Sore ini saya melakukan sebuah presentasi yang berakhir kacau. Kacau karena ada seorang peserta dari pihak calon klien yang tiba-tiba menyela di tengah-tengah presentasi. Mungkin ia mengira ini ajang dengar pendapat DPR, jadi kegatalannya untuk menyela tak dapat ditahan lagi. Sebenarnya, apa yang ditanyakan olehnya akan terjawab bila ia mau mendengar sampai di akhir presentasi.
Yang namanya presentasi formal, tentu harus didahului dengan pengantar, latar belakang, dan seterusnya. Namun si penyela ini tampaknya tak sabar. Baru dijelaskan sepotong, sudah menyalak lagi. Akhirnya, saya kehilangan minat untuk meneruskan presentasi dan membiarkan saja presentasi itu terbengkalai di tengah jalan, sambil mendengarkan si penyela tadi menyerocos. Dia bilang, sebelum saya mempresentasikan ide ini, dia sudah melakukannya malang melintang tapi tak ada hasil. Hampir saja saya menyela, berarti ada yang salah dalam pelaksanaannya. Namun malas lagi saya menyela pada seseorang yang sudah dari tahun 1981 sampai detik ini masih menduduki posisi yang sama, cuma sekarang ditambah embel-embel senior. Senior karena rasanya sih saking lamanya dia di sana. Tapi okelah, saya tidak mau mengomentari latar belakangnya.
Begitu keluar dari ruang rapat yang berakhir dengan dijadwalulangkannya pertemuan ini, tim saya yang gantian menyalak. Mereka ternyata lebih kesal lagi dari saya. Mereka memperhatikan bahwa para pendengar yang lain sebetulnya menangkap arah presentasi kami, namun suasananya sudah terlanjur rusak oleh kegalakan rekan seniornya. Mereka bahkan ikut-ikutan malas berkomentar yang bisa menimbulkan argumentasi lebih panjang lagi.
Saya jadi tergelitik untuk menganalisa, kenapa ya dia begitu? Karena presentasi saya tidak sesuai ekpektasinya? Tapi, bagaimana dia bisa menyimpulkan seperti itu kalau dia tak mendengarkan sampai presentasi itu berakhir? Karena merasa jumawa? Mungkin, bisa jadi ia ingin menunjukkan, hei ini lho gue yang jagoan dan centeng nya di sini, jadi elo jangan macam-macam sok tau! Tapi sekali lagi, bagaimana dia bisa menyimpulkan dia jawara kalau tak mendengarkan penjelasan saya hingga titik?
Dalam diskusi setelah meeting tadi, kami semua sepakat bahwa si penyela tadi tidak punya etika, terutama etika mendengar. Apalagi ini etika mendengar? Ini istilah khusus bagi orang-orang yang tidak punya tata krama dan kemauan untuk mendengarkan pendapat orang lain, yang penting ngotot dan benar sendiri. Business Development Manager saya yang ikut meeting, ikut mengomentari, mengutip ajaran sekolah Minggu nya, "Yaaa.. sering kali kita lupa kalau Tuhan memberi dua telinga, dan satu mulut, artinya, kita harus mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara..." Dan seketika itu juga ada palu besar yang ikut-ikutan mendarat di botak saya. Tung!
Iya ya, benar juga, Tuhan itu memberi panca indera, termasuk tata cara penggunaannya. Dua mata untuk melihat dan memperhatikan lebih baik, dua telinga untuk mendengar lebih banyak dan lebih tajam, dua lubang hidung untuk menyerap lebih banyak, lidah dan kulit seluruh tubuh untuk bisa merasakan lebih baik, dan cuma satu mulut supaya keluarnya lebih sedikit dari yang lainnya.
Analogi ini menyadarkan kta bahwa seharusnya kita mendengar lebih banyak dari berkomentar. Dengan mendengar, kita jadi bisa lebih mengerti dan memahami. Kalau kita memahami lebih baik, maka kita juga akan lebih mengerti apa yang ada di balik pikiran lawan bicara kita. Namun yang sering terjadi adalah belum selesai lawan bicara, sudah kita potong, sehingga informasi yang seharusnya kita serap seluruhnya, menjadi informasi yang tidak lengkap dan tidak sempurna. Dari informasi yang tidak lengkap ini, kita mengambil kesimpulan yang tidak lengkap dan tidak sempurna pula. Karena semuanya serba tidak sempurna, maka hasil yang diperoleh juga tidak sempurna. Kita jadi salah tangkap, salah persepsi. Kalau sudah salah persepsi, maka langkah yang diambil akan menjadi salah, dan hubungan dengan lawan bicara kita pun menjadi tak sempurna.
Tiba-tiba saya menelan ludah. Sebagai master komplen, apa yang dikerjakan si penyela itu sering juga saya kerjakan. Saya sering terlibat adu argumentasi dengan teman-teman, yang kalau saya pikir-pikir lagi sekarang sebenarnya bukan argumentasi, tapi karena sayanya saja yang tidak mau mengalah, atau lebih parah lagi, saya tidak mau mendengar argumentasi orang lain, pokoknya pendapat saya yang paling benar sendiri.
Saya jadi teringat tiga valentine lalu, ketika saya dan rekan-rekan sedang menunggu antaran nasi bungkus yang akan kami serahkan ke korban banjir di bantaran sungai Ciliwung. Saat itu, kami menunggu di Starbuck Tebet. Sambil menyeruput frappucino dingin, teman saya bercerita bahwa untuk acara valentine kali itu, teman-teman kelompoknya membuat sebuah game khusus bagi mereka yang belum menikah. Yang wanita diminta membuat daftar pertanyaan apa yang ingin diketahui seputar pandangan pria atas kencan, dan yang pria diwajibkan menjawabnya dengan jujur. That's a very good idea! Maka saya mulai menantang para cewek single yang ada di sana untuk memulai pertanyaan, dan saya mencoba menjawabnya. Karena seru, maka teman-teman pria yang lain ikut nimbrung dan urun jawaban. Kalau ada yang tidak sesuai dengan jawaban saya, maka saya berusaha untuk membuat teman-teman saya bisa melihat dari sudut pandang saya...
Di kegelapan mobil, saya mengambil napas panjang. Malu karena apa yang saya lakukan tiga tahun lalu tidak ada bedanya dengan si penyela tadi, walaupun yang saya lakukan selama ini tidak memotong presentasi orang, tapi sama kejamnya karena memotong pandangan orang lain di tengah pembicaraan. Padahal, kalau saja saya memberi kesempatan kepada teman-teman saya menyelesaikan jawabannya dan mau mendengar dengan seksama, saya pasti akan belajar banyak dan bisa jadi tiga tahun kemudian saya tidak akan lagi sendiri seperti sekarang ini. Kalau mau disesuaikan dengan kiasan tadi, saya ini ibaratnya punya satu mulut besar dan dua telinga (setengah) tuli...
Hari ini saya belajar arti mendengarkan. Saya jadi teringat nasihat saya kepada seorang mantan pegawai saya, tentang menjadi ahli strategi. Bukannya seorang ahli strategi itu lebih banyak mengamati daripada bertindak secara fisik? Dan dalam mengamati itu termasuk kegiatan mendengar? Lalu mengapa saya ini lebih banya berbicara dari mendengar? Padahal didalam mendengar terletak pengetahuan dan kebijaksanaan. Saya lalu terbayang para orang-orang bijak di film silat yang selalu mendengar dan berpikir sambil mengelus-elus janggut putihnya yang panjang sebelum menyimpulkan dan memberi tanggapan. Dalam hati saya berkata, saya mau seperti itu. Bukan dalam hal jenggotannya, tapi dalam hal bijaknya. Saya mau mendengar lebih banyak dan mendengar sampai tuntas. Semoga mulai besok Anda akan melihat saya lebih banyak mendengar daripada bicaranya. Atau paling tidak, berusaha mendengar lebih baik, mengingat kuping kiri saya agak tuli karena pernah dilubangi saat radang gendang telinga kelas enam SD dulu....
Saat menutup blog ini, tiba-tiba masuklah sebuah email bagaikan dikirim dari surga, isinya :
In all things, be willing to listen to people around you. None of us is really smart enough to go it alone - John Clendenin
1 comment:
Seperti Pepatah mengatakan "Mulutmu adalah Harimau Mu". Oleh karena itu alangkah baiknya bila kita menjaga hati dan pikiran dengan baik, maka yang akan dikeluarkan dari mulut kita akan menjadi baik pula.
Post a Comment