Sambil mengantar kerabat periksa ukuran kaca mata, saya tertegun membaca berita seorang anak usia 18 tahun bunuh diri terjun bebas dari apartemennya tanpa busana... gara-gara tidak dapat menonton final pertandingan bola tim nasional Indonesia melawan Malaysia.
Sebegitu pentingnyakah pertandingan itu bagi hidupnya sehingga ia memilih bunuh diri ketika niatnya tak tercapai? Apa dia tidak bisa mengikutinya melalui siarang langsung di tv saja? Kenapa mesti pakai telanjang bulat segala? Adakah kegagalannya menonton bola hanya pemicu terhadap beban yang lebih besar dalam hidupnya sehingga ia memilih mati saja?
Malam kemarin, di tengah santap malam bersama teman-teman terdekat saya mendengar kabar anak dari seorang kenalan bunuh diri di usia yang ke 17 dan ditengarai kehancuran rumah tangga orang tuanya sebagai penyebab. Dengar-dengar ia mengetahui baik sang ayah maupun ibunya sibuk dengan selingkuhannya masing-masing. Benarkah beban itu menjadi terlalu berat ditangani sehingga lebih baik memilih menghentikan perjalanan hidupnya sekarang karena tidak terbayang bagaimana masa depannya di kemudian hari karena tingkah laku orang tuanya?
Saya jadi ingat pesan teman saya Indrawati, seorang sosiolog yang juga memiliki indra ke 6 dan mendapat karunia bisa melihat dan berkomunikasi dengan arwah dan roh. Katanya, "Jangan pernah bunuh diri. Orang yang bunuh diri tidak hidup di alam orang hidup namun juga tidak hidup di alam orang mati. Ia akan sengsara dan tak dapat berkomunikasi sampai waktunya telah tiba baginya untuk meninggal dan pindah ke alam orang mati." Sepengetahuan saya, semua agama yang benar juga melarang ummatnya bunuh diri.
Agama juga mengatakan bahwa cobaan yang kita hadapi tidak pernah melebihi batas kekuatan kita. Saya juga mengalami berbagai keputusasaan dalam hidup ini namun tak pernah terbersit di dalam benak untuk mengakhiri hidup gara-gara masalah. Bagi saya tantangan hidup adalah sebuah "permainan" yang harus ditaklukan. Tentu ada menang dan kalah, namun hidup kita tak akan berakhir dengan kalah dari pertarungan. Buat saya, there is more to life than just give up to a problem or situation.
Saya sungguh prihatin dengan semakin rendahnya semangat juang manusia. Kejadian bunuh diri karena tidak dapat tiket nonton ini akan selalu terkenang di hati saya sebagai peringatan untuk tidak pernah (mudah) menyerah terhadap tantangan hidup. Rugi mati percuma untuk alasan yang sangat sepele. Dan karenanya kalau ada masalah, saya harus benar-benar objektif apakah ini soal hidup dan mati, atau sebenarnya cuma masalah kecil yang kelihatannya saja besar. Kalau ada permasalahan yang berat, mungkin saatnya saya melantunkan lagu count your blessing. Lagunya bilang :
When I'm worried and I can't sleep
I count my blessings instead of sheep
And I fall asleep counting my blessings
When my bankroll is getting small
I think of when I had none at all
And I fall asleep counting my blessings
I think about a nursery and I picture curly heads
And one by one I count them as they slumber in their beds
If you're worried and you can't sleep
Just count your blessings instead of sheep
And you'll fall asleep counting your blessings
I think about a nursery and I picture curly heads
And one by one I count them as they slumber in their beds
If you're worried and you can't sleep
Just count your blessings instead of sheep
And you'll fall asleep counting your blessings
dan satu lagi lagu dengan judul yang sama namun lirik berbeda :
When upon life’s billows you are tempest tossed,
When you are discouraged, thinking all is lost,
Count your many blessings, name them one by one,
And it will surprise you what the Lord hath done.
Refrain
Count your blessings,
name them one by one, Count your blessings,
see what God hath done! Count your blessings,
name them one by one,
And it will surprise you what the Lord hath done.
Are you ever burdened with a load of care?
Does the cross seem heavy you are called to bear?
Count your many blessings, every doubt will fly,
And you will keep singing as the days go by.
Refrain
When you look at others with their lands and gold,
Think that Christ has promised you His wealth untold;
Count your many blessings.
Wealth can never buy your reward in heaven,
nor your home on high.
Refrain
So, amid the conflict whether great or small,
Do not be disheartened, God is over all;
Count your many blessings, angels will attend,
Help and comfort give you to your journey’s end.
Refrain
Welcome to the world of Lawrence Tjandra where you celebrate life to its fullest. Come to see places I've been, read the articles published in media and share thoughts and views on diverse issues of life!
Wednesday, December 29, 2010
28 Desember 2010 : Manajemen Cinta
Teman saya datang sendirian dengan muka sebal setelah terlambat hampir satu jam dari janji makan malam bersama kami. Ia kemudian bercerita tentang kekesalannya pada kekasih yang sudah janjian menjemput tapi kemudian datang dengan celana pendek dan belum mandi padahal sudah tahu kami akan santap malam di resto hip terbaru di Jakarta dan dresscodenya adalah black and gold.
Dia lalu bercerita bahwa dia dan kekasihnya setiap malam selalu membahas detil acara keesokan harinya. Jam berapa, acara apa, pake baju apa dan lain lain. Dalam hati, waduh, seperti me-manage perusahaan saja. Saya jadi ingat setiap mau pulang saya selalu mereview jadwal kerja keesokan harinya. Tapi saya juga jadi berkaca, saya juga melakukan yang sama dengan teman saya itu, mereview apa yang akan dilakukan bersama keesokan harinya, meskipun tidak seketat dia. Kalau kejadiannya seperti yang diceritakannya, memang menjengkelkan, tapi meskipun mengomel berat, saya pribadi tidak akan memilih dinner bersama teman-teman, namun akan memilih menghabiskan waktu bersama kekasih saya.
Dipikir-pikir lagi, ternyata banyak yang menerapkan resep sukses manajemen di pekerjaan ke rana rumah dan pribadi. Saya ingat apa yang dilakukan Captain von Trapp di The Sound of Music yang menerapkan disiplin militer ke tujuh anaknya, sampai Suster Maria datang sebagai pengasuh dan memorakporandakan kedisiplinan yang kaku lalu menggantikannya dengan Manajemen Cinta, artinya semua dilakukan dengan fun and love. Kedisiplinan terbukti telah menjebak kita pada rutinitas yang membosankan dan mengekang, karena itu sedikit fleksibilitas membuat hidup kita lebih hidup karena kita berdua akhirnya tidak keberatan kalau ada berbagai kejutan dan rencana yang tidak berjalan seperti yang telah diagendakan dan berbelok pada kegiatan lain yang sama sekali berbeda tapi tak kalah fun karena dinikmati dan dilakukan berdua.
Di awal tahun, saya pernah di warning oleh seorang cenayang yang mengatakan saya sangat efisien dalam bekerja tapi sangat berantakan dalam hal asmara dan kehidupan pribadi. Saya disarankan untuk menerapkan resep sukses di rana pekerjaan ke rana pribadi. Selama ini saya selalu memisahkan kehidupan kerja dan pribadi dan mulai meragukan pendekatan saya itu ketika dinasihati sang cenayang. Mungkin benar juga, saya harus menerapkan keefisienan cara kerja saya ke kehidupan pribadi. Tapi sekarang saya jadi berpikir lagi : benarkah menerapkan resep sukses di kantor bisa membuat kehidupan pribadi saya lebih baik? Rasanya kalau penerapannya 100% runyam juga jadinya. Mantan saya pernah komplen katanya kok dia merasa seperti karyawan saya saja. Jadi, for sure, gaya manajemen saya di kantor tidak tepat diterapkan di rumah. Manajemen yang bagaimana yang mesti diterapkan?
Balik lagi ke The Sound of Music, saya jadi menyadari bahwa yang berhasil adalah kerangkanya menggunakan kerangka dasarnya manajemen pekerjaan : ada rencana, disiplin dan review, tetapi pelaksanaannya tak boleh kaku alias rigid. Saya juga menyadari tidak boleh menerapkan prinsip Key Performance Indicator kepada individu dalam keluarga karena cenderung membuat "performance" si anggota keluarga itu terpatok dan hanya diukur berdasarkan KPI itu. Saya juga tidak boleh menerapkan prinsip ROI atau Return on Investment karena apa yang dilakukan kepada keluarga itu bukan suatu investasi yang harus dihitung keuntungan atau labanya dari sana. Jadi meskipun ada tatanan dasarnya, tetapi manajemen rumah itu harus mengalir dan punya hati yang berbeda dengan "hati yang kita taruh di kantor." Saya sudah lama mematok bahwa kerja itu untuk hidup dan bukannya sebaliknya. Karena itu hati yang saya pasang di kantor seharusnya merupakan alat atau bagian untuk mencapai tujuan yang lebih utama, yaitu hati yang menghidupkan saya dalam kehidupan yang lebih luas di luar pekerjaan. Hati yang membentuk saya yang sejati. Ketika semua dikerjakan dengan hati, maka tiba-tiba kita merasa bahwa aturan rumah yang ada itu semuanya fun dan dilakukan dengan suka rela dan sepemahaman bahwa apa yang dilakukan itu adalah wujud kecintaan, kesenangan dan kenyamanan bersama. Setiap individu berkembang sesuai dengan talenta dan kesukaannya masing-masing, namun tetap pada koridor yang membentuk karakter keluarga. Itu yang dilakukan oleh Suster Maria. Ia me-manage rumah tangga yang tadinya kaku dengan manajemen cinta kasih.
Mungkin, itu lah resep yang tepat, manajemen cinta kasih untuk "mengatur" dan "memanage" urusan pribadi, rumah tangga dan cinta kita...
Dia lalu bercerita bahwa dia dan kekasihnya setiap malam selalu membahas detil acara keesokan harinya. Jam berapa, acara apa, pake baju apa dan lain lain. Dalam hati, waduh, seperti me-manage perusahaan saja. Saya jadi ingat setiap mau pulang saya selalu mereview jadwal kerja keesokan harinya. Tapi saya juga jadi berkaca, saya juga melakukan yang sama dengan teman saya itu, mereview apa yang akan dilakukan bersama keesokan harinya, meskipun tidak seketat dia. Kalau kejadiannya seperti yang diceritakannya, memang menjengkelkan, tapi meskipun mengomel berat, saya pribadi tidak akan memilih dinner bersama teman-teman, namun akan memilih menghabiskan waktu bersama kekasih saya.
Dipikir-pikir lagi, ternyata banyak yang menerapkan resep sukses manajemen di pekerjaan ke rana rumah dan pribadi. Saya ingat apa yang dilakukan Captain von Trapp di The Sound of Music yang menerapkan disiplin militer ke tujuh anaknya, sampai Suster Maria datang sebagai pengasuh dan memorakporandakan kedisiplinan yang kaku lalu menggantikannya dengan Manajemen Cinta, artinya semua dilakukan dengan fun and love. Kedisiplinan terbukti telah menjebak kita pada rutinitas yang membosankan dan mengekang, karena itu sedikit fleksibilitas membuat hidup kita lebih hidup karena kita berdua akhirnya tidak keberatan kalau ada berbagai kejutan dan rencana yang tidak berjalan seperti yang telah diagendakan dan berbelok pada kegiatan lain yang sama sekali berbeda tapi tak kalah fun karena dinikmati dan dilakukan berdua.
Di awal tahun, saya pernah di warning oleh seorang cenayang yang mengatakan saya sangat efisien dalam bekerja tapi sangat berantakan dalam hal asmara dan kehidupan pribadi. Saya disarankan untuk menerapkan resep sukses di rana pekerjaan ke rana pribadi. Selama ini saya selalu memisahkan kehidupan kerja dan pribadi dan mulai meragukan pendekatan saya itu ketika dinasihati sang cenayang. Mungkin benar juga, saya harus menerapkan keefisienan cara kerja saya ke kehidupan pribadi. Tapi sekarang saya jadi berpikir lagi : benarkah menerapkan resep sukses di kantor bisa membuat kehidupan pribadi saya lebih baik? Rasanya kalau penerapannya 100% runyam juga jadinya. Mantan saya pernah komplen katanya kok dia merasa seperti karyawan saya saja. Jadi, for sure, gaya manajemen saya di kantor tidak tepat diterapkan di rumah. Manajemen yang bagaimana yang mesti diterapkan?
Balik lagi ke The Sound of Music, saya jadi menyadari bahwa yang berhasil adalah kerangkanya menggunakan kerangka dasarnya manajemen pekerjaan : ada rencana, disiplin dan review, tetapi pelaksanaannya tak boleh kaku alias rigid. Saya juga menyadari tidak boleh menerapkan prinsip Key Performance Indicator kepada individu dalam keluarga karena cenderung membuat "performance" si anggota keluarga itu terpatok dan hanya diukur berdasarkan KPI itu. Saya juga tidak boleh menerapkan prinsip ROI atau Return on Investment karena apa yang dilakukan kepada keluarga itu bukan suatu investasi yang harus dihitung keuntungan atau labanya dari sana. Jadi meskipun ada tatanan dasarnya, tetapi manajemen rumah itu harus mengalir dan punya hati yang berbeda dengan "hati yang kita taruh di kantor." Saya sudah lama mematok bahwa kerja itu untuk hidup dan bukannya sebaliknya. Karena itu hati yang saya pasang di kantor seharusnya merupakan alat atau bagian untuk mencapai tujuan yang lebih utama, yaitu hati yang menghidupkan saya dalam kehidupan yang lebih luas di luar pekerjaan. Hati yang membentuk saya yang sejati. Ketika semua dikerjakan dengan hati, maka tiba-tiba kita merasa bahwa aturan rumah yang ada itu semuanya fun dan dilakukan dengan suka rela dan sepemahaman bahwa apa yang dilakukan itu adalah wujud kecintaan, kesenangan dan kenyamanan bersama. Setiap individu berkembang sesuai dengan talenta dan kesukaannya masing-masing, namun tetap pada koridor yang membentuk karakter keluarga. Itu yang dilakukan oleh Suster Maria. Ia me-manage rumah tangga yang tadinya kaku dengan manajemen cinta kasih.
Mungkin, itu lah resep yang tepat, manajemen cinta kasih untuk "mengatur" dan "memanage" urusan pribadi, rumah tangga dan cinta kita...
Labels:
'lawrence tjandra',
'manajemen cinta'
27 Desember 2010 : Telur atau Ayam
Saat santap malam menikmati seafood di pantai Anyer saya memperhatikan tak banyak pengunjung yang datang di area ini, padahal sekarang adalah akhir tahun yang berarti musim libur, dan Anyer termasuk tujuan wisata nusantara. Saya berpikir, apakah ini ada hubungannya dengan Gunung Krakatau yang akhir ini batuk-batuk, atau karena pemerintah setempat tidak tanggap menangkap peluang? Saya yakin, Yogya atau Bali pasti penuh sesak di hari-hari ini.
Usai makan yang membuat perut semakin membulat, saya memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke kafe apung di Patra Jasa. Saya senang akan ketenangan kafe yang menjorok ke laut dan membuat saya seolah-olah sedang di atas ombak. Saya sangat terkejut menemukan kafe tersebut dalam keadaan gelap gulita dan tak ada pengunjung. Meja nya pun tak disiapkan untuk menerima tamu, dan para pramusajinya seperti menghibur diri sendiri dengan home band yang melantunkan lagu dangdut. Niat saya nongkrong hilang seketika dan memutuskan untuk kembali ke Marbella. Sambil menuruni anak tangga saya bertanya dalam hati, keadaan ini apakah karena mau irit? Baru siap-siap ketika ada pengunjung ?Saya lalu berpikir, mana yang harus ada lebih dulu? Persiapan fasilitasnya dulu? Atau tamunya dulu? Jadi kalau ramai ada tamu, baru berbondong-bondong menyediakan prasarana? Tapi bagaimana tamunya mau datang kalau tidak ada prasarananya terlebih dahulu?
Saya lalu berkata pada teman seperjalanan, “Kalau saya jadi pemerintah daerah, saya akan merombak konsep pariwisata di sini dan menjadikannya tren liburan paling hip untuk orang Jakarta mengingat jaraknya yang cuma 1,5 jam dari Jakarta.Jadi daerah ini potensinya luar biasa besar! Sayang tidak ada yang menangkap peluang ini dengan benar dan dengan konsep keseluruhan yang komprehensif sehingga pengembangannya seadanya saja.” Saya menyadari bahwa ada dua kemungkinan untuk memulai sesuatu, prasarana dulu, atau tamunya ada dulu. Telu harus diciptakan terlebih dahulu. Saya harus punya perhitungan yang matang dan mau mengambil risiko mengeluarkan tenaga, pikiran dan dana terlebih dahulu untuk memancing cukup ikan dan kalau ikannya cukup banyak tertangkap, nantinya menambah modal untuk bisa menangkap ikan yang lebih besar dan lebih banyak untuk membuat pabrik dan ekspor ke seluruh dunia. Itulah kiasan saya.
Saya lalu mengambil kesimpulan, dalam hidup kalau mau berhasil, kita harus punya visi bagaimana hidup kita akan tercermin di posisi dan waktu tertentu, lalu punya keberanian dan kemauan untuk menanam cukup modal, bukan sekedar asal modal untuk memulainya. Saya tidak bicara soal bisnis saja. Saya bicara soal semua hal dalam hidup kita.
Terhadap pertanyaan telur atau ayam, kalau saya jadi Tuhan, jawabannya ya ayam dulu, baru bertelur ...
Usai makan yang membuat perut semakin membulat, saya memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke kafe apung di Patra Jasa. Saya senang akan ketenangan kafe yang menjorok ke laut dan membuat saya seolah-olah sedang di atas ombak. Saya sangat terkejut menemukan kafe tersebut dalam keadaan gelap gulita dan tak ada pengunjung. Meja nya pun tak disiapkan untuk menerima tamu, dan para pramusajinya seperti menghibur diri sendiri dengan home band yang melantunkan lagu dangdut. Niat saya nongkrong hilang seketika dan memutuskan untuk kembali ke Marbella. Sambil menuruni anak tangga saya bertanya dalam hati, keadaan ini apakah karena mau irit? Baru siap-siap ketika ada pengunjung ?Saya lalu berpikir, mana yang harus ada lebih dulu? Persiapan fasilitasnya dulu? Atau tamunya dulu? Jadi kalau ramai ada tamu, baru berbondong-bondong menyediakan prasarana? Tapi bagaimana tamunya mau datang kalau tidak ada prasarananya terlebih dahulu?
Saya lalu berkata pada teman seperjalanan, “Kalau saya jadi pemerintah daerah, saya akan merombak konsep pariwisata di sini dan menjadikannya tren liburan paling hip untuk orang Jakarta mengingat jaraknya yang cuma 1,5 jam dari Jakarta.Jadi daerah ini potensinya luar biasa besar! Sayang tidak ada yang menangkap peluang ini dengan benar dan dengan konsep keseluruhan yang komprehensif sehingga pengembangannya seadanya saja.” Saya menyadari bahwa ada dua kemungkinan untuk memulai sesuatu, prasarana dulu, atau tamunya ada dulu. Telu harus diciptakan terlebih dahulu. Saya harus punya perhitungan yang matang dan mau mengambil risiko mengeluarkan tenaga, pikiran dan dana terlebih dahulu untuk memancing cukup ikan dan kalau ikannya cukup banyak tertangkap, nantinya menambah modal untuk bisa menangkap ikan yang lebih besar dan lebih banyak untuk membuat pabrik dan ekspor ke seluruh dunia. Itulah kiasan saya.
Saya lalu mengambil kesimpulan, dalam hidup kalau mau berhasil, kita harus punya visi bagaimana hidup kita akan tercermin di posisi dan waktu tertentu, lalu punya keberanian dan kemauan untuk menanam cukup modal, bukan sekedar asal modal untuk memulainya. Saya tidak bicara soal bisnis saja. Saya bicara soal semua hal dalam hidup kita.
Terhadap pertanyaan telur atau ayam, kalau saya jadi Tuhan, jawabannya ya ayam dulu, baru bertelur ...
Labels:
'lawrence tjandra',
'telur atau ayam'
Sunday, December 26, 2010
26 Desember 2010 : Curang!
Supporter Malaysia telah berlaku tidak sportif dalam mendukung tim nasionalnya melawan Indonesia di leg pertama pertandingan final AFF. Mereka menggunakan sinar laser hijau untuk menyilaukan mata pemain dan penjaga gawang tim sepakbola Indonesia. Sebagai bangsa Indonesia saya geram atas kelakuan lawan, tapi sebagai individu beragama, saya heran, kok begitu ya tingkah mereka? Bukankah permainan itu diciptakan untuk melatih sportivitas pemain, dan juga penonton? Mengapa harus curang seperti itu? Kalau tim nya memang bagus, tak perlu khawatir, mau tekanannya seberat apa pun, pasti unggul.
Sekarang meskipun menang, Malaysia akan menanggung dendam bangsa Indonesia di pertandingan penentuan di Jakarta. Kalau kemarin melawan Filipina publik Indonesia dipuji kompak dan sportif, saya tidak bisa jamin kalau tanggal 29 nanti berujung rusuh. Siapa dulu yang memulai?
Sebagai manusia, kita sering kali memutar otak untuk berlaku curang agar bisa memenangkan sesuatu. Kelakuan curang ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan strategi karena bertentangan dengan ketentuan permainan yang berlaku. Tapi apa gunanya menang hasil kecurangan? Tak ada kebanggaan yang bisa diusung dari kemenangan hasil curang. Beberapa lalu, sebuah pasangan memenangkan pilkada padahal dalam perhitungan jumlah yang diraih pesaing lebih tinggi dari pasangan yang dinyatakan menang. Beberapa saat kemudian terungkap bahwa pasangan pemenang terbukti melakukan berbagai kecurangan sehingga kemenangannya dibatalkan dan diadakan pemilu ulang. Teman saya yang mengikuti berita mengabarkan bahwa sang pasangan pemenang sampai berlinang air mata. Tapi buat saya buat apa air mata buaya itu? Apakah air mata itu adalah ungkapan malu? Atau penyesalan? Buat saya air mata seperti itu tak ada gunanya.
Malam ini saya belajar, lebih berarti kalah terhormat atas jerih payah sendiri, daripada menang berlumur kecurangan.
Sekarang meskipun menang, Malaysia akan menanggung dendam bangsa Indonesia di pertandingan penentuan di Jakarta. Kalau kemarin melawan Filipina publik Indonesia dipuji kompak dan sportif, saya tidak bisa jamin kalau tanggal 29 nanti berujung rusuh. Siapa dulu yang memulai?
Sebagai manusia, kita sering kali memutar otak untuk berlaku curang agar bisa memenangkan sesuatu. Kelakuan curang ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan strategi karena bertentangan dengan ketentuan permainan yang berlaku. Tapi apa gunanya menang hasil kecurangan? Tak ada kebanggaan yang bisa diusung dari kemenangan hasil curang. Beberapa lalu, sebuah pasangan memenangkan pilkada padahal dalam perhitungan jumlah yang diraih pesaing lebih tinggi dari pasangan yang dinyatakan menang. Beberapa saat kemudian terungkap bahwa pasangan pemenang terbukti melakukan berbagai kecurangan sehingga kemenangannya dibatalkan dan diadakan pemilu ulang. Teman saya yang mengikuti berita mengabarkan bahwa sang pasangan pemenang sampai berlinang air mata. Tapi buat saya buat apa air mata buaya itu? Apakah air mata itu adalah ungkapan malu? Atau penyesalan? Buat saya air mata seperti itu tak ada gunanya.
Malam ini saya belajar, lebih berarti kalah terhormat atas jerih payah sendiri, daripada menang berlumur kecurangan.
Labels:
'lawrence tjandra',
curang
intermesso : Dari Bacaan Hari Ini
Sirakh 3:2-6, 12-14
Tuhan memuliakan bapa pada anak-anaknya, dan hak ibu atas para anaknya diteguhkanNya. Barang siapa menghormati bapanya memulihkan dosa, dan siapa memuliakan ibunya serupa dengan orang yang mengumpulkan harta. Barang siapa menghormati bapanya, ia sendiri akan mendapat kesukaan pada anak-anaknya pula, dan apabila bersembahyang, niscaya doanya dikabulkan. Barang siapa memuliakan bapanya akan panjang umurnya, dan orang yang taat kepada Tuhan akan menenangkan hati ibunya. Anakku, tolonglah bapamu pada masa tuanya, jangan menyakiti hatinya di masa hidupnya. Pun pula kalau akalnya sudah berkurang hendaklah kau maafkan. Jangan menistakannya sewaktu engkau masih berdaya. Kebaikan yang ditunjukkan kepada bapa tidak sampai terlupa, melainkan dihitung sebagai pepulih atas segala dosamu.
Kolose 3 : 12-21
Saudara-saudara, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihiNya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuatlah juga demikian. Dan di atas semuanya itu : kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.
Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan pujian-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan dan perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia karena Allah Bapa kita.
Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia,
Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai Bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.
Tuhan memuliakan bapa pada anak-anaknya, dan hak ibu atas para anaknya diteguhkanNya. Barang siapa menghormati bapanya memulihkan dosa, dan siapa memuliakan ibunya serupa dengan orang yang mengumpulkan harta. Barang siapa menghormati bapanya, ia sendiri akan mendapat kesukaan pada anak-anaknya pula, dan apabila bersembahyang, niscaya doanya dikabulkan. Barang siapa memuliakan bapanya akan panjang umurnya, dan orang yang taat kepada Tuhan akan menenangkan hati ibunya. Anakku, tolonglah bapamu pada masa tuanya, jangan menyakiti hatinya di masa hidupnya. Pun pula kalau akalnya sudah berkurang hendaklah kau maafkan. Jangan menistakannya sewaktu engkau masih berdaya. Kebaikan yang ditunjukkan kepada bapa tidak sampai terlupa, melainkan dihitung sebagai pepulih atas segala dosamu.
Kolose 3 : 12-21
Saudara-saudara, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihiNya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuatlah juga demikian. Dan di atas semuanya itu : kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.
Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan pujian-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu. Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan dan perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia karena Allah Bapa kita.
Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia,
Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan. Hai Bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.
Labels:
'lawrence tjandra',
Kolose,
Sirakh
Saturday, December 25, 2010
25 Desember 2010 : Natal : Damai di Hati
Natal selalu membawa kebahagiaan tersendiri di hati. Saya selalu merasa bahwa memiliki semangat natal yang mungkin lebih dari rata-rata orang yang merayakannya. Bagi saya, natal adalah sebuah momen memperingati kasih, berbagi dan perayaan. Setiap tahun, saya merayakan natal dengan siapa pun yang ada di dekat saya dan menjadikannya sebuah perayaan natal yang berkesan, tak peduli betapa sederhananya perayaan itu.
Perayaan Natal tahun ini sudah saya mulai di awal bulan ketika saya menghias pohon natal, dan semakin terasa saat Sabtu lalu merayakannya bersama teman-teman terdekat. Lalu, Rabu kemarin saya sekali lagi merayakannya dengan oma opa di panti jompo. Kemarin malam, saya merayakan bersama umat Katolik di kawasan Karawaci dalam Misa Malam Natal dan hari ini saya merayakannya bersama keluarga terdekat yang tinggal di sekitar saya. Saya bertelepon dengan isteri kakak saya, dan ia memprakarsai tema Natal Nostalgia ala Belanda, untuk mengenang keluarga yang telah meninggal terutama Oom dari Belanda yang baru saja berpulang padahal kalau Beliau masih sehat seharusnya Beliau bernatal bersama kami. Saya menyambut dan menyanggupi membuat traditional mushroom cheese soup, salad dan dessert. Untuk dessert saya menyiapkan fruit cocktail with fresh mint orange juice dilengkapi fresh strawberry. Minumnya saya sajikan fresh orange mint tea. Lalu tak lupa kue-kue khas natal, ada cinnamon cake, christmas cake khas Eropa hasil kiriman Olga Lydia teman saya yang katanya ingin men-share childhood memories nya melalui cake itu, juga dessert berupa aneka mini ice cakes dan es krim Magnum classic. Yummy? Ya! Super Yummy! Semuanya semakin lengkap dengan suasana natal yang kental melalui dekorasi natal dan pohon natal yang sangat indah bernuansa tradisional hijau,emas dan merah, juga lilin beraroma buah berry yang sangat "natal." Lagu natal tradisional mengalun sepanjang pertemuan yang hangat.
Tetapi, sebetulnya yang membuat semuanya serba menyenangkan, adalah kerukunan dan keakraban antara masing-masing yang hadir. Mencair sudah semua perbedaan dan keributan-keributan yang pernah ada dalam setahun, dan sekali lagi kami direkatkan dalam suasana kekeluargaan yang kental.
Di tengah hirupan buah berry yang segar saya merasakan kasih dan kedamaian natal yang nikmatnya tak ada taranya dan tak tertukarkan oleh apa pun. Hakikat natal adalah kasih sayang, dan saya ditunjukkan betapa indahnya perdamaian dan kasih sayang. Saya ingat teman saya yang sampai saat ini masih ribut dengan ibunya, saya ingat pertikaian antar adik kakak, saya ingat perseteruan antar keluarga dekat. Hari ini saya mengimbau untuk segera saling memaafkan dan menghentikan pertikaian itu, lalu rasakan keindahan kedamaian dan kasih sayang keluarga yang saya rasakan saat ini. Saya juga berjanji untuk mengingat momen hari ini, ketika sedang dalam keadaan "mau" ribut dengan keluarga. Ohana*, kata Hawaii yang diingat Stitch dalam film Lilo and Stitch : Family. no one left behind.
Damai Natal, damai di hati. Semoga Natal ini menjadi pengingat untuk dihentikannya segala pertikaian dan peperangan dalam bentuk apa pun di dunia ini. Selamat Natal.
*Part of Hawaiian culture,ohana means family in an extended sense of the term including blood-related, adoptive or intentional. It emphasizes that family are bound together and members must cooperate and remember one another. The term is cognate with (and its usage is similar to) the New Zealand Māori term whānau.
Perayaan Natal tahun ini sudah saya mulai di awal bulan ketika saya menghias pohon natal, dan semakin terasa saat Sabtu lalu merayakannya bersama teman-teman terdekat. Lalu, Rabu kemarin saya sekali lagi merayakannya dengan oma opa di panti jompo. Kemarin malam, saya merayakan bersama umat Katolik di kawasan Karawaci dalam Misa Malam Natal dan hari ini saya merayakannya bersama keluarga terdekat yang tinggal di sekitar saya. Saya bertelepon dengan isteri kakak saya, dan ia memprakarsai tema Natal Nostalgia ala Belanda, untuk mengenang keluarga yang telah meninggal terutama Oom dari Belanda yang baru saja berpulang padahal kalau Beliau masih sehat seharusnya Beliau bernatal bersama kami. Saya menyambut dan menyanggupi membuat traditional mushroom cheese soup, salad dan dessert. Untuk dessert saya menyiapkan fruit cocktail with fresh mint orange juice dilengkapi fresh strawberry. Minumnya saya sajikan fresh orange mint tea. Lalu tak lupa kue-kue khas natal, ada cinnamon cake, christmas cake khas Eropa hasil kiriman Olga Lydia teman saya yang katanya ingin men-share childhood memories nya melalui cake itu, juga dessert berupa aneka mini ice cakes dan es krim Magnum classic. Yummy? Ya! Super Yummy! Semuanya semakin lengkap dengan suasana natal yang kental melalui dekorasi natal dan pohon natal yang sangat indah bernuansa tradisional hijau,emas dan merah, juga lilin beraroma buah berry yang sangat "natal." Lagu natal tradisional mengalun sepanjang pertemuan yang hangat.
Tetapi, sebetulnya yang membuat semuanya serba menyenangkan, adalah kerukunan dan keakraban antara masing-masing yang hadir. Mencair sudah semua perbedaan dan keributan-keributan yang pernah ada dalam setahun, dan sekali lagi kami direkatkan dalam suasana kekeluargaan yang kental.
Di tengah hirupan buah berry yang segar saya merasakan kasih dan kedamaian natal yang nikmatnya tak ada taranya dan tak tertukarkan oleh apa pun. Hakikat natal adalah kasih sayang, dan saya ditunjukkan betapa indahnya perdamaian dan kasih sayang. Saya ingat teman saya yang sampai saat ini masih ribut dengan ibunya, saya ingat pertikaian antar adik kakak, saya ingat perseteruan antar keluarga dekat. Hari ini saya mengimbau untuk segera saling memaafkan dan menghentikan pertikaian itu, lalu rasakan keindahan kedamaian dan kasih sayang keluarga yang saya rasakan saat ini. Saya juga berjanji untuk mengingat momen hari ini, ketika sedang dalam keadaan "mau" ribut dengan keluarga. Ohana*, kata Hawaii yang diingat Stitch dalam film Lilo and Stitch : Family. no one left behind.
Damai Natal, damai di hati. Semoga Natal ini menjadi pengingat untuk dihentikannya segala pertikaian dan peperangan dalam bentuk apa pun di dunia ini. Selamat Natal.
*Part of Hawaiian culture,ohana means family in an extended sense of the term including blood-related, adoptive or intentional. It emphasizes that family are bound together and members must cooperate and remember one another. The term is cognate with (and its usage is similar to) the New Zealand Māori term whānau.
24 Desember 2010 : Tengil
Rasanya kata ini sudah ribuan kali muncul di blog saya selama setahun. Hari ini saya disuguhi ketengilan Jack Black dalam The Gulliver's Travel. Di hadapan semua orang di kantornya, ia cuma seorang pengantar surat yang invisible, alias ada orangnya tapi tak diperhatikan kehadirannya, suaranya pun nyaris tak ada. Tapi di sekitar orang yang lebih lemah, atau ketika sendiri, tengilnya minta ampun. Gaya nya selangit, omongnya tinggi, sok tau nya bikin neg. Saya menontonnya setengah tertawa kepingkel, setengah jijik, setengah geleng-geleng.
Tapi semakin lama, saya kok semakin melihat diri saya di dalam diri Gulliver ya? Yang kerdil di tengah orang-orang berkuasa, biasa-biasa saja di antara teman, dan merasa raksasa di antara orang-orang lemah. Hari ini saja saya sudah petantang petenteng di hadapan suster yang mendapat perintah untuk melakukan medical check up buat asuransi dana pensiun saya, petugas toko, orang-orang yang lelet di jalan, petugas parkir yang seperti semut kerjanya, teman saya yang mau lebih sok tahu dari saya, dan banyak orang lagi! Waduh, sepertinya saya ini jauh lebih tengil dan menyebalkan dari Gulliver!
Saya pikir-pikir lagi, ini malam natal.Bisakah saya membuat resolusi menjadi orang yang menyenangkan dan tidak lagi tengil sejak hari Natal besok? Terus terang saya ragu-ragu mau beresolusi lagi, karena dampaknya luar biasa membuat lelah! Contohnya resolusi blog ini! Waduh, saya sudah menghitung hari sekali agar bisa lepas dari janji pada diri sendiri! Padahal saya ini biang tengil dan dinobatkan di kantor sebagai Master Komplen. Master karena lebih tinggi tingkatnya dari Mister. Saya tanggapi secara becanda bahwa saya saingannya Mark Zuckerberg pendiri Facebook : saya pendiri www.masterkomplen.com. Tapi itu sebenarnya bukan becanda. Saya benar-benar master komplen. Bukan cuma itu, saya ini juga tukang ngeyel. Keluarga terdekat saya sudah mabok kalau saya sudah berpegangan dengan satu kata : "Kenapa?"
Tengil di Gulliver's Travel adalah topeng Gulliver menutupi kekurangannya dan alat untuk lari dari kenyataan. Rasanya itu juga yang terjadi pada saya. Saya petantang petenteng di hadapan suster karena takut jarum suntik. Saya tengil di hadapan penjaga toko supaya tidak diremehkan. Dan banyak lagi! Saya jadi ciut kalau mengingat kekurangan saya. Lalu bisa diapakan supaya ketengilan saya hilang?
Hilang sama sekali mungkin tidak, tapi saya berharap saya bisa menguranginya. Setelah pikir-pikir lagi, mungkin setiap mau berlagak menyebalkan saya ingat kata "tengil lu!" dan mau "bersedia" mengundurkan diri dari ketengilan saya saat itu sehingga daftar tengil saya bisa berkurang. Saya mungkin sudah kapok beresolusi lagi, tapi paling tidak saya bisa mengondisikan diri. Mulai saat ini, "malaikat penjaga" saya bakal tambah beban kerja. Setiap bicara sembarangan dan bertingkah, dia saya otorisasi untuk menjitak kepala saya sambil bilang, "tengil lu!" Kira-kira berhasil nggak ya? Atau malah dia nya ikut menyerah dan resign jadi malaikat saya? Ouch!
Tapi semakin lama, saya kok semakin melihat diri saya di dalam diri Gulliver ya? Yang kerdil di tengah orang-orang berkuasa, biasa-biasa saja di antara teman, dan merasa raksasa di antara orang-orang lemah. Hari ini saja saya sudah petantang petenteng di hadapan suster yang mendapat perintah untuk melakukan medical check up buat asuransi dana pensiun saya, petugas toko, orang-orang yang lelet di jalan, petugas parkir yang seperti semut kerjanya, teman saya yang mau lebih sok tahu dari saya, dan banyak orang lagi! Waduh, sepertinya saya ini jauh lebih tengil dan menyebalkan dari Gulliver!
Saya pikir-pikir lagi, ini malam natal.Bisakah saya membuat resolusi menjadi orang yang menyenangkan dan tidak lagi tengil sejak hari Natal besok? Terus terang saya ragu-ragu mau beresolusi lagi, karena dampaknya luar biasa membuat lelah! Contohnya resolusi blog ini! Waduh, saya sudah menghitung hari sekali agar bisa lepas dari janji pada diri sendiri! Padahal saya ini biang tengil dan dinobatkan di kantor sebagai Master Komplen. Master karena lebih tinggi tingkatnya dari Mister. Saya tanggapi secara becanda bahwa saya saingannya Mark Zuckerberg pendiri Facebook : saya pendiri www.masterkomplen.com. Tapi itu sebenarnya bukan becanda. Saya benar-benar master komplen. Bukan cuma itu, saya ini juga tukang ngeyel. Keluarga terdekat saya sudah mabok kalau saya sudah berpegangan dengan satu kata : "Kenapa?"
Tengil di Gulliver's Travel adalah topeng Gulliver menutupi kekurangannya dan alat untuk lari dari kenyataan. Rasanya itu juga yang terjadi pada saya. Saya petantang petenteng di hadapan suster karena takut jarum suntik. Saya tengil di hadapan penjaga toko supaya tidak diremehkan. Dan banyak lagi! Saya jadi ciut kalau mengingat kekurangan saya. Lalu bisa diapakan supaya ketengilan saya hilang?
Hilang sama sekali mungkin tidak, tapi saya berharap saya bisa menguranginya. Setelah pikir-pikir lagi, mungkin setiap mau berlagak menyebalkan saya ingat kata "tengil lu!" dan mau "bersedia" mengundurkan diri dari ketengilan saya saat itu sehingga daftar tengil saya bisa berkurang. Saya mungkin sudah kapok beresolusi lagi, tapi paling tidak saya bisa mengondisikan diri. Mulai saat ini, "malaikat penjaga" saya bakal tambah beban kerja. Setiap bicara sembarangan dan bertingkah, dia saya otorisasi untuk menjitak kepala saya sambil bilang, "tengil lu!" Kira-kira berhasil nggak ya? Atau malah dia nya ikut menyerah dan resign jadi malaikat saya? Ouch!
Labels:
'lawrence tjandra',
tengil
Thursday, December 23, 2010
23 Desember 2010 : Salah Kirim
Baru saja klien saya mengirim sebuah pesan bbm bergambar banyak hati. Untungnya ucapannya selamat natal dan tahun baru, dan langsung saya balas juga memberi selamat. Ternyata dia salah kirim dan minta-minta maaf. Saya jawab ringan dan tertawa, "tak apa-apa, jangan sungkan, sama saya ini aja kok. hahaha"
Meskipun tertawa, hati saya kecut juga. Saya pernah salah kirim juga, beberapa kali malah. Saya pikir kalau isinya bener sih tak apa, tapi kalau sudah yang bersifat pribadi bisa sangat gawat! Teknologi bisa menyesatkan dan bikin gara-gara "perang dunia" kalau salah kirim. Dari pengalaman saya, salah kirim ini bisa karena dua hal : gaptek alias gagap teknologi sehingga maunya disimpan di draft malah kekirim dan gerakan otomatis padahal tidak semua yang otomatis itu sampainya ke alamat yang benar (ini yang gawat karena saya sering salah kirim gara-gara tindakan otomatis ini!). Teknologi memang bisa memilah kita bicara apa dengan siapa, tapi teknologi juga sering menjadi bencana. Rekan kerja saya pernah menjawab email tanpa dilihat terlebih dahulu kepada siapa, akibatnya salah satu klien kebanggaannya melayang. Begitu runyamnya bila kita tidak teliti memanfaatkan teknologi. Bisa-bisa tidak hanya klien saja yang hilang, tapi juga kekasih dan pasangan hidup.
Malam ini saya diingatkan untuk tidak main-main dengan teknologi. Meskipun kecanggihannya sekarang mendekatkan orang-orang yang berjauhan sedekat bertatap muka langsung, namun saya belajar bahwa tak ada yang menggantikan keefektifan pembicaraan dari hati ke hati melalui tatap muka. Secanggih-canggihnya email, chatting, sms dan bbm, bahkan telepon dan video conference masih saja memberi ruang untuk salah kirim dan salah tangkap karena tidak dapat menggambarkan keseluruhan nuansa dan suasana, sehingga bisa saja yang tadinya tujuannya apa, bisa ditanggapi lain dan berakhir runyam. Lain dengan tatap muka yang bisa melihat reaksi yang tidak tergambarkan dari hasil kecanggihan teknologi yang dingin. Jadi, untuk pesan pribadi dan penting, saya tetap akan ngotot untuk bertemu langsung secara fisik. Pasti tidak akan salah alamat! Hal ini sekali lagi menjadi bukti, bahwa biar bagaimana pun ciptaan Tuhan tetap lebih canggih dan lebih sempurna dibandingkan ciptaan manusia ...
Meskipun tertawa, hati saya kecut juga. Saya pernah salah kirim juga, beberapa kali malah. Saya pikir kalau isinya bener sih tak apa, tapi kalau sudah yang bersifat pribadi bisa sangat gawat! Teknologi bisa menyesatkan dan bikin gara-gara "perang dunia" kalau salah kirim. Dari pengalaman saya, salah kirim ini bisa karena dua hal : gaptek alias gagap teknologi sehingga maunya disimpan di draft malah kekirim dan gerakan otomatis padahal tidak semua yang otomatis itu sampainya ke alamat yang benar (ini yang gawat karena saya sering salah kirim gara-gara tindakan otomatis ini!). Teknologi memang bisa memilah kita bicara apa dengan siapa, tapi teknologi juga sering menjadi bencana. Rekan kerja saya pernah menjawab email tanpa dilihat terlebih dahulu kepada siapa, akibatnya salah satu klien kebanggaannya melayang. Begitu runyamnya bila kita tidak teliti memanfaatkan teknologi. Bisa-bisa tidak hanya klien saja yang hilang, tapi juga kekasih dan pasangan hidup.
Malam ini saya diingatkan untuk tidak main-main dengan teknologi. Meskipun kecanggihannya sekarang mendekatkan orang-orang yang berjauhan sedekat bertatap muka langsung, namun saya belajar bahwa tak ada yang menggantikan keefektifan pembicaraan dari hati ke hati melalui tatap muka. Secanggih-canggihnya email, chatting, sms dan bbm, bahkan telepon dan video conference masih saja memberi ruang untuk salah kirim dan salah tangkap karena tidak dapat menggambarkan keseluruhan nuansa dan suasana, sehingga bisa saja yang tadinya tujuannya apa, bisa ditanggapi lain dan berakhir runyam. Lain dengan tatap muka yang bisa melihat reaksi yang tidak tergambarkan dari hasil kecanggihan teknologi yang dingin. Jadi, untuk pesan pribadi dan penting, saya tetap akan ngotot untuk bertemu langsung secara fisik. Pasti tidak akan salah alamat! Hal ini sekali lagi menjadi bukti, bahwa biar bagaimana pun ciptaan Tuhan tetap lebih canggih dan lebih sempurna dibandingkan ciptaan manusia ...
Labels:
'lawrence tjandra',
'salah alamat'
22 Desember : Renungan dari Panti Jompo
Setiap tahun saya selalu berusaha menyempatkan diri untuk mengunjungi panti jompo atau panti asuhan. Buat saya sebenarnya yang lebih kasihan adalah panti jompo karena di sana banyak orang-orang tua yang ditelantarkan keluarganya. Maka tahun ini saya mengajak rekan-rekan kerja beragama Nasrani untuk mengunjungi sebuah panti jompo sebagai ganti makan siang dan tukar kado dalam rangka Natal dan Tutup Tahun. Siapa sangka tahun ini kami mendapat dukungan dan sumbangan dari rekan-rekan yang beragama lain dan bahkan klien yang menyumbangkan apel dan jeruk untuk masing-masing oma opa.
Sesampai di panti jompo sore ini, kami sudah disambut opa oma yang sudah segar sehabis mandi dan istirahat siang. Kami bernyanyi, menari bersama, bahkan oma dan opa bermain angklung bagi kami melantunkan tembang natal "Little Drummer Boy". Saya membawakan beberapa lagu natal yang disambut antusias oma opa karena membuka kembali kotak kenangan di hati mereka. Kami juga sempat menikmati pastel tutup lezat yang ledisiapkan rekan saya Sicil dan kue natal bersama. Saya kemudian mendapat ayat dari Kartina untuk dibawakan kepada oma opa. Suara indah Esther yang khusus datang setelah meeting di tempat yang jauh dan dentingan gitar Joshua, teman gereja Esther menambah semarak acara kami.
Namun makna kehadiran saya ke sana petang ini justru hadir setelah keriangan itu. Saat saya menghampiri satu per satu oma opa dan memeluk hangat berbagi kasih, saya bisa merasakan berbagai macam perasaan mereka. Banyak yang lumer dalam kenyamanan dan kehangatan sejenak karena sudah lama tak merasakan pelukan yang datang dari hati. Detik itu saya berbagi kasih dan saya merasakan energi saya mengalir ke jiwa mereka satu per satu. Saya bisa merasakan dari hangatnya dekapan mereka dan selama beberapa detik saya seakan dibawa dalam kerinduan mereka satu per satu. Tak peduli laki atau perempuan.
Seorang oma menarik saya lebih lama. Namanya Oma Anie. Beliau mengatakan mendengarkan ayat yang saya bawakan dari Kartina, Yesaya 46: 4
Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.
Oma Anie adalah isteri seorang diplomat yang lahir dari keluarga seorang kyai yang dihormati di Jawa Timur. Dari ke empat saudaranya, dua beragama Kristen dan dua beragama Islam. Oma Anie pun menikah dengan seorang diplomat dan dikaruniai 6 orang anak yang berhasil, semuanya di luar negeri. Di tahun 90an suaminya meninggal karena kanker hati dan sejak itu Oma Anie kehilangan separuh nyawanya. Ia marah kepada Tuhan sekaligus merasa berdosa karena sudah menghujat Tuhan. Ia merasa sudah berdoa namun doanya tak didengar. Ia merasa sudah tak ada gunanya hidup dan ingin mati saja, sudah 9 kali masuk rumah sakit dan dalam waktu ini akan mengalami terapi nuklir, tapi ia heran mengapa tak dipanggil-panggil oleh Sang Kuasa. Anak-anaknya bukannya tak peduli, ia pernah mencoba tinggal beberapa lama di Australia dan di Eropa, namun tak kerasan dan memilih pulang ke Indonesia, masuk ke panti jompo. Ia bahkan sudah membeli sebidang tanah pemakaman di Sandiego Hills dan melunasi biaya pemakamannya pada sebuah yayasan kristen. "Saya tidak mau merepotkan orang," katanya. Ia merasa keluarganya tak mengerti kekosongan jiwanya. Ia berkali-kali bilang, "untuk apa saya hidup..." di tengah sesenggukan dan air matanya yang mengalir deras dalam pelukan saya. Saya benar-benar tak tahu apa yang harus saya katakan. Saya mendekapnya dan tak berhenti mengelus punggungnya, membiarkan luapan emosinya yang mungkin selama ini hanya bisa disampaikan kepada Tuhan tersalurkan melalui jiwa lain. Saya kemudian bilang, "Oma, Tuhan pasti punya mau. Mungkin yang harus Oma pelajari saat ini adalah bersyukur untuk semua anugerah cinta kasihNya dalam diri Oma karena pasti begitu banyak karunia yang Oma dapat, namun Oma tak menyadarinya karena tertutup oleh kesedihan Oma terhadap kepergian Opa. Saya sendiri setiap hari berdoa, dan di awal doa saya selalu mengucap syukur untuk apa pun yang terjadi dalam diri saya. Untuk kesenangan maupun kesedihan, keberhasilan maupun kegagalan, kesehatan maupun penyakit, kehidupan maupun kematian.Saya juga menyukuri setiap percobaan yang diberikanNya kepada saya karena semuanya itu dibuat agar saya lebih bertakwa kepadaNya. Coba deh Oma, belajar menyukuri dengan tulus dan ikhlas, mungkin setelah itu Tuhan baru akan bilang saatnya tiba." Mengacaukah apa yang saya katakan? Mungkin, karena saya sendiri mati akal bagaimana menghibur si Oma. Namun yang jelas rasanya si Oma sudah lega melepaskan uneg-unegnya dan ketika kami sadar aula sudah tinggal kami berdua, saya mengantar sang oma ke kamar pribadinya yang penuh foto dan piala. Beliau adalah mantan atlet bridge yang tangguh. Beliau seorang mantan perenang indah yang piawai. Beliau memiliki keluarga dan anak dan cucu cicit yang cantik dan ganteng-ganteng. Punya orang tua yang terlihat sangat berwibawa dalam foto hitam putihnya. Beliau cuma tidak menyadari betapa beruntungnya dan dikasihinya ia oleh keluarga dan Tuhannya. Saat saya meninggalkannya di kamarnya yang penuh barang namun rapi itu, matanya sudah kembali bersinar.
Begitu banyak sosok lalu yang hebat yang tinggal di rumah jompo ini. Ada mantan sarjana hukum yang merupakan salah satu pendiri fakultas hukum Universitas Atmajaya. Ada Oma yang berusia 89 tahun dan baru pensiun dari profesinya sebagai seorang asisten apoteker dan masih mengeluarkan komentar yang cerdas dan tajam. Saya lalu berpikir, beginilah hidup, begitu cepat semua berlalu, dan orang-orang yang tadinya hidupnya hebat, kaya, punya posisi dan prestasi, seolah pupus hilang begitu saja tertelan kehidupan sangat sederhana dengan kerutinan setiap hari menanti harinya tiba. Pikiran saya lalu melayang pada kondisi saya dan kebanyakan orang yang sekarang sedang puncak-puncaknya. Mereka yang sedang menjabat, berprestasi, berpenghasilan, berposisi... apa jadinya kita semua di penghujung hidup kita? Menjadi termarjinalkan seperti oma opa ini? Detik ini juga saya diingatkan bahwa hidup yang sekarang kita jalani ini tidak selamanya sepereti ini. Seperti lilin yang mulainya bersinar malu-malu, lalu berkobar terang saat batangnya masih banyak dan meredup lalu mati saat batangnya lumer habis dan menguap ditelan waktu dan terpaan angin. Melihat oma-opa, saya mau ingat setiap saatnya untuk menjaga agar nyala lilin saya tetap berkobar hingga minyak lilin terakhir lumer habis dan bukannya meredup di saat lilin masih tiga perempat habis. Mungkin resep live life to the fullest dan mensyukuri kehidupan adalah resep yang tidak lagi dirasakan geregetnya oleh oma opa namun akan tetap saya perjuangankan hingga napas terakhir keluar dari tubuh ini. Pengalaman saya dengan oma opa ini rasanya akan saya sharing kan dengan Ibu saya yang sudah berusia 82 tahun dan mengingatkan Beliau betapa beruntungnya Beliau, tidak saja memiliki keluarga yang sayang dan cinta, tetapi yang mau mengerti dan membimbing Beliau keluar dari kubangan kesedihan saat ayah meninggal dunia, yang selalu mengingatkan Beliau akan setiap anugerah dan karunia yang diberikan Allah kepadanya.
Oleh-oleh renungan terakhir yang saya peroleh dari panti asuhan ini adalah justru di di detik terakhir kunjungan saya. Saya dipaksa oleh rekan-rekan untuk menemui Oma Rossa yang sedari tadi memang minta foto saya karena mau dipajang di dinding kamar perawatannya. Kamar perawatan adalah untuk mereka yang sudah tidak mampu mengurus dirinya sendiri dan dijaga segara bergiliran 24 jam oleh suster dan dokter muda. Ruangan ini paling saya "hindari" karena kondisi mereka yang parah dan sangat menyedot energi. Di sinilah tinggal sebagian besar mereka yang usianya mencapai rekor. Ada yang berusia 99 tahun yang meskipun badan tak kuat lagi, tapi pikirannya masih menyala terang. Salah seorang penghuni bangsal ini yang menempati tempat tidur paling dekat pintu bertanya kami dari mana. Salah seorang rekan menjawab dari Inke Maris. Lalu terjadilah pembicaraan berikut :
Oma : Inke Maris itu apa?
IMA : perusahaan konsultan kehumasan, Oma.
Lalu kami menjelaskan secara singkat lingkup kerja kami. Respons si Oma:
Jadi, setelah kunjungan ini lalu apa? Mau disiarkan?
Skakmat! Iya ya, setelah kunjungan ini, apa tindaklanjutnya? Karena setelah kami pulang, mereka kembali pada rutinitasnya dan kami kembali pada dunia kami sendiri. Jangan-jangan mereka berpikir mereka ini cuma bagian dari sebuah pertunjukan, yang kalau sudah selesai, memberikan rasa puas dan serasa berbuat sesuatu kepada si pengunjung namun tidak berdampak banyak bagi yang dikunjungi kecuali nostalgia dan justru diingatkan akan kebutuhan mereka mendapat kasih sayang yang tidak didapat dari keluarganya sendiri dan semakin dikecewakan karena janji-janji palsu berbalut harapan manis kami untuk mau segera datang kembali dengan segera!
Karena tidak bisa menjawab dengan benar dan hanya bergugam tidak berguna, saya lalu bilang, "oooo tidak untuk masuk koran Oma, kami datang untuk berbagi kasih..." kemudian melambaikan tangan dan bilang, "daaaaag Omaaaaa. Selamat Natal dan Tahun Baru yaaaa. Tuhan Berkati..." lalu pelan-pelan kabur, menghilang lenyap di balik pintu dan menarik napas panjang begitu menghirup udara segar. Rasanya saya ingin mementung kepala saya berkali-kali : tung! tung! tung!
Saya belajar banyak dari Oma Opa. Tapi masih ada satu yang berkecamuk. Sampai huruf ini diketik, saya masih bertanya, "what's next?"
Sesampai di panti jompo sore ini, kami sudah disambut opa oma yang sudah segar sehabis mandi dan istirahat siang. Kami bernyanyi, menari bersama, bahkan oma dan opa bermain angklung bagi kami melantunkan tembang natal "Little Drummer Boy". Saya membawakan beberapa lagu natal yang disambut antusias oma opa karena membuka kembali kotak kenangan di hati mereka. Kami juga sempat menikmati pastel tutup lezat yang ledisiapkan rekan saya Sicil dan kue natal bersama. Saya kemudian mendapat ayat dari Kartina untuk dibawakan kepada oma opa. Suara indah Esther yang khusus datang setelah meeting di tempat yang jauh dan dentingan gitar Joshua, teman gereja Esther menambah semarak acara kami.
Namun makna kehadiran saya ke sana petang ini justru hadir setelah keriangan itu. Saat saya menghampiri satu per satu oma opa dan memeluk hangat berbagi kasih, saya bisa merasakan berbagai macam perasaan mereka. Banyak yang lumer dalam kenyamanan dan kehangatan sejenak karena sudah lama tak merasakan pelukan yang datang dari hati. Detik itu saya berbagi kasih dan saya merasakan energi saya mengalir ke jiwa mereka satu per satu. Saya bisa merasakan dari hangatnya dekapan mereka dan selama beberapa detik saya seakan dibawa dalam kerinduan mereka satu per satu. Tak peduli laki atau perempuan.
Seorang oma menarik saya lebih lama. Namanya Oma Anie. Beliau mengatakan mendengarkan ayat yang saya bawakan dari Kartina, Yesaya 46: 4
Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.
Oma Anie adalah isteri seorang diplomat yang lahir dari keluarga seorang kyai yang dihormati di Jawa Timur. Dari ke empat saudaranya, dua beragama Kristen dan dua beragama Islam. Oma Anie pun menikah dengan seorang diplomat dan dikaruniai 6 orang anak yang berhasil, semuanya di luar negeri. Di tahun 90an suaminya meninggal karena kanker hati dan sejak itu Oma Anie kehilangan separuh nyawanya. Ia marah kepada Tuhan sekaligus merasa berdosa karena sudah menghujat Tuhan. Ia merasa sudah berdoa namun doanya tak didengar. Ia merasa sudah tak ada gunanya hidup dan ingin mati saja, sudah 9 kali masuk rumah sakit dan dalam waktu ini akan mengalami terapi nuklir, tapi ia heran mengapa tak dipanggil-panggil oleh Sang Kuasa. Anak-anaknya bukannya tak peduli, ia pernah mencoba tinggal beberapa lama di Australia dan di Eropa, namun tak kerasan dan memilih pulang ke Indonesia, masuk ke panti jompo. Ia bahkan sudah membeli sebidang tanah pemakaman di Sandiego Hills dan melunasi biaya pemakamannya pada sebuah yayasan kristen. "Saya tidak mau merepotkan orang," katanya. Ia merasa keluarganya tak mengerti kekosongan jiwanya. Ia berkali-kali bilang, "untuk apa saya hidup..." di tengah sesenggukan dan air matanya yang mengalir deras dalam pelukan saya. Saya benar-benar tak tahu apa yang harus saya katakan. Saya mendekapnya dan tak berhenti mengelus punggungnya, membiarkan luapan emosinya yang mungkin selama ini hanya bisa disampaikan kepada Tuhan tersalurkan melalui jiwa lain. Saya kemudian bilang, "Oma, Tuhan pasti punya mau. Mungkin yang harus Oma pelajari saat ini adalah bersyukur untuk semua anugerah cinta kasihNya dalam diri Oma karena pasti begitu banyak karunia yang Oma dapat, namun Oma tak menyadarinya karena tertutup oleh kesedihan Oma terhadap kepergian Opa. Saya sendiri setiap hari berdoa, dan di awal doa saya selalu mengucap syukur untuk apa pun yang terjadi dalam diri saya. Untuk kesenangan maupun kesedihan, keberhasilan maupun kegagalan, kesehatan maupun penyakit, kehidupan maupun kematian.Saya juga menyukuri setiap percobaan yang diberikanNya kepada saya karena semuanya itu dibuat agar saya lebih bertakwa kepadaNya. Coba deh Oma, belajar menyukuri dengan tulus dan ikhlas, mungkin setelah itu Tuhan baru akan bilang saatnya tiba." Mengacaukah apa yang saya katakan? Mungkin, karena saya sendiri mati akal bagaimana menghibur si Oma. Namun yang jelas rasanya si Oma sudah lega melepaskan uneg-unegnya dan ketika kami sadar aula sudah tinggal kami berdua, saya mengantar sang oma ke kamar pribadinya yang penuh foto dan piala. Beliau adalah mantan atlet bridge yang tangguh. Beliau seorang mantan perenang indah yang piawai. Beliau memiliki keluarga dan anak dan cucu cicit yang cantik dan ganteng-ganteng. Punya orang tua yang terlihat sangat berwibawa dalam foto hitam putihnya. Beliau cuma tidak menyadari betapa beruntungnya dan dikasihinya ia oleh keluarga dan Tuhannya. Saat saya meninggalkannya di kamarnya yang penuh barang namun rapi itu, matanya sudah kembali bersinar.
Begitu banyak sosok lalu yang hebat yang tinggal di rumah jompo ini. Ada mantan sarjana hukum yang merupakan salah satu pendiri fakultas hukum Universitas Atmajaya. Ada Oma yang berusia 89 tahun dan baru pensiun dari profesinya sebagai seorang asisten apoteker dan masih mengeluarkan komentar yang cerdas dan tajam. Saya lalu berpikir, beginilah hidup, begitu cepat semua berlalu, dan orang-orang yang tadinya hidupnya hebat, kaya, punya posisi dan prestasi, seolah pupus hilang begitu saja tertelan kehidupan sangat sederhana dengan kerutinan setiap hari menanti harinya tiba. Pikiran saya lalu melayang pada kondisi saya dan kebanyakan orang yang sekarang sedang puncak-puncaknya. Mereka yang sedang menjabat, berprestasi, berpenghasilan, berposisi... apa jadinya kita semua di penghujung hidup kita? Menjadi termarjinalkan seperti oma opa ini? Detik ini juga saya diingatkan bahwa hidup yang sekarang kita jalani ini tidak selamanya sepereti ini. Seperti lilin yang mulainya bersinar malu-malu, lalu berkobar terang saat batangnya masih banyak dan meredup lalu mati saat batangnya lumer habis dan menguap ditelan waktu dan terpaan angin. Melihat oma-opa, saya mau ingat setiap saatnya untuk menjaga agar nyala lilin saya tetap berkobar hingga minyak lilin terakhir lumer habis dan bukannya meredup di saat lilin masih tiga perempat habis. Mungkin resep live life to the fullest dan mensyukuri kehidupan adalah resep yang tidak lagi dirasakan geregetnya oleh oma opa namun akan tetap saya perjuangankan hingga napas terakhir keluar dari tubuh ini. Pengalaman saya dengan oma opa ini rasanya akan saya sharing kan dengan Ibu saya yang sudah berusia 82 tahun dan mengingatkan Beliau betapa beruntungnya Beliau, tidak saja memiliki keluarga yang sayang dan cinta, tetapi yang mau mengerti dan membimbing Beliau keluar dari kubangan kesedihan saat ayah meninggal dunia, yang selalu mengingatkan Beliau akan setiap anugerah dan karunia yang diberikan Allah kepadanya.
Oleh-oleh renungan terakhir yang saya peroleh dari panti asuhan ini adalah justru di di detik terakhir kunjungan saya. Saya dipaksa oleh rekan-rekan untuk menemui Oma Rossa yang sedari tadi memang minta foto saya karena mau dipajang di dinding kamar perawatannya. Kamar perawatan adalah untuk mereka yang sudah tidak mampu mengurus dirinya sendiri dan dijaga segara bergiliran 24 jam oleh suster dan dokter muda. Ruangan ini paling saya "hindari" karena kondisi mereka yang parah dan sangat menyedot energi. Di sinilah tinggal sebagian besar mereka yang usianya mencapai rekor. Ada yang berusia 99 tahun yang meskipun badan tak kuat lagi, tapi pikirannya masih menyala terang. Salah seorang penghuni bangsal ini yang menempati tempat tidur paling dekat pintu bertanya kami dari mana. Salah seorang rekan menjawab dari Inke Maris. Lalu terjadilah pembicaraan berikut :
Oma : Inke Maris itu apa?
IMA : perusahaan konsultan kehumasan, Oma.
Lalu kami menjelaskan secara singkat lingkup kerja kami. Respons si Oma:
Jadi, setelah kunjungan ini lalu apa? Mau disiarkan?
Skakmat! Iya ya, setelah kunjungan ini, apa tindaklanjutnya? Karena setelah kami pulang, mereka kembali pada rutinitasnya dan kami kembali pada dunia kami sendiri. Jangan-jangan mereka berpikir mereka ini cuma bagian dari sebuah pertunjukan, yang kalau sudah selesai, memberikan rasa puas dan serasa berbuat sesuatu kepada si pengunjung namun tidak berdampak banyak bagi yang dikunjungi kecuali nostalgia dan justru diingatkan akan kebutuhan mereka mendapat kasih sayang yang tidak didapat dari keluarganya sendiri dan semakin dikecewakan karena janji-janji palsu berbalut harapan manis kami untuk mau segera datang kembali dengan segera!
Karena tidak bisa menjawab dengan benar dan hanya bergugam tidak berguna, saya lalu bilang, "oooo tidak untuk masuk koran Oma, kami datang untuk berbagi kasih..." kemudian melambaikan tangan dan bilang, "daaaaag Omaaaaa. Selamat Natal dan Tahun Baru yaaaa. Tuhan Berkati..." lalu pelan-pelan kabur, menghilang lenyap di balik pintu dan menarik napas panjang begitu menghirup udara segar. Rasanya saya ingin mementung kepala saya berkali-kali : tung! tung! tung!
Saya belajar banyak dari Oma Opa. Tapi masih ada satu yang berkecamuk. Sampai huruf ini diketik, saya masih bertanya, "what's next?"
Tuesday, December 21, 2010
21 Desember 2010 : Tidak Kira-Kira
Saya dibuat jengkel oleh seorang calon klien yang tidak tahu diri, menawar harga yang tidak masuk akal untuk jasa layanan kami. Saya heran, apakah ia tak pernah menggunakan jasa konsultan komunikasi sebelumnya, atau muka tebal saja. Pada akhirnya, sadar bahwa budget yang ditawarkannya sama sekali tak kami lirik, ia mulai mengajukan agar budget itu bisa digunakan untuk menangani satu proyek saja. Tetap tak kami lirik karena budget yang ditawarkannya sama sekali tak sepadan dengan jumlah waktu dan tenaga yang harus dikeluarkan.
Saya lalu teringat bahwa banyak dari antara kita yang tega menawar habis harga yang diajukan pedagang sehingga kadang-kadang pedagangnya menjadi marah karena ditawar dengan tidak kira-kira. Saya sendiri seorang penawar yang payah. Saya sering tidak teganya memangkas habis harga yang ditawarkan karena terbayang susahnya mendapatkan pelanggan dan hidup para pedagang yang tidak mudah. Hitung-hitung menyumbang. Tapi begitulah, rupanya berlaku hukum rimba : semakin dalam memotong semakin puas dan berharga hasil yang diperoleh.
Kali ini, saya ingin memutarbalikkan teori itu. Hari ini saya merasakan betapa kesalnya ditawar dengan sangat keterlaluan seperti itu. Memang dia punya hak menawar, tapi kalau uangnya terbatas, kenapa tidak disampaikan dari awal saja sehingga kita tak usah berupaya keras dengan hasil nihil. Di sinilah azas penghormatan, keadilan dan kewajaran seharusnya berlaku. Penghormatan bagi jerih payah orang yang berjualan, keadilan bagi semua orang untuk bisa menjual dan membeli dengan harga wajar, atau secara umumnya : penghormatan bagi upaya kedua belah pihak, keadilan bagi setiap pihak untuk dapat memperoleh imbalan yang wajar sesuai dengan besarnya upaya yang dikeluarkan. Dan rasanya azas ini berlaku untuk semua hal dalam kehidupan bersosialisasi dengan pihak lain.
Diam-diam saya berterima kasih atas penawaran yang keterlaluan itu sehingga saya bisa lebih menghargai upaya orang dalam melakukan usahanya. Jadi, mulai sekarang, saya akan sangat berhati-hati dalam menilai karya orang, tidak asal bilang, "kemahalan!" lihat dulu spesifikasi dan durasi upaya nya....
Saya lalu teringat bahwa banyak dari antara kita yang tega menawar habis harga yang diajukan pedagang sehingga kadang-kadang pedagangnya menjadi marah karena ditawar dengan tidak kira-kira. Saya sendiri seorang penawar yang payah. Saya sering tidak teganya memangkas habis harga yang ditawarkan karena terbayang susahnya mendapatkan pelanggan dan hidup para pedagang yang tidak mudah. Hitung-hitung menyumbang. Tapi begitulah, rupanya berlaku hukum rimba : semakin dalam memotong semakin puas dan berharga hasil yang diperoleh.
Kali ini, saya ingin memutarbalikkan teori itu. Hari ini saya merasakan betapa kesalnya ditawar dengan sangat keterlaluan seperti itu. Memang dia punya hak menawar, tapi kalau uangnya terbatas, kenapa tidak disampaikan dari awal saja sehingga kita tak usah berupaya keras dengan hasil nihil. Di sinilah azas penghormatan, keadilan dan kewajaran seharusnya berlaku. Penghormatan bagi jerih payah orang yang berjualan, keadilan bagi semua orang untuk bisa menjual dan membeli dengan harga wajar, atau secara umumnya : penghormatan bagi upaya kedua belah pihak, keadilan bagi setiap pihak untuk dapat memperoleh imbalan yang wajar sesuai dengan besarnya upaya yang dikeluarkan. Dan rasanya azas ini berlaku untuk semua hal dalam kehidupan bersosialisasi dengan pihak lain.
Diam-diam saya berterima kasih atas penawaran yang keterlaluan itu sehingga saya bisa lebih menghargai upaya orang dalam melakukan usahanya. Jadi, mulai sekarang, saya akan sangat berhati-hati dalam menilai karya orang, tidak asal bilang, "kemahalan!" lihat dulu spesifikasi dan durasi upaya nya....
Monday, December 20, 2010
20 Desember 2010 : Kemilau Barang Lama
Pagi ini Oprah Winfrey Show menampilkan ide unik. Mengingat krisis keuangan yang hebat di negeri Paman Sam, Oprah lalu mengeluarkan ide untuk merias rumah dengan menyuruh pemilik rumah memilih barang-barang yang mau disimpan dan mengeluarkan barang-barang yang mau dipergikan. Barang-barang yang mau disingkirkan itu kemudian dikumpulkan bersama barang milik tetangga yang lain kemudian dari sanalah desainger interior kesayangan Oprah, Nate Berkus, memilih dan menyulapnya menjadi furnitur "baru" bagi tetangga yang lain. Hasilnya, luar biasa. Kita tak mengira bahwa barang rongsokan kita bisa sangat "berkilau" dan indah di bawah besutan Nate.
Saya lalu membayangkan, wah, kalau saya, kira-kira saya bakal iri dan ingin memiliki kembali barang yang sudah saya buang itu. Saya lalu membayangkan isi rumah sendiri yang penuh dengan berbagai pernik yang saya beli karena keunikannya. Setiap barang memiliki kisahnya sendiri. Saking banyaknya barang, sampai-sampai kadang kita tidak bisa lagi melihat "kilau" masing-masing benda. Saya pernah terinspirasi untuk melakukan "garage sale" namun terhenti ketika harus memberi nilai harga pada barang-barang itu. Mau dihargai berapa? saya tak tahu karena nilai "sejarah" nya lebih tinggi dari nilai barangnya sendiri. Saya juga punya koleksi kaset yang terjaga baik dari tahun 1976 yang kalau disumbangkan ke perpustakaan negara mungkin bisa menjadi asset negara yang berharga bagi dunia musik Indonesia.
Acara Oprah hari ini menyadarkan saya betapa kita ini sering tidak bisa dan tidak tahu cara menghargai apa yang kita miliki. Tak jarang saya membuang sebuah barang karena yakin benar sudah tidak saya inginkan atau tidak terpakai, tapi setelah "melayang" saya kangen juga dengan barang itu, atau bahkan suatu saat ingat saya punya baju dan ingin mengenakannya, namun segera sadar bahwa baju yang baru saya pakai sekali itu sudah saya sumbangkan ke panti asuhan remaja. Saya kemudian merenung dan mendapatkan beberapa penemuan dari koleksi barang yang bertumpuk di rumah :
Hasrat berbelanja seringkali mengurangi kadar nilai barang yang sudah kita miliki sebelumnya. Koleksi yang sudah ada sering jadi korban sikap "take for granted" kita dan karena sering dirasa nilainya sudah hilang, maka dengan rela kita melego sampai suatu saat barang itu "jatuh" ke tangan orang yang bisa menghargai dan saat kita tersadar akan keindahannya, kita sudah terlambat karena tak mungkin merebutnya kembali dari tangan orang lain itu.
Saya kemudian merenungkan, hal ini terjadi juga dengan "kepemilikan" kita atas kekasih atau pasangan hidup kita.
Hari ini saya terinspirasi untuk menginventaris semua barang yang saya miliki dan untuk sejenak berhenti belanja barang baru. Barang-barang yang ada itu akan saya lihat kembali nilai sejarah dan keindahannya, dan kemudian menyisihkan barang-barang yang tidak saya perlukan lagi. Dari situ saya akan menempatkan barang-barang yang bernilai sejarah dan indah itu di tempat baru sehingga mendapat penampilan yang lebih segar. Saya yakin, dengan tempat yang lebih rapi dan bersih, barang-barang lama saya akan mendapatkan kembali kilaunya yang pernah terabaikan.
Otak saya lalu menambahkan, kalau begitu, saya juga akan melakukan hal yang sama dengan orang-orang terdekat yang selalu ada bersama saya. Saya akan mengembalikan "kilau" mereka yang pernah terabaikan dalam hidup ini. Saya yakin, dengan barang dan orang-orang terdekat yang "berkilau" indah, hidup saya akan lebih indah dan bersinar-sinar.
Saya lalu membayangkan, wah, kalau saya, kira-kira saya bakal iri dan ingin memiliki kembali barang yang sudah saya buang itu. Saya lalu membayangkan isi rumah sendiri yang penuh dengan berbagai pernik yang saya beli karena keunikannya. Setiap barang memiliki kisahnya sendiri. Saking banyaknya barang, sampai-sampai kadang kita tidak bisa lagi melihat "kilau" masing-masing benda. Saya pernah terinspirasi untuk melakukan "garage sale" namun terhenti ketika harus memberi nilai harga pada barang-barang itu. Mau dihargai berapa? saya tak tahu karena nilai "sejarah" nya lebih tinggi dari nilai barangnya sendiri. Saya juga punya koleksi kaset yang terjaga baik dari tahun 1976 yang kalau disumbangkan ke perpustakaan negara mungkin bisa menjadi asset negara yang berharga bagi dunia musik Indonesia.
Acara Oprah hari ini menyadarkan saya betapa kita ini sering tidak bisa dan tidak tahu cara menghargai apa yang kita miliki. Tak jarang saya membuang sebuah barang karena yakin benar sudah tidak saya inginkan atau tidak terpakai, tapi setelah "melayang" saya kangen juga dengan barang itu, atau bahkan suatu saat ingat saya punya baju dan ingin mengenakannya, namun segera sadar bahwa baju yang baru saya pakai sekali itu sudah saya sumbangkan ke panti asuhan remaja. Saya kemudian merenung dan mendapatkan beberapa penemuan dari koleksi barang yang bertumpuk di rumah :
Hasrat berbelanja seringkali mengurangi kadar nilai barang yang sudah kita miliki sebelumnya. Koleksi yang sudah ada sering jadi korban sikap "take for granted" kita dan karena sering dirasa nilainya sudah hilang, maka dengan rela kita melego sampai suatu saat barang itu "jatuh" ke tangan orang yang bisa menghargai dan saat kita tersadar akan keindahannya, kita sudah terlambat karena tak mungkin merebutnya kembali dari tangan orang lain itu.
Saya kemudian merenungkan, hal ini terjadi juga dengan "kepemilikan" kita atas kekasih atau pasangan hidup kita.
Hari ini saya terinspirasi untuk menginventaris semua barang yang saya miliki dan untuk sejenak berhenti belanja barang baru. Barang-barang yang ada itu akan saya lihat kembali nilai sejarah dan keindahannya, dan kemudian menyisihkan barang-barang yang tidak saya perlukan lagi. Dari situ saya akan menempatkan barang-barang yang bernilai sejarah dan indah itu di tempat baru sehingga mendapat penampilan yang lebih segar. Saya yakin, dengan tempat yang lebih rapi dan bersih, barang-barang lama saya akan mendapatkan kembali kilaunya yang pernah terabaikan.
Otak saya lalu menambahkan, kalau begitu, saya juga akan melakukan hal yang sama dengan orang-orang terdekat yang selalu ada bersama saya. Saya akan mengembalikan "kilau" mereka yang pernah terabaikan dalam hidup ini. Saya yakin, dengan barang dan orang-orang terdekat yang "berkilau" indah, hidup saya akan lebih indah dan bersinar-sinar.
Sunday, December 19, 2010
19 Desember 2010 : Menggebuki Orang Tua
Sore tadi di tengah seruputan Pepermint Mocha Starbuck yang super lezat saya mendengar teman bercerita tentang temannya yang curhat di grup bbm. Sang teman menceritakan bahwa anaknya berbohong. Kemarin saat terima rapor, ia diam-diam mengambil rapor nya sendiri dengan alasan kedua orang tuanya sibuk. Sang ayah yang baru sadar siang ini, menanyakan bukannya ia seharusnya sudah terima rapor, menerima pengakuan berat hati dari sang anak, dan setelah dibuka, warna birunya cuma satu, alias alamat tinggal kelas. Sang ayah langsung mengambil aksi tangan besi, menggebuki anak pertamanya itu karena kebohongannya dan rapornya yang "kebakaran." Si Ibu kemudian meminta bantuan saran kepada teman-temannya melalui bbm.
Sekedar gambaran, pasangan suami isteri ini dua-duanya banker yang workaholic. Mereka berdua sering pulang lewat jam 9 malam dan Sabtu pun sering di kantor. Segala keperluan anak dicukupi, dan soal pelajaran diserahkan pada guru les. Cuma hari Minggu yang dijadwalkan menjadi hari keluarga.
Saya lalu berkomentar, "seharusnya yang digebuki ya bapak ibunya." Buat saya semua ini kesalahan ayah ibunya. Yang dibutuhkan sang anak bukan gebukan atau nasihat. Yang dibutuhkan remaja putera itu adalah ayah dan ibunya yang berubah, menjadi orang tua yang mengutamakan keluarga. Teman saya lalu bertanya bagaimana saya dulu dididik. Saya bilang, pulang sekolah dan setelah makan, hal yang pertama dilakukan ibu adalah membongkar isi tas dan membuka satu per satu buku serta mendiskusikannya dengan saya. Setelah itu, jam 2 sampai jam 4 saya duduk belajar, membuat pekerjaan rumah dan belajar untuk ulangan besok atau lusanya. Jam 4 saya dipersilakan main bersama teman, keluyuran sampai keringat basah kuyup, tapi jam 6 saat Maghrib tiba, saya sudah harus di rumah, menonton tv atau bercengkerama dengan keluarga, makan malam bersama keluarga, istirahat sebentar lalu tidur. Saya tidak pakai guru les. Guru les saya ya ibu saya sendiri. Namun hal itu tak berlangsung lama. Setelah kelas 4 SD, saya yang sudah punya ritme belajar yang dipolakan Ibu, bisa berjalan sendiri, namun tetap dengan supervisi ibu. Di situlah saya belajar tanggung jawab melalui interaksi dan pengawasan melekat dari orang tua saya. Jadi, saya bilang, orang tua tidak bisa diganti dengan uang atau pembantu atau guru les. Sepertinya ini klasik, tapi hari ini terbukti, masih banyak orang tua yang tidak mengerti betapa pentingnya peranan mereka dalam tumbuh kembang pribadi anaknya. Atau mereka memang tidak siap jadi orang tua? Bisa jadi.
Apa pun alasannya, orang tua yang semacam ini - meskipun tidak menelantarkan secara finansial - adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Punya anak itu bukan soal gengsi - sudah bisa menghamili dan dihamili, bukan juga kewajiban seperti yang biasa ditanyakan orang setelah seorang laki dan perempuan bersatu dalam pernikahan - yang setelah gengsi dan kewajiban itu terpenuhi, dibiarkan saja karena memang fokus utama pasangan suami isteri itu bukan pada anaknya tapi gengsi dan kewajibannya. Oleh karena itu bisa dimengerti kalau siang ini si Bapak menggebuki anaknya karena dianggap anaknya membuat malu dan gengsinya melorot padahal semua keperluan finansialnya dicukupi.
Tapi ini bukan cuma soal anak. Ini adalah soal mengambil keputusan dan bagaimana mempertanggung jawabkannya. Terlebih lagi, ini bukan cuma soal kegagalan seorang ayah atau ibu mengayomi anaknya. Ini adalah persoalan bagaimana kita melihat esensi sebuah masalah. Kalau dilihat dari mata kasat, ya benar anaknya salah telah berbohong dan tidak belajar benar. Tapi inti atau esensi masalahnya tidak di sana dan si anak tidak bisa disalahkan seratus persen. Bobot masalahnya justru terletak di orang tuanya.
Begitu pulalah masalah yang sering hadir di hadapan kita, sering kita selesaikan sesuai dengan apa yang terlihat saja sehingga tidak tuntas. Jarang kita mau meneliti inti dan esensi masalah sehingga kita bisa membuat sebuah keputusan bijak bagaimana menyelesaikan masalah itu.
Hari ini saya belajar untuk menguliti masalah yang saya hadapi agar bisa menemukan esensinya dan menyelesaikan permasalahan itu dari akarnya. Untuk si orang tua, saya titip pesan pada teman saya, "Bilangi temanmu itu untuk pertama-tama minta maaf dan bertobat pada sang anak, lalu mengganti jasa guru les dengan salah satu dari mereka. Pasti akan terjadi perubahan. Yang namanya anak itu lebih memilih orang tua yang melarat tapi sepenuhnya memperhatikan dan mengayomi anaknya ketimbang orang tua berlimpah tapi tidak pernah ada untuk mereka."
Sekedar gambaran, pasangan suami isteri ini dua-duanya banker yang workaholic. Mereka berdua sering pulang lewat jam 9 malam dan Sabtu pun sering di kantor. Segala keperluan anak dicukupi, dan soal pelajaran diserahkan pada guru les. Cuma hari Minggu yang dijadwalkan menjadi hari keluarga.
Saya lalu berkomentar, "seharusnya yang digebuki ya bapak ibunya." Buat saya semua ini kesalahan ayah ibunya. Yang dibutuhkan sang anak bukan gebukan atau nasihat. Yang dibutuhkan remaja putera itu adalah ayah dan ibunya yang berubah, menjadi orang tua yang mengutamakan keluarga. Teman saya lalu bertanya bagaimana saya dulu dididik. Saya bilang, pulang sekolah dan setelah makan, hal yang pertama dilakukan ibu adalah membongkar isi tas dan membuka satu per satu buku serta mendiskusikannya dengan saya. Setelah itu, jam 2 sampai jam 4 saya duduk belajar, membuat pekerjaan rumah dan belajar untuk ulangan besok atau lusanya. Jam 4 saya dipersilakan main bersama teman, keluyuran sampai keringat basah kuyup, tapi jam 6 saat Maghrib tiba, saya sudah harus di rumah, menonton tv atau bercengkerama dengan keluarga, makan malam bersama keluarga, istirahat sebentar lalu tidur. Saya tidak pakai guru les. Guru les saya ya ibu saya sendiri. Namun hal itu tak berlangsung lama. Setelah kelas 4 SD, saya yang sudah punya ritme belajar yang dipolakan Ibu, bisa berjalan sendiri, namun tetap dengan supervisi ibu. Di situlah saya belajar tanggung jawab melalui interaksi dan pengawasan melekat dari orang tua saya. Jadi, saya bilang, orang tua tidak bisa diganti dengan uang atau pembantu atau guru les. Sepertinya ini klasik, tapi hari ini terbukti, masih banyak orang tua yang tidak mengerti betapa pentingnya peranan mereka dalam tumbuh kembang pribadi anaknya. Atau mereka memang tidak siap jadi orang tua? Bisa jadi.
Apa pun alasannya, orang tua yang semacam ini - meskipun tidak menelantarkan secara finansial - adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Punya anak itu bukan soal gengsi - sudah bisa menghamili dan dihamili, bukan juga kewajiban seperti yang biasa ditanyakan orang setelah seorang laki dan perempuan bersatu dalam pernikahan - yang setelah gengsi dan kewajiban itu terpenuhi, dibiarkan saja karena memang fokus utama pasangan suami isteri itu bukan pada anaknya tapi gengsi dan kewajibannya. Oleh karena itu bisa dimengerti kalau siang ini si Bapak menggebuki anaknya karena dianggap anaknya membuat malu dan gengsinya melorot padahal semua keperluan finansialnya dicukupi.
Tapi ini bukan cuma soal anak. Ini adalah soal mengambil keputusan dan bagaimana mempertanggung jawabkannya. Terlebih lagi, ini bukan cuma soal kegagalan seorang ayah atau ibu mengayomi anaknya. Ini adalah persoalan bagaimana kita melihat esensi sebuah masalah. Kalau dilihat dari mata kasat, ya benar anaknya salah telah berbohong dan tidak belajar benar. Tapi inti atau esensi masalahnya tidak di sana dan si anak tidak bisa disalahkan seratus persen. Bobot masalahnya justru terletak di orang tuanya.
Begitu pulalah masalah yang sering hadir di hadapan kita, sering kita selesaikan sesuai dengan apa yang terlihat saja sehingga tidak tuntas. Jarang kita mau meneliti inti dan esensi masalah sehingga kita bisa membuat sebuah keputusan bijak bagaimana menyelesaikan masalah itu.
Hari ini saya belajar untuk menguliti masalah yang saya hadapi agar bisa menemukan esensinya dan menyelesaikan permasalahan itu dari akarnya. Untuk si orang tua, saya titip pesan pada teman saya, "Bilangi temanmu itu untuk pertama-tama minta maaf dan bertobat pada sang anak, lalu mengganti jasa guru les dengan salah satu dari mereka. Pasti akan terjadi perubahan. Yang namanya anak itu lebih memilih orang tua yang melarat tapi sepenuhnya memperhatikan dan mengayomi anaknya ketimbang orang tua berlimpah tapi tidak pernah ada untuk mereka."
18 Desember 2010 : Anak Allah
Diskusi pertemuan kelompok pendalaman iman saya yang hari ini sekaligus diadakan dalam rangka Natal 2010 menyinggung soal Anak Allah. Kita ini anak-anak Allah secara rohaniah meskipun lahiriahnya ya anak masing-masing ayah dan ibu. Jadi karena kita anak Allah, apa yang kita lakukan terhadap orang lain berarti berdampak langsung kepada Allah. Misalnya, menghina orang, berarti ya menghina Allah. Kalau kita menyakiti orang, yang berarti kita juga menyakiti Allah.
Saya setuju dengan konsep ini, hanya prakteknya susaaaaaaaah sekali. Mulut yang tidak disekolahkan ini otomatis mengomentari orang ini dan itu, membicarakan orang ini dan itu. Itu baru mulut, kelakuan tak ada bedanya. Suka memandang sebelah mata, suka .... suka .... Saya lalu melantur lebih jauh, di mana sekarang banyak orang yang mengatasnamakan Tuhan berperang dan memerangi orang, menumpas dan mengobrak abrik fasilitas ibadah, serta menghakimi orang dalam nama Tuhan. Saya sungguh tidak mengerti tindakan dan cara pemikiran seperti ini karena menurut saya Tuhan tidak perlu dibela, justru kita yang membutuhkan perlindungan dan pembelaanNya. Saya sempat membaca ada orang-orang yang berdemo atas beredarnya film yang ditengarai berbau porno. Asumsi saya, kalau bisa berkomentar tentang isi sebuah film tentunya yang bersangkutan sudah menontonnya terlebih dahulu. Lah, siapa yang lebih mesum?
Maka kesimpulannya, orang yang menghina orang lain adalah orang yang lebih rendah dari yang dihinanya. Orang yang menghakimi orang lain adalah orang yang lebih bersalah dan lebih rendah derajatnya dari yang dihakimi. Orang yang menganggap dirinya lebih baik dari yang lain sesungguhnya lebih rendah dari yang lain.
Kalau pakai kesimpulan di atas, aduuuh betapa rendahnya dan hinanya saya ini. Saya pernah berbicara soal positioning, yaitu bagaimana kita memosisikan diri kita. Berdasarkan teori itu, maka kalau kita adalah anak Allah, semestinya kita berlaku seperti seorang anak Allah, berkata seperti seorang anak Allah, hidup seperti seorang anak Allah. Yang ada, saya ini anak Allah yang kelakuannya seperti anak setan. Tapi yang jelas, kata "Anak Allah" itu berdengung tak mau pergi dari otak saya. Mungkin Allah telah mengirim Roh Kudusnya untuk menanamkan kata itu di benak sehingga sekarang kalau mau apa-apa, atau paling tidak kalau sudah keceplosan ngomong apa, ada kalimat pengingatnya, "Kamu itu Anak Allah lho!" Paling tidak sekarang saya punya kontrol kalau gatal mau mengomentari sesuatu, atau melakukan sesuatu.... setidaknya sampai teman saya nyeletuk, "Menghakimi memang nggak boleh, menghina juga tidak boleh, tapi mengomentari tidak dilarang, kan....?" Gubrak! Teteup....
Saya setuju dengan konsep ini, hanya prakteknya susaaaaaaaah sekali. Mulut yang tidak disekolahkan ini otomatis mengomentari orang ini dan itu, membicarakan orang ini dan itu. Itu baru mulut, kelakuan tak ada bedanya. Suka memandang sebelah mata, suka .... suka .... Saya lalu melantur lebih jauh, di mana sekarang banyak orang yang mengatasnamakan Tuhan berperang dan memerangi orang, menumpas dan mengobrak abrik fasilitas ibadah, serta menghakimi orang dalam nama Tuhan. Saya sungguh tidak mengerti tindakan dan cara pemikiran seperti ini karena menurut saya Tuhan tidak perlu dibela, justru kita yang membutuhkan perlindungan dan pembelaanNya. Saya sempat membaca ada orang-orang yang berdemo atas beredarnya film yang ditengarai berbau porno. Asumsi saya, kalau bisa berkomentar tentang isi sebuah film tentunya yang bersangkutan sudah menontonnya terlebih dahulu. Lah, siapa yang lebih mesum?
Maka kesimpulannya, orang yang menghina orang lain adalah orang yang lebih rendah dari yang dihinanya. Orang yang menghakimi orang lain adalah orang yang lebih bersalah dan lebih rendah derajatnya dari yang dihakimi. Orang yang menganggap dirinya lebih baik dari yang lain sesungguhnya lebih rendah dari yang lain.
Kalau pakai kesimpulan di atas, aduuuh betapa rendahnya dan hinanya saya ini. Saya pernah berbicara soal positioning, yaitu bagaimana kita memosisikan diri kita. Berdasarkan teori itu, maka kalau kita adalah anak Allah, semestinya kita berlaku seperti seorang anak Allah, berkata seperti seorang anak Allah, hidup seperti seorang anak Allah. Yang ada, saya ini anak Allah yang kelakuannya seperti anak setan. Tapi yang jelas, kata "Anak Allah" itu berdengung tak mau pergi dari otak saya. Mungkin Allah telah mengirim Roh Kudusnya untuk menanamkan kata itu di benak sehingga sekarang kalau mau apa-apa, atau paling tidak kalau sudah keceplosan ngomong apa, ada kalimat pengingatnya, "Kamu itu Anak Allah lho!" Paling tidak sekarang saya punya kontrol kalau gatal mau mengomentari sesuatu, atau melakukan sesuatu.... setidaknya sampai teman saya nyeletuk, "Menghakimi memang nggak boleh, menghina juga tidak boleh, tapi mengomentari tidak dilarang, kan....?" Gubrak! Teteup....
Saturday, December 18, 2010
17 Desember 2010 : Cemburu & Cinta
Dengan pekerjaan di bidang komunikasi, saya biasa melahap semua jenis media, mulai dari tv, radio, online, sampai cetak. Dari yang diperuntukkan untuk anak, ibu hamil, pria, sampai manula, dari industri, politik hingga fashion. Sebuah kotak hijau di lembar majalah Femina edisi Natal 2010 menarik prehatian saya. Dalam kotak hijau itu tertulis :
CEMBURU & CINTA
Waspadai jika pasangan Anda berkata, "Ya, aku cemburu karena sangat cinta padamu." Menurut Mary Valentis,Ph.D dan John Valentis, Ph.D, penulis buku Romantic Intelligence, kecemburuan tidak ada hubungannya dengan cinta. Cemburu adalah alat ukur emosi. Jika pasangan berkata demikian, itu hanya ucapan yang menenteramkan saja. Sebenarnya, ada kebutuhan pasangan untuk mengendalikan dan membatasi aktivitas yang disebabkan oleh cinta yang sangat besar.
Hm, saya kemudian merenung. Dari pengalaman pribadi, akhirnya saya menyimpulkan bahwa cemburu dan posesif adalah sebuah keadaan yang berawal dari rasa ketertarikan yang tinggi terhadap seseorang dan saking sukanya terhadap orang itu akhirnya timbul rasa memiliki dan tidak ingin berbagi dengan orang lain. Jadi, yang namanya cinta itu jadinya sama dengan hak milik. Boleh saja Anda protes, tapi pengalaman saya bilang begitu. Buat saya, cinta bukan untuk memiliki itu bohong besar. Meski pun tidak bisa memiliki secara fisik, perasaan tetap mencap seseorang itu milik kita. Jadi cinta itu merupakan rasa ketertarikan dan memiliki dalam kadar yang berbeda-beda, dari yang super ringan sampai super berat, sehingga jadi ketergantungan dan kecanduan.
Masalahnya kalau sikap cemburu dan posesif itu menjadi destruktif. Tak sedikit yang kehilangan akal karena cemburu dan posesif. Saya sudah mengalaminya, dan tak bisa saya katakan betapa menakutkannya seorang yang terobsesi dengan rasa cemburu dan posesif nya. Orang tersebut kehilangan akal sehat dan mulai melakukan hal yang merusak. Puas rasanya kalau orang yang katanya dicintai "ikut" merasakan sakit hatinya bahkan puas rasanya kalau orang yang katanya disayangi hancur dalam arti sebenarnya : jadi tak punya masa depan, menderita, dikucilkan, sengsara : Rasakan! Itu akibatnya kalau kamu tidak mau sama aku! Teror dan fitnah, dilakukan dengan cara-cara yang tak terbayangkan, melanggar privasi masuk ke email, sms pribadi, bahkan phonebook ikut dilacak karena sudah saking geramnya. Kecanggihan teknologi dipergunakan menjadi alat teror yang susah dilacak. Semua dilakukan demi dendam cinta dan cemburu. Bahkan kalau perlu ia sendiri hancur juga tidak apa-apa.
Pada akhirnya orang yang kecanduan cinta dan menjadi pencemburu dan posesif itu sudah lama melupakan rasa cintanya dan lebih menjadikan cintanya sebagai objek kepemilikian, akan mencapai titik terparahnya : psikopat! Dan setiap manusia yang jatuh cinta atau dalam cinta memiliki potensi ini. Hanya saja, ada orang yang memiliki rasa legawa dan ikhlas, sehingga kepemilikan yang dirasakan terhadap seseorang bisa dibawa dalam kadar yang indah dan wajar, tapi ada lagi orang yang mau menguasai dalam kadar yang memenjarakan orang yang dicintainya.
Kalau mengingat semua itu, saya jadi bergidik. Ini kah esensi cinta? tertarik dan mencap seseorang itu milik kita? Setelah saya renungkan, ternyata tak ada alibi lain yang dapat mematahkan kenyataan ini : cinta = tertarik dan cap kepemilikan. Apakah kepemilikannya dalam lingkup keluarga, atau disimpan dalam hati saja, atau dinyatakan dan akhirnya menyatu dalam ikatan pacaran atau pernikahan, tergantung kadarnya, tapi pada dasarnya tetap kepemilikan.
Saya lalu menyadari bahwa hakikat hidup ini adalah bagaimana kita dapat mengontrol rasa ketertarikan dan kepemilikan ini dengan bijaksana sehingga berbuah indah, bukan berakhir menjadi petaka. Lebih lanjut saya menyadari lagi bahwa perasaan ini tidak terhenti pada manusia tetapi juga terhadap apa pun yang ada di dunia ini : barang, uang, binatang, perusahaan dan negara. Intinya adalah pengendalian diri...
CEMBURU & CINTA
Waspadai jika pasangan Anda berkata, "Ya, aku cemburu karena sangat cinta padamu." Menurut Mary Valentis,Ph.D dan John Valentis, Ph.D, penulis buku Romantic Intelligence, kecemburuan tidak ada hubungannya dengan cinta. Cemburu adalah alat ukur emosi. Jika pasangan berkata demikian, itu hanya ucapan yang menenteramkan saja. Sebenarnya, ada kebutuhan pasangan untuk mengendalikan dan membatasi aktivitas yang disebabkan oleh cinta yang sangat besar.
Hm, saya kemudian merenung. Dari pengalaman pribadi, akhirnya saya menyimpulkan bahwa cemburu dan posesif adalah sebuah keadaan yang berawal dari rasa ketertarikan yang tinggi terhadap seseorang dan saking sukanya terhadap orang itu akhirnya timbul rasa memiliki dan tidak ingin berbagi dengan orang lain. Jadi, yang namanya cinta itu jadinya sama dengan hak milik. Boleh saja Anda protes, tapi pengalaman saya bilang begitu. Buat saya, cinta bukan untuk memiliki itu bohong besar. Meski pun tidak bisa memiliki secara fisik, perasaan tetap mencap seseorang itu milik kita. Jadi cinta itu merupakan rasa ketertarikan dan memiliki dalam kadar yang berbeda-beda, dari yang super ringan sampai super berat, sehingga jadi ketergantungan dan kecanduan.
Masalahnya kalau sikap cemburu dan posesif itu menjadi destruktif. Tak sedikit yang kehilangan akal karena cemburu dan posesif. Saya sudah mengalaminya, dan tak bisa saya katakan betapa menakutkannya seorang yang terobsesi dengan rasa cemburu dan posesif nya. Orang tersebut kehilangan akal sehat dan mulai melakukan hal yang merusak. Puas rasanya kalau orang yang katanya dicintai "ikut" merasakan sakit hatinya bahkan puas rasanya kalau orang yang katanya disayangi hancur dalam arti sebenarnya : jadi tak punya masa depan, menderita, dikucilkan, sengsara : Rasakan! Itu akibatnya kalau kamu tidak mau sama aku! Teror dan fitnah, dilakukan dengan cara-cara yang tak terbayangkan, melanggar privasi masuk ke email, sms pribadi, bahkan phonebook ikut dilacak karena sudah saking geramnya. Kecanggihan teknologi dipergunakan menjadi alat teror yang susah dilacak. Semua dilakukan demi dendam cinta dan cemburu. Bahkan kalau perlu ia sendiri hancur juga tidak apa-apa.
Pada akhirnya orang yang kecanduan cinta dan menjadi pencemburu dan posesif itu sudah lama melupakan rasa cintanya dan lebih menjadikan cintanya sebagai objek kepemilikian, akan mencapai titik terparahnya : psikopat! Dan setiap manusia yang jatuh cinta atau dalam cinta memiliki potensi ini. Hanya saja, ada orang yang memiliki rasa legawa dan ikhlas, sehingga kepemilikan yang dirasakan terhadap seseorang bisa dibawa dalam kadar yang indah dan wajar, tapi ada lagi orang yang mau menguasai dalam kadar yang memenjarakan orang yang dicintainya.
Kalau mengingat semua itu, saya jadi bergidik. Ini kah esensi cinta? tertarik dan mencap seseorang itu milik kita? Setelah saya renungkan, ternyata tak ada alibi lain yang dapat mematahkan kenyataan ini : cinta = tertarik dan cap kepemilikan. Apakah kepemilikannya dalam lingkup keluarga, atau disimpan dalam hati saja, atau dinyatakan dan akhirnya menyatu dalam ikatan pacaran atau pernikahan, tergantung kadarnya, tapi pada dasarnya tetap kepemilikan.
Saya lalu menyadari bahwa hakikat hidup ini adalah bagaimana kita dapat mengontrol rasa ketertarikan dan kepemilikan ini dengan bijaksana sehingga berbuah indah, bukan berakhir menjadi petaka. Lebih lanjut saya menyadari lagi bahwa perasaan ini tidak terhenti pada manusia tetapi juga terhadap apa pun yang ada di dunia ini : barang, uang, binatang, perusahaan dan negara. Intinya adalah pengendalian diri...
Thursday, December 16, 2010
16 Desember 2010 : Fast Forward
Malam ini saya berchatting ria melalui bbm mengingatkan manajer saya bahwa saya akan cuti panjang akhir tahun ini dan baru masuk hampir pertengahan Januari depan. Saya mengingatkan ini karena ada pekerjaan yang terundur-undur sehingga waktu yang tersedia untuk mengerjakannya sebelum saya mulai cuti menjadi sangat sempit dan bahkan kemungkinan tidak sempat sama sekali.
Saya merasakan waktu ini begitu cepatnya berlalu, bagaikan sekelebat saja. Baru rasanya saya mulai semangat-semangatnya berkomitmen untuk membuat blog setiap hari di tahun 2010 dan membayangkan bagaimana saya melalui 365 hari menulis blog, tanpa terasa tahu-tahu sekarang tinggal beberapa hari lagi sebelum saya terlepas dari janji pribadi yang sering kali akhirnya menjadi kewajiban untuk memenuhi komitmen ketimbang fun -nya.
Dengan kecepatan waktu yang begitu melesat dan semakin banyaknya hal yang harus saya kerjakan, mudah bagi saya terjerembab dalam stress bagaimana menangani semua ini dengan baik. Terus terang, kejenuhan dan jumlah pekerjaan yang meluap melebihi kapasitas membuat saya kadang kurang fokus terhadap masing masing pekerjaan, tidak seperti beberapa tahun yang lalu yang masih bisa benar-benar mendalami pekerjaan dengan penuh passion. Manajer saya tadi tiba-tiba menukas bahwa kalau rezeki tidak kemana. Saya lalu terdiam, iya juga ya, alam dengan sendirinya menyeleksi pekerjaan apa yang bisa tertangani sesuai dengan jumlah waktu dan tenaga yang tersedia. Saya tentu saja tidak mau mengorbankan waktu libur yang sudah direncanakan jauh-jauh hari hanya karena pekerjaan yang datang bertubi-tubi. Kalau mau mengikuti banyaknya pekerjaan, kapan saya istirahatnya?
Waktu yang cepat berlalu mengingatkan saya untuk menerima pekerjaan secukupnya karena kalau terlalu penuh, dengan berjalannya waktu yang sedemikian cepat, tak akan cukup waktu untuk mempersiapkan diri. Kadang-kadang, karena banyaknya pekerjaan, saya cenderung ingin menunda pekerjaan yang tenggat waktunya terlihat masih jauh. Sayangnya, dengan kecepatan waktu dan jumlah pekerjaan yang selalu bertambah, mengulur waktu justru membuat pekerjaan menumpuk.
Tiba-tiba saya melihat semua kejadian ini dan korelasinya dengan kehidupan. Siapa bilang hidup di dunia ini lama? Saya merasakan waktu begitu cepat berlalu, tiba-tiba menyadari kalau tahun 2011 ini saya berusia 47 tahun, dan ngeri rasanya kalau mengevaluasai apa yang sudah saya capai selama ini, karena rasanya rapor saya tergolong (masih) merah. Saya tiba-tiba menyadari betapa banyaknya waktu yang saya hambur-hamburkan begitu saja untuk kesenangan duniawi yang tidak memberi hasil yang berarti bagi pendewasaan jiwa. Selama ini saya kurang fokus pada pengembangan jiwa. kalau pun kadang-kadang sadar, saya sering segera menghalau dengan berpikir, "ah, nanti-nanti saja, masih muda ini kok." Sekarang saya bertanya, "sudah tertunda sekian lama, dan sekarang umur 46, mana hasil "kerja" kamu?"
Malam ini saya berjanji untuk berhenti melakukan hal yang remeh temeh duniawi dan fokus mengejar ketinggalan sekarang juga. Malam ini saya disadarkan akan makna kata-kata Yesus yang mengingatkan : Kerajaan Allah sudah dekat, berjaga-jagalah. Maksudnya, waktu berlalu begitu cepatnya, kalau kita tidak berjaga-jaga, kita akan terkaget-kaget ketika alarm berbunyi menyatakan bahwa waktu kita sudah habis sedangkan kita belum tuntas mengerjakan tugas kita. Apa boleh buat, "kertas ulangan" harus dikumpulkan, selesai tidak selesai ...
Saya merasakan waktu ini begitu cepatnya berlalu, bagaikan sekelebat saja. Baru rasanya saya mulai semangat-semangatnya berkomitmen untuk membuat blog setiap hari di tahun 2010 dan membayangkan bagaimana saya melalui 365 hari menulis blog, tanpa terasa tahu-tahu sekarang tinggal beberapa hari lagi sebelum saya terlepas dari janji pribadi yang sering kali akhirnya menjadi kewajiban untuk memenuhi komitmen ketimbang fun -nya.
Dengan kecepatan waktu yang begitu melesat dan semakin banyaknya hal yang harus saya kerjakan, mudah bagi saya terjerembab dalam stress bagaimana menangani semua ini dengan baik. Terus terang, kejenuhan dan jumlah pekerjaan yang meluap melebihi kapasitas membuat saya kadang kurang fokus terhadap masing masing pekerjaan, tidak seperti beberapa tahun yang lalu yang masih bisa benar-benar mendalami pekerjaan dengan penuh passion. Manajer saya tadi tiba-tiba menukas bahwa kalau rezeki tidak kemana. Saya lalu terdiam, iya juga ya, alam dengan sendirinya menyeleksi pekerjaan apa yang bisa tertangani sesuai dengan jumlah waktu dan tenaga yang tersedia. Saya tentu saja tidak mau mengorbankan waktu libur yang sudah direncanakan jauh-jauh hari hanya karena pekerjaan yang datang bertubi-tubi. Kalau mau mengikuti banyaknya pekerjaan, kapan saya istirahatnya?
Waktu yang cepat berlalu mengingatkan saya untuk menerima pekerjaan secukupnya karena kalau terlalu penuh, dengan berjalannya waktu yang sedemikian cepat, tak akan cukup waktu untuk mempersiapkan diri. Kadang-kadang, karena banyaknya pekerjaan, saya cenderung ingin menunda pekerjaan yang tenggat waktunya terlihat masih jauh. Sayangnya, dengan kecepatan waktu dan jumlah pekerjaan yang selalu bertambah, mengulur waktu justru membuat pekerjaan menumpuk.
Tiba-tiba saya melihat semua kejadian ini dan korelasinya dengan kehidupan. Siapa bilang hidup di dunia ini lama? Saya merasakan waktu begitu cepat berlalu, tiba-tiba menyadari kalau tahun 2011 ini saya berusia 47 tahun, dan ngeri rasanya kalau mengevaluasai apa yang sudah saya capai selama ini, karena rasanya rapor saya tergolong (masih) merah. Saya tiba-tiba menyadari betapa banyaknya waktu yang saya hambur-hamburkan begitu saja untuk kesenangan duniawi yang tidak memberi hasil yang berarti bagi pendewasaan jiwa. Selama ini saya kurang fokus pada pengembangan jiwa. kalau pun kadang-kadang sadar, saya sering segera menghalau dengan berpikir, "ah, nanti-nanti saja, masih muda ini kok." Sekarang saya bertanya, "sudah tertunda sekian lama, dan sekarang umur 46, mana hasil "kerja" kamu?"
Malam ini saya berjanji untuk berhenti melakukan hal yang remeh temeh duniawi dan fokus mengejar ketinggalan sekarang juga. Malam ini saya disadarkan akan makna kata-kata Yesus yang mengingatkan : Kerajaan Allah sudah dekat, berjaga-jagalah. Maksudnya, waktu berlalu begitu cepatnya, kalau kita tidak berjaga-jaga, kita akan terkaget-kaget ketika alarm berbunyi menyatakan bahwa waktu kita sudah habis sedangkan kita belum tuntas mengerjakan tugas kita. Apa boleh buat, "kertas ulangan" harus dikumpulkan, selesai tidak selesai ...
Wednesday, December 15, 2010
15 Desember 2010 : Membuktikan Curiga
Hari ini saya dikejutkan oleh sebuah kejadian kehilangan yang baru saya ketahui setelah terjadi 3 minggu berlalu. Saya penasaran menerima laporan kalau berbagai teknik yang diumpankan berbagai pihak tidak juga bisa menggaet pelaku. Saya lalu mengadakan pembicaraan dengan berbagai pihak yang melakukan investigasi dan upaya pengungkapan pelaku, atau setidaknya mendapatkan kembali barang yang hilang. Dari serangkaian pembicaraan itu, mengerucutlah dugaan siapa yang kira-kira yang berulah. Selain berdasarkan berbagai fakta dan catatan investigasi, dugaan itu diperkuat dengan adanya instink. Sayangnya instink dan dugaan itu masih harus disertai dengan bukti nyata sehingga tidak menjadi tuduhan belaka.
Sepanjang hari, topik yang menari-nari di otak adalah : saya tahu (baca: punya feeling) siapa yang melakukan tapi bagaimana cara membuktikannya? Topik ini bukan hanya sekali mampir dalam hidup saya. Bahkan sebetulnya sering. Dulu saya punya instink kuat kalau mantan saya berselingkuh meskipun ketika secara berhati-hati saya tanyakan ia mengatakan tidak. Saya memang tidak punya bukti, tapi sebagai pasangan saya punya sensitivitas yang tinggi bila sedikit saja terjadi perubahan rasa dan tingkah laku pada pasangan saya. Saya juga pernah kehilangan barang di rumah, dan berdasarkan tingkah laku dan respons yang diberikan penghuni rumah, saya langsung tahu siapa pelakunya. Saya pernah juga jadi korban teror di kantor dan rumah dan belakangan terungkap bahwa pelakunya bukan dari kalangan saya, tapi dari seorang kenalan dekat kerabat yang salah tangkap dikira saya yang menjadi biang renggangnya hubungan dia dengan kerabat saya tadi. Sayangnya terungkapnya kasus ini hanya bisa ditelan dalam hati karena saya tidak bisa memberikan pembuktian legal untuk bisa mengatakan hitam atas putih bahwa ia memang pelakunya.
Jadi pertanyaan besar yang ada di benak saya adalah : bagaimana membuktikan sesuatu yang secara instink kita tahu siapa yang melakukan? Secara hukum, kita memang tidak bisa membuktikan sesuatu dengan instink. Itu namanya menuduh tanpa dasar bukti yang jelas. Jadi, haruskah saya datang pada yang tersangka langsung menanyakan apakah ia yang berbuat? Kemungkinannya hanya ada dua : ia membantah atau mengaku, tapi apa pun reaksi dia, apakah ia memang benar pelaku atau tidak melakukan, hubungan kami tak akan kembali seindah sebelumnya, karena masing-masing merasa adanya ketidakpercayaan antara kami. Atau sebaiknya dibiarkan saja dan merelakan barangnya hilang? Saya sih tidak rela kasus ini pupus begitu saja. Apa lagi secara instinktif sudah terlihat namanya, namun tak bisa serta merta disebutkan karena harus dibuktikan.
Tiba-tiba saya tergelitik membandingkannya dengan iman saya kepada Tuhan. Saya tak pernah melihat Tuhan, namun bagaimana saya bisa percaya bahwa Ia ada? Bagaimana saya membuktikan secara nyata bahwa Ia ada? Selama ini pembuktiannya hanya bisa dilakukan melalui berbagai intepretasi kejadian. Tapi benarkah dugaan bisa disamakan dengan iman meskipun sama-sama berdasarkan perasaan? Terus terang, pengalaman sebelumnya yang saya ceritakan di atas hanya berakhir dengan : saya tahu siapa yang berbuat, tapi tidak saya apa-apakan karena saya tidak punya bukti nyata nya. Saya membiarkan berlalu dengan berharap bahwa alam kehidupan alias karma akan yang akan bertindak baginya. Tapi apakah kasus kali ini akan berakhir pada pasrah karma saja? Rasanya untuk sekali ini tidak. Bagaimana kalau sekali ini saya tidak memerlukan pembuktian siapa yang melakukan? Bagaimana kalau saya mengumumkan tidak mau tahu siapa yang melakukan asal barangnya bisa kembali di meja saya dalam waktu 24 jam? Siapa tahu hal ini bisa membantu mengetuk nurani si pelaku untuk mengembalikan barang yang bukan menjadi hak nya? Siapa tahu pula ketika ia memulangkannya, hatinya juga jadi terketuk untuk bertobat? Rasanya kalau ini terjadi sang pelaku justru mendapat kado kehidupan berlipat : berkah kejujuran dan berkah pertobatan.
Dari pemikiran ini saya belajar, mungkin dalam hidup ini tak harus selalu berujung dengan pembuktian siapa yang benar, siapa yang salah, siapa yang mencuri. Mungkin yang lebih bermanfaat adalah buah hasilnya. Dalam hal ini, barang kembali dan si pelaku diam-diam bertobat tanpa perlu dipermalukan di depan umum dan mendapat sanksi hukuman sosial yang akan menjadi stigma seumur hidup kemana pun ia pergi. Sedangkan hikmahnya bagi saya adalah bisa menjadi lebih arif dalam menghadapi situasi "maya" seperti ini sehingga tidak perlu menuduh dan berprasangka.
Semoga saja pemikiran ini menemukan jalannya ke telinga dan hati sang pelaku, dan menjadi berkat baginya.
Sepanjang hari, topik yang menari-nari di otak adalah : saya tahu (baca: punya feeling) siapa yang melakukan tapi bagaimana cara membuktikannya? Topik ini bukan hanya sekali mampir dalam hidup saya. Bahkan sebetulnya sering. Dulu saya punya instink kuat kalau mantan saya berselingkuh meskipun ketika secara berhati-hati saya tanyakan ia mengatakan tidak. Saya memang tidak punya bukti, tapi sebagai pasangan saya punya sensitivitas yang tinggi bila sedikit saja terjadi perubahan rasa dan tingkah laku pada pasangan saya. Saya juga pernah kehilangan barang di rumah, dan berdasarkan tingkah laku dan respons yang diberikan penghuni rumah, saya langsung tahu siapa pelakunya. Saya pernah juga jadi korban teror di kantor dan rumah dan belakangan terungkap bahwa pelakunya bukan dari kalangan saya, tapi dari seorang kenalan dekat kerabat yang salah tangkap dikira saya yang menjadi biang renggangnya hubungan dia dengan kerabat saya tadi. Sayangnya terungkapnya kasus ini hanya bisa ditelan dalam hati karena saya tidak bisa memberikan pembuktian legal untuk bisa mengatakan hitam atas putih bahwa ia memang pelakunya.
Jadi pertanyaan besar yang ada di benak saya adalah : bagaimana membuktikan sesuatu yang secara instink kita tahu siapa yang melakukan? Secara hukum, kita memang tidak bisa membuktikan sesuatu dengan instink. Itu namanya menuduh tanpa dasar bukti yang jelas. Jadi, haruskah saya datang pada yang tersangka langsung menanyakan apakah ia yang berbuat? Kemungkinannya hanya ada dua : ia membantah atau mengaku, tapi apa pun reaksi dia, apakah ia memang benar pelaku atau tidak melakukan, hubungan kami tak akan kembali seindah sebelumnya, karena masing-masing merasa adanya ketidakpercayaan antara kami. Atau sebaiknya dibiarkan saja dan merelakan barangnya hilang? Saya sih tidak rela kasus ini pupus begitu saja. Apa lagi secara instinktif sudah terlihat namanya, namun tak bisa serta merta disebutkan karena harus dibuktikan.
Tiba-tiba saya tergelitik membandingkannya dengan iman saya kepada Tuhan. Saya tak pernah melihat Tuhan, namun bagaimana saya bisa percaya bahwa Ia ada? Bagaimana saya membuktikan secara nyata bahwa Ia ada? Selama ini pembuktiannya hanya bisa dilakukan melalui berbagai intepretasi kejadian. Tapi benarkah dugaan bisa disamakan dengan iman meskipun sama-sama berdasarkan perasaan? Terus terang, pengalaman sebelumnya yang saya ceritakan di atas hanya berakhir dengan : saya tahu siapa yang berbuat, tapi tidak saya apa-apakan karena saya tidak punya bukti nyata nya. Saya membiarkan berlalu dengan berharap bahwa alam kehidupan alias karma akan yang akan bertindak baginya. Tapi apakah kasus kali ini akan berakhir pada pasrah karma saja? Rasanya untuk sekali ini tidak. Bagaimana kalau sekali ini saya tidak memerlukan pembuktian siapa yang melakukan? Bagaimana kalau saya mengumumkan tidak mau tahu siapa yang melakukan asal barangnya bisa kembali di meja saya dalam waktu 24 jam? Siapa tahu hal ini bisa membantu mengetuk nurani si pelaku untuk mengembalikan barang yang bukan menjadi hak nya? Siapa tahu pula ketika ia memulangkannya, hatinya juga jadi terketuk untuk bertobat? Rasanya kalau ini terjadi sang pelaku justru mendapat kado kehidupan berlipat : berkah kejujuran dan berkah pertobatan.
Dari pemikiran ini saya belajar, mungkin dalam hidup ini tak harus selalu berujung dengan pembuktian siapa yang benar, siapa yang salah, siapa yang mencuri. Mungkin yang lebih bermanfaat adalah buah hasilnya. Dalam hal ini, barang kembali dan si pelaku diam-diam bertobat tanpa perlu dipermalukan di depan umum dan mendapat sanksi hukuman sosial yang akan menjadi stigma seumur hidup kemana pun ia pergi. Sedangkan hikmahnya bagi saya adalah bisa menjadi lebih arif dalam menghadapi situasi "maya" seperti ini sehingga tidak perlu menuduh dan berprasangka.
Semoga saja pemikiran ini menemukan jalannya ke telinga dan hati sang pelaku, dan menjadi berkat baginya.
Tuesday, December 14, 2010
14 Desember 2010 : Mendoakan yang Hidup
Malam ini kami sekeluarga yang ada di Jakarta mengadakan Memorial Service atas meninggalnya paman 7 hari yang lalu. Salah seorang sepupu saya mengingatkan tahun ini adalah tahun yang kurang baik buat kami karena ada 4 anggota keluarga yang meninggal dalam setahun ini. Ia berkata malah ia sudah tidak tahu lagi mesti doa apa kepada Tuhan, "Doa supaya om sembuh supaya bisa cepat ke Indonesia, eh malah meninggal!"
Saya terdiam, tapi otak saya tidak mau diam. Dalam hati saya bertanya, kenapa sih kita tidak berpikir bahwa mereka yang sudah meninggalkan kita saat ini sudah mendapat kedamaian abadi dan tidak mengalami derita dari penyakit yang dideritanya? Mengapa kita cenderung melihat segala sesuatunya dari sudut yang negatif dan selalu dari kaca mata kita, bukannya dari kaca mata yang "pergi"? Saya tidak bermaksud kurang ajar dan tidak menghormati apa lagi menyayangi mereka yang sudah mendahului saya, tapi saya selama ini melihat sosok mereka dan mengenang mereka sebagai "a celebration of life" bukan "a loss of life". Saya jadi bertanya, karena usia dan kondisi mereka yang sudah rentan, kalau tidak pergi sekarang, apa maunya dicicil, setahun satu? Tidak mau juga kan pastinya. Tapi siklus kehidupan kan tak bisa dilawan, pasti ada saatnya kita semua pergi.
Saya membaca buku tentang pengalaman orang-orang yang mengalami near-death experience dan seluruhnya mengatakan bahwa pengalaman meninggal itu indah. Perasaan damai dan sukacita tak tergambarkan dan justru merasa terenggut ketika mereka tersedot kembali ke alam fana.
Lalu saya - seperti biasa - diminta pidato mewakili keluarga. Saya sama sekali tidak siap dan ketika berdiri memulai pidato, saya memulai dengan mengatakan sama dengan yang diungkapkan sepupu saya dengan sedikit modifikasi : tahun ini merupakan tantangan. Lalu saya mulai mengenang om yang nasionalis, dan bagaimana kami semua sudah menantikan kedatangannya kembali ke Indonesia untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 88. Sambil berkata, saya berpikir apa lagi yang harus saya sampaikan. Ternyata pemikiran saya seperti dituntun. Saya mengucapkan selamat jalan kepada Om Ben yang saya percaya sudah menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati bersama Tuhan dan saudara-saudara yang sudah mendahuluinya. Saya kemudian mengucapkan terima kasih kepada sanak keluarga dan para pendoa gereja atas kehadiran mereka yang memberi penguatan dan penghiburan. Yang membuat pidato ini menjadi berbeda dari yang sebelum-sebelumnya, kali ini saya menambahkan minta doa. Bukan untuk yang meninggal, tapi untuk kita-kita yang di dunia ini, yang justru masih harus berjuang hidup dan memaknai setiap kejadian, terutama kemalangan agar menjadi orang yang lebih bertakwa dan bijaksana, dan agar bisa menyelesaikan sisa perjalanan hidup kita sehingga memberikan manfaat dan kemuliaan bagi Sang Khalik.
Pada detik itu saya menyadari, (terkadang) yang lebih perlu didoakan itu justru kita yang hidup, bukan yang sudah meninggal. Agar bisa tawakal dan mampu melihat segala sesuatunya sebagai proses pendewasaan dan kematangan pribadi, bukan sekedar musibah-musibah-musibah melulu. Maka malam ini menjelang tidur, saya mau berdoa bagi semua yang hidup ...
Saya terdiam, tapi otak saya tidak mau diam. Dalam hati saya bertanya, kenapa sih kita tidak berpikir bahwa mereka yang sudah meninggalkan kita saat ini sudah mendapat kedamaian abadi dan tidak mengalami derita dari penyakit yang dideritanya? Mengapa kita cenderung melihat segala sesuatunya dari sudut yang negatif dan selalu dari kaca mata kita, bukannya dari kaca mata yang "pergi"? Saya tidak bermaksud kurang ajar dan tidak menghormati apa lagi menyayangi mereka yang sudah mendahului saya, tapi saya selama ini melihat sosok mereka dan mengenang mereka sebagai "a celebration of life" bukan "a loss of life". Saya jadi bertanya, karena usia dan kondisi mereka yang sudah rentan, kalau tidak pergi sekarang, apa maunya dicicil, setahun satu? Tidak mau juga kan pastinya. Tapi siklus kehidupan kan tak bisa dilawan, pasti ada saatnya kita semua pergi.
Saya membaca buku tentang pengalaman orang-orang yang mengalami near-death experience dan seluruhnya mengatakan bahwa pengalaman meninggal itu indah. Perasaan damai dan sukacita tak tergambarkan dan justru merasa terenggut ketika mereka tersedot kembali ke alam fana.
Lalu saya - seperti biasa - diminta pidato mewakili keluarga. Saya sama sekali tidak siap dan ketika berdiri memulai pidato, saya memulai dengan mengatakan sama dengan yang diungkapkan sepupu saya dengan sedikit modifikasi : tahun ini merupakan tantangan. Lalu saya mulai mengenang om yang nasionalis, dan bagaimana kami semua sudah menantikan kedatangannya kembali ke Indonesia untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 88. Sambil berkata, saya berpikir apa lagi yang harus saya sampaikan. Ternyata pemikiran saya seperti dituntun. Saya mengucapkan selamat jalan kepada Om Ben yang saya percaya sudah menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati bersama Tuhan dan saudara-saudara yang sudah mendahuluinya. Saya kemudian mengucapkan terima kasih kepada sanak keluarga dan para pendoa gereja atas kehadiran mereka yang memberi penguatan dan penghiburan. Yang membuat pidato ini menjadi berbeda dari yang sebelum-sebelumnya, kali ini saya menambahkan minta doa. Bukan untuk yang meninggal, tapi untuk kita-kita yang di dunia ini, yang justru masih harus berjuang hidup dan memaknai setiap kejadian, terutama kemalangan agar menjadi orang yang lebih bertakwa dan bijaksana, dan agar bisa menyelesaikan sisa perjalanan hidup kita sehingga memberikan manfaat dan kemuliaan bagi Sang Khalik.
Pada detik itu saya menyadari, (terkadang) yang lebih perlu didoakan itu justru kita yang hidup, bukan yang sudah meninggal. Agar bisa tawakal dan mampu melihat segala sesuatunya sebagai proses pendewasaan dan kematangan pribadi, bukan sekedar musibah-musibah-musibah melulu. Maka malam ini menjelang tidur, saya mau berdoa bagi semua yang hidup ...
Monday, December 13, 2010
13 Desember 2010 : Cermin Retak
Sore ini di tengah minum teh dan obrolan hangat dengan teman lama, saya mendapat bbm menanyakan apakah saya free malam ini untuk dinner dan sesi curhat. Karena tampaknya gawat, saya langsung mengiyakan dan menyudahi obrolan ringan lalu menemui teman saya yang sedang gundah.
Di tengah makanan jawa yang super pedas, saya menjadi pendengar yang terenyuh. Teman saya bertengkar hebat dengan isterinya yang ditengarai sedang berselingkuh. Ia juga mengeluhkan usahanya yang sedang turun. Ia mengeluh isterinya seolah tak mengerti situasi. Banyak lagi cerita hati yang dicurahkan malam ini, tapi rasanya semua seolah menjadi kabur. Malam ini, tak sepatah kata pendapat saya yang keluar dari mulut. Saya bingung mau berkata apa. Saya mengenal teman ini dan isterinya dengan baik. Ia adalah suami yang baik, pekerja keras dan pengayom keluarga yang saya hormati, sedang isterinya adalah seorang isteri yang baik, yang mengurus rumah tangga dengan baik, seorang yang polos,periang dan baik hati. Begitu banyak kata baik yang bisa saya hamburkan untuk keluarga yang memiliki dua anak kecil yang manis-manis.
Dihadapkan dengan keluhan seperti ini seperti buah simalakama buat saya. Malam ini saya hanya mendengar segala curahan hati dari satu sisi. Saya yakin meskipun intinya sama, kalau sang isteri menelpon dan bercerita, versinya akan datang dari sisi sang isteri. Karenanya, saya tidak berkomentar sepatah kata pun. Saya hanya sedih. Empat orang individu dalam keluarga muda ini adalah orang-orang yang baik, yang terjebak dalam situasi yang sedang tidak baik. Hati saya bertanya, bagaimana caranya saya bisa membantu orang-orang yang saya sayangi ini merekatkan kembali segala keretakan yang terjadi?
Entah mengapa saya tidak berani bertanya lebih detil mengenai keluhan itu, misalnya, darimana ia tahu isterinya selingkuh? apakah memergoki? atau jadi detektif membongkar isi telepon isterinya? atau mendengar kabar angin saja? atau bahkan instink mengatakan demikian? Saya tidak tahu. Saya juga tidak berani menanyakan asal mula terjadinya tuduhan ini? Adakah suasana keluarganya berubah? mengapa? bagaimana perubahannya?
Sebetulnya ingin betul saya berkomentar dan meminjam istilah : it takes two to tango. Artinya, kalau ada yang salah dalam sebuah hubungan, tak dapat menyalahkan salah seorang saja. Saya sendiri berpengalaman dengan perceraian sendiri dan saya harus mengakui sebagai salah seorang yang punya andil dalam keretakan itu. Tapi pihak isteri juga ada andilnya. Seringkali jurang yang terbentuk tidak serta merta ada, tapi terjadi secara pelahan-lahan tanpa kita sadari karena tak adanya komunikasi. Uneg-uneg yang ada di hati tidak serta merta diungkapkan kepada pasangan untuk mencari penyelesaian bersama. Yang ada malah disimpan atau diceritakan pada orang lain, yang justru berujung runyam karena orang lain itu tidak punya gambaran selengkap-lengkapnya tentang sebuah cerita dan sering kali hanya bergantung pada satu sisi cerita, lalu memberikan saran yang justru berada di luar konteks yang sebenarnya sehingga saran tersebut bukannya menyelamatkan malah justru menjerumuskan. Oleh karena itu, malam ini saya sadar, untuk menutup mulut saya rapat-rapat.
Kalau benar sang isteri selingkuh, saya rasa bukan kemauan dan tujuan utamanya untuk selingkuh, tapi yang sering saya temui adalah karena rasa nyaman dan aman yang ditawarkan sang pasangan sudah tak ditemui lagi, sehingga begitu ada sedikit perhatian lebih saja, ia merasa dihargai dan jadi berbunga-bunga. Kalau sang suami belakangan ini sering uring-uringan, juga mungkin bukan salah suami seratus persen. Bisa jadi ketidakmengertian dan kurang keprihatinan isteri menjadi salah satu sebab penambah frustrasi sang suami.
Tiba-tiba saya merasa sebuah masalah itu bagaikan cermin. Kalau kita kesal, menuduh dan menyalahkan pasangan, semuanya itu bagaikan cerminan atas hasil perbuatan kita juga. Pertanyaannya, patutkah kita memarahi sebagian hasil perbuatan dan kelakuan kita? Patutkah kita membebankan hasil perbuatan kita pada orang lain? Tiba-tiba lagi menjadi jelas bagi saya bahwa satu satunya jalan memperbaiki cermin retak dimulai dari diri kita. Membenahi sikap, perbuatan dan kelakuan kita,baru boleh berani meminta orang lain yang terkena dampaknya berubah sikap, perbuatan dan kelakuan. Tapi "penemuan" soal cermin malam ini juga tidak berani saya lontarkan, karena takut salah komentar dan membuat cermin semakin retak dan berhamburan.
Saya lalu berkata pada teman saya, "malam ini, aku menjadi pendengar yang baik saja ya, a shoulder to cry on." Tapi teman saya mendesak minta pandangan, katanya, "Just say something!". Saya dengan berat hati akhirnya berkata, "Kalian termasuk pribadi-pribadi terbaik yang pernah aku kenal. Orang-orang baik, biasanya berbuah baik pula. Aku tidak berani memberikan penilaian tentang apa yang terjadi, karena yang tahu persis cuma kalian. Hanya, cobalah lihat berdua dengan kepala dingin, biasanya sesuatu yang kelihatan tidak ada pemecahannya bermula dari soal sepele namun karena tidak ada toleransi dan komunikasi yang baik, masing-masing jadi bersikeras dengan pandangannya sendiri. Perkawinan bukan soal kalah menang, siapa yang benar atau yang salah. Perkawinan adalah persekutuan dua insan, kamu tahu itu. Kalau kamu baca blog ku soal relationship, kamu pasti pernah membaca hasil pembelajaranku setelah bercerai tentang unsur penting relationship : passion, commitment, trust, balance and effort. Menurut aku ke lima unsur ini yang menjadi perekat persekutuan sebuah hubungan. Coba kamu lihat lagi apakah kalian masih setia terhadap 5 unsur ini. Kalau ada salah satu pasangan yang tampaknya tak lagi di jalan yang sama, berkacalah apakah hal ini terjadi karena sikap dan kelakuan kita yang tidak berada di koridor yang semestinya. Malam ini, saya sudah menampung semua keluhan hati kamu. Semoga hati kamu menjadi lebih lega dan pikiran kamu menjadi lebih jernih. Sekarang sudah larut, pulanglah dan peluk cium isteri kamu, mulailah dengan perkataan maaf atas sikap kamu, terlepas dari siapa yang benar atau salah, lalu bicaralah dari hati ke hati. Aku sebagai teman yang kenal kalian, hati kecilku terus terang tak rela apa yang baik tercerai berai oleh persoalan yang bisa diatasi. Aku sayang kalian semua, tapi sesungguhnya yang bisa menyelesaikan persoalan ini adalah kalian berdua. Lepaskan semua nasihat orang. Jujur dan bicaralah dari hati ke hati. Semoga kalian berdua menemukan terang dan mendapatkan kembali cahaya yang menyatukan kalian di awal pertemuan dulu."
Malam ini, saya sambil berbicara, saya belajar mengenai cermin kehidupan yang dengan jujur memantulkan kembali semua bayangan masalah pada sikap dan perbuatan kita sendiri. Semoga besok saya mendapat kabar bahagia dari teman baik saya...
Di tengah makanan jawa yang super pedas, saya menjadi pendengar yang terenyuh. Teman saya bertengkar hebat dengan isterinya yang ditengarai sedang berselingkuh. Ia juga mengeluhkan usahanya yang sedang turun. Ia mengeluh isterinya seolah tak mengerti situasi. Banyak lagi cerita hati yang dicurahkan malam ini, tapi rasanya semua seolah menjadi kabur. Malam ini, tak sepatah kata pendapat saya yang keluar dari mulut. Saya bingung mau berkata apa. Saya mengenal teman ini dan isterinya dengan baik. Ia adalah suami yang baik, pekerja keras dan pengayom keluarga yang saya hormati, sedang isterinya adalah seorang isteri yang baik, yang mengurus rumah tangga dengan baik, seorang yang polos,periang dan baik hati. Begitu banyak kata baik yang bisa saya hamburkan untuk keluarga yang memiliki dua anak kecil yang manis-manis.
Dihadapkan dengan keluhan seperti ini seperti buah simalakama buat saya. Malam ini saya hanya mendengar segala curahan hati dari satu sisi. Saya yakin meskipun intinya sama, kalau sang isteri menelpon dan bercerita, versinya akan datang dari sisi sang isteri. Karenanya, saya tidak berkomentar sepatah kata pun. Saya hanya sedih. Empat orang individu dalam keluarga muda ini adalah orang-orang yang baik, yang terjebak dalam situasi yang sedang tidak baik. Hati saya bertanya, bagaimana caranya saya bisa membantu orang-orang yang saya sayangi ini merekatkan kembali segala keretakan yang terjadi?
Entah mengapa saya tidak berani bertanya lebih detil mengenai keluhan itu, misalnya, darimana ia tahu isterinya selingkuh? apakah memergoki? atau jadi detektif membongkar isi telepon isterinya? atau mendengar kabar angin saja? atau bahkan instink mengatakan demikian? Saya tidak tahu. Saya juga tidak berani menanyakan asal mula terjadinya tuduhan ini? Adakah suasana keluarganya berubah? mengapa? bagaimana perubahannya?
Sebetulnya ingin betul saya berkomentar dan meminjam istilah : it takes two to tango. Artinya, kalau ada yang salah dalam sebuah hubungan, tak dapat menyalahkan salah seorang saja. Saya sendiri berpengalaman dengan perceraian sendiri dan saya harus mengakui sebagai salah seorang yang punya andil dalam keretakan itu. Tapi pihak isteri juga ada andilnya. Seringkali jurang yang terbentuk tidak serta merta ada, tapi terjadi secara pelahan-lahan tanpa kita sadari karena tak adanya komunikasi. Uneg-uneg yang ada di hati tidak serta merta diungkapkan kepada pasangan untuk mencari penyelesaian bersama. Yang ada malah disimpan atau diceritakan pada orang lain, yang justru berujung runyam karena orang lain itu tidak punya gambaran selengkap-lengkapnya tentang sebuah cerita dan sering kali hanya bergantung pada satu sisi cerita, lalu memberikan saran yang justru berada di luar konteks yang sebenarnya sehingga saran tersebut bukannya menyelamatkan malah justru menjerumuskan. Oleh karena itu, malam ini saya sadar, untuk menutup mulut saya rapat-rapat.
Kalau benar sang isteri selingkuh, saya rasa bukan kemauan dan tujuan utamanya untuk selingkuh, tapi yang sering saya temui adalah karena rasa nyaman dan aman yang ditawarkan sang pasangan sudah tak ditemui lagi, sehingga begitu ada sedikit perhatian lebih saja, ia merasa dihargai dan jadi berbunga-bunga. Kalau sang suami belakangan ini sering uring-uringan, juga mungkin bukan salah suami seratus persen. Bisa jadi ketidakmengertian dan kurang keprihatinan isteri menjadi salah satu sebab penambah frustrasi sang suami.
Tiba-tiba saya merasa sebuah masalah itu bagaikan cermin. Kalau kita kesal, menuduh dan menyalahkan pasangan, semuanya itu bagaikan cerminan atas hasil perbuatan kita juga. Pertanyaannya, patutkah kita memarahi sebagian hasil perbuatan dan kelakuan kita? Patutkah kita membebankan hasil perbuatan kita pada orang lain? Tiba-tiba lagi menjadi jelas bagi saya bahwa satu satunya jalan memperbaiki cermin retak dimulai dari diri kita. Membenahi sikap, perbuatan dan kelakuan kita,baru boleh berani meminta orang lain yang terkena dampaknya berubah sikap, perbuatan dan kelakuan. Tapi "penemuan" soal cermin malam ini juga tidak berani saya lontarkan, karena takut salah komentar dan membuat cermin semakin retak dan berhamburan.
Saya lalu berkata pada teman saya, "malam ini, aku menjadi pendengar yang baik saja ya, a shoulder to cry on." Tapi teman saya mendesak minta pandangan, katanya, "Just say something!". Saya dengan berat hati akhirnya berkata, "Kalian termasuk pribadi-pribadi terbaik yang pernah aku kenal. Orang-orang baik, biasanya berbuah baik pula. Aku tidak berani memberikan penilaian tentang apa yang terjadi, karena yang tahu persis cuma kalian. Hanya, cobalah lihat berdua dengan kepala dingin, biasanya sesuatu yang kelihatan tidak ada pemecahannya bermula dari soal sepele namun karena tidak ada toleransi dan komunikasi yang baik, masing-masing jadi bersikeras dengan pandangannya sendiri. Perkawinan bukan soal kalah menang, siapa yang benar atau yang salah. Perkawinan adalah persekutuan dua insan, kamu tahu itu. Kalau kamu baca blog ku soal relationship, kamu pasti pernah membaca hasil pembelajaranku setelah bercerai tentang unsur penting relationship : passion, commitment, trust, balance and effort. Menurut aku ke lima unsur ini yang menjadi perekat persekutuan sebuah hubungan. Coba kamu lihat lagi apakah kalian masih setia terhadap 5 unsur ini. Kalau ada salah satu pasangan yang tampaknya tak lagi di jalan yang sama, berkacalah apakah hal ini terjadi karena sikap dan kelakuan kita yang tidak berada di koridor yang semestinya. Malam ini, saya sudah menampung semua keluhan hati kamu. Semoga hati kamu menjadi lebih lega dan pikiran kamu menjadi lebih jernih. Sekarang sudah larut, pulanglah dan peluk cium isteri kamu, mulailah dengan perkataan maaf atas sikap kamu, terlepas dari siapa yang benar atau salah, lalu bicaralah dari hati ke hati. Aku sebagai teman yang kenal kalian, hati kecilku terus terang tak rela apa yang baik tercerai berai oleh persoalan yang bisa diatasi. Aku sayang kalian semua, tapi sesungguhnya yang bisa menyelesaikan persoalan ini adalah kalian berdua. Lepaskan semua nasihat orang. Jujur dan bicaralah dari hati ke hati. Semoga kalian berdua menemukan terang dan mendapatkan kembali cahaya yang menyatukan kalian di awal pertemuan dulu."
Malam ini, saya sambil berbicara, saya belajar mengenai cermin kehidupan yang dengan jujur memantulkan kembali semua bayangan masalah pada sikap dan perbuatan kita sendiri. Semoga besok saya mendapat kabar bahagia dari teman baik saya...
Labels:
'lawrence tjandra',
cermin
Sunday, December 12, 2010
12 Desember 2010 : Dikejar Setan
Sembari menunggu waktu bertemu dengan teman-teman SMP, saya iseng belok memasuki sebuah kawasan yang mempromosikan rumah contoh. Saat itu, rumahnya dalam keadaan tak ada orang sama sekali, jadi saya bisa dengan santainya menikmati lay out dan suasana rumah contoh yang sangat asri, tenang dan menyenangkan. Saya suka sekali dengan pembagian lay out ruangan yang cerdik dan gaya penataannya yang elegan. Saya bahkan bisa membayangkan kalau tinggal di rumah seindah itu. Sebenarnya saya mengetahui tentang keberadaan rumah contoh itu dari seorang teman desainer interior yang mendapat kontrak mengerjakan interiornya.
Saya akhirnya jadi ngiler juga, sambil berpikir punya rumah ini lucu juga ya. Ketika akan meninggalkan rumah contoh karena tanpa sadar waktu janjian sudah lewat 5 menit, saya bertemu dengan sang penjaga rumah. Ia bilang ia tidak tahu harga dan meminta saya menghubungi bagian marketing. Saat melangkah ke mobil, tiba-tiba muncul sang petugas pemasaran dengan terengah-engah. Ia minta maaf tidak di tempat karena sedang ke warung. Dalam hati saya bilang malah untung, jadi saya tidak diganggu ocehannya.
Dalam satu menit berikutnya, ia menyerang saya habis dengan pernyataan dan pertanyaan : Bapak, rumah ini harganya 3,9 M, bapak cari yang tipe berapa? budgetnya berapa? mau luas yang berapa? Nomor teleponnya berapa? Dibombardir seperti itu, saya jadi ketakutan dan segera melompat ke dalam mobil. Ia mengejar dan menggedor jendela mobil dan ketika diberondong pertanyaan lagi, akhirnya saya menyebutkan sebuah nomor faksimili di rumah, sambil bilang saya buru-buru dan akan menelpon nanti saja. Ketika saya beranjak pergi, saya melihat ia menelpon ke rumah. Silakan saja, dan nikmati, sampai brodol juga tidak akan pernah bisa menghubungi saya, soalnya langsung masuk ke alat faksimili.
Keluar dari kompleks itu, saya bernafas lega. Rasanya seperti baru saja dikejar setan. Saya heran, mengapa petugas pemasaran tadi seganas itu? Bukannya kalau ia tidak memaksa saya merasa lebih nyaman dan tidak terintimidasi? Dan menjadi lebih terbuka? Saya teringat ketika beberapa waktu lalu didekati seorang pemasar apartemen. Ia menawarkan barang dagangannya dengan elegan sehingga saya tak segan bahkan memberikan nomor telepon genggam saya. Selama beberapa lama ia secara konstan memberikan update terkini mengenai unit-unit yang tersedia sesuai dengan budget yang saya berikan kepadanya.
Saya jadi teringat gencarnya pemasar meneror di telepon genggam, mulai dari menawarkan kredit sampai ke keanggotaan klub hotel dan kebugaran. Sudah melanggar batas privasi, mereka malah marah dan ngotot kalau ditolak halus. Dulu, saya masih mau bersantun ria menghadapi mereka. Tapi rupanya orang-orang ini tidak tahu sopan santun, sehingga akhirnya saya menemukan cara yang efektif segera menghentikan gerak mereka. Saya bilang dengan tegas dan cenderung ketus : Mbak saya tidak berminat dan tidak usah menghubungi saya lagi. Kalau masih ngotot, volume dan gaya bicara akan saya naikkan : pokoknya tidak berminat dan tidak usah menghubungi saya lagi! Mengerti! Kalau Anda mendengarnya, pasti akan menoleh dan berkomentar : galak amat! Sesungguhnya saya menyelamatkan waktu kami berdua. Mereka tak perlu berbusa menjelaskan dagangannya dan pada akhirnya ditolak, saya tak perlu mendengarkan mereka berpanjang lebar bicara tidak penting. Mungkin saja mereka "masuk" dengan cara yang salah, begitu dijawab, langsung nyerocos barang dagangan, di jam kerja yang padat jadwal pula! Buat saya cara pemasaran mereka sangat mengganggu dan annoying, serta melanggar privasi orang!
Hari ini saya belajar, kalau ada maunya, jangan ngotot dan lakukan dengan penuh kesantunan sambil mempertimbangkan kondisi target. Santai saja tapi tetap awas dan bersikap strategis. Jangan terlalu mengejar, tapi juga jangan terkesan ogah-ogahan juga. Jangan terlalu agresif, jangan terlalu pasif. Pastikan bahwa sang target punya dan buatlah agar ia mau memberikan waktu bagi kita. Dan yang penting, jangan mengintimidasi dengan cara apa pun. Jadilah "setan" perayu ulung, jangan jadi setan yang penampakannya membuat orang mati berdiri.
Melalui sang pemasar, saya belajar strategi menyampaikan keinginan saya kepada target audience saya. Terima kasih, pak, semoga sukses berbicara dengan mesin faksimili saya...
Saya akhirnya jadi ngiler juga, sambil berpikir punya rumah ini lucu juga ya. Ketika akan meninggalkan rumah contoh karena tanpa sadar waktu janjian sudah lewat 5 menit, saya bertemu dengan sang penjaga rumah. Ia bilang ia tidak tahu harga dan meminta saya menghubungi bagian marketing. Saat melangkah ke mobil, tiba-tiba muncul sang petugas pemasaran dengan terengah-engah. Ia minta maaf tidak di tempat karena sedang ke warung. Dalam hati saya bilang malah untung, jadi saya tidak diganggu ocehannya.
Dalam satu menit berikutnya, ia menyerang saya habis dengan pernyataan dan pertanyaan : Bapak, rumah ini harganya 3,9 M, bapak cari yang tipe berapa? budgetnya berapa? mau luas yang berapa? Nomor teleponnya berapa? Dibombardir seperti itu, saya jadi ketakutan dan segera melompat ke dalam mobil. Ia mengejar dan menggedor jendela mobil dan ketika diberondong pertanyaan lagi, akhirnya saya menyebutkan sebuah nomor faksimili di rumah, sambil bilang saya buru-buru dan akan menelpon nanti saja. Ketika saya beranjak pergi, saya melihat ia menelpon ke rumah. Silakan saja, dan nikmati, sampai brodol juga tidak akan pernah bisa menghubungi saya, soalnya langsung masuk ke alat faksimili.
Keluar dari kompleks itu, saya bernafas lega. Rasanya seperti baru saja dikejar setan. Saya heran, mengapa petugas pemasaran tadi seganas itu? Bukannya kalau ia tidak memaksa saya merasa lebih nyaman dan tidak terintimidasi? Dan menjadi lebih terbuka? Saya teringat ketika beberapa waktu lalu didekati seorang pemasar apartemen. Ia menawarkan barang dagangannya dengan elegan sehingga saya tak segan bahkan memberikan nomor telepon genggam saya. Selama beberapa lama ia secara konstan memberikan update terkini mengenai unit-unit yang tersedia sesuai dengan budget yang saya berikan kepadanya.
Saya jadi teringat gencarnya pemasar meneror di telepon genggam, mulai dari menawarkan kredit sampai ke keanggotaan klub hotel dan kebugaran. Sudah melanggar batas privasi, mereka malah marah dan ngotot kalau ditolak halus. Dulu, saya masih mau bersantun ria menghadapi mereka. Tapi rupanya orang-orang ini tidak tahu sopan santun, sehingga akhirnya saya menemukan cara yang efektif segera menghentikan gerak mereka. Saya bilang dengan tegas dan cenderung ketus : Mbak saya tidak berminat dan tidak usah menghubungi saya lagi. Kalau masih ngotot, volume dan gaya bicara akan saya naikkan : pokoknya tidak berminat dan tidak usah menghubungi saya lagi! Mengerti! Kalau Anda mendengarnya, pasti akan menoleh dan berkomentar : galak amat! Sesungguhnya saya menyelamatkan waktu kami berdua. Mereka tak perlu berbusa menjelaskan dagangannya dan pada akhirnya ditolak, saya tak perlu mendengarkan mereka berpanjang lebar bicara tidak penting. Mungkin saja mereka "masuk" dengan cara yang salah, begitu dijawab, langsung nyerocos barang dagangan, di jam kerja yang padat jadwal pula! Buat saya cara pemasaran mereka sangat mengganggu dan annoying, serta melanggar privasi orang!
Hari ini saya belajar, kalau ada maunya, jangan ngotot dan lakukan dengan penuh kesantunan sambil mempertimbangkan kondisi target. Santai saja tapi tetap awas dan bersikap strategis. Jangan terlalu mengejar, tapi juga jangan terkesan ogah-ogahan juga. Jangan terlalu agresif, jangan terlalu pasif. Pastikan bahwa sang target punya dan buatlah agar ia mau memberikan waktu bagi kita. Dan yang penting, jangan mengintimidasi dengan cara apa pun. Jadilah "setan" perayu ulung, jangan jadi setan yang penampakannya membuat orang mati berdiri.
Melalui sang pemasar, saya belajar strategi menyampaikan keinginan saya kepada target audience saya. Terima kasih, pak, semoga sukses berbicara dengan mesin faksimili saya...
11 Desember 2010: Hadiah
Pagi ini saya mengenakan kaos bertuliskan "Every Day is A Gift." Saat memakainya pikiran saya lalu menyimpulkan : jadi hari ini, apa pun yang terjadi, tetap hadiah! Ternyata apa yang dimaksud hadiah itu campur aduk isinya. Hari ini saya mengalami senang, kesal, sebal, marah, tertawa, capai, semua perasaan ada. Jadi kalau mau dirangkum, hadiah hari ini isinya gado-gado.
Kejutan pertama adalah ketika mau check out, ternyata pembayaran kamar rombongan Indonesia dibebankan pada kartu kredit saya padahal kami ini undangan dan semua pengaturan perjalanan diberitahukan diatur dan dibayar oleh si pengundang. Saya kemudian mencoba mengonfirmasikan kepada petugas humas yang ditunjuk tetapi mungkin karena Sabtu tak diangkat-angkat, jadilah saya mengganggu manajemen pengundang untuk mengurus. Lalu setelah itu saya membawa rombongan Indonesia yang baru pertama kali ke Singapura untuk mengintip Pulau Sentosa yang kini semakin semarak dengan fasilitas baru Universal Studio dan Casinonya. Memandu rombongan kali ini merupakan pengalaman sendiri. Biasanya, saya tinggal melepas rombongan dan mengadakan janji jam berapa kumpul di mana, tapi kali ini berhubung mereka termasuk first timer ke luar negeri, saya tak berani meninggalkan mereka. Jadilah saya merelakan kesempatan cuci mata dan belanja untuk menemani kemana pun mereka mau pergi. Jadi hadiah selanjutnya setelah marah-marah tadi pagi adalah kesabaran dan passion untuk melayani, dan ternyata saya senang-senang saja. Seorang rekan yang melihat saya sabar menanti bahkan tiba-tiba menukas, "Wah aku kayaknya nggak bakat jadi humas nih, mas. Kalau aku (jadi mas) sudah aku tinggal (rombongannya), gak sabar..." Saya hanya tertawa-tawa saja mendengar komentarnya. Dalam hati untung otak lagi bener dan memang sudah mendedikasikan waktu kali ini untuk menemani.
Malam hari, begitu sampai di Jakarta, seorang kerabat yang menjemput langsung mengajak saya untuk ke mall, ingin makan nih, katanya. Saya sudah memperingatkan kalau hari ini adalah "Hari Midnight Sale" se Jakarta, alias sebagian besar mall di Jakarta mengadakan hajatan Midnight Sale sebelum Natal dan Tahun Baru. Dan benar saja, seluruh ruas jalan menuju mall utama di Jakarta penuh sesak. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari makan di daerah Cikini. Ternyata seluruh deretan resto di sana sepi tak berpengunjung. Karena sudah larut, kami memutuskan untuk makan saja. Kami memilih sebuah resto yang dulu sangat ramai dan menjadi resto favorit saya di bilangan Setiabudi. Kami sungguh terkejut melihat suasana resto yang seperti kuburan, hanya kami saja pelanggannya, tapi ya sudah, kami masuk saja dan makan cepat-cepat. Menilik suasana dan rasa makanan yang jauh menurun dari di Setiabudi, saya meramalkan umur resto ini tidak akan lama lagi, kecuali kalau ada perombakan total, termasuk pindah lokasi. Selama hampir sejam di sana, perasaan saya sangat tidak nyaman dan tidak "aman". Rasanya "ada" saja yang "mengintip" kami di berbagai sudut.
Hari ini, seperti yang saya katakan tadi, perasaan dan pengalaman saya campur aduk. Tapi sepertinya setiap perasaan saya bergejolak, kaos putih bertuliskan hijau itu selalu menjadi pengingat : every day is a gift. Setiap hari adalah hadiah. Sms Ibu saya yang mengingatkan kalau sore ini adalah saat pemakaman paman di Belanda mengingatkan saya bahwa kata-kata di kaos itu benar adanya. Bila diberi kesempatan untuk bisa mengalaminya, setiap hari adalah hadiah. Adalah hadiah Ilahi buat kita untuk diberi kesempatan menghidup udara hari ini. Sehat hari ini. Mengalami sakit hari ini. Gembira hari ini. Sedih hari ini. Hidup yang mulus dan lancar hari ini. Hidup penuh tantangan hari ini. Menang dan Berhasil hari ini. Gagal hari ini. Intinya adalah agar kita bisa mengerti makna kehidupan dan belajar dari pengalaman hidup hari ini. Adalah anugerah Ilahi bila kita diberi kesempatan untuk mengalami semuanya. Agar kita bisa belajar. Bersyukur. dan Menjadi pribadi dan jiwa yang lebih baik yang bisa menghargai kehidupan. Dan karenanya kita diberi hari ini. Supaya kita bisa mengalami dan menghargai hidup. To experience and appreciate life. Itu lah yang terjadi dengan hari ini. Pengalaman hari ini tentu akan berbeda dengan kemarin, atau besok. Pelajaran yang dipetik tentu juga berbeda.
Hari ini adalah hari yang istimewa, dari kaos yang saya beli dengan harga khusus beberapa hari lalu, saya dibuat sadar, menghargai, menyukuri serta meresapi hadiah terbesar yang diberikan Tuhan melalui setiap proses kehidupan yang berlangsung pada hari ini.
So today is a gift. Every day is a gift. Experience it. Enjoy it. Appreciate it. Learn from it. Own it.
Kejutan pertama adalah ketika mau check out, ternyata pembayaran kamar rombongan Indonesia dibebankan pada kartu kredit saya padahal kami ini undangan dan semua pengaturan perjalanan diberitahukan diatur dan dibayar oleh si pengundang. Saya kemudian mencoba mengonfirmasikan kepada petugas humas yang ditunjuk tetapi mungkin karena Sabtu tak diangkat-angkat, jadilah saya mengganggu manajemen pengundang untuk mengurus. Lalu setelah itu saya membawa rombongan Indonesia yang baru pertama kali ke Singapura untuk mengintip Pulau Sentosa yang kini semakin semarak dengan fasilitas baru Universal Studio dan Casinonya. Memandu rombongan kali ini merupakan pengalaman sendiri. Biasanya, saya tinggal melepas rombongan dan mengadakan janji jam berapa kumpul di mana, tapi kali ini berhubung mereka termasuk first timer ke luar negeri, saya tak berani meninggalkan mereka. Jadilah saya merelakan kesempatan cuci mata dan belanja untuk menemani kemana pun mereka mau pergi. Jadi hadiah selanjutnya setelah marah-marah tadi pagi adalah kesabaran dan passion untuk melayani, dan ternyata saya senang-senang saja. Seorang rekan yang melihat saya sabar menanti bahkan tiba-tiba menukas, "Wah aku kayaknya nggak bakat jadi humas nih, mas. Kalau aku (jadi mas) sudah aku tinggal (rombongannya), gak sabar..." Saya hanya tertawa-tawa saja mendengar komentarnya. Dalam hati untung otak lagi bener dan memang sudah mendedikasikan waktu kali ini untuk menemani.
Malam hari, begitu sampai di Jakarta, seorang kerabat yang menjemput langsung mengajak saya untuk ke mall, ingin makan nih, katanya. Saya sudah memperingatkan kalau hari ini adalah "Hari Midnight Sale" se Jakarta, alias sebagian besar mall di Jakarta mengadakan hajatan Midnight Sale sebelum Natal dan Tahun Baru. Dan benar saja, seluruh ruas jalan menuju mall utama di Jakarta penuh sesak. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari makan di daerah Cikini. Ternyata seluruh deretan resto di sana sepi tak berpengunjung. Karena sudah larut, kami memutuskan untuk makan saja. Kami memilih sebuah resto yang dulu sangat ramai dan menjadi resto favorit saya di bilangan Setiabudi. Kami sungguh terkejut melihat suasana resto yang seperti kuburan, hanya kami saja pelanggannya, tapi ya sudah, kami masuk saja dan makan cepat-cepat. Menilik suasana dan rasa makanan yang jauh menurun dari di Setiabudi, saya meramalkan umur resto ini tidak akan lama lagi, kecuali kalau ada perombakan total, termasuk pindah lokasi. Selama hampir sejam di sana, perasaan saya sangat tidak nyaman dan tidak "aman". Rasanya "ada" saja yang "mengintip" kami di berbagai sudut.
Hari ini, seperti yang saya katakan tadi, perasaan dan pengalaman saya campur aduk. Tapi sepertinya setiap perasaan saya bergejolak, kaos putih bertuliskan hijau itu selalu menjadi pengingat : every day is a gift. Setiap hari adalah hadiah. Sms Ibu saya yang mengingatkan kalau sore ini adalah saat pemakaman paman di Belanda mengingatkan saya bahwa kata-kata di kaos itu benar adanya. Bila diberi kesempatan untuk bisa mengalaminya, setiap hari adalah hadiah. Adalah hadiah Ilahi buat kita untuk diberi kesempatan menghidup udara hari ini. Sehat hari ini. Mengalami sakit hari ini. Gembira hari ini. Sedih hari ini. Hidup yang mulus dan lancar hari ini. Hidup penuh tantangan hari ini. Menang dan Berhasil hari ini. Gagal hari ini. Intinya adalah agar kita bisa mengerti makna kehidupan dan belajar dari pengalaman hidup hari ini. Adalah anugerah Ilahi bila kita diberi kesempatan untuk mengalami semuanya. Agar kita bisa belajar. Bersyukur. dan Menjadi pribadi dan jiwa yang lebih baik yang bisa menghargai kehidupan. Dan karenanya kita diberi hari ini. Supaya kita bisa mengalami dan menghargai hidup. To experience and appreciate life. Itu lah yang terjadi dengan hari ini. Pengalaman hari ini tentu akan berbeda dengan kemarin, atau besok. Pelajaran yang dipetik tentu juga berbeda.
Hari ini adalah hari yang istimewa, dari kaos yang saya beli dengan harga khusus beberapa hari lalu, saya dibuat sadar, menghargai, menyukuri serta meresapi hadiah terbesar yang diberikan Tuhan melalui setiap proses kehidupan yang berlangsung pada hari ini.
So today is a gift. Every day is a gift. Experience it. Enjoy it. Appreciate it. Learn from it. Own it.
Labels:
'every day is a gift',
'lawrence tjandra'
10 Desember 2010 : Membuka Kesempatan
Saya selalu bertanya-tanya bagaimana rekan kerja saya dapat begitu gesit menyelip dan masuk di antara agenda yang ada, keluar dari topik dan masuk ke agendanya sendiri pada orang-orang yang tampaknya bagi kita tidak mungkin disentuh. Maksudnya Menteri, pejabat tinggi negara yang lain, bahkan pada Wakil Presiden, Presiden dan Ibu Negara. Selama ini buat saya keberadaan mereka saja sudah mengeluarkan aura yang membuat segan. Saya selalu ragu-ragu untuk mendekat dan kalau pun ada kesempatan berbicara dengan mereka, sering kali pesan-pesan yang semestinya saya sampaikan jadi tidak keluar sama sekali. Melihat kenekadan teman saya, saya berkesimpulan saya rasanya tidak punya keberanian sebesar dia untuk “bikin ulah”.
Tapi hari ini saya melakukannya, dengan sukses. Ketika sedang membantu seorang rekan wartawan menyampaikan pertanyaan kepada seorang pimpinan organisasi kesehatan dunia dalam sebuah wawancara doorstop di sebuah hotel di Singapura, saya tiba-tiba menyelip dengan sebuah pertanyaan apakah Beliau mengetahui akan peranan dan perhatian pemerintah Indonesia mengenai penyakit yang sedang dibahas dan tanpa menunggu jawaban Beliau, saya langsung saja memberikan gambaran singkat bagaimana Indonesia, baik sektor profesional, lembaga swadaya masyarakat, swasta dan pemerintah, bahkan di tingkat Presiden telah bekerja sama mengedukasi masyarakat mengenai penyakit ini. Pemerintah Indonesia juga telah mengalokasikan dana untuk upaya pencegahan penyakit ini. Ketika sang pimpinan organisasi terlihat terkesan dengan segala upaya dan jejak rekam Indonesia, saya langsung menodong Beliau tentang kemungkinan membawa Peringatan Dunia akan penyakit yang sedang menjadi perhatian masyarakat Asia Pasifik ini ke Indonesia tahun depan. Beliau menjawab, “Ya, tentu saja, kalau memang Anda mau nya seperti itu, tentu kita harus mulai mempersiapkan dari sekarang.” Saya bilang, siap. Dan kami berjanji untuk menindaklanjuti setelah ini. Semua pembicaraan ini terjadi kurang dari 3 menit, lalu lanjut lagi kembali ke pertanyaan wartawan.
Setelah Beliau berlalu dan teman wartawan saya sibuk menulis laporan peliputan, saya duduk sambil meminum air putih dan berpikir : Wow! Selama ini sudah bertahun-tahun berbagai pihak yang lebih berkompeten mencoba mendapat perhatian badan dunia ini untuk mengadakan acara di Indonesia namun tak pernah ada hasilnya, dan sekarang hanya dalam hitungan menit saya mendapatkan sinyal hijau! Bagaimana semua ini bisa terjadi?
Saya lalu menganalisa : tentu harus ada kesempatannya, tapi bagaimana kita mengambil kesempatan itu, semuanya tergantung dari kita. Dan upaya yang terpenting dilakukan ternyata mengatasi diri sendiri dan ketakutan kita. Takut dipandang siapa kamu, takut dinilai orang ini ngomong apa sih, takut ditolak dan dicemoohkan. Nyatanya hari ini saya membuktikan tak ada salahnya mencoba. It won’t hurts and nothing to lose anyway. Kalau Beliau menolak, ya tidak apa-apa toh orang-orang hebat sudah pernah membicarakan sebelumnya dan gagal. Kesempatan seperti ini mungkin tidak datang lagi, atau pun kalau datang waktunya mungkin sudah terlalu dekat sehingga pelaksanaannya baru bisa dilakukan beberapa tahun lagi.
Maka hari ini saya belajar untuk membuka semua kesempatan yang ada dengan membunuh segala rasa takut saya. So, beat the fear, have the guts and win that one shining moment!
Tapi hari ini saya melakukannya, dengan sukses. Ketika sedang membantu seorang rekan wartawan menyampaikan pertanyaan kepada seorang pimpinan organisasi kesehatan dunia dalam sebuah wawancara doorstop di sebuah hotel di Singapura, saya tiba-tiba menyelip dengan sebuah pertanyaan apakah Beliau mengetahui akan peranan dan perhatian pemerintah Indonesia mengenai penyakit yang sedang dibahas dan tanpa menunggu jawaban Beliau, saya langsung saja memberikan gambaran singkat bagaimana Indonesia, baik sektor profesional, lembaga swadaya masyarakat, swasta dan pemerintah, bahkan di tingkat Presiden telah bekerja sama mengedukasi masyarakat mengenai penyakit ini. Pemerintah Indonesia juga telah mengalokasikan dana untuk upaya pencegahan penyakit ini. Ketika sang pimpinan organisasi terlihat terkesan dengan segala upaya dan jejak rekam Indonesia, saya langsung menodong Beliau tentang kemungkinan membawa Peringatan Dunia akan penyakit yang sedang menjadi perhatian masyarakat Asia Pasifik ini ke Indonesia tahun depan. Beliau menjawab, “Ya, tentu saja, kalau memang Anda mau nya seperti itu, tentu kita harus mulai mempersiapkan dari sekarang.” Saya bilang, siap. Dan kami berjanji untuk menindaklanjuti setelah ini. Semua pembicaraan ini terjadi kurang dari 3 menit, lalu lanjut lagi kembali ke pertanyaan wartawan.
Setelah Beliau berlalu dan teman wartawan saya sibuk menulis laporan peliputan, saya duduk sambil meminum air putih dan berpikir : Wow! Selama ini sudah bertahun-tahun berbagai pihak yang lebih berkompeten mencoba mendapat perhatian badan dunia ini untuk mengadakan acara di Indonesia namun tak pernah ada hasilnya, dan sekarang hanya dalam hitungan menit saya mendapatkan sinyal hijau! Bagaimana semua ini bisa terjadi?
Saya lalu menganalisa : tentu harus ada kesempatannya, tapi bagaimana kita mengambil kesempatan itu, semuanya tergantung dari kita. Dan upaya yang terpenting dilakukan ternyata mengatasi diri sendiri dan ketakutan kita. Takut dipandang siapa kamu, takut dinilai orang ini ngomong apa sih, takut ditolak dan dicemoohkan. Nyatanya hari ini saya membuktikan tak ada salahnya mencoba. It won’t hurts and nothing to lose anyway. Kalau Beliau menolak, ya tidak apa-apa toh orang-orang hebat sudah pernah membicarakan sebelumnya dan gagal. Kesempatan seperti ini mungkin tidak datang lagi, atau pun kalau datang waktunya mungkin sudah terlalu dekat sehingga pelaksanaannya baru bisa dilakukan beberapa tahun lagi.
Maka hari ini saya belajar untuk membuka semua kesempatan yang ada dengan membunuh segala rasa takut saya. So, beat the fear, have the guts and win that one shining moment!
9 Desember 2010 : Gara- Gara Layanan Tak Jalan
Hal yang pertama saya lakukan ketika sampai di Bandara Changi pagi ini adalah mengaktifkan blackberry saya sesuai petunjuk yang saya catat dari petugas operator ponsel tadi malam agar layanan blackberry saaya bisa aktif secara gratis di negeri Singa ini. Awalnya, saya menyangka ada petunjuk yang terlewat ketika BB saya bisa berfungsi untuk telepon dan sms tapi layanan BBnya tak bisa aktif. Saya lalu disarankan petugas hotel untuk menelpon nomor layanan pelanggan operator lokal yang menjadi rekanan operator saya, tapi sampai malam saya mencoba, saya cuma disuguhi lagu nada tunggu saja.
Ketika melihat gerai operator di sebuah pusat perbelanjaan, saya mampir untuk menanyakan perihal kemacetan sistem layanan BB saya, tapi ternyata sang petugas malah tidak tahu ada layanan bersama rekanannya dari Indonesia dan menyarankan saya pergi ke pusat layanan pelanggan di daerah Orchard. Tidak putus asa, saya lalu minta tolong kerabat untuk menanyakan kepada operator di Jakarta dan mendapat petunjuk lagi untuk men set telepon saya, namun tetap tak berfungsi sampai saat ini.
Kejadian ini membuat saya belajar banyak hal :
1. Layanan pelanggan adalah segala-galanya. Kalau pelanggan dicuekin sambil dihibur nada tunggu sampai lebih dari 3 menit, itu namanya perusahaannya tidak care terhadap pelanggan dan layanan pelanggannya suck!
2. Kalau membuat program, terlebih dahulu sosialisasikan dan latihlah petugas intern kita. Jangan keburu berkoar di publik, tapi ketika konsumen bertanya tak ada yang bisa memberi arahan dengan mudah dan tepat.
3. Apa pun kecanggihan dan kemudahan yang kita dapatkan, prinsip kemandirian dan tidak tergantung pada orang atau fasilitas lain masih menjadi pegangan hidup yang tak tergantikan. Ibaratnya, tak ada teknologi pun, kita tetap sama suksesnya.
4. Sebuah negara bisa dibilang maju, tapi tetap saja punya kekurangan. Buktinya layanan pelanggan salah satu perusahaan telekomunikasi ternamanya bahkan jauh lebih parah dari perusahaan serupa di Jakarta. Artinya, jangan pernah rendah diri dan kecil hati. Orang yang tampaknya superior tak berarti lebih baik. Tunjukkan bahwa kita mampu dan kita lebih baik dari segi apa pun dari mereka.
Diam-diam, saya berterima kasih juga karena layanan tak jalan, saya belajar banyak hal. Cuma, tetap saja besok kalau sedang lewat Orchard Road saya akan memenuhi keingintahuan dimana letak tak berfungsinya layanan blackberry saya. Namanya juga penasaran....
Ketika melihat gerai operator di sebuah pusat perbelanjaan, saya mampir untuk menanyakan perihal kemacetan sistem layanan BB saya, tapi ternyata sang petugas malah tidak tahu ada layanan bersama rekanannya dari Indonesia dan menyarankan saya pergi ke pusat layanan pelanggan di daerah Orchard. Tidak putus asa, saya lalu minta tolong kerabat untuk menanyakan kepada operator di Jakarta dan mendapat petunjuk lagi untuk men set telepon saya, namun tetap tak berfungsi sampai saat ini.
Kejadian ini membuat saya belajar banyak hal :
1. Layanan pelanggan adalah segala-galanya. Kalau pelanggan dicuekin sambil dihibur nada tunggu sampai lebih dari 3 menit, itu namanya perusahaannya tidak care terhadap pelanggan dan layanan pelanggannya suck!
2. Kalau membuat program, terlebih dahulu sosialisasikan dan latihlah petugas intern kita. Jangan keburu berkoar di publik, tapi ketika konsumen bertanya tak ada yang bisa memberi arahan dengan mudah dan tepat.
3. Apa pun kecanggihan dan kemudahan yang kita dapatkan, prinsip kemandirian dan tidak tergantung pada orang atau fasilitas lain masih menjadi pegangan hidup yang tak tergantikan. Ibaratnya, tak ada teknologi pun, kita tetap sama suksesnya.
4. Sebuah negara bisa dibilang maju, tapi tetap saja punya kekurangan. Buktinya layanan pelanggan salah satu perusahaan telekomunikasi ternamanya bahkan jauh lebih parah dari perusahaan serupa di Jakarta. Artinya, jangan pernah rendah diri dan kecil hati. Orang yang tampaknya superior tak berarti lebih baik. Tunjukkan bahwa kita mampu dan kita lebih baik dari segi apa pun dari mereka.
Diam-diam, saya berterima kasih juga karena layanan tak jalan, saya belajar banyak hal. Cuma, tetap saja besok kalau sedang lewat Orchard Road saya akan memenuhi keingintahuan dimana letak tak berfungsinya layanan blackberry saya. Namanya juga penasaran....
Wednesday, December 08, 2010
8 Desember 2010 : Godaan Maut
Tanpa a-i-u-e-o tiba-tiba bara yang dulu pernah sempat berbinar sejenak muncul lagi dalam hidup saya. Berawal dari obrolan ringan, ia kemudian mengajak bertemu dan saya terus terang tergoda. Saya sih ingin bertemunya pas makan siang saja, singkat dan tidak macam-macam. Saya masih ingat waktu itu saya yang mengundurkan diri karena ada beberapa hal prinsip yang tidak sreg di hati. Tapi tampaknya ia kesal, karena hanya "dijatah" ketemu kurang dari dua jam, dan itu pun harus dijadwal ulang karena saya mendahulukan urusan klien. Awalnya saya merasa sama kecewa dan kesalnya, tapi lama-lama bersyukur juga, lepas dari godaan. Saya terus terang tidak tahu apakah bakal tahan godaan, jadi dengan dia ngambek, saya seolah disentil dan menyadari : untuuuuuuuung ngambek! Detik itu juga, jarak antara kami kembali terbentang lebar.
Godaan memang luar biasa. Karena sudah lama tak berhubungan, sepertinya semua yang buruk-buruk sirna, yang muncul cuma semua yang indah-indah saja, sambil dirayu-rayu "siapa tahu dia sudah berubah..." Saya berandai-andai kalau jadi bertemu. Dari makan siang saja, mungkin berlanjut janjian lagi, dan tanpa saya sadari kemungkinan saya akan terbelit rayuan dan ketika sadar sudah tak tertolong lagi untuk lolos. Kalau itu terjadi, dua kali saya kejeblos lubang.
Yang lebih parah lagi, sudah tahu yang dihadapi menyerempet "bahaya", tapi saat batal bertemu, kesal juga rasanya : tahu gitu tadi batal saja meetingnya dan ketemu dia. Butuh waktu untuk mengusir sisa-sisa hawa godaan dan bernapas kembali seperti biasa. Ketika sadar, saya mengomeli diri sendiri: makanya jangan iseng dan sok ganjen. Yang namanya pengaruh buruk itu rayuannya luar biasa dan membinasakan. Buktinya, ketika kemauannya tidak tercapai, muka aslinya kembali muncul dan saat itu saya kembali mengenali bahwa sifat lamanya belum berubah sedikit pun! Untunglah saya.
Hari ini saya ditolong campur tangan Tuhan membatalkan pertemuan yang tidak penting, sekaligus disadarkan untuk selalu awas akan banyaknya rayuan hidup yang menyesatkan namun memabukkan. Sekali hirup, hawa rayuan itu semakin merasuk dan membuat kita lupa diri. Saat sadar kita dihempas dengan tubuh tinggal ampas saja. Intinya ya tadi : jangan sok iseng, tergoda, sok ganjen, dan yang terpenting jangan sekali-sekali berpikir kalau kita ini kuat menghadapi godaan dan dapat mengontrolnya. Kenyataannya kita sama sekali tak sekuat itu, bahkan cenderung lemah! Learning of the day : don't invite problem, we've got enough of them in life already....
Godaan memang luar biasa. Karena sudah lama tak berhubungan, sepertinya semua yang buruk-buruk sirna, yang muncul cuma semua yang indah-indah saja, sambil dirayu-rayu "siapa tahu dia sudah berubah..." Saya berandai-andai kalau jadi bertemu. Dari makan siang saja, mungkin berlanjut janjian lagi, dan tanpa saya sadari kemungkinan saya akan terbelit rayuan dan ketika sadar sudah tak tertolong lagi untuk lolos. Kalau itu terjadi, dua kali saya kejeblos lubang.
Yang lebih parah lagi, sudah tahu yang dihadapi menyerempet "bahaya", tapi saat batal bertemu, kesal juga rasanya : tahu gitu tadi batal saja meetingnya dan ketemu dia. Butuh waktu untuk mengusir sisa-sisa hawa godaan dan bernapas kembali seperti biasa. Ketika sadar, saya mengomeli diri sendiri: makanya jangan iseng dan sok ganjen. Yang namanya pengaruh buruk itu rayuannya luar biasa dan membinasakan. Buktinya, ketika kemauannya tidak tercapai, muka aslinya kembali muncul dan saat itu saya kembali mengenali bahwa sifat lamanya belum berubah sedikit pun! Untunglah saya.
Hari ini saya ditolong campur tangan Tuhan membatalkan pertemuan yang tidak penting, sekaligus disadarkan untuk selalu awas akan banyaknya rayuan hidup yang menyesatkan namun memabukkan. Sekali hirup, hawa rayuan itu semakin merasuk dan membuat kita lupa diri. Saat sadar kita dihempas dengan tubuh tinggal ampas saja. Intinya ya tadi : jangan sok iseng, tergoda, sok ganjen, dan yang terpenting jangan sekali-sekali berpikir kalau kita ini kuat menghadapi godaan dan dapat mengontrolnya. Kenyataannya kita sama sekali tak sekuat itu, bahkan cenderung lemah! Learning of the day : don't invite problem, we've got enough of them in life already....
Labels:
'lawrence tjandra',
godaan,
rayuan
Tuesday, December 07, 2010
7 Desember 2010 : Om Ben
Petang ini waktu Indonesia Bagian Barat saya kehilangan seorang paman, kakak ibu saya yang meninggal di Negeri Belanda karena sakit jantung yang dideritanya. Saya justru mendapat kabar kepergian Beliau dari kakak di Australia dan segera menelpon Ibu untuk mengecek apakah Beliau baik-baik saja. Tentu saja ibu saya menjawab telepon dengan nada masih sedih dan berurai air mata. Hampir sejam kami berbagi kenangan akan Almarhum dan ibu saya bercerita bagaimana Almarhum masih sempat bertelepon dengan Ibu kemarin malam namun kurang dari satu jam setelah itu Ibu kembali memperoleh berita kalau Almarhum tiba-tiba memasuki masa kritis.
Saya mengenang Paman sebagai seorang yang gagah, berjiwa muda dan gigih, jenaka namun santun dan sangat tahu adat. Beliau menjadi panutan saya untuk menjadi seorang nasionalis sejati. Paman saya adalah seorang mantan Inspektur Jenderal Departemen Perindustrian zaman Pak Harto dan saya kira keturunan Tionghoa pertama yang menjabat posisi itu. Sampai menutup mata, cintanya terhadap negara ini luar biasa mengagumkan. Beliau masih mengikuti berita tentang Indonesia dan mengkritisinya meskipun sudah pindah ke Belanda seusai masa tugasnya karena memenuhi janji pada isteri tercinta yang keturunan Belanda. Berbagai keprihatinan Beliau masih terdengar tajam saat terakhir kali saya bertemu dengannya. Saya belajar banyak dari Beliau untuk menjadi orang yang berbakti dan cinta tanah air dan memberikan sumbangsih tenaga dan pikiran, apa pun yang terjadi di negara ini. Seyogyanya Beliau berencana kembali ke tanah air tanggal 10 November kemarin untuk merayakan ulang tahunnya di tengah-tengah keluarga besarnya, namun hidup menentukan lain. Beliau sakit beberapa hari menjelang kepulangannya dan tak pernah sempat lagi menginjakkan kakinya di bumi pertiwi ini. Kobaran semangat hidup dan kecintaannya terhadap Indonesia membuat Beliau bersemangat untuk bisa sembuh dan dengan penuh optimisme merencanakan untuk bisa kembali ke Indonesia segera setelah sembuh. Namun sekali lagi hidup berbicara lain.
Di luar itu, saya melihat Beliau seorang bijak yang sangat religius namun tetap dapat berdebat secara logika dan penuh toleransi. Beliau juga seorang yang sangat rendah hati dan tidak pandang bulu dalam bergaul. Jabatan tak membuat Beliau menjadi seorang yang sombong dan takabur. Dari Beliau saya belajar yang terpenting dalam hidup ini adalah bukan pencapaian, jabatan atau kekayaan yang bisa saya raih namun menjadi orang macam apakah saya.
Beliau adalah sosok yang cinta keluarga. Ketika tante saya meninggal kemarin, Beliau berpesan pada Ibu saya, "Sekarang kita tinggal bertiga (Beliau, tante saya di Jakarta, dan Ibu), kalau ke Jakarta kau tengok-tengoklah kakakmu yang satu itu." Saya pernah beberapa kali menjamu Beliau dan isteri, dan mengumpulkan para tetua untuk merayakan natal bersama. Dari kumpul-kumpul keluarga ini saya merasakan betapa kedekatan mereka sungguh menginspirasi saya yang lebih muda untuk menempatkan keluarga sebagai urutan yang teratas dalam prioritas hidup, melebihi kesukaan apa pun yang ditawarkan dunia ini.
Selamat jalan Om Ben, you will continuously live in our memories and hearts, and our prayers will accompany you through the new path of life as you walk home to the Lord. Thank you for the inspirations of life you have given me. It has been a real honor to be able to know you as well as to call you "Uncle"...
Saya mengenang Paman sebagai seorang yang gagah, berjiwa muda dan gigih, jenaka namun santun dan sangat tahu adat. Beliau menjadi panutan saya untuk menjadi seorang nasionalis sejati. Paman saya adalah seorang mantan Inspektur Jenderal Departemen Perindustrian zaman Pak Harto dan saya kira keturunan Tionghoa pertama yang menjabat posisi itu. Sampai menutup mata, cintanya terhadap negara ini luar biasa mengagumkan. Beliau masih mengikuti berita tentang Indonesia dan mengkritisinya meskipun sudah pindah ke Belanda seusai masa tugasnya karena memenuhi janji pada isteri tercinta yang keturunan Belanda. Berbagai keprihatinan Beliau masih terdengar tajam saat terakhir kali saya bertemu dengannya. Saya belajar banyak dari Beliau untuk menjadi orang yang berbakti dan cinta tanah air dan memberikan sumbangsih tenaga dan pikiran, apa pun yang terjadi di negara ini. Seyogyanya Beliau berencana kembali ke tanah air tanggal 10 November kemarin untuk merayakan ulang tahunnya di tengah-tengah keluarga besarnya, namun hidup menentukan lain. Beliau sakit beberapa hari menjelang kepulangannya dan tak pernah sempat lagi menginjakkan kakinya di bumi pertiwi ini. Kobaran semangat hidup dan kecintaannya terhadap Indonesia membuat Beliau bersemangat untuk bisa sembuh dan dengan penuh optimisme merencanakan untuk bisa kembali ke Indonesia segera setelah sembuh. Namun sekali lagi hidup berbicara lain.
Di luar itu, saya melihat Beliau seorang bijak yang sangat religius namun tetap dapat berdebat secara logika dan penuh toleransi. Beliau juga seorang yang sangat rendah hati dan tidak pandang bulu dalam bergaul. Jabatan tak membuat Beliau menjadi seorang yang sombong dan takabur. Dari Beliau saya belajar yang terpenting dalam hidup ini adalah bukan pencapaian, jabatan atau kekayaan yang bisa saya raih namun menjadi orang macam apakah saya.
Beliau adalah sosok yang cinta keluarga. Ketika tante saya meninggal kemarin, Beliau berpesan pada Ibu saya, "Sekarang kita tinggal bertiga (Beliau, tante saya di Jakarta, dan Ibu), kalau ke Jakarta kau tengok-tengoklah kakakmu yang satu itu." Saya pernah beberapa kali menjamu Beliau dan isteri, dan mengumpulkan para tetua untuk merayakan natal bersama. Dari kumpul-kumpul keluarga ini saya merasakan betapa kedekatan mereka sungguh menginspirasi saya yang lebih muda untuk menempatkan keluarga sebagai urutan yang teratas dalam prioritas hidup, melebihi kesukaan apa pun yang ditawarkan dunia ini.
Selamat jalan Om Ben, you will continuously live in our memories and hearts, and our prayers will accompany you through the new path of life as you walk home to the Lord. Thank you for the inspirations of life you have given me. It has been a real honor to be able to know you as well as to call you "Uncle"...
6 Desember 2010 : Belajar dari Bowling
Malam ini untuk pertama kalinya saya ikut permainan Bowling. Bertahun-tahun lalu seorang teman telah berusaha mengajari saya bermain bowling tapi tak pernah berhasil membawa saya memainkan game secara lengkap. Malam ini setelah diyakinkan dan dipaksa-paksa, akhirnya saya main, dua game pula! Tangan kanan saya langsung terasa pegal-pegal karena tak pernah dipakai olah raga.
Lewat permainan ini saya mencatat beberapa pelajaran penting :
1. Saya awalnya cemas dan takut dan malu karena sudah hampir setengah abad tapi tak pernah main boling. Tapi kecemasan saya tak beralasan karena ternyata, teman-teman yang lain lebih nekad dan santai-santai saja menikmati permainan meskipun lemparannya selalu masuk got. Intinya saya belajar untuk melupakan kecemasan, ketakutan dan rasa malu, dan langsung "terjun" mengerjakan dan menjalani permainan. It's so fun untuk bisa menertawakan kesalahan sendiri sekaligus belajar untuk tidak mengulanginya di lemparan berikut. Performa saya toh ternyata tidak jelek-jelek amat.
2. Main boling harus pakai sepatu khusus. Saya lalu menerjemahkannya : kalau mau melakukan sesuatu, perlu persiapan, apa pun itu yang akan dilakukan, seperti ketika malam ini kami main boling cuma buat seru-seruan saja. Karaoke saja butuh persiapan suara dan konsentrasi pada lagu sehingga tidak ketinggalan irama dan tidak fals.
3. Berat bola yang tepat membantu menghasilkan performa yang lebih baik. Saya perhatikan, teman-teman berganti-ganti bola dengan berat berbeda-beda dan hasilnya tidak konsisten karena kadang tepat, kadang terlalu ringan atau berat. Saya menerjemahkannya : kita harus tahu beban optimum yang bisa kita pikul kalau mau membuahkan hasil yang optimum pula.
4. Kalau terburu-buru dan terlalu excited, bola cenderung melenceng dari target. Terburu-buru membuat saya sering salah timing dalam mengayun, melempar dan membidik sehingga bola lalu lari ke samping, bahkan masuk got dan tidak menyentuh satu pun pion yang ada. Saya belajar sikap santai tapi fokus justru membuahkan hasil yang optimal.
5. Bermain terlalu banyak game membuat kita capai dan kehilangan tenaga untuk bisa membuahkan hasil yang baik. Saya jadi kehilangan konsentrasi dan melempar sekenanya.
Intinya, mengetahui kemampuan diri dan tidak memaksakan diri merupakan kunci penting bila ingin mendapatkan hasil terbaik dan konsisten.
Dari main-main, saya mendapat pelajaran luar biasa malam ini. Lain kali, kalau pegal-pegalnya sudah hilang, saya mau main boling lagi ah!
Lewat permainan ini saya mencatat beberapa pelajaran penting :
1. Saya awalnya cemas dan takut dan malu karena sudah hampir setengah abad tapi tak pernah main boling. Tapi kecemasan saya tak beralasan karena ternyata, teman-teman yang lain lebih nekad dan santai-santai saja menikmati permainan meskipun lemparannya selalu masuk got. Intinya saya belajar untuk melupakan kecemasan, ketakutan dan rasa malu, dan langsung "terjun" mengerjakan dan menjalani permainan. It's so fun untuk bisa menertawakan kesalahan sendiri sekaligus belajar untuk tidak mengulanginya di lemparan berikut. Performa saya toh ternyata tidak jelek-jelek amat.
2. Main boling harus pakai sepatu khusus. Saya lalu menerjemahkannya : kalau mau melakukan sesuatu, perlu persiapan, apa pun itu yang akan dilakukan, seperti ketika malam ini kami main boling cuma buat seru-seruan saja. Karaoke saja butuh persiapan suara dan konsentrasi pada lagu sehingga tidak ketinggalan irama dan tidak fals.
3. Berat bola yang tepat membantu menghasilkan performa yang lebih baik. Saya perhatikan, teman-teman berganti-ganti bola dengan berat berbeda-beda dan hasilnya tidak konsisten karena kadang tepat, kadang terlalu ringan atau berat. Saya menerjemahkannya : kita harus tahu beban optimum yang bisa kita pikul kalau mau membuahkan hasil yang optimum pula.
4. Kalau terburu-buru dan terlalu excited, bola cenderung melenceng dari target. Terburu-buru membuat saya sering salah timing dalam mengayun, melempar dan membidik sehingga bola lalu lari ke samping, bahkan masuk got dan tidak menyentuh satu pun pion yang ada. Saya belajar sikap santai tapi fokus justru membuahkan hasil yang optimal.
5. Bermain terlalu banyak game membuat kita capai dan kehilangan tenaga untuk bisa membuahkan hasil yang baik. Saya jadi kehilangan konsentrasi dan melempar sekenanya.
Intinya, mengetahui kemampuan diri dan tidak memaksakan diri merupakan kunci penting bila ingin mendapatkan hasil terbaik dan konsisten.
Dari main-main, saya mendapat pelajaran luar biasa malam ini. Lain kali, kalau pegal-pegalnya sudah hilang, saya mau main boling lagi ah!
Labels:
'lawrence tjandra',
boling,
bowling
Sunday, December 05, 2010
5 Desember 2010 : The Real Me
Setelah melewati hari yang santai dan menyenangkan, saya duduk di depan pesawat televisi menikmati indahnya malam yang sejuk sambil menonton Oprah. Kali ini ia menampilkan tiga wanita cantik, satu usia 40an dan dua 60an : Teri Hatcher, Cybil Shepherd dan Linda Evans. Teri memulai dengan memvideokan dirinya sendiri yang baru bangun tidur, acak-acakan tanpa make up, lalu menjelma menjadi bintang televisi di serial Desperate Housewives dan kembali tanpa make up di malam hari saat ia menghapus segala keglamoran dirinya di kamar mandi. Dengan "ulah" nya itu ia ingin membuka mata dunia bahwa ke dua wajah yang berbeda itu adalah satu.
Pikiran saya lalu melayang, dan sedikit merasakan apa yang dialami Teri, tentu dalam skala dan situasi yang sangat jauh berbeda. Meskipun saya tidak terkenal, tapi hidup saya juga tidak bisa dikatakan biasa-biasa saja. Jumat lalu contohnya, saya berjabat dan berbincang dengan seorang wakil presiden, menteri, duta besar dan bahkan mantan Puteri Indonesia. Saya pun beberapa kali mengikuti acara Presiden dan Ibu Negara, bahkan dalam kesempatan ringan mengobrol dengan mereka. Isi daftar telepon, bbm dan facebook saya juga mencantumkan beberapa selebriti dan orang-orang yang sering tampil di media yang saya kenal secara personal. Kalau mengikuti kegiatan saya, terkadang terasa sisi glamor sebagai imbas konsekuensi pekerjaan saya yang terkadang juga mewarnai kehidupan pribadi saya. Beberapa teman terdekat saya adalah nama-nama yang sangat dihargai di bidangnya dan saya harus jujur, kalau saya tidak di pekerjaan ini, saya tidak akan pernah mengenal mereka, namun saya bisa meyakinkan Anda bahwa pertemanan saya dengan mereka adalah pertemanan yang tulus yang tanpa embel-embel status apa pun. Buktinya, kerabat muda yang pernah saya ajak untuk ikutan makan malam di apartemen teman saya, bisa menikmati kumpul-kumpul kami dan berkata, "wow, tadinya aku kira aku tidak akan pernah bisa membaur dengan mereka, tapi sungguh mereka adalah orang-orang biasa yang apa adanya, yang jauh dari kehidupan yang aku lihat di media. Dan mereka benar-benar lepas dan lucu sekali!"
Tapi saya dalam arti yang aslinya, sama sekali bukan orang yang tampil di media, bukan selebriti, bukan orang pemerintahan, pebisnis yang ada di urutan mana pun dalam ranking yang ada. Saya cuma orang biasa. Yang kalau tidur sukanya pakai kaos molor dan celana pendek. Yang gemar sekali pecel lele pinggir jalan. Kemarin, saya menyusuri beceknya Pasar Pagi untuk membeli lampu natal. Di tengah hiruk pikuk dan kemacetan luar biasa serta panas yang membuat saya meleleh, terbersit pikiran betapa anehnya hidup ini. Kemarinnya saya keluar masuk istana, gedung menteri dan resepsi resmi duta besar, sekarang saya berjalan dengan kaos dan celana pendek bersandal jepit di tengah himpitan ribuan orang yang teraduk aduk di Pasar Pagi, tanpa ada yang peduli apa yang saya lakukan kemarin. Hari ini, saya sengaja tidak ke Jakarta. Sepanjang hari hanya saya habiskan di sekitar rumah saja. Bahkan kalau di waktu lain saya mendapat kesempatan duduk di bangku VIP yang sengaja disiapkan untuk saya, sore ini saya diusir dari tempat duduk yang saya kira untuk umum, tapi kemudian diisi orang tua para musisi muda yang tergabung dalam koor dan orkestra lingkungan dalam sebuah pagelaran natal yang diperuntukkan bagi penduduk sekitar rumah.
Tapi itulah saya. Dengan segala sisi yang berbeda yang membentuk saya secara utuh, dan tidak dipisahkan satu dengan yang lain. Yang membuat saya unik dan tidak bisa di kloning. Percakapan di televisi tadi membuat saya menyadari apa yang saya pikirkan ketika melewati kerumunan orang di Pasar Pagi kemarin siang sambil berpeluh-peluh. Yang seharusnya saya lakukan adalah sebagai berikut :
what happens around me forms who I am today, and only the insparable me that enlivens my values who shines throughout the events of my life.
Pikiran saya lalu melayang, dan sedikit merasakan apa yang dialami Teri, tentu dalam skala dan situasi yang sangat jauh berbeda. Meskipun saya tidak terkenal, tapi hidup saya juga tidak bisa dikatakan biasa-biasa saja. Jumat lalu contohnya, saya berjabat dan berbincang dengan seorang wakil presiden, menteri, duta besar dan bahkan mantan Puteri Indonesia. Saya pun beberapa kali mengikuti acara Presiden dan Ibu Negara, bahkan dalam kesempatan ringan mengobrol dengan mereka. Isi daftar telepon, bbm dan facebook saya juga mencantumkan beberapa selebriti dan orang-orang yang sering tampil di media yang saya kenal secara personal. Kalau mengikuti kegiatan saya, terkadang terasa sisi glamor sebagai imbas konsekuensi pekerjaan saya yang terkadang juga mewarnai kehidupan pribadi saya. Beberapa teman terdekat saya adalah nama-nama yang sangat dihargai di bidangnya dan saya harus jujur, kalau saya tidak di pekerjaan ini, saya tidak akan pernah mengenal mereka, namun saya bisa meyakinkan Anda bahwa pertemanan saya dengan mereka adalah pertemanan yang tulus yang tanpa embel-embel status apa pun. Buktinya, kerabat muda yang pernah saya ajak untuk ikutan makan malam di apartemen teman saya, bisa menikmati kumpul-kumpul kami dan berkata, "wow, tadinya aku kira aku tidak akan pernah bisa membaur dengan mereka, tapi sungguh mereka adalah orang-orang biasa yang apa adanya, yang jauh dari kehidupan yang aku lihat di media. Dan mereka benar-benar lepas dan lucu sekali!"
Tapi saya dalam arti yang aslinya, sama sekali bukan orang yang tampil di media, bukan selebriti, bukan orang pemerintahan, pebisnis yang ada di urutan mana pun dalam ranking yang ada. Saya cuma orang biasa. Yang kalau tidur sukanya pakai kaos molor dan celana pendek. Yang gemar sekali pecel lele pinggir jalan. Kemarin, saya menyusuri beceknya Pasar Pagi untuk membeli lampu natal. Di tengah hiruk pikuk dan kemacetan luar biasa serta panas yang membuat saya meleleh, terbersit pikiran betapa anehnya hidup ini. Kemarinnya saya keluar masuk istana, gedung menteri dan resepsi resmi duta besar, sekarang saya berjalan dengan kaos dan celana pendek bersandal jepit di tengah himpitan ribuan orang yang teraduk aduk di Pasar Pagi, tanpa ada yang peduli apa yang saya lakukan kemarin. Hari ini, saya sengaja tidak ke Jakarta. Sepanjang hari hanya saya habiskan di sekitar rumah saja. Bahkan kalau di waktu lain saya mendapat kesempatan duduk di bangku VIP yang sengaja disiapkan untuk saya, sore ini saya diusir dari tempat duduk yang saya kira untuk umum, tapi kemudian diisi orang tua para musisi muda yang tergabung dalam koor dan orkestra lingkungan dalam sebuah pagelaran natal yang diperuntukkan bagi penduduk sekitar rumah.
Tapi itulah saya. Dengan segala sisi yang berbeda yang membentuk saya secara utuh, dan tidak dipisahkan satu dengan yang lain. Yang membuat saya unik dan tidak bisa di kloning. Percakapan di televisi tadi membuat saya menyadari apa yang saya pikirkan ketika melewati kerumunan orang di Pasar Pagi kemarin siang sambil berpeluh-peluh. Yang seharusnya saya lakukan adalah sebagai berikut :
what happens around me forms who I am today, and only the insparable me that enlivens my values who shines throughout the events of my life.
Saturday, December 04, 2010
4 Desember 2010 : Iman dan Kegelapan
Saya baru saja menonton serial The Chronicles of Narnia : The Voyage of the Dawn Treader yang menurut saya "biasa-biasa" saja, jauh dibandingkan Harry Potter seri terakhir ataupun bahkan The Rapunzel. Namun toh ada dua kalimat petuah yang menancap di otak:
We are nothing without believing
dan
In order to defeat the darkness out there you must first defeat the darkness within (you)
Sepanjang film ke dua kalimat itu menggaung kuat di kepala. Saya mengerti kalimat pertama membawa saya pada pengertian bahwa segala apa yang saya lakukan tak akan ada makna nya bila saya tidak beriman akan Tuhan. Iman adalah believing - percaya, karena iman berarti meyakini dan percaya akan sesuatu kekuatan kehidupan yang tak kasat mata yang kita sebut Tuhan. Iman kepada Tuhan meneguhkan bahwa segala kekayaan, kekuasaan, jabatan dan gelimang indahnya dunia tak akan ada artinya bila tidak di jalan Tuhan.
Kalimat itu pulalah yang meneguhkan kalimat ke dua yang diucapkan dalam kesempatan berbeda dalam film itu, sebagai kalimat kunci yang diharapkan menjadi pegangan para Raja dan Ratu Muda Kerajaan Narnia dalam mengembalikan terang dunia dari kegelapan yang sekarang sedang berlangsung. Dalam kenyataan sehari-hari, begitu banyak orang yang memiliki kedudukan yang cukup penting untuk bisa menumpas ketidakadilan, ketidakjujuran, dan keserakahan namun justru terjebak dalam perenggutan keadilan akibat keserakahan dan ketidakjujurannya sendiri. Dalam hal ini segala godaan digambarkan sebagai emas permata yang menggiurkan yang mudah membuat orang lupa diri dan serakah, dan jeratan rayuan mautnya membawa petaka dan kematian. Karenanya saya diingatkan bahwa kalau mau menumpas kejahatan, kita harus bisa mengalahkan kejahatan dalam diri kita sendiri terlebih dahulu, kalau tidak bagaimana kita bisa menumpasnya sedang dalam diri kita sendiri masih berkobar kejahatan yang sama?
Saya jadi teringat kemarin menasihati seorang teman muda yang mendapat tawaran kerja yang menggiurkan dari sebuah perusahaan milik seorang kaya yang punya jejak terjang yang gelap. Kalimat ke dua sebetulnya meneguhkan apa yang saya katakan pada teman saya tadi. Saya bilang, memang betul tawarannya menarik dan kita bisa menjadi "seseorang" di sana, tapi "seseorang" yang bagaimana? Relakah kita menodai lembaran sejarah hidup kita dengan jejak orang-orang yang tidak bertanggung jawab meskipun kita tidak terlibat langsung? Kita sendiri sering berkata mengecam korupsi, kolusi, keserakahan yang menyengsarakan orang lain, tapi bagaimana kita bisa mempertahankan perjuangan kita mempertahankan nilai yang kita junjung bila hidup kita ditopang oleh orang-orang yang berkubang di ranah kotor itu? Maka saya meminta teman muda saya mempertimbangkan dan merenungkan. Kita masih bisa menjadi "seseorang" dan memiliki lembar bersih dalam pertanggungjawaban sejarah hidup kita sekaligus bila kita teguh dalam Iman kita kepada Tuhan. Niscaya keberlimpahan yang dianugerahkanNya hadir bersama kedamaian jiwa raga.
Petualangan Narnia kali ini meneguhkan iman saya kepada Tuhan, sekaligus menjadi pelita yang mengingatkan saya untuk selalu berusaha membersihkan kaca, sumbu dan menyediakan minyak bagi lentera yang ada di dalam diri agar bisa memberikan sinar bersih dan menerangi dunia sekitar saya...
We are nothing without believing
dan
In order to defeat the darkness out there you must first defeat the darkness within (you)
Sepanjang film ke dua kalimat itu menggaung kuat di kepala. Saya mengerti kalimat pertama membawa saya pada pengertian bahwa segala apa yang saya lakukan tak akan ada makna nya bila saya tidak beriman akan Tuhan. Iman adalah believing - percaya, karena iman berarti meyakini dan percaya akan sesuatu kekuatan kehidupan yang tak kasat mata yang kita sebut Tuhan. Iman kepada Tuhan meneguhkan bahwa segala kekayaan, kekuasaan, jabatan dan gelimang indahnya dunia tak akan ada artinya bila tidak di jalan Tuhan.
Kalimat itu pulalah yang meneguhkan kalimat ke dua yang diucapkan dalam kesempatan berbeda dalam film itu, sebagai kalimat kunci yang diharapkan menjadi pegangan para Raja dan Ratu Muda Kerajaan Narnia dalam mengembalikan terang dunia dari kegelapan yang sekarang sedang berlangsung. Dalam kenyataan sehari-hari, begitu banyak orang yang memiliki kedudukan yang cukup penting untuk bisa menumpas ketidakadilan, ketidakjujuran, dan keserakahan namun justru terjebak dalam perenggutan keadilan akibat keserakahan dan ketidakjujurannya sendiri. Dalam hal ini segala godaan digambarkan sebagai emas permata yang menggiurkan yang mudah membuat orang lupa diri dan serakah, dan jeratan rayuan mautnya membawa petaka dan kematian. Karenanya saya diingatkan bahwa kalau mau menumpas kejahatan, kita harus bisa mengalahkan kejahatan dalam diri kita sendiri terlebih dahulu, kalau tidak bagaimana kita bisa menumpasnya sedang dalam diri kita sendiri masih berkobar kejahatan yang sama?
Saya jadi teringat kemarin menasihati seorang teman muda yang mendapat tawaran kerja yang menggiurkan dari sebuah perusahaan milik seorang kaya yang punya jejak terjang yang gelap. Kalimat ke dua sebetulnya meneguhkan apa yang saya katakan pada teman saya tadi. Saya bilang, memang betul tawarannya menarik dan kita bisa menjadi "seseorang" di sana, tapi "seseorang" yang bagaimana? Relakah kita menodai lembaran sejarah hidup kita dengan jejak orang-orang yang tidak bertanggung jawab meskipun kita tidak terlibat langsung? Kita sendiri sering berkata mengecam korupsi, kolusi, keserakahan yang menyengsarakan orang lain, tapi bagaimana kita bisa mempertahankan perjuangan kita mempertahankan nilai yang kita junjung bila hidup kita ditopang oleh orang-orang yang berkubang di ranah kotor itu? Maka saya meminta teman muda saya mempertimbangkan dan merenungkan. Kita masih bisa menjadi "seseorang" dan memiliki lembar bersih dalam pertanggungjawaban sejarah hidup kita sekaligus bila kita teguh dalam Iman kita kepada Tuhan. Niscaya keberlimpahan yang dianugerahkanNya hadir bersama kedamaian jiwa raga.
Petualangan Narnia kali ini meneguhkan iman saya kepada Tuhan, sekaligus menjadi pelita yang mengingatkan saya untuk selalu berusaha membersihkan kaca, sumbu dan menyediakan minyak bagi lentera yang ada di dalam diri agar bisa memberikan sinar bersih dan menerangi dunia sekitar saya...
Labels:
'lawrence tjandra',
lentera,
narnia
Subscribe to:
Posts (Atom)