Thursday, February 18, 2010

18 Februari 2010 : Aaaaarrrrghhhh!

Kondisi jalanan di Jakarta sulit diduga. Hari ini, macetnya luar biasa, dari pagi hingga malam. Pagi hari, ketika saya seharusnya ada pertemuan dengan kolega dari Singapura, jalanan sepertinya tidak mau tahu. Macet total, sehingga waktu tempuh yang biasanya satu seperempat jam, jadi dua jam lebih. Padahal saya sudah berangkat lebih awal. Pulangnya, setelah acara di daerah kota tua, kalau ditotal mencapai 5 jam! Tidak ada penyebab khusus, katanya sih karena hujan dan banjir. Tapi sepanjang jalan tol, saya tidak melihat genangan air di bawah. Kenyang rasanya hidup di mobil. Sudah habis satu film, beberapa CD, radio, chatting ngalor ngidul dengan teman wartawan dan sms.

Apakah saya menerima dengan rela kejadian kemacetan ini? Tentu tidak. Saya belingsatan di mobil. Geram. Kesal. Marah. Murka. Yang jadi sasaran ya Gubernur DKI yang katanya ahli. Ahli janji maksudnya. Beberapa kali saya berteriak. AAAAARRRRGHH! Yang kasihan ya supir saya, keringat dingin mencoba mencari jalan terdekat, tapi sialnya ya kok malah tambah macet. Teman saya bermaksud menghibur, tapi malah kena sembur naga. Salah sendiri, sudah tahu orang stress berat masih dicoba dibikin kalem dengan bilang sabaaaar, sabaaaaar...

Sabar? Sepertinya hal ini sudah saya tulis di hari pertama tahun ini. Tapi sampai saat ini masih gagal juga melaksanakannya. Sudah tahu keadaannya tidak bisa diapa-apakan, masih bilang sama supir saya, Pak, cepetan kenapa sih!

Pada akhirnya, toh hari ini berlalu juga. Teman saya bertanya mengenai event yang tadi diadakan di kota tua. Saya bilang event sih okay, but today is just not my day. Maksudnya muahhhceettttttttt itu lhoooo. Teman saya bilang, ya itulah risiko di Jakarta. Saya selalu percaya everything happens for a reason. Tapi, tidak tahu kenapa soal kemacetan ini rasanya teori itu tidak mau saya berlakukan. There must be something that we can do with this damn traffic jam. Kenyataannya, toh tidak bisa. Saya tahu dan mengerti itu. Yang saya masih belum bisa mengerti bagaimana caranya untuk bisa menerima kemacetan itu dan relaks saja di mobil. Toh tidak ada yang bisa dilakukan. Mau khawatir relasi saya muarah besar, ya tidak ada gunanya, saya masih stuck di mobil. Meskipun sempat saya sesali tidak berangkat lebih awal, toh kenyataannya saya masih di mobil. Pada akhirnya saya menelpon relasi bule saya dan dia menyatakan kemaklumannya, bahkan membahas mengenai langkah-langkah selanjutnya melalui telepon.

Saya lalu merenung, segala energi yang saya keluarkan untuk marah marah dan stress karena macet itu pun tak ada gunanya karena tidak menghasilkan apa-apa. Jadi mengapa tidak melakukan yang terbaik dari keadaan yang terburuk? Saya sering bilang nasi sudah menjadi bubur, lalu kalau buburnya karena macet, kenapa saya tidak menjadikannya bubur yang enak? Mungkin karena stress kelewatan meeting ini dan itu, yang kemudian beralih menjadi hati yang geram. Tapi setelah saya sadari, toh tak ada gunanya.

Malam hari, di tengah kemacetan di jalan tol menuju rumah, saya kemudian disadarkan sekali lagi, untuk relaks. Menerima kenyataan yang terjadi yang di luar kuasa kita, menikmatinya dan menjadikan yang terbaik. Dan ketika menulis blog ini, saya juga dipaparkan bahwa sebuah pelajaran kemungkinan tidak bisa serta merta diterapkan, tapi membutuhkan proses. Seperti kasus sabar ini. Tahun baru lalu saya sudah diingatkan, tapi sampai saat ini kenyataannya saya masih belum bisa sabar. Perlu proses,dan perlu peringatan ke dua seperti sekarang.Dan saya masih belajar. Belajar. Belajar. Sabar. Sabar. Sabar. Herannya, kalau saya yang bilang sabar, saya bisa terima. Tapi kalau teman yang bilang sabar, rasanya ingin menelannya. Memang benar-benar ilmunya masih cetek. Saya masih jauh dari sabar, tapi hari ini, setelah dongkol dan marah yang tak tersalurkan karena macet, saya kembali di eskpos tentang kesabaran, dan bagaimana mengatasinya. Pasrah dan Menikmati saja, sambil melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan di ruangan kurungan kecil ber ac bernama mobil...

No comments: