Malam ini saya menyaksikan Teater Koma yang menampilkan lakon Sie Jing Kwie. Kisah yang memakan waktu 4,5 jam itu baru berakhir di hari berikutnya jam 00:15. Sebenarnya saya belajar banyak dari kisah kepahlawanan Sie Jing Kwie yang kemudian menjadi legenda rakyat Tiongkok. Mulai dari kesetiaannya, keteguhan hatinya, soal tak boleh memandang sebelah mata, dan sebagainya, namun yang terngiang di pikiran saya malah hasil menonton sebuah film pagi tadi saat melakukan perjalanan dari rumah ke kantor. Judulnya Love happens, yang diperankan oleh AAron Eckhart dan Jennifer Anniston.
Love Happens bercerita tentang seorang ahli terapi kesedihan yang memperoleh pengalaman dari kematian isterinya. Ia menjadi motivator dan penulis yang terkenal saat ia menuliskan bagaimana ia bisa mengatasi kesedihan kehilangan isterinya. Banyak orang yang dibantunya mengatasi kesulitan hidup, padahal ia sendiri sebetulnya belum selesai mengatasi rasa bersalah dan kesedihannya. Selama ini, ada hal penting yang tidak ia ceritakan kepada siapa pun. Bahwa kecelakaan yang seketika merenggut nyawa isterinya itu diawali sebuah cek cok kecil mengenai warna tembok dapur. Saat mobil yang ditumpangi isterinya di malam berhujan itu mencoba menghindari seekor anjing sehingga berakibat fatal menghantam tiang listrik, dirinya lah yang mengemudikan mobil naas tersebut. Di hadapan ratusan seminar, ia kemudian menangis dan menunjukkan sisi diri yang sesungguhnya. Selama ini ia mencoba bersikap tegar. Ia membohongi diri sendiri dan sekitarnya, mengatakan dia baik-baik saja, padahal dalamnya hancur luar biasa.
Saya melihat sosok itu dalam diri saya. Selama ini saya pandai menutupi apa yang saya rasakan. Saya jadi orang berjiwa baja, yang selalu meyakinkan diri bahwa saya ini kuat! Itulah sebabnya banyak orang yang tidak menyangka bahwa saya sudah bercerai 10 tahun yang lalu, dan sudah menjalani berbagai carut marut kehidupan. Bahkan teman-teman pernah bertanya: bercerai? kapan bercerainya? kok gua nggak tau? Ya tidak bakal tahu, karena saya pandai menyembunyikan kepedihan hati saya. Mantan saya tahu persis kelakuan saya. Ketika kami kemudian berpisah, dan saya memberitahu dia bahwa saya tidak akan lagi berhubungan dengan dia, dia mengeluh pada kakak saya, seolah 8 tahun itu tak ada artinya buat saya. Padahal, sebenarnya di dalam ini berdarah-darah. Tapi, buat saya, apa gunanya orang lain tahu? Semua ini tidak ada urusannya dengan orang lain, jadi saya tetap mau jadi Tjandra yang dikenal orang lain. Mantan saya sempat gemas dan mencela kekerasan hati saya, tapi saat itu saya tidak peduli. Ini hidup saya, jangan merusak tatanan yang sudah saya tetapkan.
Seorang peserta seminar dalam film itu menanyakan, bagaimana caranya mengatasi rasa kehilangan itu? Dan tampak jelas sang motivator tidak bisa menjawabnya, karena selama ini yang dikemukakannya hanya teori, prakteknya, ia sendiri tidak tahu. Saya juga begitu. Saya gemar menganalisa ini dan itu, tapi prakteknya, jujur saja saya tidak tahu.
Saya baru mulai membuka rahasia hidup dan belajar dengan jujur dari kehidupan ini sejak 1 Januari silam, melalui tulisan-tulisan di blog ini. Sambil menulis, saya belajar dan merenung. Ketika merenung, saya mencoba menelanjangi diri sendiri, bersikap jujur dan keluar dari kepompong topeng diri agar saya bisa benar benar mengerti dan belajar.
Bagaimana si motivator akhirnya belajar menerima kenyataan? Saat ia menangis di depan umum, sang mertua yang tadinya datang untuk melabrak karena ia sudah mencuri burung kakaktua mendiang isterinya untuk dilepas di alam bebas sesuai janjinya sebelum mendiang meninggal, akhirnya menghampiri dan memeluknya. Sang mertua berkata, mereka tak pernah menyalakan menantunya. Semua terjadi karena takdir. Mereka justru merasa kehilangan tidak saja puterinya, namun juga menantunya karena menghilang selama tiga tahun, bahkan tak berani hadir di acara pemakaman isterinya sendiri. Mereka lalu menangis bersama dan berpelukan, melepas segala belenggu rasa bersalah, dan menjadi orang baru. Intinya, kita harus berani menghadapi kesedihan dan rasa kehilangan itu, harus berani menghadapi realita tanpa rasa bersalah, baru kita bisa melangkah maju, meneruskan perjalanan hidup kita. Kalau tidak, kita stuck di sana.
Dalam seminggu terakhir, kepergian ibu mertua kakak membawa saya bertemu muka untuk pertama kalinya dengan dua mantan saya. Mantan isteri saya yang datang dengan suami barunya, dan mantan kekasih saya. Mulainya ada rasa takut dan cemas, namun pertemuan demi pertemuan mengalir dengan baik, dan di akhir perjumpaan, saya mengantar kepulangan mantan isteri dan suaminya dan berdamai dengan masa lalu. Saya lega.
Akan halnya mantan kekasih, saya awali dengan penuh keketusan dan tidak bersahabat. Bukan dia namanya kalau tidak mengenal saya luar dalam dan dengan lihainya meluluhkan hati saya. Mulai dari sms, sampai pin bbm kini sudah saling bertukar, dan mulailah mengalir pembicaraan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan, bahkan kemudian kami sepakat untuk bertemu 4 mata, dinner dan berbicara. Saya merasa perlu bertemu untuk bicara dan menutup lembaran cerita dengannya, hingga saya bisa meneruskan hidup ini ke babak selanjutnya. Apa pun hasilnya nanti, sekarang saya merasa jalan saya sudah lebih ringan dari saat saya membawa topeng dan benteng yang berat.
Ternyata apa yang saya tonton di Love Happens dan yang saya alami selama seminggu kemarin seolah berkaitan, bahwa saya harus belajar jujur pada diri sendiri, menghadapi segala kenyataan pahit dan berdamai dengan diri sendiri, lalu melangkah melanjutkan perjalanan. Kita ini tidak pernah tahu, saat kita bermusuhan dengan orang-orang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidup kita, kita juga kehilangan sebagian dari hidup kita. Kalau kita bisa menerima dan merangkul kenyataan, ternyata hidup ini terasa lebih lengkap. Seperti kutipan berikut ini :
We are not put on this earth for ourselves, but are placed here for each other. If you are always there for others, then in time of need, someone will be there for you.
Jeff Warner
1 comment:
Tjan, I like what you write. Poin poin yang kamu tulis hari ini kok yah pas dengan apa yang seharusnya saya lakukan. Berdamai dengan masa lalu.
Regards,
Troy
Post a Comment