Thursday, February 04, 2010

4 Februari 2010 : Dari Hati

Malam ini saya mengajak seorang teman untuk makan di Bakmi GM. Setiba di sana suasananya sangat riuh karena ternyata ada acara ulang tahun anak. Jadilah kami duduk dan berbicara sedikit berteriak di tengah kegaduhan. Karena malas teriak-teriak, kami pun lebih banyak menikmati bakmie special GM dan setengah porsi pangsit goreng yang sangat terkenal itu. Lama-lama, perhatian saya terkait pada bagaimana sang MC yang gaduh itu membawakan acara. Ada dua MC. Yang satu agak gemuk, yang satu lagi pemuda tampan. Lama saya perhatikan gerak geriknya. Si gemuk begitu menyatu dengan perannya dan seolah melebur menjadi bagian dari anak-anak, sedang yang tampan lebih banyak jual tampang senyam senyum manis kepada anak-anak dan orang tuanya, sambil sesekali mengikuti arah si gemuk. Reaksi anak-anak? Mereka lebih menggerombol dengan si gemuk, daripada si tampan.

Saya jadi teringat ketika Sabtu kemarin saya berada di sebuah toko musik dan sedang dihadapkan dengan dua pilihan CD piano. Ketika diperdengarkan bergantian, keduanya menunjukkan kepiawaian yang canggih dalam memainkan musik denting itu. Tapi saat itu saya sedang tidak berniat serakah untuk membeli keduanya. Saya cuma ingin memilih salah satunya, jadi saya kembali mendengar lebih cermat. Saat menutup mata dan menjauhkan diri dari berisiknya suara-suara lain yang mengganggu di sekitar toko, saya mendengar perbedaannya. Pianis yang satu, bermain dengan sangat lincah dan canggih, namun dari cara bermainnya terpancar gelombang pamer atas kepiawaiannya bermain piano, sehingga yang terdengar adalah suara yang megah, rumit, dan menurut penangkapan saya, sedikit arogan. Pianis yang satunya lagi, memainkan musik dengan jauh lebih sederhana, namun saya menangkap penghayatan mendalam terhadap makna lagu yang dimainkan. Tak terdengar sedikitpun arogansi, yang terdengar adalah alunan penjiwaan yang melebur dengan setiap dentingan yang dibuatnya. Saya kemudian membeli album musik dari pianis ke dua.

Lalu, saya kembali ke keriuhan pesta anak di Bakmi GM. Baik anak-anak itu dan saya, memilih orang yang melakukan pekerjaannya dari hati. Saya agak terperanjat menemukan kenyataan bahwa sesuatu yang dilakukan dengan kesungguhan hati, dengan penuh cinta, dan keluar dari hati itu bisa begitu jelas terpancar, bahkan tanpa perlu diucapkan dengan jelas. Passion yang dilakukan dari dalam hati itu kemudian mengejawantahkan keberadaannya dalam bentuk gelombang suara, gerakan, bahkan dalam pukulan tuts piano!

Memang sih, kadang suara menipu. Saya punya dosen wanita yang kalau Anda memejamkan mata, Anda akan melihat Luna Maya dalam bayangan, namun ketika membuka mata, Anda akan berhadapan dengan seorang yang sungguh jauh dari bayangan jelita. Namun, kecantikan hatinya jelas terpancar dari ketulusan perilaku dan suaranya, dan bagi saya, ia cantik. Kita juga bisa membandingkan antara Oprah Winfrey dan berbagai pembawa acara bincang bincang yang lain, termasuk dari dalam negeri. Tak ada yang bisa menandingi Oprah, karena ia membawakan acaranya dengan hati. Hati inilah yang membuat orang merasa connected. Putri Diana yang dihujat-hujat oleh keluarga kerajaan, menerima cinta yang luar biasa besarnya dari masyarakat dunia, karena menunjukkan ketulusan yang secara spontan keluar dari hatinya. Meskipun hanya berpendidikan SMA, sang putri merebut simpati dunia karena hatinya. Raihan tangannya, pelukannya, dan cara ia berjongkok menjadi sejajar dengan para orang tua, menjadikannya menyatu dengan khalayak ramai.

Dalam pekerjaan, klien kita pun dapat merasakan apakah kita mengerjakan pekerjaan kita dengan hati, atau sekedar mau uangnya saja. Dan itulah yang membedakan kita dari yang lainnya. Kalau punya hati, kita jadi mau melakukan selangkah bahkan beberapa langkah lebih jauh dari porsi yang sudah tertera di kontrak kerja, dan itu bukannya tidak diperhatikan atau dihargai klien kita. Klien saya kebanyakan klien lama, yang tidak hanya mengobrol tentang urusan komunikasi, namun juga soal lainnya. Seorang klien bahkan meminta bantuan saya melakukan wawancara ketika ia ingin melakukan rekrutmen sebuah posisi kunci, hanya untuk memperoleh pendapat saya tentang seorang kandidat yang sedang dipertimbangkannya.

Saya hanya membayangkan andaikan semua orang bekerja dengan hati, tentu tidak akan lagi ada antrian surat pembaca di media massa karena semua merasa tertangani dengan baik. Kalau kita perhatikan, pujian dan keluhan semua yang ada di media tentang sebuah layanan berhubungan langsung dengan pelayanan yang tidak menggunakan hati, melainkan sekedar menjalankan prosedur, sehingga sang pelanggan hanya diangkap seri uang atau kasir saja. Tapi, terkadang memang si petugas tidak bisa disalahkan, karena perusahaannyalah biang tidak punya hatinya semua sistem pelayanan ini. Bilangnya sih nilai-nilai perusahaannya menjunjung tinggi kemanusiaan, tetapi prosedur yang diterapkan kepada pelanggannya sama sekali tidak punya unsur perikemanusiaan. Yang penting perusahaannya untung, dan selamat.

Lalu, saya kembali berpikir. Kalau selama ini saya mengerjakan dengan hati untuk urusan pekerjaan, apakah saya menerapkan prinsip yang sama dalam berhubungan dengan teman dan keluarga? Saya lalu menarik napas dan menutup muka. Aaarrrrgghhhh. Saya ini sering bilang sayang dan cinta pasangan, tapi yang saya lakukan adalah mengomel dan marah-marah melulu dengan pasangan saya. Kok terlambat sih menjemput? Dan kalau giliran saya yang jemput, kok nggak keluar keluar sih? Masih lama ya kerjanya? atau... Kok tidak ada kabar sih? Kok handphonenya tidak diangkat angkat? kok kerja melulu sih, kapan ada waktu buat saya? Kok jalannya pelan amat sih? Cepet dikit knapa! Kok ini, kok itu? Kerjanya menyakiti melulu perasaan orang orang yang katanya saya sayangi, dan sering kali jadi boss besar buatnya. Kalau meletakkan ini yang di tempatnya dong. ambilin ini. bikinin itu. Saya tercekat. Juga curigaan : kamu dapat sms dari siapa tuh? Kok malam malam gini masih telepon, dari siapa sih? Aduuuuuuh, dari tadi gak berhenti berhenti ngomongnya, memang siapa sih dan ada perlu apa sih? hmmmmmmm saya jadi bertanya dalam hati apakah ini kebiasaan, atau memang yang saya lakukan itu justru keluarnya dari hati?

Saya akhirnya berpikir dan mengambil kesimpulan dari berbagai kejadian, sepertinya, orang yang paling kita sayangi adalah orang yang justru paling (sering) kita "siksa" dan sakiti. Paling sering kita lecehkan dan marah-marahi. Katanya sayang, katanya cinta, kok dimarahi? dilecehkan? disuruh-suruh melebihi pembantu? diselingkuhi? disakiti? Begitu ya kelakuan kamu terhadap orang yang katanya paling kamu cintai? Apakah semua kelakuan kamu itu merupakan cerminan rasa sayang dan cinta kamu terhadap pasangan, orang tua dan keluarga kamu? Saya jadi pikir-pikir lagi. Jangan-jangan, apa yang saya lakukan selama ini justru yang menjadi penyebab kekasih saya kabur, karena yang keluar dari hati, sama sekali beda dengan yang keluar dari mulut?

Hari ini saya disadarkan bahwa segala perbuatan saya adalah cerminan hati. Hati yang benci, akan mengeluarkan aura yang kelam. Hati yang penuh cinta, akan mengeluarkan berbagai tindakan cinta pula. Namun satu hal lagi yang terpenting yang saya pelajari hari ini adalah, hendaknya apa yang keluar dari hati sama dengan yang keluar dari mulut. Maka takaran saya sekarang seharusnya tidak lagi rumit. Saya tinggal mempertanyakan saja, apakah tindakan saya ini cerminan rasa cinta, sayang dan kasih saya? Detik ini juga saya berubah: saya mau orang-orang yang saya cintai dan kasihi dapat merasakan (gelombang) cinta dan kasih, bukan hanya dari pernyataan saya yang jelas-jelas bilang,"saya sayang kamu, saya cinta kamu", tapi dalam setiap kelakuan dan perkataan saya di setiap detiknya...

No comments: