mengganjal di hati. Saya pernah juga tanpa sadar dimanfaatkan seseorang untuk menjadi bemper dan pendampingnya berselingkuh. Kemana-mana perginya bertiga, hanya sebagai sebuah kamuflase bahwa kalau pergi dengan saya itu, semuanya aman-aman saja. Ketika perselingkuhan itu terkuah, komentar yang paling melekat di hati adalah, "yaaaa.... kalau biasanya sehari-hari makan sup, sekali-sekali disodori sayur asem ya enak juga yaa..." Perih rasanya hati ini, teman baik yang menjadi selingkuhan itu dibicarakan bagaikan sayur asam, tapi mau apa lagi...


Di Hari Valentine kali ini, saya belajar bahwa setiap orang memiliki kisah cintanya masing-masing, sebagian membawa kebahagiaan, sebagian membawa kesedihan, sebagian jalannya penuh duri berliku dan berakhir bahagia, sebagian lagi berliku tapi tetap berakhir penuh tangisan. Selama ini saya selalu melihatnya dari masing-masing kisah mereka yang mampir satu persatu dalam hidup saya, namun hari ini seolah saya diangkat ke tempat yang lebih tinggi, seolah dari pesawat luar angkasa yang melihat bumi ini bulat dengan atmosfer biru yang membungkusnya. Begitu beragam dan berwarna. Saya sendiri seharian ini menjalani valentine bersamaan dengan tahun baru cina dengan keluarga tercinta. Dengan diselingi telepon,sms, bbm dan email dari kerabat tercinta, saya yang jomblo ini tak merasa bahwa valentine kali ini menjadi sebuah kesepian yang tak bertepi. Meski sendiri, tapi sangat indah dan jujur, saya sangat menikmatinya. Itulah sebabnya saya mengimbau teman saya yang jomblo tadi untuk berpikir ulang tidak merayakan valentine, hanya karena jomblo. Selama ini kita sering kali terlalu terfokus pada satu cinta sehingga melupakan bahwa ada banyak cinta yang melingkupi hidup kita. Cinta teman, keluarga, dan kerabat.

Hari ini hati saya dibukakan akan cinta yang selama ini sudah begitu mendukung hidup saya dan sangat berperan dalam membentuk kekuatan hidup saya, kasih yang selama ini tulus,tanpa syarat, dan begitu dekat di sekitar kita yang sering kita lupakan dan sia-siakan seolah tidak penting sama sekali dibandingkan sebuah cinta yang sudah hancur lebur dan ditinggalkan oleh penghuninya, tak peduli oleh seorang penghuni atau malah semuanya. Selamat Valentine. Hari Kasih Sayang, apa pun bentuknya. Dan selamat Tahun Baru Macan...

Saturday, February 13, 2010

13 Februari 2010 : Malas

Ketika menemani keponakan saya Ella mengelilingi mall di Jakarta sebelum besok kembali ke Australia, saya tertarik akan sebuah kaos bergambar harimau dan tiba-tiba terbersit niat untuk ikut meramaikan tahun baru Cina besok pagi dengan mengenakan kaos tersebut, mengingat besok adalah awal dari Tahun Macan. Saya lalu mencoba ukuran S, namun terasa agak longgar. Karena ukuran XS nya habis, maka saya mencoba ukuran XS dari desain lain sekedar untuk tahu apakah ukuran ini lebih pas di tubuh saya. Dan tenyata memang demikian. Sang pramuniaga lalu menyarankan untuk mendatangi counter kaos tersebut di beberapa mall yang lain. Karena sedang program keliling, maka saya meluncur ke Grand Indonesia.

Sesampai saya di Grand Indonesia, saya langsung menuju ke counter kaos tersebut di Seibu, namun rupanya model tersebut sudah habis, dan saya diarahkan ke outlet yang tak jauh dari Seibu. Di outlet tersebut, saya langsung melihat model yang saya tuju, dan menanyakan apakah ada ukuran XS nya. Sang pramuniaga dengan wajah datar mengatakan tidak ada. Saya bilang coba lihat dulu. Dengan enggan dia membongkar tumpukan kaos di bawahnya. Baru dua lembar, maka terlihat ukuran XS yang dibilang tidak ada. Sambil mencoba, saya merasa heran ada orang kerja kok malasnya seperti ini. Bukannya mestinya senang kalau barangnya laku, ini malah seolah tak peduli. Padahal di toko tersebut, cuma ada saya dan Ella.

Saat kantor saya mengadakan early valentine lunch di resto sebelah kantor, kami dilayani dengan ogah-ogahan karena kami minta setiap pesanan dicatat terpisah karena kami akan membayar sendiri-sendiri. Dia bilang, tidak bisa. Saya bilang, kok lagi itu bisa? Dia jawab sekenanya, sekarang sedang ramai. Lama-lama saya teriak juga, cukup kencang sampai sang pemilik mendengar: Wah, kalau saya punya pegawai seperti ini sudah saya pecat! Ajaibnya, langsung seketika itu juga sistem pembayaran satu persatu itu bisa dilakukan.

Saya jadi menarik napas. Kok banyak sekali yang pemalas ya. Malas berpikir, dan malas bertindak. Sudah digaji untuk melakukan tugas, tapi masih saja tak melakukannya seoptimal mungkin. Kalau bisa makan gaji buta, lebih baik. Kalau bisa diperlama, kenapa dipercepat? Kalau bisa dikerjakan besok-besok, kenapa harus diselesaikan sekarang? Kalau perlu, lebih enak tidak dikerjakan sama sekali...

Tapi saya pikir-pikir lagi, saya ini di luar pekerjaan, sama saja dengan mereka. Suka malas bergerak. Kalau dihitung-hitung, hutang saya pada teman dan keluarga ini sudah banyak sekali. Hutang bertemu saja sudah tak terhitung banyaknya. Ada yang bahkan sudah lebih dari sekian tahun, janji tinggal janji. Selalu dijadwal ulang. Hutang mau menengok keluarga juga sampai sekarang tidak terpenuhi. Tante saya sampai kehilangan akal atas janji-janji saya mau datang mengambil asinan yang dibuatkannya bahkan sampai asinan itu basi dan kadaluarsa. Saya juga janji untuk membalas email secepat mungkin pada Gillian Weber, sahabat keluarga yang selama di Perth kemarin sudah begitu banyak memberikan pencerahan batin pada saya. Nyatanya, sampai saat ini saya belum menulis sepatah kata pun padanya. Selain itu, saya sudah menunda hampir setahun janji saya untuk membongkar isi lemari, menyeleksi baju dan celana untuk diberikan kepada fakir miskin. Saya sering menunda menelpon Ibu saya sekedar menanyakan kabar sampai Beliau yang menanyakan kok saya ini tak ada kabarnya.

Intinya, semua saya tunda-tunda. Saya baru menyesal kalau sudah terlambat. Teman saya sudah keburu pindah, atau menjadi jauh, atau ayah sudah keburu meninggal, sehingga janji-janji saya tidak dapat terpenuhi lagi.

Saya tidak tahu apakah yang menyebabkan datangnya kemalasan itu. Kadang, rasa malas itu datang dengan adanya godaan mengerjakan hal lain yang lebih santai dan enak. Tapi hari ini saya disadarkan untuk membabat rasa malas sehingga saya dapat berinteraksi lebih baik dengan teman dan handai tolan. Kalau beberapa waktu yang lalu saya diingatkan untuk lebih proaktif berkomunikasi dengan mereka, hari ini saya diingatkan untuk segera membayar janji-janji saya kepada mereka. Janji untuk bertemu, janji menelpon, janji ini janji itu. Semoga Tahun Baru (Cina) ini menjadi detik pengubah dalam hidup saya, menjadi lebih rajin, tidak hanya untuk urusan pekerjaan namun juga untuk urusan pribadi...

Friday, February 12, 2010

12 Februari 2010 : Pagar

Pagi ini saya terbangun oleh suara kakak saya Gita dan Gatot. Setengah melek, saya melihat Gatot sudah rapi berbatik motif tradisional tangan pendek. Dengan tampang sedikit bingung dan kurang senang, ia yang melihat saya terbangun lalu bertanya minta pendapat saya, "Memang harus pake baju hitam?" Hari ini kami akan mengantar kepergian Ibunda tercinta Gatot ke peristirahatannya yang terakhir. Rupanya Gita meminta ia mengganti baju batiknya dengan baju warna gelap yang secara tradisi dianggap lebih cocok untuk suasana duka. Saya yang pagi ini otaknya langsung encer, langsung menangkap maksudnya, dan dengan suara kencang saya bilang, "Nggak kok, this is fine". Gita langsung menukas, "Lho, dia kan anak tertua?" Saya jawab, "So? Gak papa kok." "Kan bukan merah," begitu saya menghibur Gita. Dia langsung tenang, dan Gatot pun tampak senang.

Dalam penampilannya yang sangat jarang di depan umum, Gatot mewakili keluarganya memberikan pidato yang sangat indah dan cemerlang di akhir misa requiem di gereja. Ternyata ia tertarik bercerita dan mengomentari mengenai masalah baju tadi pagi. Ia bilang bahwa kita ini sering terkungkung oleh tradisi, padahal yang penting bukan soal bajunya, tapi soal hati dan ikhlasnya. Bahwa kesedihan itu tak perlu didramatisir lebih lanjut dengan warna hitam. Cukup di hati saja. Saya terharu atas pemikirannya yang bijaksana. Saya mengenal Gatot pertama kali kelas 4 SD sebagai pacar Gita. Dan sejak itu hubungan saya dengannya lebih dekat dari siapa pun juga dalam keluarga saya. Saya dan dia bertukar pikiran dan berbagi cerita yang paling rahasia, dan pemikirannya yang praktis dan dewasa menjadi panutan saya.

Pembahasan soal tradisi dalam pidato Gatot mengingatkan saya betapa kita dan masyarakat secara sadar dan tidak sadar terkungkung oleh tradisi yang dibuatnya sendiri sehingga tidak bisa menerima jernih bila sesuatu yang hakikinya benar itu menyimpang dari garisan yang sudah ditetapkan. Untuk soal ini, saya jadi teringat ketika di tahun 2005, saya bersama Gatot dan Gita menikmati liburan singkat di Bali. Saat berada di mobil, Gatot yang jarang mengekspresikan dirinya di depan orang, menyanyi lagu Bapa Kami versi Inggris, alias the Lord's Prayer dengan penuh semangat dan tanpa henti. Lama-lama, Gita menegur supaya tidak sembarangan menyanyikan lagu doa yang diajarkan Yesus itu, karena dinilai tidak sopan. Tapi saya langsung menukas, "Kamu itu gimana sih, selama ini kamu berharap dia mau berdoa. Sekarang dia berdoa malah kamu suruh berhenti." Gita tersadar. Iya juga ya. Doa kan tidak harus selalu dalam sikap sempurna. Apa pun wujudnya, namun yang dilantunkan Gatot tetaplah doa...

Tradisi pula yang kemudian membuat kita menjadi seorang tersingkir bila tidak menjalankan pakem yang ditetapkan, padahal belum tentu kita bersalah. Bisa jadi karena masyarakat atau malah kitanya sendiri terlalu terpatok kaku pada aturan yang ada. Malam ini saya membahas lagi soal baju di saat kedukaan. Saya lalu bertanya, memangnya kalau kita pake merah saat melayat kenapa? Jawab yang saya peroleh, ya jadi omongan orang. Lalu saya tanya balik, mending jadi omongan orang tapi datang, atau tidak datang sama sekali karena pakai baju merah? Kalau saya jadi keluarga yang ditinggalkan, mending datang dengan baju merah, karena saya lebih peduli dengan perhatian pelayat dari asesoris yang dipakainya. Saya pernah juga melakukan hal serupa ketika dari rumah saya sudah menggunakan baju cerah, namun setiba di kantor diberi tahu bahwa ada kerabat kantor yang meninggal dunia. Seketika itu saya datang melayat, mengorbankan baju cerah saya, dan mendahulukan perhatian dan ketulusan diri untuk memberikan penghormatan yang terakhir kepada almarhum dan dukungan kekuatan bagi yang ditinggalkan.

Saya lalu merenung bagaimana selama ini saya bersikap terhadap tradisi. Ternyata, saya ini penjalan tradisi yang cukup teguh. Saya ke gereja setiap minggu. Dalam bermasyarakat saya selalu berusaha menjaga tetap di koridor pakem unggah ungguh masyarakat. Tapi saya sadar, bahwa sebagai seorang insan yang unik, saya ini juga tidak bisa dipukul rata, disamakan dalam segala hal. Pasti ada saja yang membuat saya ini berbeda dari jalur umum dan jujur saja sering kali kita ini tidak berani keluar dari pakem tradisi karena takut dicap, diberi label aneh, lain, sakit,pembangkang, bahkan salah. Maka, ketika tadi saya bilang saya ke gereja tiap minggu, namun saya tidak setuju dan tidak mengikuti beberapa aturan gereja, bisa jadi saya dianggap orang yang murtad. Padahal yang perlu dilihat adalah hakikat dari perbedaan itu. Seringkali kita ini dicap hanya karena aksi yang tampak, tanpa ditelusuri dahulu latar belakangnya yang belum tentu salah.

Dari penelusuran di atas, saya sekarang menyadari, tak apa menjadi insan yang berbeda, karena perbedaan ini justru membuat kemajemukan masyarakat kita menjadi lebih kaya dan berwarna. Selama ini, saya belum sampai di sana ilmunya. Masih takut tampil beda, karenanya kalau ada yang berbeda dari arus mainstream, saya sembunyikan dan pura pura sejalan dengan arus yang ada. Dari kejadian tadi pagi, saya disadarkan bahwa saya itu unik, tak ada duanya di dunia, dengan demikian tidak ada yang bisa sama persis dengan saya, dan saya juga tidak bisa jadi sama persis dengan siapa pun di dunia ini. Karena saya ini satu-satunya di dunia, maka pasti lah saya ini beda dari yang lain. Masalahnya tinggal perbedaannya besar atau kecil. Kalau kecil, biasanya tidak akan menimbulkan riak, tapi kalau besar bisa bisa kita dianggap orang di luar lingkar garis kelompok. Tapi apa pun itu, yang penting saya bisa menerima dulu perbedaan saya sebagai keunikan saya. Kita ini sering takut, kalau kita ini beda, maka teman, keluarga dan masyarakat saya tidak akan menerima kita. Padahal kalau dilihat dari perspektif yang berbeda, kalau mereka tidak bisa menerima keadaan kita apa adanya, ya mereka itu bukan teman dan kelompok kita yang sejati. Seringkali karena berbeda dengan tradisi keluarga dan masyarakat, kita ini jadi menjadi orang pesakitan yang penuh dosa dan salah. Padahal jangan-jangan tradisinya sendiri yang culas dan keliru, terlalu kaku, atau sudah tidak sesuai zaman. Maka, pada akhir perenungan hari ini saya menyimpulkan, yang penting adalah hati dan ikhlasnya. Karena benar dan salahnya, sekali lagi bukan porsi kita yang menentukan. Itu sudah porsi Tuhan...