Petang ini waktu Indonesia Bagian Barat saya kehilangan seorang paman, kakak ibu saya yang meninggal di Negeri Belanda karena sakit jantung yang dideritanya. Saya justru mendapat kabar kepergian Beliau dari kakak di Australia dan segera menelpon Ibu untuk mengecek apakah Beliau baik-baik saja. Tentu saja ibu saya menjawab telepon dengan nada masih sedih dan berurai air mata. Hampir sejam kami berbagi kenangan akan Almarhum dan ibu saya bercerita bagaimana Almarhum masih sempat bertelepon dengan Ibu kemarin malam namun kurang dari satu jam setelah itu Ibu kembali memperoleh berita kalau Almarhum tiba-tiba memasuki masa kritis.
Saya mengenang Paman sebagai seorang yang gagah, berjiwa muda dan gigih, jenaka namun santun dan sangat tahu adat. Beliau menjadi panutan saya untuk menjadi seorang nasionalis sejati. Paman saya adalah seorang mantan Inspektur Jenderal Departemen Perindustrian zaman Pak Harto dan saya kira keturunan Tionghoa pertama yang menjabat posisi itu. Sampai menutup mata, cintanya terhadap negara ini luar biasa mengagumkan. Beliau masih mengikuti berita tentang Indonesia dan mengkritisinya meskipun sudah pindah ke Belanda seusai masa tugasnya karena memenuhi janji pada isteri tercinta yang keturunan Belanda. Berbagai keprihatinan Beliau masih terdengar tajam saat terakhir kali saya bertemu dengannya. Saya belajar banyak dari Beliau untuk menjadi orang yang berbakti dan cinta tanah air dan memberikan sumbangsih tenaga dan pikiran, apa pun yang terjadi di negara ini. Seyogyanya Beliau berencana kembali ke tanah air tanggal 10 November kemarin untuk merayakan ulang tahunnya di tengah-tengah keluarga besarnya, namun hidup menentukan lain. Beliau sakit beberapa hari menjelang kepulangannya dan tak pernah sempat lagi menginjakkan kakinya di bumi pertiwi ini. Kobaran semangat hidup dan kecintaannya terhadap Indonesia membuat Beliau bersemangat untuk bisa sembuh dan dengan penuh optimisme merencanakan untuk bisa kembali ke Indonesia segera setelah sembuh. Namun sekali lagi hidup berbicara lain.
Di luar itu, saya melihat Beliau seorang bijak yang sangat religius namun tetap dapat berdebat secara logika dan penuh toleransi. Beliau juga seorang yang sangat rendah hati dan tidak pandang bulu dalam bergaul. Jabatan tak membuat Beliau menjadi seorang yang sombong dan takabur. Dari Beliau saya belajar yang terpenting dalam hidup ini adalah bukan pencapaian, jabatan atau kekayaan yang bisa saya raih namun menjadi orang macam apakah saya.
Beliau adalah sosok yang cinta keluarga. Ketika tante saya meninggal kemarin, Beliau berpesan pada Ibu saya, "Sekarang kita tinggal bertiga (Beliau, tante saya di Jakarta, dan Ibu), kalau ke Jakarta kau tengok-tengoklah kakakmu yang satu itu." Saya pernah beberapa kali menjamu Beliau dan isteri, dan mengumpulkan para tetua untuk merayakan natal bersama. Dari kumpul-kumpul keluarga ini saya merasakan betapa kedekatan mereka sungguh menginspirasi saya yang lebih muda untuk menempatkan keluarga sebagai urutan yang teratas dalam prioritas hidup, melebihi kesukaan apa pun yang ditawarkan dunia ini.
Selamat jalan Om Ben, you will continuously live in our memories and hearts, and our prayers will accompany you through the new path of life as you walk home to the Lord. Thank you for the inspirations of life you have given me. It has been a real honor to be able to know you as well as to call you "Uncle"...
No comments:
Post a Comment