Hari ini jadwal saya penuh menghadiri berbagai undangan yang kalau dipikir-pikir tidak masuk akal juga. Pagi jam 09:30 saya sudah berada di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia untuk menghadiri Puncak Peringatan Hari Kesehatan Nasional 46 dan Hari Aids Sedunia yang diadakan secara gabungan oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Pendidikan Nasional. Acara yang dihadiri 300 undangan itu juga dihadiri beberapa Menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid II. Siang setelah makan siang bersama klien, saya menghadiri peresmian gedung baru Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang dilakukan oleh sang Menteri. Petangnya setelah rapat maraton dengan klien lain dan diskusi singkat dengan Account Manager, saya menghadiri undangan Duta Besar Kerajaan Thailand dalam rangka memperingati hari ulang tahun Raja nya.
Dari ketiga undangan kenegaraan tersebut, ada yang menjadi perhatian saya : bagaimana protokol yang diberlakukan dalam ketiga acara tersebut. Buat saya ini menjadi menarik ketika masyarakat diributkan isu Monarki yang digulirkan Presiden. Maka inilah hasil pengamatan saya :
Baik di istana wakil presiden dan di kementerian, kedua pejabat negara ini dibuat "jauh" dari tamunya. Meski pun kami mendapat kesempatan beramah tamah dengan Wakil Presiden secara personal, satu per satu tapi toh "jarak" dan "protokoler" memisahkan kita. Kehadiran undangan di Istana maupun di Kementerian disambut oleh para pejabat menengah dan tebaran protokol dan keamanan yang berseragam batik. Pejabatnya dijaga ketat baik oleh orang-orang sekelilingnya maupun pengaman dan protokol.
Saat menghadiri acara Kerajaan Thailand, saya mendapatkan nuansa yang berbeda. Duta Besar adalah orang yang pertama menyambut saya berikut isteri dan jajarannya, di depan pintu. Beliau menunggu sampai tamu terakhir tiba, baru bergabung lagi bersama kami dan memulai acara, sementara kami para undangan sudah kenyang makan hidangan Thai yang super lezat yang disajikan khusus oleh berbagai restoran Thai paling ternama di Jakarta ini dan sajian khusus dari Kedutaan Besar Kerajaan Thai.
Saya lalu berpikir, ini mana ya yang lebih monarkis? Pemerintah kita atau Kerajaan Thai? Saya bisa mengerti sih, sebagai orang kebanyakan, kita ini sering mimpi ingin jadi raja dan ratu. Ketika Pangeran William mengumumkan pertunangannya, segera saja gaun dan cincin tunangan Kate Middleton diserbu habis di seluruh dunia. Saya juga ingat bertingkahnya para asisten dan manajer artis yang siap menggelar karpet merah bagi artis yang dipegangnya supaya si artis jadi "bukan sembarang orang". Minta disediakan kamar rias sendiri, padahal ada ruang rias bagi artis-artis lain yang tak kalah tersohornya. Banyak juga pengusaha yang gaya ajudannya tak kalah selangit, menjadikan boss nya jauh lebih pejabat dari pejabat aslinya. Di lain sisi, saya ingat kejadian kecil di kantor saya yang dulu yang bersangkutan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X saat Beliau menjelang jumenengan alias pengangkatan raja. Kantor kami diminta untuk membuat foto resmi Raja dan Ratu yang baru. Sri Sultan yang sudah terekspos kesantunan modern secara otomatis meminta isterinya duduk di kursi sedangkan Beliau sendiri berdiri di sisinya. Kejadian menjadi heboh ketika foto yang indah tersebut ditunjukkan ke pihak keraton dan dinyatakan harus diulang karena salah posisi. Sebagai raja, Beliau lah yang seharusnya duduk dan sang permaisuri berdiri di sampingnya. Maka, beberapa hari menjelang penobatan raja, kami pun membuat sebuah studio mini di keraton yogya untuk mengulang foto sesi yang sangat bersejarah itu. Foto itu kemudian dikenang sebagai foto resmi jumenengan Sri Sultan yang ke sepuluh. Kejadian itu memberi kesan yang sangat kuat akan kesahajaan Sang Sultan yang hingga saat ini dicintai rakyat karena kearifannya. Ketika rakyatnya terkena musibah Sang Raja serta merta memberikan tanah kerajaan untuk dipakai rakyat yang menderita. Sang Sultan yang menerima bantuan dari pihak luar, termasuk dari pemerintah pusat akhirnya juga melarang semua bantuan untuk ditempeli lambang partai, perusahaan dan lembaga donor, dan meminta diganti dengan bendera merah putih saja. Sebuah tindakan yang melambangkan kepemimpinan dan kenasionalismean yang sejati dari seorang pimpinan yang dijuluki "Monarki".
Seharusnya kita "manusia biasa" ini sadar kalau kita ini manusia biasa dan bahwa kalau kita diberi kepercayaan untuk memimpin itu ada kontrak dan batasnya. Sebagai orang yang mendapat mandat, kita sering lupa terhadap mandat itu sendiri dan sering keblinger dengan kekuasaan semu yang sementara dijabatnya. Mau seperti apa pun kita menyiksa sang pangeran, bahkan mencopot semua kekuasaan dan kekayaannya, ia toh tetap pangeran sejati. Sedang kita, kalau semua asesorisnya dicopot, yang tertinggal adalah nobody.
Hari ini saya belajar agar tetap eling dan tidak takabur.
No comments:
Post a Comment