Wednesday, February 03, 2010

3 Februari 2010: Unconditional Forgiveness

Gara-gara artikel di blog kemarin, seorang teman dekat bertanya, dengan adanya tulisan saya kemarin, lalu bagaimana dengan kalimat forgiven but not forgotten? Waduh, bingung juga saya menjawabnya, karena blog kemarin tidak bicara apa-apa soal memaafkan, apalagi mengampuni. Kemarin saya cuma bilang bahwa kalau suatu masalah dilihat dari sisi yang berbeda, mungkin kita akan menemukan dimensi yang lain dari masalah yang ada. Sebuah dimensi yang positif dan menjanjikan, the bright side. Tapi soal memaafkan? Waduh, saya ini sama sekali bukan ahlinya. Saya pernah dendam kesumat dengan mantan saya. Saking kesumatnya sampai menakutkan diri sendiri. Saya baru bisa berkomunikasi dengannya setelah waktu berlalu hampir dua tahun. Itu pun sebatas courtesy atau basa-basi saja. Saat masuk ke pembahasan yang lebih substansial, saya mulai menyulut api perang lagi. Jadi, dalam hal ini, saya dan teman saya sama-sama di posisi yang sama.

Pagi tadi saya bilang, kalimat forgiven but not forgotten adalah sesuatu yang sangat wajar. Bahkan dari kemarin saya bilang, walau sudah memaafkan tapi rasa sakitnya masih tergores hingga kedekatan yang kembali terjalin tidak bisa seerat dulu lagi. Hal itulah yang dirasakan teman saya juga, saat disakiti oleh rekan kerjanya yang iri terhadap posisinya.

Di awal tahun, saya diperkenalkan dengan kata unconditional forgiveness. Pengampunan tanpa syarat. Saya jadi merenung, apakah ini artinya forgiven and forgotten? Amnesia dong... Saat saya tidak menemukan jawaban, tiba-tiba saya teringat sebuah buku yang dikirim oleh kakak saya Gita dari Australia pertengahan tahun 2000 yang berjudul Forgiveness, the greatest healer of all. Waktu itu, saya baru bercerai, dan saya merasa heran, kenapa saya mesti dikirimi buku seperti ini. Mungkin kakak saya berpikir bahwa saya mendendam dengan mantan isteri saya, padahal sama sekali tidak. Mungkin saat itu kakak saya merasa saya akan sedih luar biasa karena kegagalan pernikahan saya. Well, sedih sih sedih, but to tell the truth, I was and still am most relieved to go out of the marriage. Saya baru benar-benar merasa sakit hati dan dendam ketika berpisah dengan mantan saya yang 8 tahun. Dan sejak itu saya berjuang mati-matian mencoba keluar dari kubangan dendam dan benci, tanpa tahu bagaimana caranya.

Setelah 10 tahun terpendam, buku itu tergeletak di samping saya saat mengetik artikel ini. Dari tanda pemindai bukunya terlihat, bahwa bab yang terakhir saya baca adalah sama dengan yang 10 tahun lalu saya tinggalkan. Itu pun, keseluruhan isinya sudah samar samar lenyap. Karena penasaran atas jawaban terhadap pertanyaan teman saya tadi, malam ini saya jadi belajar kilat dan melahap buku ini hingga habis dalam waktu 20 menit. Inti dari buku ini mengatakan bahwa mengampuni adalah obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan berbagai hal dalam hidup ini. Dendam dan benci bisa menyebabkan sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, depresi, lemah energi, kondisi kejiwaan yang labil, mudah marah, gelisah dan susah tidur, ketidakbahagiaan, dan lain sebagainya. Dendam dan benci bahkan mempengaruhi sistem imun kita. Dan selanjutnya buku ini bicara tentang kebencian dan dendam sebagai akar ketidakbahagiaan, apa saja yang menyebabkan kita mendendam, apa itu pengampunan, bagaimana menghilangkan berbagai hambatan untuk mengampuni, serta mukjijat apa saja yang akan terjadi setelah kita mengampuni. Buku ini juga menunjukkan langkah-langkah untuk mengampuni, namun jujur saja, langkah-langkah yang ditulis terlalu teoritis sehingga menurut saya sulit diterapkan secara langsung.

Adalah sebuah puisi yang ditulis di akhir buku, yang merangkum semua isi buku ini, dan menjadi pedoman pemikiran tentang pengampunan sejati yang sangat bermanfaat bagi saya, dan ingin saya bagikan dengan Anda. Aslinya, puisi ini ditulis dengan indah dalam bahasa Inggris, namun agar Anda bisa lebih menangkap, saya mencoba menerjemahkannya secara bebas. Dengan demikian, saya sendiri akan lebih belajar lagi mencerna dan menyerap pesan yang terdapat di dalamnya. Judulnya adalah FORGIVENESS. Awalnya saya menerjemahkannya sebagai memaafkan, namun akhirnya saya memilih kata yang lebih dalam maknanya untuk menggantikan memaafkan, yaitu mengampuni. Secara pribadi, kata memaafkan rasanya masih mengandung kalimat FORGIVEN BUT NOT FORGOTTEN, sedang mengampuni mengandung kalimat UNCONDITIONAL FORGIVENESS...

Mari kita baca pelahan-lahan dan serapi bersama maknanya:


PENGAMPUNAN

Mengampuni adalah resep
untuk kebahagiaan.

Tidak mengampuni adalah resep
penderitaan.

Mungkinkah
semua luka dan rasa sakit hati,
tanpa pandang bulu apa penyebabnya,
memiliki unsur tidak mengampuni?

Mempertahankan pikiran dendam
Menahan cinta dan kasih kita
pasti mempengaruhi
kesehatan
dan sistem imun kita.

Mempertahankan kemarahan yang kita anggap adil
menghalangi kita mengalami
Kedamaian Illahi.

Mengampuni
bukan berarti
setuju dengan tindakan yang terjadi
tidak juga berarti menerima
perbuatan yang melampaui batas.

Pengampunan berarti
tidak lagi hidup
di masa lampau yang penuh ketakutan atau kecemasan.

Pengampunan berarti
tidak lagi menggaruk sebuah luka
sehingga tak berhenti berdarah.

Pengampunan berarti
Hidup dan mencintai
dengan sepenuhnya di masa ini
tanpa bayangan masa lalu.

Pengampunan berarti
bebas dari kemarahan
dan pikiran yang menyerang.

Pengampunan berarti
merelakan semua harapan
untuk masa lalu yang lebih baik.

Pengampunan berarti
tidak mengecualikan
cinta kita pada siapa pun.

Pengampunan berarti
menyembuhkan lubang di hati kita
yang disebabkan oleh pikiran dendam dan benci.

Pengampunan berarti
Melihat Cahaya Tuhan
di setiap orang, tanpa memandang
kelakuan mereka.

Pengampunan tidak hanya bagi
orang lain - tetapi untuk kita sendiri
dan untuk kesalahan yang telah kita buat,
dan rasa bersalah dan malu yang masih menggelayuti kita.

Pengampunan dalam pengertian terdalam
adalah mengampuni diri kita sendiri
untuk memisahkan diri kita sendiri dari Allah yang mengasihi.

Pengampunan berarti
Memaafkan Tuhan dan
segala kemungkinan kesalahmengertian kita akan Tuhan
bahwa kita merasa pernah diabaikan atau ditinggalkan sendirian.

Mengampuni saat ini juga
berarti tidak lagi menjadi
tukang pengulur-ulur waktu.

Pengampunan membuka pintu
bagi perasaan kita untuk bergabung dengan semangat
kebersatuan dengan setiap insan
dan setiap insan dengan Tuhan.

Tak pernah ada kata terlalu cepat
untuk mengampuni.
Tak pernah ada kata terlambat
untuk mengampuni.

Berapa lama dibutuhkan
untuk mengampuni?

Semuanya tergantung dari sistem kepercayaan kita.

Jika kita percaya pengampunan itu tak akan pernah (bisa) terjadi,
maka pengampunan itu tidak akan pernah (bisa) terjadi.

Jika kita percaya bahwa pengampunan itu membutuhkan waktu enam bulan,
maka pengampunan itu akan memakan waktu enam bulan.

Jika kita percaya bahwa pengampunan itu hanya butuh waktu sedetik,
maka sedetik pula yang diperlukan untuk mengampuni.

Saya percaya dengan segenap hati
bahwa kedamaian akan datang di bumi
saat kita masing-masing mengambil
tanggung jawab untuk mengampuni setiap insan,
termasuk diri sendiri, secara penuh dan tanpa terkecuali.


Hari ini, dengan Anda, saya sama-sama belajar pengampunan tanpa syarat agar kita mampu keluar dari rasa dendam dan benci yang berkepanjangan dan menjadikan hidup kita penuh damai, kasih dan cinta. Sebuah konsep unconditional forgiveness, mengampuni tanpa syarat yang menggantikan konsep yang selama ini tersimpan dalam hati saya, bahwa dengan dendam dan benci, saya menghukum orang yang saya benci, dan semakin menghukum, semakin puas dan lega lah saya. Hari ini saya belajar, bahwa ternyata kondisi tersebut hanya menghukum diri saya sendiri, dan memenjarakan diri sendiri, sehingga menutup rapat-rapat pintu bahagia yang sudah menanti dan tersedia kalau saja saya mau membuka hati. Saya tahu ini butuh praktek dan proses, namun saya bersyukur dan bahagia, boleh diberi kesempatan memahami misteri pengampunan pada hari ini, dan menjadikan momen ini sebagai awal pembaruan diri...

No comments: