Sore tadi di tengah seruputan Pepermint Mocha Starbuck yang super lezat saya mendengar teman bercerita tentang temannya yang curhat di grup bbm. Sang teman menceritakan bahwa anaknya berbohong. Kemarin saat terima rapor, ia diam-diam mengambil rapor nya sendiri dengan alasan kedua orang tuanya sibuk. Sang ayah yang baru sadar siang ini, menanyakan bukannya ia seharusnya sudah terima rapor, menerima pengakuan berat hati dari sang anak, dan setelah dibuka, warna birunya cuma satu, alias alamat tinggal kelas. Sang ayah langsung mengambil aksi tangan besi, menggebuki anak pertamanya itu karena kebohongannya dan rapornya yang "kebakaran." Si Ibu kemudian meminta bantuan saran kepada teman-temannya melalui bbm.
Sekedar gambaran, pasangan suami isteri ini dua-duanya banker yang workaholic. Mereka berdua sering pulang lewat jam 9 malam dan Sabtu pun sering di kantor. Segala keperluan anak dicukupi, dan soal pelajaran diserahkan pada guru les. Cuma hari Minggu yang dijadwalkan menjadi hari keluarga.
Saya lalu berkomentar, "seharusnya yang digebuki ya bapak ibunya." Buat saya semua ini kesalahan ayah ibunya. Yang dibutuhkan sang anak bukan gebukan atau nasihat. Yang dibutuhkan remaja putera itu adalah ayah dan ibunya yang berubah, menjadi orang tua yang mengutamakan keluarga. Teman saya lalu bertanya bagaimana saya dulu dididik. Saya bilang, pulang sekolah dan setelah makan, hal yang pertama dilakukan ibu adalah membongkar isi tas dan membuka satu per satu buku serta mendiskusikannya dengan saya. Setelah itu, jam 2 sampai jam 4 saya duduk belajar, membuat pekerjaan rumah dan belajar untuk ulangan besok atau lusanya. Jam 4 saya dipersilakan main bersama teman, keluyuran sampai keringat basah kuyup, tapi jam 6 saat Maghrib tiba, saya sudah harus di rumah, menonton tv atau bercengkerama dengan keluarga, makan malam bersama keluarga, istirahat sebentar lalu tidur. Saya tidak pakai guru les. Guru les saya ya ibu saya sendiri. Namun hal itu tak berlangsung lama. Setelah kelas 4 SD, saya yang sudah punya ritme belajar yang dipolakan Ibu, bisa berjalan sendiri, namun tetap dengan supervisi ibu. Di situlah saya belajar tanggung jawab melalui interaksi dan pengawasan melekat dari orang tua saya. Jadi, saya bilang, orang tua tidak bisa diganti dengan uang atau pembantu atau guru les. Sepertinya ini klasik, tapi hari ini terbukti, masih banyak orang tua yang tidak mengerti betapa pentingnya peranan mereka dalam tumbuh kembang pribadi anaknya. Atau mereka memang tidak siap jadi orang tua? Bisa jadi.
Apa pun alasannya, orang tua yang semacam ini - meskipun tidak menelantarkan secara finansial - adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Punya anak itu bukan soal gengsi - sudah bisa menghamili dan dihamili, bukan juga kewajiban seperti yang biasa ditanyakan orang setelah seorang laki dan perempuan bersatu dalam pernikahan - yang setelah gengsi dan kewajiban itu terpenuhi, dibiarkan saja karena memang fokus utama pasangan suami isteri itu bukan pada anaknya tapi gengsi dan kewajibannya. Oleh karena itu bisa dimengerti kalau siang ini si Bapak menggebuki anaknya karena dianggap anaknya membuat malu dan gengsinya melorot padahal semua keperluan finansialnya dicukupi.
Tapi ini bukan cuma soal anak. Ini adalah soal mengambil keputusan dan bagaimana mempertanggung jawabkannya. Terlebih lagi, ini bukan cuma soal kegagalan seorang ayah atau ibu mengayomi anaknya. Ini adalah persoalan bagaimana kita melihat esensi sebuah masalah. Kalau dilihat dari mata kasat, ya benar anaknya salah telah berbohong dan tidak belajar benar. Tapi inti atau esensi masalahnya tidak di sana dan si anak tidak bisa disalahkan seratus persen. Bobot masalahnya justru terletak di orang tuanya.
Begitu pulalah masalah yang sering hadir di hadapan kita, sering kita selesaikan sesuai dengan apa yang terlihat saja sehingga tidak tuntas. Jarang kita mau meneliti inti dan esensi masalah sehingga kita bisa membuat sebuah keputusan bijak bagaimana menyelesaikan masalah itu.
Hari ini saya belajar untuk menguliti masalah yang saya hadapi agar bisa menemukan esensinya dan menyelesaikan permasalahan itu dari akarnya. Untuk si orang tua, saya titip pesan pada teman saya, "Bilangi temanmu itu untuk pertama-tama minta maaf dan bertobat pada sang anak, lalu mengganti jasa guru les dengan salah satu dari mereka. Pasti akan terjadi perubahan. Yang namanya anak itu lebih memilih orang tua yang melarat tapi sepenuhnya memperhatikan dan mengayomi anaknya ketimbang orang tua berlimpah tapi tidak pernah ada untuk mereka."
No comments:
Post a Comment