Tuesday, February 09, 2010

9 Februari 2010 : Kehilangan

Hari ini saya menulis blog hampir di pergantian hari karena terhambat oleh seekor anjing. Adalah seekor anjing jepang yang dikirim ke Amerika namun sesampainya di Amerika secara tak sengaja terjatuh di tengah jalan saat akan diantar ke tempat tujuan. Profesor Parker yang sedang pulang dari lemburnya menemukan si anak anjing dan membawanya pulang. Setelah melalui perjuangan berliku, akhirnya si anjing yang diberi nama Hachiko dan dipanggil Hachi sesuai nama yang tertera di kalung lehernya itu, menjadi binatang peliharaan keluarga Parker. Hachi sangat setia pada tuannya, dan sampai dewasa punya kebiasaan unik : mengantar dan menunggui kepulangan sang profesor di stasiun kereta di kotanya. Penghuni setempat termasuk para penjual makanan dan restoran menjadi akrab dengan Hachiko. Suatu saat, di hari yang sangat aneh, Hachiko menunjukkan ketrampilan yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, bermain bola dengan sang profesor. Ketika akan berpisah, Hachi menitipkan bola itu kepada sang profesor. Sayangnya, pagi itu menjadi pagi terakhir bagi Hachiko melihat tuannya, karena Profesor Parker meninggal dunia akibat serangan jantung saat mengajar. Hachiko tetap menunggu kepulangan profesor setiap harinya di taman depan gerbang stasiun selama sepuluh tahun hingga sang profesor datang menjemputnya saat ajal Hachiko tiba, tepat di tempat ia setia menanti. Kisah Hachiko ini berangkat dari kisah nyata di Shibuya Jepang, dimana di tempat Hachiko menanti tuannya didirikan patung bronze untuk mengenang kesetiaan sang anjing. Cerita ini kemudian dibawa ke layar lebar dengan adaptasi lingkungan dan pemainnya yang dibawakan dengan sangat baik oleh Richard Gere.

Sebetulnya kisah filmnya diambil dari sudut pandang si cucu yang mendapat tugas sekolah menulis siapa yang menjadi pahlawannya. Ia mengangkat Hachiko sebagai pahlawannya yang ia sebut sebagai simbol kesetiaan yang tidak pernah melupakan orang-orang yang dikasihi dalam hidup. Tetapi, saya melihatnya dari sisi yang berbeda. Saya kemudian melihatnya dari sudut bagaimana seseorang menghadapi kehilangan orang yang dikasihinya, apakah kehilangannya karena meninggal, atau berpisah. Dalam film itu digambarkan bahwa puteri Profesor Parker memang bersedih, namun segera melanjutkan kehidupannya dengan keluarga barunya dan melahirkan anak lelaki yang menjadi ujung pangkal film tersebut. Isteri Proffesor yang datang lagi setelah 10 tahun meninggalnya Parker mengenang cintanya dengan napak tilas. Teman-teman sang profesor menunjukkan kehilangan dan simpatinya dengan cara yang berbeda. Hachiko menghadapi rasa kehilangannya dengan tetap di tempat sampai ajal menjemputnya.

Saya lalu ingin bertanya, bagaimana Anda mengatasi kehilangan orang yang Anda kasihi? Saya pribadi, menghadapinya dengan cara yang berbeda-beda. Ketika ayah saya meninggal, saya hanya menangis hebat sekali, di pelukan mantan kekasih saya saat ia muncul di depan pintu rumah setelah semalaman menangis dan berdiri di kereta api karena tidak mendapat tiket. Selebihnya saya mengurus ini dan itu mulai dari pemilihan peti jenazah sampai iklan duka citanya, dan mewakili keluarga dalam berbagai pidato saat misa di rumah, gereja sampai di pemakaman. Bagi saya, kepergian ayah saya adalah kepergian yang sempurna karena tidak menderita dan dikelilingi oleh orang-orang terkasih. Tapi bagi ibu saya, Beliau butuh waktu dua tahun untuk berhenti menangis setiap kali Beliau teringat akan almarhum Ayah. Buat saya ini sangat bisa dimaklumi karena selama 57 tahun Beliau berdua selalu bersama dalam suka dan duka, dan tidak pernah terpisah lama, bahkan untuk urusan liburan saja. Bagi ibu saya kepergian ayah saya yang begitu mendadak membuatnya kehilangan pegangan, teman berbagi dan berjalan. Masih begitu banyak hal yang belum kesampaian ingin dilakukan mereka berdua.

Namun, untuk urusan cinta, ceritanya jadi lain lagi. Saya butuh waktu dua tahun untuk bisa berdamai merelakan kehilangan mantan kekasih saya. Saya hari ini juga berhadapan dengan seorang teman yang sudah dua bulan ditinggal kekasihnya, namun sampai detik ini masih berkaca-kaca setiap kali mengingat sang kekasih, padahal saya sudah mengeluarkan segala ilmu yang saya pelajari dari tanggal 1 Januari sampai kemarin. Soal kaca, soal kenal, soal ditampar dan sebagainya, komplet. Namun pada akhirnya saya juga menyadari bahwa setiap orang itu unik, dan setiap orang punya cara menghadapi rasa kehilangan. Saya bilang, it's alright to cry, just don't cry too long. It's alright to grieve, just don't grieve too long. Cerita Hachiko yang mengharukan itu menjadi bukti apa yang terjadi bila seseorang itu berduka terlalu berkepanjangan : sampai mati pun ia tetap berduka dan tidak jadi apa-apa. Mengharukan memang, tapi pathetic! Pada akhirnya, orang di sekitarnya bersimpati atas kesetiaan Hachiko, tapi sejujurnya, kalau itu terjadi pada manusia, saya akan merasa sangat kasihan pada orang itu, karena ia menyia-nyiakan hidupnya menangisi kehilangan seseorang sepanjang hayatnya. Mestinya sisa hidupnya bisa dimanfaatkan dengan lebih baik sehingga memberikan manfaat kepada lingkungannya.

Di akhir pembicaraan saya dengan teman yang bersedih tadi, saya menyadari bahwa apa yang berlaku soal kaca dan pengampunan, berlaku juga untuk mengatasi kehilangan. Saya mengatakan kesimpulan saya pada teman bahwa kunci mengatasi kehilangan itu adalah bagaimana kita melihat kehilangan itu dan bagaimana kita me "manage" waktu kita dalam mengatasi kehilangan. Kalau kehilangan itu dilihat dari sisi sengsaranya, ya sisi sengsaranya yang kita lihat. Kalau kita melihatnya dari sisi baiknya, ya sisi baiknya yang kita lihat. Yang negatif biasanya akan tinggal lebih lama, sedang yang positif biasanya akan dikenang lebih lama, namun memberi kekuatan kita untuk segera bangkit. Contohnya ya pada saat kehilangan ayah. Saya melihat kepergian ayah sebagai sebuah "celebration of life", bukan sebagai "a loss of life". Kisah hidup ayah saya diwarnai begitu banyak hal yang menjadikan orang sekitarnya penuh cinta dan ceria, sehingga kenangan tentang dia adalah kenangan tentang hidup, bukan keputusasaan dan kematian.

Dari segi waktu, tergantung kita bagaimana "mengatur" waktunya. Kalau kita bilang akan kehilangan seumur hidup, ya yang terjadi adalah kita akan kehilangan seumur hidup seperti yang dirasakan Hachiko. Kalau kita bilang kehilangannya cukup 6 bulan, maka kehilangannya akan berlangsung dalam 6 bulan. Kalau kita bilang kehilangannya cukup sampai di sini, ya detik ini kita akan berhenti kehilangan. Maka saya bilang kepada teman saya, bagaimana kalau kamu memutuskan bahwa waktu kehilangan kamu akan habis sampai jam 12 malam ini, jadi puas-puaskan kamu kehilangan sampai jam 12, namun ketika jam beralih menjadi jam 00.00, kamu sudah mengemas rapi segala kehilangan kamu, dan kamu hidup baru. Bukan berarti hidup baru itu kemudian melenyapkan segala rasa kehilangan kamu, tapi setiap kali kamu berpikir tentang mantan kamu, kamu kemudian ingat bahwa semua hal yang berurusan dengan si mantan sudah kamu masukkan di kotak yang dikemas rapi itu. Siapa tahu trik ini bisa membantunya....

Hari ini saya belajar dari seekor anjing tentang bagaimana tidak mengatasi sebuah rasa kehilangan dengan menanti seumur hidup. Saya jadi membayangkan, bagaimana ya ceritanya kalau Hachiko meneruskan hidupnya, bertemu dengan pasangannya dan melahirkan Hachiko-Hachiko kecil? Ah, tapi kalau itu terjadi, maka bukan cerita unik lagi jadinya. Lalu saya berpikir lagi, ooo... jadi apa yang dilakukan Hachiko itu unik? Alias langka? Lha kenapa kok manusia malah lebih banyak melakukan apa yang dikerjakan Hachiko? Menunggui orang yang tidak kembali lagi, sampai tak menghiraukan bahwa begitu banyak kebahagiaan menantinya kalau ia mau menyadari dan berhenti berharap bahwa yang ditunggunya sudah tak akan kembali?

*Mengenang kepergian Tante Baby, ibu mertua tercinta kakak saya Gita yang dipanggil Bapa pukul 00.18 tanggal 10 Februari 2010. Selamat jalan Tante. Istirahatlah dalam damai.

No comments: