Wednesday, December 15, 2010

15 Desember 2010 : Membuktikan Curiga

Hari ini saya dikejutkan oleh sebuah kejadian kehilangan yang baru saya ketahui setelah terjadi 3 minggu berlalu. Saya penasaran menerima laporan kalau berbagai teknik yang diumpankan berbagai pihak tidak juga bisa menggaet pelaku. Saya lalu mengadakan pembicaraan dengan berbagai pihak yang melakukan investigasi dan upaya pengungkapan pelaku, atau setidaknya mendapatkan kembali barang yang hilang. Dari serangkaian pembicaraan itu, mengerucutlah dugaan siapa yang kira-kira yang berulah. Selain berdasarkan berbagai fakta dan catatan investigasi, dugaan itu diperkuat dengan adanya instink. Sayangnya instink dan dugaan itu masih harus disertai dengan bukti nyata sehingga tidak menjadi tuduhan belaka.

Sepanjang hari, topik yang menari-nari di otak adalah : saya tahu (baca: punya feeling) siapa yang melakukan tapi bagaimana cara membuktikannya? Topik ini bukan hanya sekali mampir dalam hidup saya. Bahkan sebetulnya sering. Dulu saya punya instink kuat kalau mantan saya berselingkuh meskipun ketika secara berhati-hati saya tanyakan ia mengatakan tidak. Saya memang tidak punya bukti, tapi sebagai pasangan saya punya sensitivitas yang tinggi bila sedikit saja terjadi perubahan rasa dan tingkah laku pada pasangan saya. Saya juga pernah kehilangan barang di rumah, dan berdasarkan tingkah laku dan respons yang diberikan penghuni rumah, saya langsung tahu siapa pelakunya. Saya pernah juga jadi korban teror di kantor dan rumah dan belakangan terungkap bahwa pelakunya bukan dari kalangan saya, tapi dari seorang kenalan dekat kerabat yang salah tangkap dikira saya yang menjadi biang renggangnya hubungan dia dengan kerabat saya tadi. Sayangnya terungkapnya kasus ini hanya bisa ditelan dalam hati karena saya tidak bisa memberikan pembuktian legal untuk bisa mengatakan hitam atas putih bahwa ia memang pelakunya.

Jadi pertanyaan besar yang ada di benak saya adalah : bagaimana membuktikan sesuatu yang secara instink kita tahu siapa yang melakukan? Secara hukum, kita memang tidak bisa membuktikan sesuatu dengan instink. Itu namanya menuduh tanpa dasar bukti yang jelas. Jadi, haruskah saya datang pada yang tersangka langsung menanyakan apakah ia yang berbuat? Kemungkinannya hanya ada dua : ia membantah atau mengaku, tapi apa pun reaksi dia, apakah ia memang benar pelaku atau tidak melakukan, hubungan kami tak akan kembali seindah sebelumnya, karena masing-masing merasa adanya ketidakpercayaan antara kami. Atau sebaiknya dibiarkan saja dan merelakan barangnya hilang? Saya sih tidak rela kasus ini pupus begitu saja. Apa lagi secara instinktif sudah terlihat namanya, namun tak bisa serta merta disebutkan karena harus dibuktikan.

Tiba-tiba saya tergelitik membandingkannya dengan iman saya kepada Tuhan. Saya tak pernah melihat Tuhan, namun bagaimana saya bisa percaya bahwa Ia ada? Bagaimana saya membuktikan secara nyata bahwa Ia ada? Selama ini pembuktiannya hanya bisa dilakukan melalui berbagai intepretasi kejadian. Tapi benarkah dugaan bisa disamakan dengan iman meskipun sama-sama berdasarkan perasaan? Terus terang, pengalaman sebelumnya yang saya ceritakan di atas hanya berakhir dengan : saya tahu siapa yang berbuat, tapi tidak saya apa-apakan karena saya tidak punya bukti nyata nya. Saya membiarkan berlalu dengan berharap bahwa alam kehidupan alias karma akan yang akan bertindak baginya. Tapi apakah kasus kali ini akan berakhir pada pasrah karma saja? Rasanya untuk sekali ini tidak. Bagaimana kalau sekali ini saya tidak memerlukan pembuktian siapa yang melakukan? Bagaimana kalau saya mengumumkan tidak mau tahu siapa yang melakukan asal barangnya bisa kembali di meja saya dalam waktu 24 jam? Siapa tahu hal ini bisa membantu mengetuk nurani si pelaku untuk mengembalikan barang yang bukan menjadi hak nya? Siapa tahu pula ketika ia memulangkannya, hatinya juga jadi terketuk untuk bertobat? Rasanya kalau ini terjadi sang pelaku justru mendapat kado kehidupan berlipat : berkah kejujuran dan berkah pertobatan.

Dari pemikiran ini saya belajar, mungkin dalam hidup ini tak harus selalu berujung dengan pembuktian siapa yang benar, siapa yang salah, siapa yang mencuri. Mungkin yang lebih bermanfaat adalah buah hasilnya. Dalam hal ini, barang kembali dan si pelaku diam-diam bertobat tanpa perlu dipermalukan di depan umum dan mendapat sanksi hukuman sosial yang akan menjadi stigma seumur hidup kemana pun ia pergi. Sedangkan hikmahnya bagi saya adalah bisa menjadi lebih arif dalam menghadapi situasi "maya" seperti ini sehingga tidak perlu menuduh dan berprasangka.

Semoga saja pemikiran ini menemukan jalannya ke telinga dan hati sang pelaku, dan menjadi berkat baginya.

No comments: