Monday, March 01, 2010

1 Maret 2010: Dedemit

Saya baru saja selesai menonton sebuah film dokumenter yang mengemukakan bagaimana Anna Wintour sang pemimpin redaksi Majalah Vogue Amerika bersama timnya menyelesaikan edisi September. Edisi September dianggap sangat istimewa karena edisi ini menentukan kiprah mode setahun depan. Ibaratnya edisi September ini adalah Januari nya dunia mode.

Menonton film dokumenter ini seperti dejavu menonton film the Devil Wears Prada, bedanya ini lebih bersifat nyata. Anna Wintour adalah sosok dingin di balik gemerlap dunia fashion dunia. Ia adalah dewi yang ditakuti oleh perancang kaliber dunia sekalipun. Pandangan dinginnya mampu mengubah seluruh koleksi musim depan sang perancang yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Dalam mempersiapkan edisi September, ia sudah merancangnya 5 sampai 6 bulan dimuka, dan baru selesai dalam hitungan jam sebelum majalah itu naik cetak. Sebagai pemimpin redaksi, ia ikut secara detil dan menentukan titik koma isi majalah tersebut. Saya kenal berbagai pemimpin redaksi di Indonesia, dan saya yakin tak ada yang sedetil dan seberkuasa itu bekerjanya dibanding Anna. Para direksi pemimpin perusahaanpun manggut-manggut saja melihat hasil karyanya.

Dari sisi internal, Anna jelas-jelas dewanya. Tak peduli biaya yang dikeluarkan sudah sebegitu besarnya untuk sebuah pemotretan, kalau hasilnya ia tak suka, maka koleksi foto yang mahakarya itu pun masuk tong sampah. Ia juga tak mau tahu apakah anak buahnya muntah dan menangis darah karena hasil keringatnya tak masuk hitungan. Yang membuat saya kagum, anak buahnya tahu persis posisi mereka dimana, yaitu mewujudkan dan mencoba menerjemahkan konsep dan ide Anna. Sering kali interpretasi mereka meleset jauh, dan karya mereka begitu saja disapu bersih. Kecewa, marah, berurai air mata tapi tak pernah mendendam.

Di setiap perusahaan, hal itu pasti ada. Dulu, waktu pertama menginjakkan kaki di Matari Advertising, saya tak punya gambaran sama sekali bahwa orang yang pertama kali menjumpai saya saat wawancara adalah Pak Ken Sudarto, yang merupakan pemilik sekaligus orang yang paling ditakuti diseantero kantor. Kalau bisa segera menghindar dan tak cari gara-gara berdekatan dengannya. Saya mengalami frustrasi dan mau mati rasanya atas ide dan kemauan Beliau yang sering tidak masuk akal. Lagu wajib Beliau adalah The Impossible Dream. Tak banyak yang mengerti makna lagu yang hebat itu, namun dari lagu itulah saya tahu apa yang menjadi nilai pegangan Beliau, sekaligus tahu bagaimana harus bersikap menghadapi Beliau. Dari Almarhum Ken Sudarto saya belajar tak ada yang tidak mungkin. Sebuah slogan yang kemudian dihidupkan Adidas dalam tema iklannya beberapa musim lalu : Nothing is Impossible. Impossible is Nothing.

Mantan isteri saya juga pernah bekerja sama di Martha Tilaar, yang juga merupakan orang yang disegani sekaligus ditakuti karena impossible nya Beliau. Saya juga melihat hal yang sama terjadi dengan beberapa pemilik usaha dan pucuk pimpinan lainnya. Orang-orang majalah yang menonton The Devil Wears Prada pun langsung teringat pada pimpinan mereka dan tertawa pahit atas kenyataan sehari-hari mereka yang dibuat fiksi itu.

Di kantor saya, ada empat direksi. Saya rasa, keempat-empatnya dalam taraf tertentu menjadi dedemit di kantor kami. Dan saya adalah salah satunya. Bedanya, dari keempat orang yang berada di pucuk pimpinan, saya adalah satu-satunya yang membangun karir dari nol, sebagai manajemen trainee, sehingga tahu rasanya bagaimana diinjak-injak atasan dengan kemauan yang tidak masuk akal, tapi harus merealsisasikannya seolah-olah permintaannya itu wajar-wajar saja. Kini, ketika saya berkesempatan untuk mewujudkan apa yang ada di otak saya, saya punya kesempatan untuk mengerahkan tim saya untuk menjadikannya nyata, setidak masuk akal apa pun ide di otak saya. Maka lahirlah ide ide yang kemudian dianggap monumental. Ketika partner saya marah marah kenapa mengadakan senam massal 10000 orang di Bunderan HI karena tak bisa menghentikan laju busway, Beliau terdiam saat esok paginya melihat betapa spektakulernya foto dan liputan melautnya ribuan orang itu di landmark ibu kota dalam bentuk headline halaman utama koran utama dan bahkan liputan live headline news di televisi berita utama. That was exactly what I had in mind. Tapi tentu tak semua bisa mengikuti dan membaca pikiran saya, sehingga merasa apa yang saya bayangkan adalah bayangan yang tidak masuk akal.

Melihat film dokumenter "The September Issue" tentang penerbitan edisi September majalah Vogue yang banyak mengulas apa yang dialami dan dirasakan oleh tim Vogue di bawah Anna Wintour membuat saya berkaca pada diri sendiri dan mereka-reka apa yang ada di otak anak buah saya saat saya mewujudkan berbagai ide gila yang kemudian terwujud menjadi nyata. Berjalan pagi sepuluh ribu orang dengan Presiden dan Ibu Negara, Mewujudkan Hari Osteoporosis Nasional, melahirkan Hari Susu Nusantara, Menghadirkan 3000 orang dan 3 orang menteri di kejuaran bulu tangkis usia dini, Menyulap atrium Mall Taman Anggrek menjadi arena bulu tangkis yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk bisa bertanding langsung dengan legenda bulu tangkis dunia, mengadaptasi ide Oprah Winfrey untuk mengedukasi wanita mengenai jins, dan banyak lagi...

Saya menjadi terdiam. Anna Wintour yang sedingin itu menghandle situasi jauh lebih baik dari saya. Saya, kebanyakan marah marah pada anak buah yang tidak bisa menerjemahkan konsep saya dengan baik. Padahal kemungkinan besar bukan salah mereka kalau mereka belum sampai di sana. Mungkin saya tidak berkomunikasi dengan baik, atau saya terlampau kaku menghadapi situasi nyata yang telak-telak tidak bisa 100% mengakomodir keinginan saya. Saya melihat, dengan sikap dinginnya dan kata-katanya yang terus terang tanpa tedeng aling aling, Anna sudah membuat anak buahnya frustrasi, sakit hati, takut, cemas, gregetan, jengkel, berurai air mata. Apa lagi saya yang pakai acara marah-marah dan betingkah tengil menyebalkan. Pakai kata-kata, "Pokoknya....!" lagi. Uuuuh. Anak buah yang mengerti betul karakter saya yang cuma nyeplos dan baik lagi saja, pernah sampai pada puncak toleransinya kembali menghardik saya, dan terjadilah akhirnya adegan saling berteriak. Untung kami dua-duanya bukan orang yang pendendam dan selesai pada saat itu juga dengan saling minta maaf. Saya sekarang tak bisa membayangkan kalau anak buah saya mendendam. Seorang teman pernah berkata, "Kamu tuh ya, ngerti sih kalau kamu eksplosif, marah jeduuuerrr terus langsung selesai dan tidak disimpan di hati, masalahnya, kamunya udah cengar cengir seolah tak pernah terjadi apa-apa, sininya masih dongkol dan sakit hati setengah mati, tauuu!" Padahal, saya ini marahnya pasti karena ada yang tidak benar, dan tidak pernah bermaksud marah kepada pribadi tertentu, just strictly over that particular job and that's it. Tak ada hubungannya dengan hubungan pribadi. Mungkin pola ini saya dapatkan ketika bekerja di perusahaan Amerika dimana saya bisa saling mengotot dan teriak-teriakan bahkan dengan para direktur dan presiden direktur, tapi begitu keluar ruang rapat kami sudah ketawa-ketawa lagi makan dan minum bareng.

Malam ini saya dibukakan mata bahwa ini bukan soal Amerika atau Indonesia. Ini soal menjaga dan menghormati perasaan karyawan yang notabene adalah rekan kerja saya. My team. Saya tahu mereka my dream team, karena mereka selama ini bisa mewujudkan berbagai karya fenomenal. Saya hanya perlu menchallenge mereka, bukan menggerus mereka. Malam ini saya berjanji untuk mengendalikan diri lebih baik. Lebih sebagai seorang motivator, pengarah. Kalau jadinya tidak baik, ya salah saya tidak bisa mengarahkan dengan baik. That's what a director is. Someone who directs, not who dictates. Kalau ada tim kerja saya yang membaca ini, ingatkan saya kalau melenceng ya. That's what friends are for. Selalu ada saat dibutuhkan, dan selalu mengingatkan kalau ada yang melenceng....

No comments: