Friday, February 05, 2010

5 Februari 2010 : Tergerak

Karena penasaran akan aksi Sandra Bullock yang dianugerahi Golden Globe Award dan pencalonannya di Piala Oscar untuk kategori pemeran utama wanita, hari ini saya memanfaatkan kemacetan kota untuk menonton film The Blind Side. Film tersebut merupakan kisah nyata tentang seorang ibu rumah tangga kulit putih sukses yang tergerak hatinya untuk menampung seorang anak tunawisma kulit hitam, dan dengan dukungan suami serta kedua anaknya, kemudian mengembangkan bakat anak yang IQ nya di kisaran 80, menjadi seorang pemain bola yang tangguh dan mendapat beasiswa di Universitas Mississipi.

Buat saya, akting Sandra Bullock sendiri sebenarnya tidak terlalu istimewa, namun saya akui, bahwa filmnya kali ini sungguh berbeda dari kebanyakan film komedi romantis yang dibawakannya. Boleh dikatakan ini merupakan sebuah drama serius yang pertama kali dibawakannya, dan ia membawakannya dengan baik. Buat saya poin seperti ini adalah poin klasik bagaimana Hollywood menghargai aktor dan aktrisnya. Ketika Julia Roberts bermain serius menjadi seorang lawyer jalanan, ia pun diganjar Oscar, demikian pula dengan Charlize Theron saat memainkan seorang wanita kasar yang jauh dari kehidupan nyata, atau Nicole Kidman yang berubah total dengan hidungnya yang dibuat mancung aneh, mereka semua diganjar Oscar. Yang membuat saya tertarik terhadap film ini, bukanlah kekuatan akting dari masing-masing pemerannya, namun dari ceritanya sendiri, bagaimana di sebuah malam dingin, ibu tadi memutuskan untuk meminta suaminya membelokkan mobilnya, kembali menemui anak jalanan yang tak tentu arah untuk menginap di rumahnya, sekedar untuk memberi naungan kehangatan. Juga tentang bagaimana kehangatan dan ketulusan keluarganya mendukung dan menyirami Michael, si pemuda tuna wisma itu, dengan cinta sehingga Michael tumbuh menjadi pemuda yang penuh kasih, sopan santun, bertanggung jawab, dan berhasil dalam hidupnya.

Dalam perjalanan menuju calon klien saya di Pulo Gadung tadi siang, sebelum saya menonton film ini, saya melihat begitu banyak anak jalanan berkeliaran bermain di trotoar jalan, dan beberapa orang dewasa yang memanfaatkan anak kecil untuk digendong meminta-minta uang saat lampu lalu lintas menyala merah. Saya bertanya kepada Business Development Manager saya, "Kalau yang begini, kamu akan beri uang tidak?" Jawabnya, tidak. Karena menurutnya, orang dewasa itu seharusnya mencari kerja dan tidak memanfaatkan anak kecil untuk kepentingan mencari uang. Ia menambahkan lagi, kalau kasusnya anak kecilnya yang minta-minta, ia akan memberikan uang karena ingat anaknya sendiri. Saya lalu bertanya kembali, sambil melihat tukang krupuk yang menjajakan makanannya, tapi tak ada satu pun yang membeli, "Kalau sudah bekerja halal seperti ini tidak ada yang beli, bagaimana dong?"

Selama ini, saya termasuk orang yang tidak setuju memberi sedekah kepada orang yang saya nilai cukup mampu untuk bekerja, namun mengemis di perhentian jalan. Apa lagi saya sempat memperhatikan bahwa kegiatan mengemis itu dijadikan bisnis yang sangat efisien. Kalau diperhatikan seorang pengemis profesional akan menghitung berapa detik lampu merah itu menyala, dan dalam waktu sekian detik itu, harus berapa mobil yang dihampirinya. Mereka lalu memiliki pola dan tidak membuang-buang waktu untuk pengendara pelit seperti saya. Buat saya, seharusnya mengemis bukanlah profesi. Saya ingin masyarakat kita bisa punya daya juang yang besar, sehingga bekerja, mempertinggi produktivitas bangsa ini dengan mental juang yang tinggi pula. Saya lalu membandingkan dengan diri sendiri, yang harus berjuang setengah mati untuk pencapaian dan pembuktian dalam hidup ini.

Namun di sisi lain, dengan bertambahnya jumlah umur, saya juga harus menghadapi kenyataan bahwa idealisme saya yang di atas itu hanyalah mimpi semata. Kenyataannya saya melihat begitu banyak orang yang berjuang ingin ada di jalur halal, tapi seberusahanya mereka, mereka toh tidak ke mana-mana, dan tidak mendapatkan hasil apa-apa, sehingga harus menelan kenyataan pahit, bahwa kalau tidak mengambil jalan pintas, mereka akan mati terkapar kelaparan di pinggir jalan. Kenyataan pahit ini membuat teori saya yang menyalahkan mereka tidak punya daya juang besar, rontok seketika. Justru mereka sedang berjuang, karena itu mereka ada di tengah jalan meminta uang!

Lalu, kalau begitu apa yang memicu hati kita jadi tergerak untuk menolong? Saya tidak tahu, tapi selama ini, dalam hati ada saja dorongan yang begitu kuat yang menyuruh saya membuka kaca berbagi uang yang saya miliki dengan insan-insan tertentu di pinggir kaca mobil. Kriterianya apa, saya tidak tahu. Yang jelas, saat itu, hati saya tergerak.

Dalam 45 tahun hidup saya, tak banyak yang tahu, bahwa saya pernah membantu beberapa orang untuk mendapat kesempatan pendidikan. Selain dukungan dana, saya juga terlibat dalam membakar semangat mereka agar bisa mencapai cita-cita. Beberapa orang dekat yang tahu "kelakuan" saya tadi memarahi dan menganggap saya ini terlalu naif mau dimanfaatkan orang, yang seharusnya berjuang sendiri untuk hidup dan pendidikannya. Mereka tidak bisa mengerti kalau saya bilang saya tidak merasa dimanfaatkan, kalau saya bisa membantu, kenapa tidak, lagi pula saya melihat yang bersangkutan punya kemauan yang besar, namun tidak memiliki kesempatan. Kemudian timbul pertanyaan, kenapa cuma orang tertentu yang dibantu, tidak semua? Saya akhirnya juga berpikir, iya ya, kenapa orang tertentu saja ya? Tapi lama-lama saya berpendapat, ya karena orang-orang itulah yang dipertemukan Tuhan. Belum lama ini Saya bertemu dengan seorang yang sekarang cukup memiliki posisi dalam karirnya namun dalam hidupnya harus menukarkan harga dirinya untuk meraih pendidikan dan pekerjaan halalnya sekarang. Ketika tanpa sengaja ia tahu saya membantu seseorang tanpa pamrih, dia menjadi begitu benci dan marah, kenapa selama ini dia harus berdarah-darah untuk meraih yang diinginkan, sementara orang lain bisa sebegitu beruntungnya dibantu orang lain dengan tulus dan ikhlas tanpa meminta imbalan apa pun. Saya menjawab, kamu tidak bisa seperti itu. Dengki tidak menjawab persoalan kamu. Saya kemudian bercerita tentang talenta yang pernah saya bahas di blog ini. Setiap orang punya keberuntungannya masing-masing, dan punya tanggung jawab masing masing dalam hidup ini. Sayangnya, ia tetap tidak mau mengerti.

Saya jadi teringat cerita seorang desainer pakaian kondang yang sedang mengadakan perjalanan ziarah batin ke Israel. Saat itu ia berdoa, dan merasa mendapat bisikan, harus membantu orang yang duduk di sebelahnya, maka ia memberikan sejumlah dollar kepada yang bersangkutan. Sesampai di Israel, kata hatinya mengatakan ia harus membantu orang yang lain, jadi ia pun mengikutinya. Secara praktis, uangnya habis saat menginjakkan kaki di Soekarno Hatta. Namun begitu membuka pintu rumah, ia mendapat kabar kalau proyek ratusan juga yang diajukannya mendapat persetujuan untuk segera dilaksanakan.

Saya yang sedari tadi merenungkan kejadian siang di jalan raya dan cerita film Sandra Bullock untuk menjawab pertanyaan : "apa kriterianya hati kita tergerak untuk menolong?", jadi mendapat jawabannya. Adalah suara Tuhan yang ada di dalam diri kita yang menggerakkan hati untuk melakukan sesuatu, termasuk untuk membantu. Tinggal kita mengasah kepekaan diri untuk mendengarkannya. Kalau kita sudah bisa mendengar maka terserah kita mau mengikutinya atau menolaknya. Saya merasa bahwa kalau teriakannya sedemikian kencangnya, saya harus mengikuti kata hati karena kita tidak pernah tahu rencana dan misteri Illahi. Dari cerita desainer tadi, terbukti bahwa dengan memberi, kita pun menerima. Sandra Bullock di film juga mengatakan kepada teman-temannya, bahwa alih-alih dia yang membantu Michael, justru Michael lah yang membantu mengubah pandangan hidupnya. Saya juga mengalami bahwa dengan memberi kesempatan, saya juga telah membantu diri sendiri untuk lebih mensykuri dan menghargai hidup serta perjuangannya.

Hanya saja, selama ini, saya masih kurang peka, sehingga banyak kesempatan yang diberikan lewat begitu saja. Hari ini saya diingatkan untuk mengasah pendengaran batin agar lebih tajam menangkap suara Tuhan yang bertahta di dalam hati. Lebih dari itu, saya juga diingatkan untuk mengikuti suaraNya.

Selama ini saya selalu berpikir kalau saya ini bukan siapa-siapa, dan siapalah saya untuk bisa berbuat apa-apa bagi dunia ini, namun malam ini saya menemukan dua kutipan. Yang pertama dikirimkan dari walkthetalk.com dan berbunyi:

"You never know when a moment and a few sincere words can have an impact on a life." Zig Ziglar

dan yang kedua adalah dari fortune cookie yang saya peroleh saat makan malam di sebuah gerai bakmi di bilangan Mega Kuningan, dan setelah mencari setengah mati dan menyatakan hilang ikut tercuci di kantong baju, malam ini saya ketemukan kembali di lipatan obat flu saya :

"You are far more influential than you think"

Saya jadi tercekat. Suara Tuhan ternyata bisa datang dari mana saja, di saat yang tepat. Tinggal bagaimana kita mengasah kepekaan kita untuk menerima pesan dan mengikutinya ...

1 comment:

Tommy said...

Kejadian yang sama (hati tergerak) juga terjadi dengan saya pada saat saya ikut teman saya ke gereja kathedral pada hari minggu, tgl 7 februari 2010. Saat itu datang ke gereja jam : 10.30,.. dan gereja sudah sangat penuh.. dan juga panas (benar juga yang sudah dipesankan teman saya, bahwa udaranya akan panas). Akhirnya kami mendapatkan kursi yang paling belakang, lumayan dekat dengan pintu keluar dan kipas angin. hmm adem.. Pas sebelah saya ada anak kecil dan seorang ibu yang kurus dan sangat lusuh pakaiannya. Saat itu saya tersentak kaget, Sesaat pikiran saya berpikir mengapa kedua orang ini ada disini.., tapi dalam hitungan per sekian detik saya tersadar bahwa gereja adalah rumah Tuhan, semua orang dapat duduk dan mendengarkan sabda Tuhan tanpa ada pemilihan status orang tersebut. Duh kenapa pikiran itu terlintas ya..wah mesti giat lagi berdoa dan bersyukur nih.

Selama perjalanan waktu di gereja tersebut saya cukup mengantuk dalam mendengarkan ceramah dari pastur dan sesekali menengok kearah ibu dan anak tersebut. Dan ternyata anak dan ibu tersebut tertidur pula sambil si Ibu menyusui anaknya.

Pada saat komuni tiba,..yang mana tentu saja saya tidak ikut serta dalam komuni tersebut. Saya mengamati semua orang yang menjalankan komuni itu tidak terkecuali si ibu yang lusuh itu, sesaat setelah si ibu mengambil roti tersebut dan kemudian beliau berdoa. Pada saat itu saya sangat tersentuh, hampir saja saya meneteskan air mata. Kemudian langsung hati saya tergerak untuk memberikan sesuatu (yang mungkin jumlah yang tidak seberapa) kepada Ibu tersebut.
Hal tersebut membuat saya semakin sadar akan karunia Tuhan yang sungguh besar dan harus terus bersyukur dan berterima kasih atas apa yang saya punya pada saat ini.
Karena saya sering sekali menggerutu dan merasa kekurangan terhadap apa yang saya miliki.

Terima kasih kepada teman saya yang telah mengajak saya ke gereja dan memberikan suatu pembelajaran baru di hari minggu yang sangat cerah.