Friday, February 26, 2010

26 Februari 2010 : Rezeki

Malam ini saya kekenyangan hingga perut terasa begah. Menu ikan sebelah bakar, cumi goreng tepung,ca kangkung dan aneka sambal yang sangat mantap dari warung Almarhumah Ibu Wati ludes tak bersisa. Warung seafood Bu Wati adalah salah satu di antara deretan warung ikan bakar di bibir pantai Anyer belakang Hotel Marbella Anyer. Warung tersebut sudah menjadi favorit langganan saya sejak tahun 2003. Dan kini, ketika sang pemilik sudah kembali ke ribaan Sang Pencipta, warung yang diteruskan oleh anak dan saudara-saudaranya itu tetap digemari pelanggannya. Ia menjadi satu-satunya warung ikan paling ramai di kawasan itu.

Sambil menyantap makanan lezat, saya memperhatikan orang yang lalu lalang. Mereka yang melihat ssaya lahap kemudian tergiur dan memutuskan untuk mencoba kelezatan makanan Warung Ibu Wati. Tapi tidak semua belok ke warung itu. Sekelompok orang tidak terpengaruh pesona ramainya pengunjung di warung tempat saya makan dan memutuskan untuk bersantap di warung sebelah. Dalam hati saya bilang, wah mereka belum tahu saja tak ada yang lebih enak dari masakan warung ini!

Seketika saya disadarkan bahwa rezeki tak kemana. Warung sebelah yang biasanya sepi malam ini ketiban rezeki tanpa harus ada alasan apa pun. Teman saya bilang mungkin karena mereka mencari sepi nya. Mungkin. Saya lalu teringat beberapa waktu yang lalu diundang untuk bertemu dengan Ibu Munawar, pencetus dan pendiri Rumah Sakit Jantung swasta pertama di Jakarta. Ketika saya bertanya apakah tidak takut bersaing dengan fasilitas jantung di rumah sakit swasta lainnya, Beiau dengan enteng menjawa,"Wah, Mas, buat apa takut, yang namanya rezeki itu tidak kemana. Lha wong tukang jual buah berderet masing-masing juga ada yang beli..."

Iya, ya benar juga. Kemarin saya baru ngomel-ngomel soal kepasrahan seorang kerabat pada nasibnya. Ia seorang profesional handal tapi penghasilannya viasa-biasa saja bahkan cenderung tidak bisa memenuhi kebutuhan gaya hidupnya. Kerabat saya yang lain membela kalau ia harus mulai dengan lahan baru rasanya sudah tak memungkinkan karena harus bersaing dengan profesional lain yang jauh lebih muda dan agresif. Saya bilang, kalau saya, melihat kecenderungan yang semakin tidak menjanjikan saya pasti sudah dari dulu-dulu pasang ancang ancang atur plan B. Jadi apa yang harus dilakukan? Menunggu rezeki datang, atau berusaha?

Ingatan saya lalu melayang saat pertama kali saya bertemu dengan Almarhumah Ibu Wati, tujuh tahun yang lalu. Tentu yang membuat saya kesengsem adalah ikan bakarnya yang luar biasa lezat, cumi gorengnya yang mengalahkan semua calamari di dunia, sambalnya yang benar-benar gurih dan enak. Namun di luar itu, Ibu Wati adalah seorang "people person" yang mau menyapa pelanggannya, dan ingat akan mereka. Dari obrolan yang remeh temeh, kemudian kami menjadi cukup akrab sehingga bisa berdiskusi mengenai penyakit paru yang dideritanya. Ketika Ibu Wati bercerai, dan akhirnya kembali lagi dengan sang suami, Beliau bercerita hingga detil. Saking jadi langganan tetap dan favorit, saya dengan mudah keluar masuk dapurnya menambah sendiri sambal dan tambahan lainnya. Bu Wati juga tak kenal putus asa. Ketika beberapa kali warungnya habis tersapu ombak, ia lalu membuat warung darurat di depan rumahnya. Beliau pun mulai mendidik dan menurunkan ilmu masak dan mengelola warung kepada anak dan saudaranya. Atas inisiatif Beliau pula, warung kecil itu menerima pesanan melalui nomor telepon genggam. Saat malang tak dapat ditolak dan Beliau meninggal akibat disambar motor seturun dari angkot, seluruh kawasan pantai Marbella berduka. Saya mendapat kabar pertama dari penjual otak-otak, lalu penjual rujak tentang kepergian Beliau. Setelah 40 hari, anak-anaknya meneruskan perjuangan ibunda tercinta dan sampai saat ini warung Bu Wati tetap ramai.

Ingat Bu Wati, saya juga jadi teringat Yu Nanik, penjual pecel lele di kawasan Cinere. Saya ini penggemar berat pecel lele, dan saya sudah jadi langganan Yu Nanik sejak tahun 1990 saat Yu Nanik masih berjualan pecel lele berpindah-pindah akibat digusur petugas. Gorengan lelenya kering dan gurih, namun yang lebih dahsyat lagi adalah sambalnya. Saya pernah menongkrongi bagaimana Yu Nanik membuat sambal dan menurunkan resepnya pada pembantu saya. Saat Yu Nanik keguguran anaknya dan tidak bisa berjualan untuk beberapa saat, Beliau mendidik saudara-saudaranya untuk menjalankan usahanya. Kini, Yu Nanik tidak lagi mengulek sambal. Dia punya 5 cabang pecel lele di Jakarta Selatan yang dipercayakan kepada saudara-saudaranya. Ia tinggal mensupervisi keliling. Kalau pas lagi di Cinere dan saya pas lagi makan di sana, ia tak pernah lupa menambahkan ekstra sambal.

Malam ini saya seolah diberi jawaban untuk pertanyaan saya di atas di antara keramaian warung Bu Wati dan warung sebelahnya, bahwa dibutuhkan usaha dan rezeki alias hoki untuk bisa berhasil. Kalau hanya bergantung pada rezeki, setelah untung sekali tanpa usaha bisa-bisa rezeki itu pun kabur di kali kedua. Karena itu saya akan terus berusaha, sambil tak henti-hentinya mohon kelimpahan rezeki...

No comments: