Friday, February 19, 2010

19 Februari 2010 :Jujur

Beberapa hari ini, pemberitaan di Kompas menyoroti mengenai maraknya aksi plagiat di kalangan akademisi. Awalnya ribut soal aksi ini di kalangan guru besar (!) dan kemudian berkembang hingga murid. Hm. Apakah ini fenomena dari atas turun ke bawah, atau memang sudah dari kecil punya jiwa tak jujur?

Saya sendiri sudah menerapkan ketidakjujuran ini sejak SD, dan didukung oleh ayah dan ibu saya pula! Saya ini paling payah soal prakarya. Jadi kalau ada proyek yang harus dibawa pulang, maka yang membuat prakarya adalah ayah dan ibu. Kalau ada yang soal menggergaji dan bikin ini itu, ayah yang membuatkan. Kalau ada yang soal jahit menjahit, ibu yang turun tangan. Dan ini berlangsung terus hingga SMP. Untung SMA sudah tidak ada lagi prakarya. Hanya saja, ketidakjujuran saya beralih. Kalau dulunya soal prakarya, maka di SMA ada masalah yang lebih rumit, saya tidak suka ditempatkan di IPA. Karena kesal namun tak bisa memilih, jadinya saya super malas dan merasa super bodoh. Karena tidak suka dengan pelajarannya, rasanya semua yang diajarkan memantul saja dari otak ini. Akibatnya, saya jadi ahli. Ahli mencontek. Mencontek PR, mencontek ulangan, bahkan ujian akhir pun mencontek. Jadi, saya lulus karena hasil mencontek. Di kuliah, karena bidangnya pilihan saya sendiri, ganti saya yang menjadi sumber contekan. Saya lulus summa cumlaude asli dari hasil keringat saya.

Karena sudah terbiasa tidak jujur, maka saya juga menggunakan teknik tidak jujur ini saat menghadapi klien, Pernah, saat di perusahaan iklan, klien saya membutuhkan company profile nya siap sebelum makan siang sehingga bisa dikirim ke Bali untuk dibagikan di sebuah acara santap malam. Jam 10 pagi ketika saya check, ternyata company prolfie itu baru selesai cetak dan sedang proses pengeringan proses vernis. Jam 11.30, baru diproses binding. Saat makan siang tiba, masih juga proses bindingnya belum selesai. Klien sudah mulai menelpon, dan saya bilang ini sudah siap antar. Jam 12.30 saya bilang sudah dikirim, padahal masih dalam proses dirapikan. Jam 13.00 klien sudah mulai marah marah, dan saya mulai gemetar. Barangnya belum jadi. Ketika belum jadi juga pada jam 14.00 padahal bukunya mau dipakai jam 19.00 dan waktu di Bali satu jam lebih awal dari Jakarta dan klien murka besar, akhirnya saya menyerah. Saya minta maaf dan bilang apa adanya. Setelah murkanya selesai, datang keajaiban. Saya dan klien saya tiba-tiba jadi satu tim, mencari solusi bagaimana caranya agar company profile itu bisa tetap sampai tepat waktu di Bali. Jam 14.30 ketika company profile itu sampai di tangan saya, saya langsung ngebut ke tempat klien dan sampai dalam waktu 30 menit. Dalam waktu kurang dari satu jam, barang itu sudah dalam perjalanan ke Bali, dititipkan ke teman pilot sang klien. Booklet itu tiba tepat sesaat dibutuhkan.

Dari situ saya belajar, jangan berbohong. Jujur. Karena kalau kita jujur dan berbagi masalah, maka masalah itu jadi beban bersama dan bisa diselesaikan bersama-sama juga. Maka, saat ini kalau ada suatu masalah yang bisa dishare dengan klien, saya tidak akan menutup-nutupi sok pinter bisa menyelesaikan sendiri masalahnya. Karena kemungkinan masalah yang begitu rumit buat saya, bisa diuraikan dengan mudah dengan sumber daya dan jejaring orang lain. Saya juga mencoba menanamkan soal kejujuran ini pada anak buah di kantor.

Di luar kantor, saya pernah menjadi korban sekaligus aktor ketidakjujuran. Mulai dari bohong-bohong kecil, sampai bohong luar biasa besarnya. Saya pernah mengalami kebohongan besar itu saat ditipu beberapa kali oleh orang yang saya percaya, dan herannya saya percayaaa saja. Saya juga memperhatikan, sering kali orang memulai katanya dengan, "Jujur, saya...." "Jujur, saya...." "Jujur saja, saya..." Saya jadi berpikir, kalau kali itu orang itu bilang jujur..., maka yang lainnya tidak jujur dong? What's wrong with our society? Sudah terbiasa tidak jujur, sehingga kejujuran ini jadi barang langka? Saya sendiri, jarang sekali ikut-ikutan mengatakan "jujur" kalau tidak diarahkan lawan bicara saya. Karena bagi saya, setelah kepentok kasus di atas, mestinya kita ini bicara apa adanya saja. Bahkan saking jujurnya, saya sering menyakiti kuping dan hati orang lain.

Tapi soal kejujuran ini ternyata tak sama dengan tidak menceritakan semuanya. Ketika saya ditanya oleh sebuah media yang ingin menulis soal kehumasan, saya mengatakan bahwa hakiki komunikasi yang baik itu jujur, tidak membohongi, namun bukan berarti kita harus telanjang di depan semua publik, seperti yang sekarang ini diartikan oleh infotainment kita. Ada bagian yang perlu diketahui publik, ada juga yang tidak. Sama seperti kalau ada tamu yang datang ke rumah, maka kita akan memilih berdasarkan kedekatan. Ada yang hanya perlu ditemui di halaman rumah, namun sudah tentu pasangan kita bebas menjelajahi semua ruang. Bahkan kakak saya saja tidak sering sering masuk ke ruang tidur saya, kecuali kalau saya ajak. Sayangnya, pemilahan informasi ini kemudian jadi rancu dan rawan masuk ke area tidak jujur. Maksudnya supaya menghindar orang masuk ke rana yang tidak kita inginkan, kita jadi tidak jujur. Dan itu, menurut pengalaman saya, terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita, baik pada orang yang baru kenal atau orang yang sudah sekamar dengan kita.

Hm. sekarang saya yang pada persimpangan. Jadi, harus bagaimana dong kita? Saya baru menyadari bahwa menjadi jujur itu ternyata sangat rumit. Kejujuran itu ternyata banyak tingkatan dan kadarnya. Setelah berhenti menulis selama 20 menit, akhirnya saya menyimpulkan untuk kembali ke yang hakiki. Jujur pada diri sendiri dan hati. Biarlah hati yang menuntun dan mengarahkan langkah saya. Semoga hati ini tidak salah mengarahkan. Bismillah...

No comments: