Salah seorang teman menulis di status blognya : HATI itu bagaikan CERMIN... Setelah retak / hancur berkeping, tak bisa lagi disatukan seperti semula, akan membekas... Saya langsung tertarik dan segera menyetujuinya. Memang benar sih, kalau hati ini sudah luka, pasti lukanya membekas. The Corrs pernah melantunkannya dalam tembang Forgiven but not Forgotten. Jadi, kalau sebuah cinta lama bersemi kembali, dan kejadian sebelumnya karena hatinya terlukai, maka kembalinya cinta itu pasti penuh tambalan kanan kiri. Mungkin mulut dan niat ini memaafkan, tapi pasti tak dapat melupakan goresan yang sudah membekas. Saya bisa berkata seperti ini karena pernah mengalaminya. Di saat saya kembali lagi dengan mantan karena masih cinta, saya tidak bisa membohongi diri betapa masih sakitnya perasaan ini dilukainya, dan karena itu, kisah cinta kami tidak bisa seratus persen kembali seperti sedia kala sebelum terjadi apa-apa.
Demikian pula yang dirasakan teman saya tadi, jadi saya bisa maklum. Tapi lama-lama saya jadi berpikir, kayaknya ada yang salah dengan cara berpikir dia dan saya. Kok negatif amat ya? apa tidak ada cara pandang lain, sehingga jadi lebih positif? Memang iya sih kalau cermin atau kaca pecah, maka mau di lem super glue pun, tidak akan kembali seperti semula, pasti ada serpihan bubuk yang hilang, dan pasti cairan lem mengisi sela sela yang hilang. Tapi hati manusia kan bukan barang mati? Ia adalah sebuah jiwa yang hidup? Masa tidak bisa balik lagi seperti sedia kala, atau bahkan tumbuh menjadi hati yang lebih besar dan indah lagi? Hmmm... apakah selama ini manusia terlalu terpatok pada sebuah analogi hati yang justru mengekang hati itu untuk tumbuh sempurna?
Saya jadi terdiam. Lalu saya jadi teringat hal yang sama sekali tak ada hubungannya dengan hati. Meskipun saya ini weekend driver, tapi keluarga saya terutama ibu saya setuju bahwa saya ini a much better driver dari kakak laki-laki saya. Tapi saya tidak akan mendapat pujian itu kalau tidak mengalami berkali kali menabrak dan tertabrak. Awal saya bisa menyetir mobil karena inisiatif almarhum ayah mengajari saat saya duduk di kelas 2 SMA. Beliau lah yang pertama kali duduk di bangku sebelah memberi instruksi. Kali pertama, ketika disuruh rem, saya malah injak gas, sehingga nyelonong ke lapangan bola di depan rumah. Beliau putus asa, dan menyuruh saya belajar pada pengajar profesional hingga bisa. Namun, sesampai di Jakarta, saya sempat mogok menyetir selama 4 tahun. Saya tidak mau menyetir karena selama itu saya sungguh ngeri akan keugal-ugalan supir bis, metromini dan angkota kota yang melebihi jetcoaster yang paling menyeramkan di dunia ini. Sampai akhirnya, almarhum bos saya Pak Ken Sudarto mengultimatum bahwa bila sampai akhir bulan mobil kantor yang dipinjamkan tidak saya bawa pulang, mobil sport Citroen BX berwarna putih itu akan segera ditarik dan diserahkan kepada orang yang mau menyetirnya. Saat pertama menyetir di Jakarta, saya sudah melindas kaki orang. Hampir saja digebuki kalau Husin teman kerja saya tidak segera turun tangan membela dan bilang saya masih belajar menyetir. Lalu berkali-kali menabrak dan ditabrak. Mulai dari Metromini, mobil box dunkin' donut, mobil tentara, sepeda motor, BMW ... sampai pagar rumah orang! Tapi dari kejadian-kejadian itulah, kemampuan saya terasah. Saya bukannya menjadi takut, malah tertantang untuk dapat menyetir lebih baik. Kini saya mampu menggabungkan keahlian berkelit sebuah metro mini dan pelajaran safety driving yang saya peroleh ketika menangani klien otomotif. Jadi, kalau dipikir-pikir, justru karena kecelakaan-kecelakaan itu, saya jadi mahir.
Saya juga teringat bagaimana saya mengasah kemampuan berbahasa Inggris saya. Melalui kesalahan kesalahan ringan hingga fatal berpuluh tahun, kini banyak orang yang menyangka saya ini pernah menetap di luar negeri, atau setidaknya saya kuliah di luar negeri. Padahal saya ini asli produk lokal, 100% Indonesia.
Dengan analogi seperti ini, saya jadi lalu berpikir, kembali ke status facebook teman saya tadi, agaknya ada yang harus dibenahi. Bagaimana kalau kita melihat kasus ini seperti 3 dimensi yang bentuknya tidak beraturan? Maksudnya, kalau dilihat dari sisi kiri, akan mendapatkan perspektif sebelah kiri, tapi kalau dilihat dari sisi kanan, akan mendapatkan perspektif yang berbeda, walaupun itu masih satu objek yang sama.
Artinya, coba kalau perspektif menyetir mobil saya seperti apa yang dialami ibu tercinta. Waktu itu, Beliau sama ahlinya menyetir mobil, sampai Beliau menabrakkan Mercedes baru gres yang baru dibeli ayah kurang dari seminggu, dan sejak itu, Ibu kehilangan nafsu menyetirnya hingga detik ini. Saya tidak tahu apa yang terjadi, apakah Ibu trauma karena mendapat marahan besar dari ayah saya (yang rasanya sih, knowing my father, tidak mungkin)atau benar benar trauma takut menyetir lagi dan takut ada apa apa lagi dengan mobil-mobil mewah ayah saya yang lain. Juga, apa jadinya juga kalau saya minder karena ditertawakan saat salah melafalkan sebuah kata Inggris, dan saya jadi mutung tak mau bicara bahasa internasional itu...
Dalam dunia ini, kita selalu belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan naik kelas ke tingkat berikutnya, sehingga mencapai kesempurnaan. Kalau karena sebuah hambatan kita berhenti, maka kita tidak akan tumbuh lagi, dan jadi bonsai. Orang melihatnya masih indah, tapi kedil karena meliuk liuk di tempat. Tidak tumbuh secara wajar menjadi sebuah pohon yang kokoh dan rindang yang bisa mengayomi orang dan tempat orang berteduh. Untuk bisa belajar, kita harus punya kemauan dan kemampuan berpikir dari berbagai perspektif yang berbeda sehingga dapat memilih dari sisi mana sebuah masalah itu dapat terbaik dilihat.
Tiba-tiba saya melihat kasus hati di facebook teman saya dari sisi yang berbeda. Dari sisi yang lebih cerah. Dan lebih menjanjikan. Maka saya segera menambahkan komentar saya di facebook teman saya: "Memang benar kalau hati digambarkan seperti cermin, kalau pecah meski disatukan pasti akan ada bekasnya, tapi kalau hati digambarkan seperti pohon, jadinya akan berbeda. Kalau dahannya patah atau daunnya rontok, akan keluar semi baru dan bahkan berbunga... jadi jangan dilihat dari sisi yang salah."
Kalau selama ini saya belajar bahwa sebuah masalah harus dilihat dari atas, agar terlihat jelas peta permasalahannya, maka hari ini saya belajar untuk melihat sebuah masalah sebagai sebuah bentuk 3 dimensi yang harus dicari sisi terbaiknya, sehingga saya dapat mengambil langkah dan solusi dari sisi yang terbaik juga, dan akhirnya mendapat hasil yang terbaik pula.
Saya ingin menutup perenungan saya malam ini dari sebuah kutipan yang baru saja saya peroleh dari berlangganan walkthetalk.com. :
"You can learn new things at any time in your life if you're willing to be a beginner. If you actually learn to like being a beginner, the whole world opens up to you" - Barbara Sher
Semoga kita tidak pernah segan belajar hal baru dalam hidup ini seperti seorang pemula dan semoga kawan saya juga belajar melihat dari sebuah perspektif yang berbeda hari ini, dan melihat hati nya sebagai sebuah jiwa yang hidup yang bisa tumbuh indah melalui berbagai cobaan dan kejadian, bukan benda mati yang kalau jatuh berkeping, jadi rusak seumur hidup...
No comments:
Post a Comment