Friday, February 12, 2010

12 Februari 2010 : Pagar

Pagi ini saya terbangun oleh suara kakak saya Gita dan Gatot. Setengah melek, saya melihat Gatot sudah rapi berbatik motif tradisional tangan pendek. Dengan tampang sedikit bingung dan kurang senang, ia yang melihat saya terbangun lalu bertanya minta pendapat saya, "Memang harus pake baju hitam?" Hari ini kami akan mengantar kepergian Ibunda tercinta Gatot ke peristirahatannya yang terakhir. Rupanya Gita meminta ia mengganti baju batiknya dengan baju warna gelap yang secara tradisi dianggap lebih cocok untuk suasana duka. Saya yang pagi ini otaknya langsung encer, langsung menangkap maksudnya, dan dengan suara kencang saya bilang, "Nggak kok, this is fine". Gita langsung menukas, "Lho, dia kan anak tertua?" Saya jawab, "So? Gak papa kok." "Kan bukan merah," begitu saya menghibur Gita. Dia langsung tenang, dan Gatot pun tampak senang.

Dalam penampilannya yang sangat jarang di depan umum, Gatot mewakili keluarganya memberikan pidato yang sangat indah dan cemerlang di akhir misa requiem di gereja. Ternyata ia tertarik bercerita dan mengomentari mengenai masalah baju tadi pagi. Ia bilang bahwa kita ini sering terkungkung oleh tradisi, padahal yang penting bukan soal bajunya, tapi soal hati dan ikhlasnya. Bahwa kesedihan itu tak perlu didramatisir lebih lanjut dengan warna hitam. Cukup di hati saja. Saya terharu atas pemikirannya yang bijaksana. Saya mengenal Gatot pertama kali kelas 4 SD sebagai pacar Gita. Dan sejak itu hubungan saya dengannya lebih dekat dari siapa pun juga dalam keluarga saya. Saya dan dia bertukar pikiran dan berbagi cerita yang paling rahasia, dan pemikirannya yang praktis dan dewasa menjadi panutan saya.

Pembahasan soal tradisi dalam pidato Gatot mengingatkan saya betapa kita dan masyarakat secara sadar dan tidak sadar terkungkung oleh tradisi yang dibuatnya sendiri sehingga tidak bisa menerima jernih bila sesuatu yang hakikinya benar itu menyimpang dari garisan yang sudah ditetapkan. Untuk soal ini, saya jadi teringat ketika di tahun 2005, saya bersama Gatot dan Gita menikmati liburan singkat di Bali. Saat berada di mobil, Gatot yang jarang mengekspresikan dirinya di depan orang, menyanyi lagu Bapa Kami versi Inggris, alias the Lord's Prayer dengan penuh semangat dan tanpa henti. Lama-lama, Gita menegur supaya tidak sembarangan menyanyikan lagu doa yang diajarkan Yesus itu, karena dinilai tidak sopan. Tapi saya langsung menukas, "Kamu itu gimana sih, selama ini kamu berharap dia mau berdoa. Sekarang dia berdoa malah kamu suruh berhenti." Gita tersadar. Iya juga ya. Doa kan tidak harus selalu dalam sikap sempurna. Apa pun wujudnya, namun yang dilantunkan Gatot tetaplah doa...

Tradisi pula yang kemudian membuat kita menjadi seorang tersingkir bila tidak menjalankan pakem yang ditetapkan, padahal belum tentu kita bersalah. Bisa jadi karena masyarakat atau malah kitanya sendiri terlalu terpatok kaku pada aturan yang ada. Malam ini saya membahas lagi soal baju di saat kedukaan. Saya lalu bertanya, memangnya kalau kita pake merah saat melayat kenapa? Jawab yang saya peroleh, ya jadi omongan orang. Lalu saya tanya balik, mending jadi omongan orang tapi datang, atau tidak datang sama sekali karena pakai baju merah? Kalau saya jadi keluarga yang ditinggalkan, mending datang dengan baju merah, karena saya lebih peduli dengan perhatian pelayat dari asesoris yang dipakainya. Saya pernah juga melakukan hal serupa ketika dari rumah saya sudah menggunakan baju cerah, namun setiba di kantor diberi tahu bahwa ada kerabat kantor yang meninggal dunia. Seketika itu saya datang melayat, mengorbankan baju cerah saya, dan mendahulukan perhatian dan ketulusan diri untuk memberikan penghormatan yang terakhir kepada almarhum dan dukungan kekuatan bagi yang ditinggalkan.

Saya lalu merenung bagaimana selama ini saya bersikap terhadap tradisi. Ternyata, saya ini penjalan tradisi yang cukup teguh. Saya ke gereja setiap minggu. Dalam bermasyarakat saya selalu berusaha menjaga tetap di koridor pakem unggah ungguh masyarakat. Tapi saya sadar, bahwa sebagai seorang insan yang unik, saya ini juga tidak bisa dipukul rata, disamakan dalam segala hal. Pasti ada saja yang membuat saya ini berbeda dari jalur umum dan jujur saja sering kali kita ini tidak berani keluar dari pakem tradisi karena takut dicap, diberi label aneh, lain, sakit,pembangkang, bahkan salah. Maka, ketika tadi saya bilang saya ke gereja tiap minggu, namun saya tidak setuju dan tidak mengikuti beberapa aturan gereja, bisa jadi saya dianggap orang yang murtad. Padahal yang perlu dilihat adalah hakikat dari perbedaan itu. Seringkali kita ini dicap hanya karena aksi yang tampak, tanpa ditelusuri dahulu latar belakangnya yang belum tentu salah.

Dari penelusuran di atas, saya sekarang menyadari, tak apa menjadi insan yang berbeda, karena perbedaan ini justru membuat kemajemukan masyarakat kita menjadi lebih kaya dan berwarna. Selama ini, saya belum sampai di sana ilmunya. Masih takut tampil beda, karenanya kalau ada yang berbeda dari arus mainstream, saya sembunyikan dan pura pura sejalan dengan arus yang ada. Dari kejadian tadi pagi, saya disadarkan bahwa saya itu unik, tak ada duanya di dunia, dengan demikian tidak ada yang bisa sama persis dengan saya, dan saya juga tidak bisa jadi sama persis dengan siapa pun di dunia ini. Karena saya ini satu-satunya di dunia, maka pasti lah saya ini beda dari yang lain. Masalahnya tinggal perbedaannya besar atau kecil. Kalau kecil, biasanya tidak akan menimbulkan riak, tapi kalau besar bisa bisa kita dianggap orang di luar lingkar garis kelompok. Tapi apa pun itu, yang penting saya bisa menerima dulu perbedaan saya sebagai keunikan saya. Kita ini sering takut, kalau kita ini beda, maka teman, keluarga dan masyarakat saya tidak akan menerima kita. Padahal kalau dilihat dari perspektif yang berbeda, kalau mereka tidak bisa menerima keadaan kita apa adanya, ya mereka itu bukan teman dan kelompok kita yang sejati. Seringkali karena berbeda dengan tradisi keluarga dan masyarakat, kita ini jadi menjadi orang pesakitan yang penuh dosa dan salah. Padahal jangan-jangan tradisinya sendiri yang culas dan keliru, terlalu kaku, atau sudah tidak sesuai zaman. Maka, pada akhir perenungan hari ini saya menyimpulkan, yang penting adalah hati dan ikhlasnya. Karena benar dan salahnya, sekali lagi bukan porsi kita yang menentukan. Itu sudah porsi Tuhan...

No comments: