Terus terang saya langganan majalah Time bukan karena isinya, namun karena iming-iming hadiah teleskop yang akan saya peroleh bila berlangganan paling tidak setahun. Bonusnya, ya beberapa edisi majalah Time yang collectible items seperti edisi Person of the Year nya.
Edisi kali ini bergambar depan kunci Toyota yang dibengkokkan. Namun sekali lagi perhatian saya malah tertuju ada sebuah headline kecil di bagian belakang majalah: Bangkok is tidier these days, but its spirit shines as brightly as ever. Ya, kalau lihat Bangkok masa kini dan langsung memalingkan wajah pada ibu kota kita tercinta, Jakarta, iri rasanya. Dua-tiga puluh tahun yang lalu, Bangkok dan Jakarta sama ruwetnya soal traffio, ruwet pula tatanan hidup masyarakatnya, terutama di strata masyarakat kelas bawahnya. Saat ini, Bangkok memang masih rumit, tapi tatanannya menjadi jauh lebih teratur dari Jakarta yang sudah seperti benang ruwet yang kena injak. Bangkok punya sistem subway yang dipuji bahkan oleh majalah seinternasional Time. Sedang di Jakarta, yang ada cuma tiang-tiang MRT yang terbengkalai padahal saat pembuatannya sudah bikin macet setengah mati. Juga airport internasional yang tidak malu-maluin seperti yang terjadi di Soetta,Soekarno Hatta. Ngomong-ngomong soal Soekarno Hatta, saya heran, bandara daerah saja bisa lebih nyaman dari gerbang Indonesia ini.
Lalu soal traffic. Dua hari menjelang akhir pekan lalu di Jakarta menjadi saksi saya naik darah akibat macet yang tak berujung. Juga aksi gila Jakmania yang berakhir keributan di daerah Sudirman, dan saat saya terhimpit di antara dua bis doyong penuh awak Jakmania dari segala arah, polisi cuma diam saja, cuma melambai-lambaikan tangan agar lalu lintas bergerak lebih cepat. Apanya yang lebih cepat kalau isi jalanan berbaur dengan tingkah Jakmania serta semrawutnya kendaraan? Lalu ide pembuatan busway di tengah jalan, sedangkan sistem lalu lintas kita adalah sistem stir kanan. Bahkan DIY jauh lebih pintar dengan membuat busway sesuai dengan tatanan lalu lintas kita. Saya sendiri tidak pernah menginjak busway Jakarta sebagai aksi protes terhadap kebijakan yang justru memperparah kemacetan justru di jalan-jalan utama di Jakarta. Di dalam tol yang mestinya bebas hambatan, justru isinya hambatan melulu, macet! Saya jadi berpikir, kenapa sih mobil niaga tidak dibatasi masuk ke tol dalam kota di saat padat? Misalnya saja kalau mobil niaganya boleh lewat jam 22:00 - 05:00, dan kalau masuk di luar jam itu dikenakan tarif 10 kali lebih mahal, mungkin tidak akan semacet sekarang. Selama ini kalau berangkat kantor, saingan saya adalah truk-truk besar yang mestinya nyawanya hidup di malam hari!
Mengenai keluhan-keluhan ini, teman wartawan saya menertawakan saat saya mengomel habis tentang mereka yang sok jumawa bilang ahli. Saya heran, kemauan saja tidak ada, apa lagi melakukan. Saya sangat prihatin, kalau saja ada sedikit saja jiwa melayani nya, tentu kota Jakarta tidak separah ini. Mungkinkah apa yang dikeluhkan orang saat saya menanyakan mengapa mereka memilih dokter luar negeri ketimbang dokter kita sendiri, dan salah satu jawaban utama adalah kemampuan analitisnya kurang, ini juga berlaku umum? Buktinya sekian banyak pemimpin provinsi ini, tak ada yang bisa memberikan gambaran komprehensif mengenai rencana tata kota Jakarta. Karena itulah seorang wartawan senior lainnya pernah mencap Jakarta sebagai kampung kosmopolitan, karena tatanannya bukan kota, tatanannya masih kampung yang terseret arus global. Singapura, Kuala Lumpur dan Bangkok adalah contoh dimana petugas negaranya masih memikirkan kepentingan rakyatnya. Jadi yang membedakan adalah kemauannya. Kata pepatah, when there is a will, there is a way. Bangkok dan Kuala Lumpur adalah buktinya. Tiga puluh tahun yang lalu, mereka tertinggal dari Jakarta. Kini, bahkan Vietnam yang dipandang sebelah mata pun sebentar lagi melesat meninggalkan Jakarta.
Lalu saya terdiam. Saya ini mengomel soal pejabat daerah kita, padalah tingkah saya sama saja. Hidup saya ruwet, tapi tetap saja korupsi kemauan, karena kok ternyata yang ruwet itu enak ya? Tanpa terasa keruwetan itu menggerogoti hidup kita dan kalau sudah sampai keadaan darurat, baru saya nya panik. Salah satu contohnya adalah penjadwalan saya. Di luar jam kerja, time management saya untuk kehidupan pribadi sangat tidak karu-karuan dan rumit. Ada yang sudah saya rancang dari lama, tapi banyak juga yang bersifat tentatif. Artinya, kalau ada hal yang saya anggap penting, saya akan mencoba menggeser kanan kiri. Lalu menjadwal ulang. Itu kenapa acara janjian saya dengan teman baik saya Chandra terjadwal ulang terus-terusan. Dan juga beberapa teman lainnya.
Hari ini saya seperti diberi peringatan untuk memberi contoh pejabat kita soal membenahi. Saya berjanji membenahi jadwal pribadi saya mulai awal Maret (karena jadwal sekarang hingga akhir bulan sudah keburu hancur) sambil mengimbau, siapa tahu mereka yang memiliki wewenang tergerak hatinya, membenahi diri sendiri dan prioritas jabatannya sebagai pengemban amanah rakyat (dan bukan amanah dirinya sendiri atau isteri atau anaknya) dan punya kemauan untuk berbakti bagi nusa bangsanya (dan bukan pada dirinya sendiri atau isteri atau anaknya)Bukankah kalau ada kemauan, terbuka jalan? Semoga Jakarta kita menjadi lebih baik karena memiliki pengemban amanah rakyat yang punya nurani dan kemauan untuk menjadi lebih baik. Enak dan bangga kan, kalau membaca majalah Time headlinenya berbunyi : Jakarta is tidier these days, but its spirit shines as brightly as ever...
No comments:
Post a Comment