Setiap tahun saya selalu berusaha menyempatkan diri untuk mengunjungi panti jompo atau panti asuhan. Buat saya sebenarnya yang lebih kasihan adalah panti jompo karena di sana banyak orang-orang tua yang ditelantarkan keluarganya. Maka tahun ini saya mengajak rekan-rekan kerja beragama Nasrani untuk mengunjungi sebuah panti jompo sebagai ganti makan siang dan tukar kado dalam rangka Natal dan Tutup Tahun. Siapa sangka tahun ini kami mendapat dukungan dan sumbangan dari rekan-rekan yang beragama lain dan bahkan klien yang menyumbangkan apel dan jeruk untuk masing-masing oma opa.
Sesampai di panti jompo sore ini, kami sudah disambut opa oma yang sudah segar sehabis mandi dan istirahat siang. Kami bernyanyi, menari bersama, bahkan oma dan opa bermain angklung bagi kami melantunkan tembang natal "Little Drummer Boy". Saya membawakan beberapa lagu natal yang disambut antusias oma opa karena membuka kembali kotak kenangan di hati mereka. Kami juga sempat menikmati pastel tutup lezat yang ledisiapkan rekan saya Sicil dan kue natal bersama. Saya kemudian mendapat ayat dari Kartina untuk dibawakan kepada oma opa. Suara indah Esther yang khusus datang setelah meeting di tempat yang jauh dan dentingan gitar Joshua, teman gereja Esther menambah semarak acara kami.
Namun makna kehadiran saya ke sana petang ini justru hadir setelah keriangan itu. Saat saya menghampiri satu per satu oma opa dan memeluk hangat berbagi kasih, saya bisa merasakan berbagai macam perasaan mereka. Banyak yang lumer dalam kenyamanan dan kehangatan sejenak karena sudah lama tak merasakan pelukan yang datang dari hati. Detik itu saya berbagi kasih dan saya merasakan energi saya mengalir ke jiwa mereka satu per satu. Saya bisa merasakan dari hangatnya dekapan mereka dan selama beberapa detik saya seakan dibawa dalam kerinduan mereka satu per satu. Tak peduli laki atau perempuan.
Seorang oma menarik saya lebih lama. Namanya Oma Anie. Beliau mengatakan mendengarkan ayat yang saya bawakan dari Kartina, Yesaya 46: 4
Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu.
Oma Anie adalah isteri seorang diplomat yang lahir dari keluarga seorang kyai yang dihormati di Jawa Timur. Dari ke empat saudaranya, dua beragama Kristen dan dua beragama Islam. Oma Anie pun menikah dengan seorang diplomat dan dikaruniai 6 orang anak yang berhasil, semuanya di luar negeri. Di tahun 90an suaminya meninggal karena kanker hati dan sejak itu Oma Anie kehilangan separuh nyawanya. Ia marah kepada Tuhan sekaligus merasa berdosa karena sudah menghujat Tuhan. Ia merasa sudah berdoa namun doanya tak didengar. Ia merasa sudah tak ada gunanya hidup dan ingin mati saja, sudah 9 kali masuk rumah sakit dan dalam waktu ini akan mengalami terapi nuklir, tapi ia heran mengapa tak dipanggil-panggil oleh Sang Kuasa. Anak-anaknya bukannya tak peduli, ia pernah mencoba tinggal beberapa lama di Australia dan di Eropa, namun tak kerasan dan memilih pulang ke Indonesia, masuk ke panti jompo. Ia bahkan sudah membeli sebidang tanah pemakaman di Sandiego Hills dan melunasi biaya pemakamannya pada sebuah yayasan kristen. "Saya tidak mau merepotkan orang," katanya. Ia merasa keluarganya tak mengerti kekosongan jiwanya. Ia berkali-kali bilang, "untuk apa saya hidup..." di tengah sesenggukan dan air matanya yang mengalir deras dalam pelukan saya. Saya benar-benar tak tahu apa yang harus saya katakan. Saya mendekapnya dan tak berhenti mengelus punggungnya, membiarkan luapan emosinya yang mungkin selama ini hanya bisa disampaikan kepada Tuhan tersalurkan melalui jiwa lain. Saya kemudian bilang, "Oma, Tuhan pasti punya mau. Mungkin yang harus Oma pelajari saat ini adalah bersyukur untuk semua anugerah cinta kasihNya dalam diri Oma karena pasti begitu banyak karunia yang Oma dapat, namun Oma tak menyadarinya karena tertutup oleh kesedihan Oma terhadap kepergian Opa. Saya sendiri setiap hari berdoa, dan di awal doa saya selalu mengucap syukur untuk apa pun yang terjadi dalam diri saya. Untuk kesenangan maupun kesedihan, keberhasilan maupun kegagalan, kesehatan maupun penyakit, kehidupan maupun kematian.Saya juga menyukuri setiap percobaan yang diberikanNya kepada saya karena semuanya itu dibuat agar saya lebih bertakwa kepadaNya. Coba deh Oma, belajar menyukuri dengan tulus dan ikhlas, mungkin setelah itu Tuhan baru akan bilang saatnya tiba." Mengacaukah apa yang saya katakan? Mungkin, karena saya sendiri mati akal bagaimana menghibur si Oma. Namun yang jelas rasanya si Oma sudah lega melepaskan uneg-unegnya dan ketika kami sadar aula sudah tinggal kami berdua, saya mengantar sang oma ke kamar pribadinya yang penuh foto dan piala. Beliau adalah mantan atlet bridge yang tangguh. Beliau seorang mantan perenang indah yang piawai. Beliau memiliki keluarga dan anak dan cucu cicit yang cantik dan ganteng-ganteng. Punya orang tua yang terlihat sangat berwibawa dalam foto hitam putihnya. Beliau cuma tidak menyadari betapa beruntungnya dan dikasihinya ia oleh keluarga dan Tuhannya. Saat saya meninggalkannya di kamarnya yang penuh barang namun rapi itu, matanya sudah kembali bersinar.
Begitu banyak sosok lalu yang hebat yang tinggal di rumah jompo ini. Ada mantan sarjana hukum yang merupakan salah satu pendiri fakultas hukum Universitas Atmajaya. Ada Oma yang berusia 89 tahun dan baru pensiun dari profesinya sebagai seorang asisten apoteker dan masih mengeluarkan komentar yang cerdas dan tajam. Saya lalu berpikir, beginilah hidup, begitu cepat semua berlalu, dan orang-orang yang tadinya hidupnya hebat, kaya, punya posisi dan prestasi, seolah pupus hilang begitu saja tertelan kehidupan sangat sederhana dengan kerutinan setiap hari menanti harinya tiba. Pikiran saya lalu melayang pada kondisi saya dan kebanyakan orang yang sekarang sedang puncak-puncaknya. Mereka yang sedang menjabat, berprestasi, berpenghasilan, berposisi... apa jadinya kita semua di penghujung hidup kita? Menjadi termarjinalkan seperti oma opa ini? Detik ini juga saya diingatkan bahwa hidup yang sekarang kita jalani ini tidak selamanya sepereti ini. Seperti lilin yang mulainya bersinar malu-malu, lalu berkobar terang saat batangnya masih banyak dan meredup lalu mati saat batangnya lumer habis dan menguap ditelan waktu dan terpaan angin. Melihat oma-opa, saya mau ingat setiap saatnya untuk menjaga agar nyala lilin saya tetap berkobar hingga minyak lilin terakhir lumer habis dan bukannya meredup di saat lilin masih tiga perempat habis. Mungkin resep live life to the fullest dan mensyukuri kehidupan adalah resep yang tidak lagi dirasakan geregetnya oleh oma opa namun akan tetap saya perjuangankan hingga napas terakhir keluar dari tubuh ini. Pengalaman saya dengan oma opa ini rasanya akan saya sharing kan dengan Ibu saya yang sudah berusia 82 tahun dan mengingatkan Beliau betapa beruntungnya Beliau, tidak saja memiliki keluarga yang sayang dan cinta, tetapi yang mau mengerti dan membimbing Beliau keluar dari kubangan kesedihan saat ayah meninggal dunia, yang selalu mengingatkan Beliau akan setiap anugerah dan karunia yang diberikan Allah kepadanya.
Oleh-oleh renungan terakhir yang saya peroleh dari panti asuhan ini adalah justru di di detik terakhir kunjungan saya. Saya dipaksa oleh rekan-rekan untuk menemui Oma Rossa yang sedari tadi memang minta foto saya karena mau dipajang di dinding kamar perawatannya. Kamar perawatan adalah untuk mereka yang sudah tidak mampu mengurus dirinya sendiri dan dijaga segara bergiliran 24 jam oleh suster dan dokter muda. Ruangan ini paling saya "hindari" karena kondisi mereka yang parah dan sangat menyedot energi. Di sinilah tinggal sebagian besar mereka yang usianya mencapai rekor. Ada yang berusia 99 tahun yang meskipun badan tak kuat lagi, tapi pikirannya masih menyala terang. Salah seorang penghuni bangsal ini yang menempati tempat tidur paling dekat pintu bertanya kami dari mana. Salah seorang rekan menjawab dari Inke Maris. Lalu terjadilah pembicaraan berikut :
Oma : Inke Maris itu apa?
IMA : perusahaan konsultan kehumasan, Oma.
Lalu kami menjelaskan secara singkat lingkup kerja kami. Respons si Oma:
Jadi, setelah kunjungan ini lalu apa? Mau disiarkan?
Skakmat! Iya ya, setelah kunjungan ini, apa tindaklanjutnya? Karena setelah kami pulang, mereka kembali pada rutinitasnya dan kami kembali pada dunia kami sendiri. Jangan-jangan mereka berpikir mereka ini cuma bagian dari sebuah pertunjukan, yang kalau sudah selesai, memberikan rasa puas dan serasa berbuat sesuatu kepada si pengunjung namun tidak berdampak banyak bagi yang dikunjungi kecuali nostalgia dan justru diingatkan akan kebutuhan mereka mendapat kasih sayang yang tidak didapat dari keluarganya sendiri dan semakin dikecewakan karena janji-janji palsu berbalut harapan manis kami untuk mau segera datang kembali dengan segera!
Karena tidak bisa menjawab dengan benar dan hanya bergugam tidak berguna, saya lalu bilang, "oooo tidak untuk masuk koran Oma, kami datang untuk berbagi kasih..." kemudian melambaikan tangan dan bilang, "daaaaag Omaaaaa. Selamat Natal dan Tahun Baru yaaaa. Tuhan Berkati..." lalu pelan-pelan kabur, menghilang lenyap di balik pintu dan menarik napas panjang begitu menghirup udara segar. Rasanya saya ingin mementung kepala saya berkali-kali : tung! tung! tung!
Saya belajar banyak dari Oma Opa. Tapi masih ada satu yang berkecamuk. Sampai huruf ini diketik, saya masih bertanya, "what's next?"
No comments:
Post a Comment