Seminggu yang lalu, saya berkesempatan membeli tiga kain batik lasem di sebuah rumah di kawasan BSD. Biasanya, saya paling malas membeli kain dan lebih suka beli jadi karena membeli kain itu ribet. Masih harus dijahit yang memerlukan proses bertele-tele. Harus pergi ke tukang jahitnya, diukur, dipas, dan belum tentu jadinya benar. Tapi kali ini saya sudah terlanjur jatuh cinta pada motif kainnya...
Namanya juga malas, maka saya mencoba memotong prosesnya yang berbelit dengan menitipkan ketiga kain tersebut kepada pembantu saya, sambil tak lupa membawakan sebuah contoh baju jadi yang pas di badan saya. Dan ketiga baju itu jadilah.... kedodoran. Saya lupa, kalau setelah disiplin berolah raga dan mengatur pola makan, tubuh saya menyusut dari 78 kg menjadi 65 kg. Tapi saya tak mati akal, saya meminta pembantu untuk mengembalikan ketiga baju itu untuk dikecilkan sesuai contoh baru yang saya berikan. Mumpung mengecilkan, saya juga minta agar baju batik yang kainnya saya beli di sentra batik Laweyan,Solo beberapa waktu lalu dan jadinya tidak simetris untuk juga diperbaiki. Itu juga hasil main titip dan dalam prosesnya saya sama sekali tidak bertemu dengan si penjahit...
Hari ini, keempat baju itu jadi. Ada yang benar, tapi ada juga yang jatuhnya kurang baik. Selidik punya selidik, ternyata ada bagian jahitan di pinggang yang tidak lurus. Lalu, nasib baju kain lasem yang satu : ternyata border yang saya impikan ada di bawah baju, jadinya menghilang entah kemana, padahal warna merah tua di border itulah yang membuat saya naksir berat kain itu. Setelah berdiskusi dengan Atik pembantu saya, kami sepakat untuk pertama-tama mencoba disetrika dulu. Siapa tahu besok setelah disetrika jatuhnya berubah menjadi baik. Kalau tetap kurang baik, maka terpaksa baju itu untuk kesekian kalinya dipulangkan ke tukang jahit. Tak terbayang nanti masamnya si tukang, tapi apa boleh buat.
Saya menyesali kemalasan saya yang sok mau short cut. Jadinya ya short cut beneran...
Coba saya tidak sok malas, mencari waktu dan pergi bersama Atik ke tukang jahit, menjelaskan sendiri maunya seperti apa, diukur langsung oleh sang penjahit, mungkin satu kali jahit bajunya benar semua. Tapi hal seperti ini tidak hanya terjadi sekali ini. Dalam urusan pribadi, saya sering memutuskan sesuatu, kemudian ketika hasilnya tidak pas di hati, saya minta dibongkar lagi sehingga yang tadinya bisa ngirit, malah menjadi mahal. Perfeksionis gak puguh gara-gara malas dan sok punya feeling.
Renovasi rumah tahun kemarin menjadi saksi betapa menyebalkannya urusan bongkar pasang ini. Saking sebalnya, sampai kontraktor saya juga sudah malas dan putus asa, namun di lain pihak saya juga malas dan putus asa dengan kontraktor yang melakukan pekerjaannya tidak sepenuh hati. Salah satu contohnya adalah tegel powder room. Dari warna pucat kusam, diganti warna lain, ternyata tidak sreg, diganti warna lain lagi sampai empat lima kali, baru saya oke kan, itu pun karena tidak mau dibilang super cerewet, berhenti saja sampai di situ dengan hasil lumayan. Soal cat juga begitu. Saya sudah berikan sampelnya, salah melulu pengerjaannya. Lain lagi pemasangan tegel kamar mandi yang cenderung asal-asalan. Kalau yang satu ini, ya saya suruh benahi sampai lumayan benar. Tidak seratus persen sempurna sih, tapi ya sudah lah, masih bisa ditoleransi...
Maka hari ini saya belajar untuk tidak nanggung. Kalau mau sesuatu harus dikerjakan dengan baik dan benar. Karena kalau separuh-separuh, jadinya bongkar pasang dan hasil akhirnya tidak bisa seindah kalau dibuat sekali jadi. Seperti baju batik tadi, karena sudah dipotong, dijahit, kebesaran terus dikecilkan, maka pasti ada bagian indah yang terbuang, dan cuttingnya tidak bisa sesempurna bentuk awalnya. Semoga saja besok setelah disetrika bajunya semua jadi sempurna dan tidak perlu dibongkar pasang lagi. Kali ini, saya benar-benar kapok...
No comments:
Post a Comment