Saya mengantar kakak saya pulang dari makan malam bersama keluarganya dan ketika melakukan U-turn di kelokan dekat rumahnya, sebuah mobil jazz warna merah melintas tanpa mengurangi laju sama sekali, dan tanpa memedulikan bahwa mobil saya sudah masuk lebih dari setengah jalan di jalurnya. Saya lalu berpikir, memangnya ada keadaan emergency apa hingga dia tidak bisa memelankan sebentar mobilnya, dan memberi jalan kepada saya yang sudah masuk terlebih dahulu di jalurnya.
Saya jadi teringat sebuah pesan layanan masyarakat yang dibuat oleh sebuah radio swasta di Jakarta. Sang pembawa acara mengatakan bahwa ketika di sebuah pagi ia melintas di jalan, tiba-tiba ia disalip dengan sangat kencangnya oleh sebuah mobil. Mobil yang menyalipnya, kemudian melakukan berbagai gerakan zig zag sehingga si penyiar berpendapat bahwa pengemudinya sedang dalam keadaan emergency. Ketika si penyiar kemudian berhenti sejenak untuk beristirahat di warung kopi, matanya tertumbuk pada sebuah ambulans melintas diikuti mobil derek yang sedang menarik mobil yang tadi menyalipnya. Rupanya mobil tadi kecelakaan. Si penyiar lalu bertanya, kalau misalnya mobil tadi menyetir tidak terburu-buru seperti itu, maka mungkin ia tidak akan kecelakaan. Apalah artinya berhemat 10 menit dibandingkan harga nyawanya sendiri. Iklan itu sangat menancap di otak saya hingga kini.
Saya bukanlah satu-satunya orang yang menjadi saksi dan korban kebrutalan bangsa ini di jalanan. Teman-teman di kantor bahkan membuat lelucon tentang bagaimana supir bajaj menyetir. Kata mereka, "Hanya Tuhan dan si supir yang tahu kapan bajajnya akan belok." Tadi pagi saya bahkan melihat bagaimana sebuah kendaraan dengan lincahnya zig zag kiri kanan mendahului saya dengan cepatnya dan seketika itu juga hilang dari pandangan. Kadang, saya mengikuti instink sang penyiar dengan menanyakan, kira-kira dia sedang terburu-buru untuk apa ya...
Sikap tak mau mengalah dan raja jalanan ini menjadi semakin parah oleh tingkah laku pengemudi motor. Tak satu pun mobil di Jakarta ini selamat dari secuil goresan, dan kebanyakan goresan itu disumbangkan oleh pengemudi motor yang tengil dan semaunya sendiri. Mau paling cepat, salip kanan dan kiri, hingga seringkali menyenggol spion. Dan kalau itu terjadi, si pengendara paling banter hanya nyengir kecil lalu melesat kabur tanpa mau membenarkan kembali posisi spion yang sudah bengkok ke depan. Coba kalau ganti ia yang tersenggol...Beberapa hari yang lalu Manajer SDM saya menjadi korban terpental akibat ketengilan adiknya sendiri dalam menyetir motornya, sampai pantat sang motor dicium mobil karena dengan semena-mena memotong si mobil dari arah kiri, untuk belok kanan! Itu pun adiknya tidak terima dan malah bersama pengendara motor yang lain yang solider buta berniat mengeroyok sang supir mobil, kalau tidak dimarahi oleh kakaknya sendiri!
Orang bilang orang kita penuh santun, namun yang kenyataan selama ini menunjukkan betapa tak punya perasaan dan barbarnya kita. Saling serobot, tak mau mengalah, sehingga jalur mobil yang cukup banyak menjadi sebuah keruwetan yang tidak teruraikan, dan meskipun sudah terbentuk simpul mati pun tak ada satu pun yang rela untuk mengalah. Di jalan tol, jalur paling kanan yang mestinya diperuntukkan bagi mobil untuk melewati kendaraan yang lain, dijadikan ajang jawara. Rasanya, kita ini jadi "king of the road" kalau bisa bertahta di jalur kanan, tak peduli bahwa mobil kita ini sudah barang reot yang tak bisa lari kencang, dan keberadaan kita justru menghambat kendaraan lain yang perlu melaju lebih cepat.
Pagi ini saya terlambat bangun dan mengejar jadwal gereja ke katedral. Kondisi gereja sudah penuh, namun Tuhan masih sayang saya memberi tempat di deretan paling belakang. Saat misa sudah mulai, ada seorang ibu tua yang sudah susah jalannya didampingi oleh anak perempuannya yang juga sudah setengah baya. Karena penuhnya, maka sang ibu diberi tempat duduk terlebih dahulu, sedangkan sang anak terpaksa terpisah. Melihat ibunya cemas dan gelisah, sang anak kemudian mencari tempat duduk yang tak jauh dari si ibu. Ketika ia meminta pengertian dari sebuah keluarga yang duduk tepat di depan ibunya agar ia bisa duduk di pinggir sehingga kalau ada apa-apa bisa langsung membantu si ibu, keluarga muda itu bergeming, dan hanya memberikan isyarat kepada si anak untuk masuk saja melintas duduk di tengah bangku, yang letaknya jauh dari ibunya. Saya rasanya sudah mau keluar dari bangku itu dan menghardik suami isteri muda dan seorang anaknya yang masih kecil itu. Untung saja seorang ibu tua yang duduk tepat di belakang sang ibu kemudian memanggil si anak untuk duduk berdempetan dengannya.
Hati saya bergejolak. Di tempat ibadah seperti ini masih juga egois dan tidak mau memperhatikan orang lain? Iman macam apa itu? Saya juga sering dibuat sangat gemas dengan praktek booking membooking tempat di gereja terutama saat misa-misa besar di adakan. Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Suci, Sabtu dan Minggu Paskah, serta misa-misa Natal menjadi ajang favorit untuk umat melakukan praktek tak halal ini. Saya cuma berpikir, bagaimana keegoisan umat dipraktekkan di tempat ibadahnya. Kalau teman atau keluarganya terlambat datang, ya salah mereka sendiri, bukannya malah mengorbankan orang lain yang datang lebih awal! Saya sendiri sudah menjadi korban puluhan kali dari praktek semacam ini, dan benar-benar kesal! kalau bookingnya untuk satu orang sih oke lah, tapi yang terjadi adalah satu orang membooking untuk satu deret dengan cara mengeluarkan harta karunnya, sehingga seolah-olah seluruh bangku ada yang menduduki. Mulai dari tas, jaket, puji syukur, dan lain lain dijejer-jejer seperti penjual barang kelontong!
Saya kemudian jadi ingat juga akan sebuah peristiwa kecil, ketika mengantri di kasir Hypremart. Saya dengan belanjaan bulanan, dari tadi sudah menunggu giliran ke sekian, saat tiba-tiba seorang wanita meminta minta agar ia didahulukan, dan meskipun kesal (karena mau banyak atau sedikit, yang namanya antri ya antri kan?) akhirnya saya menyilakan dia berada di depan saya. Namun pada saat gilirannya tiba, ia malah menghilang meninggalkan si kasir, saya dan barang belanjaannya karena sudah dipanggil suaminya pulang!
Sambil menyetir pulang, otak saya tak berhenti berpikir dan membandingkan tingkah laku orang-orang itu dengan saya sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Apakah saya seegois itu? Yang penting saya duluan, yang penting enak, yang penting senang, yang lain sabodo teuing teh! Saya akui, kadang saya melakukannya. Ada rasa puas tersendiri, dan bangga, dan bahkan sombong kalau bisa mendahului atau menyerobot. Kadang, bukan karena membutuhkan, tapi seringkali cuma buat memenuhi ego dan kebanggaan diri yang tidak penting semata!
Hari ini kepala botak saya kembali dijitak di dalam gereja dan di jalanan supaya menyadari dan mendahulukan orang lain yang lebih berhak atau yang lebih memerlukan. Memberi jalan kepada orang lain, dan memberi kesempatan terlebih dahulu bagi orang lain yang lebih membutuhkan. Kesempatan dan fasilitas tak akan kemana. Waktu juga tak akan kemana, kalau mengingat apalah artinya waktu 10 menit, dibanding bahaya kecelakaan yang siap menerkam. Lagi pula, ajaran agama mengatakan dengan mendahulukan, kamu akan didahulukan. Dengan memberi, kamu akan mendapatkan. Semoga saya bisa mulai mempraktekkannya besok, saat mata menatap matahari pagi dan memulai aktivitas saya....
No comments:
Post a Comment