Saya tengah keliling memilih restaurant untuk santap malam. Ketika tiba di sebuah resto unik yang menawarkan berbagai menu sup sebagai makanan utamanya, saya berhenti melihat-lihat menu. Si petugasnya mengatakan, "Pak, silakan masuk saja ke dalam, Bapak bisa mencicipi menu kami secara langsung kok." Saya setengah tertarik setengah malas dijerat halus seperti itu. Kalau sudah coba kanan kiri, masa iya tega mau bilang tidak jadi! Saya pun menyingkir sambil mengataka terima kasih atas tawarannya. Si Mbak lalu berkata penuh senyum ramah dan tulus, "Terima kasih Pak, ditunggu kedatangannya lain kali ya Pak." Waduh, kalimat itu seperti magnet, terngiang terus di telinga saya. Bukan saja karena saya sangat terkesan atas kesopanan si petugas, tapi juga keramahan yang tampak tak dibuat-buat. Maka, acara keliling dari satu resto ke resto lainnya menjadi terasa kering dan maunya balik lagi ke resto tadi. Akhirnya, pilihan saya berlabuh di resto sup itu. Sebuah keputusan yang tak kalah tepatnya, karena rasa sup nya luar biasa enaknya.
Apa yang membuat kata-kata si Mbak tadi terasa begitu memikat? Terus terang saya merasa jarang mendengar kata-kata yang sangan simpatik dan bersahabat ketika seseorang memutuskan tidak jadi membeli. Ini malah disertai harapan kita kembali lagi di suatu saat untuk mencicipi hidangan yang ada. Saya lalu berpikir, kalau itu kejadiannya di saya bagaimana ya? Selama ini ada calon klien yang cerewetnya setengah mati, di awal sok mau ini dan itu, pada akhirnya mundur teratur karena kekurangan uang. Kalau sudah begini dan sudah dituruti maunya, ubah ini ubah itu dan berakhir tidak jadi, rasanya ya dongkol juga. Saya juga pernah bertemu dengan calon klien yang luar biasa tengilnya, pake mencemoohkan segala, pulang-pulang saya bilang ke manager saya, tidak mau menerima dalam bentuk apa pun si calon klien ini. Dan itu terjadi, sehari kemudian manager Indonesia nya memohon-mohon agar kami mau mempertimbangkan menghandle account nya, tapi tetap saya bergeming, tak sudi meladeni. Dari sekian banyak calon klien yang tidak jadi dan mengingat kembali apa yang dilakukan si mbak tadi, saya akhirnya menyimpulkan apa pun alasan sang calon klien tidak menggunakan jasa saya, sepantasnyalah saya menanggapinya dengan sikap yang positif, penuh sopan santun dari hati yang terdalam, sambil membuang semua unsur sebal. Dari pengalaman malam ini, saya belajar kita tidak pernah tahu ketulusan kita meluluhkan hati sang klien dan berbelok balik kepada kita karena merasa nyaman atas sikap santun kita yang tulus.
Dalam beberapa hari ke depan saya akan bertemu dengan cukup banyak calon klien, sebagian dari luar negeri. Saya merasa hari ini dibekali dengan pengetahuan dan kebijaksanaan yang baru dalam menghadapi klien. Ada kemungkinan waktu yang saya berikan kepada mereka di tengah jadwal yang padat adalah a waste of time, tapi setelah kejadian malam ini, saya belajar bahwa there is never a waste of time when you meet somebody. There is always a golden opportunity in every encounter. Kini saya melihat di setiap perkenalan dan pertemuan selalu saja ada kesempatan terpendam sehingga tidak bisa dilihat sebagai a waste of time. Every encounter is an investment of time. Kalau dilihat dari segi ini, maka pertemuan saya dengan calon-calon klien saya besok adalah sebuah investasi yang berharga, tinggal apakah saya mau mempersiapkannya dengan baik sehingga investasi ini tidak menjadi sia-sia. Kalau misalnya kali ini masih belum berjodoh, siapa tahu, lain kali kami bisa berjodoh. Karena seperti pepatah, kalau jodoh tidak kemana. Selama kita menyambut mereka dengan baik dan tulus dan bersahabat.
Hari ini saya belajar, magnet terbesar dari seseorang adalah bukan hanya dari kebrilianan otaknya atau kekuatan jasanya, tetapi pada kecemerlangan hati, ketulusan sikap dan kesantunan seseorang...
Welcome to the world of Lawrence Tjandra where you celebrate life to its fullest. Come to see places I've been, read the articles published in media and share thoughts and views on diverse issues of life!
Tuesday, November 30, 2010
Monday, November 29, 2010
29 November 2010 : Tokek!
Sifat asli Libra saya sedang kumat : sulit menentukan pilihan. Kalau sudah begini, cukup menyebalkan rasanya. Sebenarnya pilihannya sepele, mau liburan ke Bali atau ke Singapura. Saya sendiri sebenarnya sudah dapat tiket pp ke Singapura, tapi entah kenapa saya kok jadi ingin sekali ke Bali. Dalam saat yang mepet seperti ini, tentu sulit mendapatkan penerbangan dan hotel di Pulau Dewata. Saya sudah melibatkan teman-teman saya yang tobat-tobat mencari hotel buat saya, dan akhirnya saya mendapatkannya. Masih saja hari ini saya diombang-ambingkan pertanyaan : Bali? Spore? Bali? Spore? Sayang tidak ada tokek sehingga saya tidak bisa minta bantuan binatang bersuara berat itu untuk membantu mengambil keputusan!
Akhirnya saya memperoleh kesempatan lengkap untuk ke dua destinasi : tiket pp Bali dan hotel di daerah Kuta yang ramai dan bisa dijelajah kaki dalam hitungan menit namun harganya amazingly murah, serta tiket pp Spore dengan hotel mewah super murah di jantung Orchard! Jam sudah berdetak menuju akhir jam kerja, saya masih terbimbang-bimbang. Dua-dua nya menarik. Saya belum pernah ke Universal Singapura meskipun dua cabang lainnya di Amerika dan Jepang sudah saya sambangi. Tapi saya rindu kesantaian Bali yang sangat memikat. Lagian, kalau dihitung dari biayanya saat high season seperti ini, hampir sama saja, bahkan Bali cenderung lebih mahal! Jadilah saya bingung menentukan pilihan. Sampai akhirnya Tuhan turun tangan menentukan pilihan di ujung tenggat waktu. Saya baru sadar kalau hotel di Singapura tak dapat dibatalkan karena special promo. Ya sudah, berarti liburan kali ini sudah pasti ditentukan ke Singapura!
Hari ini saya belajar sesuatu yang konyol : kalau bingung, siapkan kedua alternatif dengan sebaik-baiknya, dan biarkan Tuhan yang menentukan. Pasti Ia dengan senang hati membantu. Mungkin, kalau saya malas dan membiarkan Tuhan bekerja keras menentukan pilihan, bisa-bisa Ia mutung, alias libur akhir tahun saya berakhir di rumah saja. Tapi karena saya sudah menyiapkan pilihan secara matang, senang-senang saja Ia membantu kita. Jadi, biar bingung, tetap mempersiapkan segala sesuatu kemungkinan dengan baik, sehingga kalau pilihan Tuhan jatuh pada salah satunya, kita akan sama-sama happy nya. So, Universal Singapore, here I come!
Akhirnya saya memperoleh kesempatan lengkap untuk ke dua destinasi : tiket pp Bali dan hotel di daerah Kuta yang ramai dan bisa dijelajah kaki dalam hitungan menit namun harganya amazingly murah, serta tiket pp Spore dengan hotel mewah super murah di jantung Orchard! Jam sudah berdetak menuju akhir jam kerja, saya masih terbimbang-bimbang. Dua-dua nya menarik. Saya belum pernah ke Universal Singapura meskipun dua cabang lainnya di Amerika dan Jepang sudah saya sambangi. Tapi saya rindu kesantaian Bali yang sangat memikat. Lagian, kalau dihitung dari biayanya saat high season seperti ini, hampir sama saja, bahkan Bali cenderung lebih mahal! Jadilah saya bingung menentukan pilihan. Sampai akhirnya Tuhan turun tangan menentukan pilihan di ujung tenggat waktu. Saya baru sadar kalau hotel di Singapura tak dapat dibatalkan karena special promo. Ya sudah, berarti liburan kali ini sudah pasti ditentukan ke Singapura!
Hari ini saya belajar sesuatu yang konyol : kalau bingung, siapkan kedua alternatif dengan sebaik-baiknya, dan biarkan Tuhan yang menentukan. Pasti Ia dengan senang hati membantu. Mungkin, kalau saya malas dan membiarkan Tuhan bekerja keras menentukan pilihan, bisa-bisa Ia mutung, alias libur akhir tahun saya berakhir di rumah saja. Tapi karena saya sudah menyiapkan pilihan secara matang, senang-senang saja Ia membantu kita. Jadi, biar bingung, tetap mempersiapkan segala sesuatu kemungkinan dengan baik, sehingga kalau pilihan Tuhan jatuh pada salah satunya, kita akan sama-sama happy nya. So, Universal Singapore, here I come!
Labels:
'lawrence tjandra',
'plin plan',
libra,
tokek
Sunday, November 28, 2010
28 November 2010 : Gila vs Goblok
Seorang teman saya mengirimkan joke seperti ini:
Seorang sopir kendaraan Bis anter jemput orang gila menghentikan kendaraannya karena ban nya kempes,Waktu sedang menukar ban, si supir nggak sengaja nendang 4 baut ke selokan dan hilang
Dengan paniknya si supir ngomong : Gilaaa.....gimana gue musti masang ini ban kalo nggak ada bautnya....
Salah satu pasien nyaut dari dalem Bis : Bang...copotin aja tuh satu baut dari masing2 tiga roda yang ada.....ntar kalo ada toko baut, tinggal beli deh tuh 4 baut....
Si Supir langsung nyaut : Bener juga loh...tapi kok lo bisa masuk ke rumah sakit Gila sihhh.....
Si Pasien langsung nyaut : HEELLLOWWW,....kita ini GILA tauuk, bukannya GOBLOG kaya LOE...:D :D:)
Sebenarnya saya menerima email ini sejak hari Jumat, tapi karena lucu, saya kemudian memforwardnya kanan kiri bahkan hari ini di mobil saya dan teman-teman membahasnya sambil ketawa ketiwi. Tapi di tengah ketawa ketiwi itu saya kemudian melihat kenyataan pahit atas kebenaran banyolan itu. Iya juga ya, yang tidak beres jiwanya bukan berarti bodoh. Sebuah film berjudul A Beautiful Mind yang diperankan luar biasa baik oleh Russel Crowe menggambarkan seorang jenius yang menderita Schizophren alias berkepribadian ganda. Ia kemudian bisa mengatasi penyimpangan kepribadiannya dan menjadi seorang penerima hadiah Nobel di bidang fisika. Jadi, lelucon tadi memang benar, yang gila belum tentu goblok.
Lelucon itu kemudian membukakan mata saya bahwa sebuah kondisi tertentu tidak lantas berarti kita bisa menyimpulkan seseorang itu kemudian menanggung renteng berbagai artibut lainnya. Saya jadi ingat lagi, seorang paman ibu kos saya saat kuliah dulu tergolong tidak waras, tapi ia sangat santun, Bahasa Indonesianya sangat rapi dan Bahasa Inggrisnya di atas rata-rata. Cuma, ia gila. Suatu saat ia pernah mengukur tinggi badannya dan memberi tanda di tembok, lalu melepas sepatu dan mengukurkan tinggi sepatunya dan dikurangkan dengan tanda tinggi badannya. Ia lalu nyengir dan bilang bahwa tingginya adalah tinggi badan + sepatu - sepatu. Ia juga pernah prihatin terhadap lagu Lionel Richie berjudul "Say You Say Me." Katanya, "Anak sekarang ini Bahasa Inggrisnya hancur ya. Apa tuh "Say You Say Me"? "Kata kamu kata saya" kan gak ada maknanya?" Saat itu saya yang kuliah di jurusan Keguruan Bahasa Inggris lalu tersengat. Iya juga ya? Jadi mana yang bener sih? Yang gila atau yang waras?
Intinya, saya belajar, kekurangan seseorang di satu bidang tidak berarti ia juga kurang di bidang lainnya. Dengan demikian saya belajar menilai bukan dari kekurangannya tapi justru dari kelebihannya...
Seorang sopir kendaraan Bis anter jemput orang gila menghentikan kendaraannya karena ban nya kempes,Waktu sedang menukar ban, si supir nggak sengaja nendang 4 baut ke selokan dan hilang
Dengan paniknya si supir ngomong : Gilaaa.....gimana gue musti masang ini ban kalo nggak ada bautnya....
Salah satu pasien nyaut dari dalem Bis : Bang...copotin aja tuh satu baut dari masing2 tiga roda yang ada.....ntar kalo ada toko baut, tinggal beli deh tuh 4 baut....
Si Supir langsung nyaut : Bener juga loh...tapi kok lo bisa masuk ke rumah sakit Gila sihhh.....
Si Pasien langsung nyaut : HEELLLOWWW,....kita ini GILA tauuk, bukannya GOBLOG kaya LOE...:D :D:)
Sebenarnya saya menerima email ini sejak hari Jumat, tapi karena lucu, saya kemudian memforwardnya kanan kiri bahkan hari ini di mobil saya dan teman-teman membahasnya sambil ketawa ketiwi. Tapi di tengah ketawa ketiwi itu saya kemudian melihat kenyataan pahit atas kebenaran banyolan itu. Iya juga ya, yang tidak beres jiwanya bukan berarti bodoh. Sebuah film berjudul A Beautiful Mind yang diperankan luar biasa baik oleh Russel Crowe menggambarkan seorang jenius yang menderita Schizophren alias berkepribadian ganda. Ia kemudian bisa mengatasi penyimpangan kepribadiannya dan menjadi seorang penerima hadiah Nobel di bidang fisika. Jadi, lelucon tadi memang benar, yang gila belum tentu goblok.
Lelucon itu kemudian membukakan mata saya bahwa sebuah kondisi tertentu tidak lantas berarti kita bisa menyimpulkan seseorang itu kemudian menanggung renteng berbagai artibut lainnya. Saya jadi ingat lagi, seorang paman ibu kos saya saat kuliah dulu tergolong tidak waras, tapi ia sangat santun, Bahasa Indonesianya sangat rapi dan Bahasa Inggrisnya di atas rata-rata. Cuma, ia gila. Suatu saat ia pernah mengukur tinggi badannya dan memberi tanda di tembok, lalu melepas sepatu dan mengukurkan tinggi sepatunya dan dikurangkan dengan tanda tinggi badannya. Ia lalu nyengir dan bilang bahwa tingginya adalah tinggi badan + sepatu - sepatu. Ia juga pernah prihatin terhadap lagu Lionel Richie berjudul "Say You Say Me." Katanya, "Anak sekarang ini Bahasa Inggrisnya hancur ya. Apa tuh "Say You Say Me"? "Kata kamu kata saya" kan gak ada maknanya?" Saat itu saya yang kuliah di jurusan Keguruan Bahasa Inggris lalu tersengat. Iya juga ya? Jadi mana yang bener sih? Yang gila atau yang waras?
Intinya, saya belajar, kekurangan seseorang di satu bidang tidak berarti ia juga kurang di bidang lainnya. Dengan demikian saya belajar menilai bukan dari kekurangannya tapi justru dari kelebihannya...
28 November 2010 : Guilty Pleasure!
Keluar dari studio film malam ini, saya terpuas-puas menonton "Rapunzel" film animasi rilisan Disney yang paling mutakhir. Disney sangat berhasil menghibur saya yang sedang jenuh dengan plintiran cerita yang sangat brilian.
Dari semua adegan yang segar itu, saya mengingat baik adegan dimana Rapunzel melanggar perintah ibunya dan menikmati hidup alam bebas namun pada saat yang bersamaan merasa bersalah melakukan pelanggaran. Di satu sisi nikmatnya bukan main, di sisi lain merasa bersalahnya setengah mati!
Saya sendiri merasa sering di posisi itu. Menikmati kesenangan "nakal" tapi merasa bersalah luar biasa di saat yang sama. Mulai dari yang kecil, sampai yang peringkat khusus dewasa. Mulai dari tahu tidak baik makan durian, kambing dan cumi-cumi karena kadar kolesterol saya yang cukup tinggi, tapi tetap saja bilang, "aaaaaah, dikit aja lagiiii" sampai hal-hal yang sensasinya serupa, tapi tidak untuk dibahas di sini.
Saya lalu melantur dari film. Kalau di film, kelakuan Rapunzel melakukan guilty pleasure itu harus, karena menjadi keputusan kunci yang menggulirkan drama di film tersebut, kenyataan sehari-harinya mengatakan bahwa guilty pleasure yang saya lakukan kadang-kadang bikin runyam, tapi kebanyakan nikmat-nikmat saja dilakukan sepanjang tidak menimbulkan gejolak. Namanya guilty pleasure, tentu saja dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan orang atau pihak yang punya otoritas seperti polisi. Pasangan, orang tua, anak, keluarga ada 4 dari begitu "banyak polisi" dalam hidup kita. Selain itu juga agama, Tuhan. Guilty pleasure menjadi semakin nikmat karena sensasi ketegangannya. Kalau tidak dilarang, maka rasanya akan biasa-biasa saja.
Sayangnya yang namanya guilty pleasure itu menagih. Sekali dilakukan, tak mungkin tidak melakukan lagi. Saya jadi ingat, kalau di film kartun kerap muncul setan dan malaikat yang berusaha "memenangkan" perang batin. Saya sendiri kalau tidak sedang lupa diri, kadang mengatur dan menakar kadar pelanggaran. Saya suka sekali durian, bahkan pernah mabok karena makan 5 durian sendirian saat di Padang. Kini saya mengatasi kegemaran tersebut dengan makan es puter rasa durian yang ada durian atau paling tidak daging durian asli di atasnya. Dengan demikian saya makan cuma paling banyak 1 biji durian, tapi rasanya makan keseluruhan buah durian. Saya juga suka daging kambing. Biasanya kalau ke pesta nikah, yang pertama-tama saya tongkrongi adalah kambing gulingnya. Sekarang masih melakukan yang sama, tapi cuma ambil paling banyak 5 potong kecil untuk mengobati kangen kambing.
Melihat kegelisahan Rapunzel meninggalkan menaranya, saya jadi bertanya, keputusan apa yang sebetulnya tepat dalam menghadapi guilty pleasure? Melakukannya? Menghindarinya? Tanpa sengaja, dari yang saya ceritakan di atas, ternyata saya sudah punya kiat bagaimana mengatasinya. Tetap menikmatinya dalam bentuk pseudo-pleasure. Apa yang saya lakukan itu sebenarnya bukan benar-benar menelan 5 buah durian, tapi mencuri rasanya dari sebutir biji durian saja. Saya juga memakan 5 iris kecil kambing untuk menggantikan gumpalan daging yang biasa saya lahap. Saya melakukan berbagai hal kategori guilty pleasure yang semu, seperti melakukan padahal sebenarnya tidak melakukan. Hal yang sama berlaku untuk "hal-hal" lainnya...
Malam ini saya belajar trik mengubah guilty pleasure menjadi Real Pleasure melalui pseudo-guilty pleasure. Syaratnya : teguh pada peraturan diri sendiri, yaitu tidak tergoda melakukan lebih jauh! Karena kalau melangkah lebih jauh, bisa kejebur jurang ...
Dari semua adegan yang segar itu, saya mengingat baik adegan dimana Rapunzel melanggar perintah ibunya dan menikmati hidup alam bebas namun pada saat yang bersamaan merasa bersalah melakukan pelanggaran. Di satu sisi nikmatnya bukan main, di sisi lain merasa bersalahnya setengah mati!
Saya sendiri merasa sering di posisi itu. Menikmati kesenangan "nakal" tapi merasa bersalah luar biasa di saat yang sama. Mulai dari yang kecil, sampai yang peringkat khusus dewasa. Mulai dari tahu tidak baik makan durian, kambing dan cumi-cumi karena kadar kolesterol saya yang cukup tinggi, tapi tetap saja bilang, "aaaaaah, dikit aja lagiiii" sampai hal-hal yang sensasinya serupa, tapi tidak untuk dibahas di sini.
Saya lalu melantur dari film. Kalau di film, kelakuan Rapunzel melakukan guilty pleasure itu harus, karena menjadi keputusan kunci yang menggulirkan drama di film tersebut, kenyataan sehari-harinya mengatakan bahwa guilty pleasure yang saya lakukan kadang-kadang bikin runyam, tapi kebanyakan nikmat-nikmat saja dilakukan sepanjang tidak menimbulkan gejolak. Namanya guilty pleasure, tentu saja dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan orang atau pihak yang punya otoritas seperti polisi. Pasangan, orang tua, anak, keluarga ada 4 dari begitu "banyak polisi" dalam hidup kita. Selain itu juga agama, Tuhan. Guilty pleasure menjadi semakin nikmat karena sensasi ketegangannya. Kalau tidak dilarang, maka rasanya akan biasa-biasa saja.
Sayangnya yang namanya guilty pleasure itu menagih. Sekali dilakukan, tak mungkin tidak melakukan lagi. Saya jadi ingat, kalau di film kartun kerap muncul setan dan malaikat yang berusaha "memenangkan" perang batin. Saya sendiri kalau tidak sedang lupa diri, kadang mengatur dan menakar kadar pelanggaran. Saya suka sekali durian, bahkan pernah mabok karena makan 5 durian sendirian saat di Padang. Kini saya mengatasi kegemaran tersebut dengan makan es puter rasa durian yang ada durian atau paling tidak daging durian asli di atasnya. Dengan demikian saya makan cuma paling banyak 1 biji durian, tapi rasanya makan keseluruhan buah durian. Saya juga suka daging kambing. Biasanya kalau ke pesta nikah, yang pertama-tama saya tongkrongi adalah kambing gulingnya. Sekarang masih melakukan yang sama, tapi cuma ambil paling banyak 5 potong kecil untuk mengobati kangen kambing.
Melihat kegelisahan Rapunzel meninggalkan menaranya, saya jadi bertanya, keputusan apa yang sebetulnya tepat dalam menghadapi guilty pleasure? Melakukannya? Menghindarinya? Tanpa sengaja, dari yang saya ceritakan di atas, ternyata saya sudah punya kiat bagaimana mengatasinya. Tetap menikmatinya dalam bentuk pseudo-pleasure. Apa yang saya lakukan itu sebenarnya bukan benar-benar menelan 5 buah durian, tapi mencuri rasanya dari sebutir biji durian saja. Saya juga memakan 5 iris kecil kambing untuk menggantikan gumpalan daging yang biasa saya lahap. Saya melakukan berbagai hal kategori guilty pleasure yang semu, seperti melakukan padahal sebenarnya tidak melakukan. Hal yang sama berlaku untuk "hal-hal" lainnya...
Malam ini saya belajar trik mengubah guilty pleasure menjadi Real Pleasure melalui pseudo-guilty pleasure. Syaratnya : teguh pada peraturan diri sendiri, yaitu tidak tergoda melakukan lebih jauh! Karena kalau melangkah lebih jauh, bisa kejebur jurang ...
Saturday, November 27, 2010
26 November 2010 : Pelajar Kehidupan
Teman saya bercerita betapa kasihannya dia dengan sang keponakan yang sedang terkapar sakit terkena radang usus buntu dan harus dioperasi. Si anak berusia 7 tahun, anak pertama dari dua bersaudara hasil perkawinan kakak teman saya dari suami yang terdahulu. Adiknya ikut sang ayah ketika perceraian terjadi. Si Ibu sekarang sudah menikah lagi dan baru saja mempunyai anak kembar. Anak yang dulu? Disingkirkan begitu saja ke kakek neneknya. Ketika dikabari anaknya sakit, ia cuma bilang baru melahirkan dan tak ada biaya. Jadilah kakek nenek dan teman saya urunan untuk membayar biaya pengobatan. Untungnya teman saya smart, ia memasukkan anggota keluarganya ke asuransi.
Saya lalu teringat akan pembahasan saya beberapa hari lalu tentang orang tua durhaka. Saya bilang ke teman saya, kalau besok-besok anaknya menjadi dewasa dan kurang ajar sama orang tuanya, ya jangan salahkan anaknya, karena yang durhaka itu bukan anaknya, tapi orang tuanya!
Karena teman saya berkali-kali bilang kasihan, kasihan, kasihan, lama-lama saya berandai-andai. Saya bilang, kalau dilihat dari kondisinya memang benar kasihan sekali hidupnya. Tapi pernahkah kita terpikir bahwa semua ini tidak kebetulan? Bagaimana kalau kita melihat dari sudut pandang yang tidak biasa, bahwa ia lah yang memilih orang tua seperti yang dipunyainya sekarang untuk memperbaiki peringkat batinnya? Teman saya tidak menangkap maksud saya. Jadilah saya menceritakan perandaian ini dengan lebih detil. Kalau semua kejadian dalam hidup ini bukan kebetulan, berarti kehidupan ini sudah dirancang. Kalau misalnya yang merancang diri kita sendiri, maka kita jugalah yang menentukan tujuan dan pencapaian-pencapaian apa yang harus kita raih dalam hidup ini. Jadi kita jugalah yang dengan sengaja menentukan akan mengadapi cobaan apa dan akan bersinggungan dengan orang-orang berkarakter bagaimana supaya kita mengalami dan dapat mengatasi kesulitan dan rintangan yang kita ciptakan sendiri agar kita bisa memperoleh kemajuan batin yang berarti. Saya lalu berandai, "Kalau seperti itu kejadiannya, dan kalau anak ini memilih kakak kamu jadi ibunya supaya ia belajar unconditional love, apa ya kita masih kasihan. Itu kan proses pembelajaran?" Teman saya terdiam, mungkin dia dalam hati mengamini perandaian saya, tapi bisa juga ia dalam hati mengumpat : nih orang gila juga!
Saya lalu berpikir sendiri. Selama ini kalau ada apa-apa kita ini seringnya merasa yang jadi korban, lalu meratapi diri menangis-nangis dan minta dikasihani. Tak pernahkah kita berpikir bahwa apa yang kita alami ini adalah berbagai situasi yang memang kita ciptakan sendiri agar kita mengalami kemajuan batin sehingga pandangan kita terhadap sebuah musibah atau rintangan berubah drastis dari korban atau obyek penderita menjadi subyek yang mendesain dalam kapasitas sebagai pelajar kehidupan?
Tiba-tiba saya merasa "in charge" terhadap hidup kita. Tidak lagi asal kasihan, terutama pada diri sendiri, karena kalau dari sudut pandang itu, saya lah yang punya kendali dalam hidup : mau maju dan belajar supaya saya "lulus" dan "naik kelas"! Jadi, mulai sekarang : Tantangan Hidup? Siapa Takut!
Saya lalu teringat akan pembahasan saya beberapa hari lalu tentang orang tua durhaka. Saya bilang ke teman saya, kalau besok-besok anaknya menjadi dewasa dan kurang ajar sama orang tuanya, ya jangan salahkan anaknya, karena yang durhaka itu bukan anaknya, tapi orang tuanya!
Karena teman saya berkali-kali bilang kasihan, kasihan, kasihan, lama-lama saya berandai-andai. Saya bilang, kalau dilihat dari kondisinya memang benar kasihan sekali hidupnya. Tapi pernahkah kita terpikir bahwa semua ini tidak kebetulan? Bagaimana kalau kita melihat dari sudut pandang yang tidak biasa, bahwa ia lah yang memilih orang tua seperti yang dipunyainya sekarang untuk memperbaiki peringkat batinnya? Teman saya tidak menangkap maksud saya. Jadilah saya menceritakan perandaian ini dengan lebih detil. Kalau semua kejadian dalam hidup ini bukan kebetulan, berarti kehidupan ini sudah dirancang. Kalau misalnya yang merancang diri kita sendiri, maka kita jugalah yang menentukan tujuan dan pencapaian-pencapaian apa yang harus kita raih dalam hidup ini. Jadi kita jugalah yang dengan sengaja menentukan akan mengadapi cobaan apa dan akan bersinggungan dengan orang-orang berkarakter bagaimana supaya kita mengalami dan dapat mengatasi kesulitan dan rintangan yang kita ciptakan sendiri agar kita bisa memperoleh kemajuan batin yang berarti. Saya lalu berandai, "Kalau seperti itu kejadiannya, dan kalau anak ini memilih kakak kamu jadi ibunya supaya ia belajar unconditional love, apa ya kita masih kasihan. Itu kan proses pembelajaran?" Teman saya terdiam, mungkin dia dalam hati mengamini perandaian saya, tapi bisa juga ia dalam hati mengumpat : nih orang gila juga!
Saya lalu berpikir sendiri. Selama ini kalau ada apa-apa kita ini seringnya merasa yang jadi korban, lalu meratapi diri menangis-nangis dan minta dikasihani. Tak pernahkah kita berpikir bahwa apa yang kita alami ini adalah berbagai situasi yang memang kita ciptakan sendiri agar kita mengalami kemajuan batin sehingga pandangan kita terhadap sebuah musibah atau rintangan berubah drastis dari korban atau obyek penderita menjadi subyek yang mendesain dalam kapasitas sebagai pelajar kehidupan?
Tiba-tiba saya merasa "in charge" terhadap hidup kita. Tidak lagi asal kasihan, terutama pada diri sendiri, karena kalau dari sudut pandang itu, saya lah yang punya kendali dalam hidup : mau maju dan belajar supaya saya "lulus" dan "naik kelas"! Jadi, mulai sekarang : Tantangan Hidup? Siapa Takut!
25 November 2010 : The Back Up Plan
Pagi ini saya terbang ke Solo untuk kunjungan kerja selama dua hari. Sebenarnya hati saya cukup deg-deg an mengingat Garuda selama 4 hari belakangan mengalami kekacauan jadwal dan bahkan pembatalan penerbangan yang berawal dari penggantian sistem komputerisasi. Pesawat saya pun sempat tertunda, untungnya cuma 25 menit tapi teman saya yang pergi ke Bali dua hari lalu sempat terjebak berjam-jam, dari jam 9 sampai jam 17. Hal yang sama terjadi pada klien saya yang akan pergi ke Bali, tertunda dari pagi sampai matahari terbenam dengan penundaan berkala yang melelahkan.
Saya sendiri sempat tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi. Memangnya tidak ada masa percobaan terlebih dahulu? Memangnya tidak ada back up plan sama sekali? Apakah Garuda begitu optimis dan arogan nya sampai merasa yakin tidak akan ada hal yang salah saat mengimplementasikan sistem baru?
Kejadian ini menunjukkan bahwa Garuda masih tidak memandang konsumen sebagai prioritas dan hanya menjadi objek saja. Ganti rugi hanya diberikan kepada penerbangan yang dibatalkan, namun mereka yang terlunta-lunta selama berjam-jam tidak mendapat kompensasi lain kecuali makan. Tak pernah diperhitungkan atau dipertimbangkan kerugian calon penumpang atas tertundanya penerbangan melebihi batas toleransi .
Saya sendiri saat ini merasa was was karena begitu ketatnya jadwal kerja saya besok, mulai pagi hingga jadwal kepulangan ke Jakarta jam 18:45. Diperkirakan tiba di Jakarta pukul 19:55 , saya sudah ditunggu acara lain jam 21:00 di pusat kota Jakarta. Kalau sampai sistem Garuda yang baru masih belum beres, saya tak bisa membayangkan bahwa saya gagal hadir di acara malam tersebut.
Tiba-tiba saya bertanya pada diri sendiri : bila saya mempertanyakan keprofesionalan Garuda dalam memikirkan back up plan dan menggantungkan keprofesionalan saya untuk hadir di acara klien di malam hari, lalu apa back up plan saya bila pesawat Garuda saya besok di delay ? Saya terdiam. Mestinya yang paling aman ya saya tidak kemana-mana besok karena acara malam adalah acara yang penting. Tapi sekarang saya ada di Solo, jadi harus ada back up plan. Kini saya sedang menyusun beberapa alternatif pemecahan masalahnya, sehingga bila jadwal kerja besok tak sesuai yang diharapkan, saya masih bisa menyelamatkan muka saya untuk tetap hadir di acara malam.
Saya lalu merasa bahwa back up plan ini tidak hanya sebatas pekerjaan saja, tapi di setiap sisi kehidupan. Semuanya memerlukan back up plan. Artinya, meskipun kita sudah merencanakan yang terbaik, kita juga harus mempersiapkan juga beberapa alternatif bila rencana itu tidak berjalan sesuai yang diinginkan.
Hari ini saya belajar dari Garuda : A winner always prepares back up plans in life!
Saya sendiri sempat tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi. Memangnya tidak ada masa percobaan terlebih dahulu? Memangnya tidak ada back up plan sama sekali? Apakah Garuda begitu optimis dan arogan nya sampai merasa yakin tidak akan ada hal yang salah saat mengimplementasikan sistem baru?
Kejadian ini menunjukkan bahwa Garuda masih tidak memandang konsumen sebagai prioritas dan hanya menjadi objek saja. Ganti rugi hanya diberikan kepada penerbangan yang dibatalkan, namun mereka yang terlunta-lunta selama berjam-jam tidak mendapat kompensasi lain kecuali makan. Tak pernah diperhitungkan atau dipertimbangkan kerugian calon penumpang atas tertundanya penerbangan melebihi batas toleransi .
Saya sendiri saat ini merasa was was karena begitu ketatnya jadwal kerja saya besok, mulai pagi hingga jadwal kepulangan ke Jakarta jam 18:45. Diperkirakan tiba di Jakarta pukul 19:55 , saya sudah ditunggu acara lain jam 21:00 di pusat kota Jakarta. Kalau sampai sistem Garuda yang baru masih belum beres, saya tak bisa membayangkan bahwa saya gagal hadir di acara malam tersebut.
Tiba-tiba saya bertanya pada diri sendiri : bila saya mempertanyakan keprofesionalan Garuda dalam memikirkan back up plan dan menggantungkan keprofesionalan saya untuk hadir di acara klien di malam hari, lalu apa back up plan saya bila pesawat Garuda saya besok di delay ? Saya terdiam. Mestinya yang paling aman ya saya tidak kemana-mana besok karena acara malam adalah acara yang penting. Tapi sekarang saya ada di Solo, jadi harus ada back up plan. Kini saya sedang menyusun beberapa alternatif pemecahan masalahnya, sehingga bila jadwal kerja besok tak sesuai yang diharapkan, saya masih bisa menyelamatkan muka saya untuk tetap hadir di acara malam.
Saya lalu merasa bahwa back up plan ini tidak hanya sebatas pekerjaan saja, tapi di setiap sisi kehidupan. Semuanya memerlukan back up plan. Artinya, meskipun kita sudah merencanakan yang terbaik, kita juga harus mempersiapkan juga beberapa alternatif bila rencana itu tidak berjalan sesuai yang diinginkan.
Hari ini saya belajar dari Garuda : A winner always prepares back up plans in life!
Labels:
'lawrence tjandra',
'the back up plan'
Wednesday, November 24, 2010
24 November 2010 : Wanita
Hari ini saya menghadiri acara L'oreal Indonesia Fellowships for Women in Science 2010, sebuah ajang penghargaan kepada perempuan peneliti Indonesia muda berbakat. Syarat utama mengikuti pemilihan fellows ini adalah wanita peneliti berusia di bawah 37 tahun. Dan ternyata, cukup banyak perempuan peneliti muda yang mengikuti program ini dengan proposal penelitian yang mengagumkan dan dapat mengharumkan nama Indonesia.
Dalam pidatonya, Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh mengatakan ajang ini adalah ajang diskriminasi yang bersifat positif. Mengapa harus dikhususkan untuk wanita saja? Padahal nasib peneliti Indonesia secara keseluruhan - tidak hanya wanita - juga membutuhkan perhatian. Saya lalu berpikir, iya ya, mengapa ada kata-kata emansipasi wanita? Mengapa kesetaraan gender menjadi issue yang masih terus diperjuangkan? Bukankah sekarang sudah abad ke 21 dimana zaman sudah berubah dan wanita sudah memegang peran setara dengan pria di bidang-bidang yang tak pernah terbayang sebelumnya?
Ternyata kesetaraan hak antar gender memang belum seindah yang dibayangkan orang. Sekarang ini kita melihat wanita menjadi pemimpin negara, menjadi pejabat kunci di pemerintahan, di parlemen, sampai menjadi pimpinan puncak perusahaan besar. Cendekiawan wanita juga tak kalah berkibarnya. Namun itu hanya pucuknya saja. Selebihnya keberadaan wanita masih tertinggal jauh karena dominasi kaum pria, dan karena budaya mendahulukan kaum pria inilah, kaum wanitanya juga maklum saja diperlakukan tidak adil oleh pria.
Terlepas dari perlunya perjuangan menyetarakan hak, saya sebetulnya mempertanyakan mengapa wanita diperlakukan seperti ratu dan pria diminta untuk mengalah. Kalau tidak mengalah, artinya tidak gentlemen. Mau bukti? Kalau di bis ada wanita berdiri, maka pria diminta untuk memberikan tempat duduknya bagi si wanita. Katanya mau kesetaraan gender, tetapi mengapa untuk hal yang begini ini tidak mau disetarakan?
Sekarang ini perjuangan kesetaraan gender lebih menuntut hak seperti apa yang diperoleh kaum pria, namun untuk hak-hak istimewa yang diperoleh wanita karena warisan budaya seperti budaya mendahulukan wanita, maunya tetap dipertahankan. Maka saya merasa bahwa yang harus diperjuangkan kaum perempuan bukan soal emansipasi yang selama ini sering salah kaprah, tapi soal kesetaraan kesempatan. Selebihnya, yang benar adalah persaingan sehat antar pria dan wanita. Kalau wanitanya bisa menunjukkan kemampuan yang lebih baik dan mendapat kesempatan yang sama, niscaya ia akan keluar sebagai pemenang, bukan karena ia wanita, tapi karena secara kualitas unggul.
Kalau sampai terjadi pengkhususan seperti yang dilakukan L'oreal dan Unesco, itu rasanya karena saat ini kita masih ditaraf mengedukasi masyarakat untuk meniadakan kepincangan kesempatan karena batasan-batasan budaya yang membedakan antara peran pria dan wanita.
Melalui keunggulan kualitas pemikiran dan ketekunan para perempuan peneliti, hari ini saya belajar untuk mengabaikan semua atribut yang menempel dari diri seseorang - apakah dia pria atau wanita, kaya atau miskin, cantik atau jelek - dan lebih fokus kepada kualitas pribadinya. Bukankah semua orang telanjang di hadapan Tuhan? Dalam ketelanjangan itulah tercermin keunggulan pribadinya.
Dalam pidatonya, Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh mengatakan ajang ini adalah ajang diskriminasi yang bersifat positif. Mengapa harus dikhususkan untuk wanita saja? Padahal nasib peneliti Indonesia secara keseluruhan - tidak hanya wanita - juga membutuhkan perhatian. Saya lalu berpikir, iya ya, mengapa ada kata-kata emansipasi wanita? Mengapa kesetaraan gender menjadi issue yang masih terus diperjuangkan? Bukankah sekarang sudah abad ke 21 dimana zaman sudah berubah dan wanita sudah memegang peran setara dengan pria di bidang-bidang yang tak pernah terbayang sebelumnya?
Ternyata kesetaraan hak antar gender memang belum seindah yang dibayangkan orang. Sekarang ini kita melihat wanita menjadi pemimpin negara, menjadi pejabat kunci di pemerintahan, di parlemen, sampai menjadi pimpinan puncak perusahaan besar. Cendekiawan wanita juga tak kalah berkibarnya. Namun itu hanya pucuknya saja. Selebihnya keberadaan wanita masih tertinggal jauh karena dominasi kaum pria, dan karena budaya mendahulukan kaum pria inilah, kaum wanitanya juga maklum saja diperlakukan tidak adil oleh pria.
Terlepas dari perlunya perjuangan menyetarakan hak, saya sebetulnya mempertanyakan mengapa wanita diperlakukan seperti ratu dan pria diminta untuk mengalah. Kalau tidak mengalah, artinya tidak gentlemen. Mau bukti? Kalau di bis ada wanita berdiri, maka pria diminta untuk memberikan tempat duduknya bagi si wanita. Katanya mau kesetaraan gender, tetapi mengapa untuk hal yang begini ini tidak mau disetarakan?
Sekarang ini perjuangan kesetaraan gender lebih menuntut hak seperti apa yang diperoleh kaum pria, namun untuk hak-hak istimewa yang diperoleh wanita karena warisan budaya seperti budaya mendahulukan wanita, maunya tetap dipertahankan. Maka saya merasa bahwa yang harus diperjuangkan kaum perempuan bukan soal emansipasi yang selama ini sering salah kaprah, tapi soal kesetaraan kesempatan. Selebihnya, yang benar adalah persaingan sehat antar pria dan wanita. Kalau wanitanya bisa menunjukkan kemampuan yang lebih baik dan mendapat kesempatan yang sama, niscaya ia akan keluar sebagai pemenang, bukan karena ia wanita, tapi karena secara kualitas unggul.
Kalau sampai terjadi pengkhususan seperti yang dilakukan L'oreal dan Unesco, itu rasanya karena saat ini kita masih ditaraf mengedukasi masyarakat untuk meniadakan kepincangan kesempatan karena batasan-batasan budaya yang membedakan antara peran pria dan wanita.
Melalui keunggulan kualitas pemikiran dan ketekunan para perempuan peneliti, hari ini saya belajar untuk mengabaikan semua atribut yang menempel dari diri seseorang - apakah dia pria atau wanita, kaya atau miskin, cantik atau jelek - dan lebih fokus kepada kualitas pribadinya. Bukankah semua orang telanjang di hadapan Tuhan? Dalam ketelanjangan itulah tercermin keunggulan pribadinya.
Tuesday, November 23, 2010
23 November 2010 : Terjerat Teman
Malam ini saya curhat mengenai sesuatu yang sudah mengganggu saya berminggu-minggu kepada seorang teman. Kali ini, curhatan saya adalah soal group bbm. Alkisah saya menjadi anggota kelompok bbm yang berisi teman-teman dekat di luar lingkup kerja. Karena di luar pekerjaan, yang dibahas di bbm adalah hal remeh temeh yang enak dinikmati di kala santai, tapi jadi "nerve-breaking" alias naik darah di jam-jam kerja. Masalahnya "obrolan" mereka berlangsung 24 jam dan datangnya bertubi-tubi. Tadinya saya enjoy, lama-lama jadi stress dan mau marah sendiri ketika lampu merah bbm berkedip-kedip di kala saya sedang konsentrasi kerja, atau diskusi dan meeting, dan ternyata yang diobrolkan sangat tidak penting!
Sebenarnya saya sudah mengadu sampai tobat-tobat kepada seorang kerabat muda yang kebetulan berlatar belakang teknologi informasi. Saya bilang, apa saya keluar saja ya dari grup itu? Dia bilang, kalau keluar dari grup begitu saja tidak enak, karena akan ketahuan. Jadi kalau mau keluar harus pamit. Saya bilang, pamit? tak mungkin lah, bisa sakit hati semua mereka! Lagian mereka ini teman-teman baik saya. Kerabat saya kemudian mengusulkan ide cemerlang. Ia meminjam blackberry saya dan dalam sekejap utak utiknya menghasilkan solusi cerdas : obrolan bbm group nya tetap masuk, tapi tidak ada lampu yang berkedip ketika saya diserbu pesan remeh temeh mereka. Saya baru membukanya ketika saya ingin membuka, dan dengan demikian saya tetap bisa menikmati obrolan ringan dengan teman-teman saya, di saat yang saya inginkan.
Dari grup bbm ini saya belajar :
1. kedekatan dengan teman memang hal yang menyenangkan, tapi terlalu sering berkumpul dengan teman bisa jadi masalah sendiri. Dalam hal saya, kedekatan dan keseringan ini terwujud dalam bentuk chatting bertubi-tubi yang tak kenal siang malam, seolah teman-teman saya tak pernah tidur.
2. Pertemanan itu indah, namun pertemanan yang terlalu erat membuat kabur berbagai batasan-batasan yang seharusnya tetap ada. Pertemanan yang terlalu dekat itu bagaikan candu, inginnya apa-apa ada dia, dan apa-apa diceritakan dengan dia padahal tidak semuanya "bisa" diceritakan. Dengan adanya grup bbm ini, seolah ajang curhat kita menjadi "borderless" alias tanpa batas. Semua teman bisa melihat, membaca dan mengetahui secara "real-time" apa yang sedang saya rasakan, pikirkan, dan alami. Mau itu yang sifatnya baik dan positif atau yang sifatnya buruk dan berdampak gosip. Pertemanan seperti ini justru membuat orang-orang yang secara fisik dekat menjadi termarjinalkan. Tanpa sadar kita lebih mementingkan teman-teman kita dari keluarga terdekat bahkan pasangan kita. Kedekatan teknologi sering membuat kita rancu, mana yang seharusnya menjadi prioritas kita. Seperti yang pernah saya bahas di blog ini, saya pun kemarin melihat di sebuah mobil yang sedang berhenti karena lampu merah, sepasang suami isteri duduk bersebelahan, namun dua-duanya di dunia yang berbeda karena masing-masing sibuk dengan BB nya.
Saat ini saya mengalami dan menyadari bahwa tujuan membuat grup yang mestinya menjadi perekat antar pribadi, pada akhirnya justru punya potensi besar menjadi penyebab utama terpecahnya kesatuan ikatan. Maksudnya, bubar dengan pasangan dan keluarga karena terjerat kedekatan dengan teman.
Maka malam ini saya belajar, kita harus menjadi nakhoda hidup kita sendiri. Dalam hal bbm grouping, saya belajar bahwa kita harus bisa mengontrol teknologi, dan kita harus bisa mengontrol prioritas serta kedekatan kita dengan pihak-pihak yang bersinggungan dalam hidup kita. Jangan sampai mau tidur yang diberi ucapan good night terakhir adalah teman kita, dan saat bangun yang mendapat ucapan good morning pertama adalah teman kita juga, yang ironisnya berjarak puluhan kilometer sedang pasangan di sebelah kita cuekin saja ...
Sebenarnya saya sudah mengadu sampai tobat-tobat kepada seorang kerabat muda yang kebetulan berlatar belakang teknologi informasi. Saya bilang, apa saya keluar saja ya dari grup itu? Dia bilang, kalau keluar dari grup begitu saja tidak enak, karena akan ketahuan. Jadi kalau mau keluar harus pamit. Saya bilang, pamit? tak mungkin lah, bisa sakit hati semua mereka! Lagian mereka ini teman-teman baik saya. Kerabat saya kemudian mengusulkan ide cemerlang. Ia meminjam blackberry saya dan dalam sekejap utak utiknya menghasilkan solusi cerdas : obrolan bbm group nya tetap masuk, tapi tidak ada lampu yang berkedip ketika saya diserbu pesan remeh temeh mereka. Saya baru membukanya ketika saya ingin membuka, dan dengan demikian saya tetap bisa menikmati obrolan ringan dengan teman-teman saya, di saat yang saya inginkan.
Dari grup bbm ini saya belajar :
1. kedekatan dengan teman memang hal yang menyenangkan, tapi terlalu sering berkumpul dengan teman bisa jadi masalah sendiri. Dalam hal saya, kedekatan dan keseringan ini terwujud dalam bentuk chatting bertubi-tubi yang tak kenal siang malam, seolah teman-teman saya tak pernah tidur.
2. Pertemanan itu indah, namun pertemanan yang terlalu erat membuat kabur berbagai batasan-batasan yang seharusnya tetap ada. Pertemanan yang terlalu dekat itu bagaikan candu, inginnya apa-apa ada dia, dan apa-apa diceritakan dengan dia padahal tidak semuanya "bisa" diceritakan. Dengan adanya grup bbm ini, seolah ajang curhat kita menjadi "borderless" alias tanpa batas. Semua teman bisa melihat, membaca dan mengetahui secara "real-time" apa yang sedang saya rasakan, pikirkan, dan alami. Mau itu yang sifatnya baik dan positif atau yang sifatnya buruk dan berdampak gosip. Pertemanan seperti ini justru membuat orang-orang yang secara fisik dekat menjadi termarjinalkan. Tanpa sadar kita lebih mementingkan teman-teman kita dari keluarga terdekat bahkan pasangan kita. Kedekatan teknologi sering membuat kita rancu, mana yang seharusnya menjadi prioritas kita. Seperti yang pernah saya bahas di blog ini, saya pun kemarin melihat di sebuah mobil yang sedang berhenti karena lampu merah, sepasang suami isteri duduk bersebelahan, namun dua-duanya di dunia yang berbeda karena masing-masing sibuk dengan BB nya.
Saat ini saya mengalami dan menyadari bahwa tujuan membuat grup yang mestinya menjadi perekat antar pribadi, pada akhirnya justru punya potensi besar menjadi penyebab utama terpecahnya kesatuan ikatan. Maksudnya, bubar dengan pasangan dan keluarga karena terjerat kedekatan dengan teman.
Maka malam ini saya belajar, kita harus menjadi nakhoda hidup kita sendiri. Dalam hal bbm grouping, saya belajar bahwa kita harus bisa mengontrol teknologi, dan kita harus bisa mengontrol prioritas serta kedekatan kita dengan pihak-pihak yang bersinggungan dalam hidup kita. Jangan sampai mau tidur yang diberi ucapan good night terakhir adalah teman kita, dan saat bangun yang mendapat ucapan good morning pertama adalah teman kita juga, yang ironisnya berjarak puluhan kilometer sedang pasangan di sebelah kita cuekin saja ...
Monday, November 22, 2010
22 November 2010 : Orang Tua Durhaka
Membaca tulisan Samuel Mulia hari Minggu kemarin yang bercerita bahwa saat ia bekerja sambil kuliah dan menabung uang agar bisa membelikan ayahnya kue, respon ayahnya di luar dugaan dengan mengatakan bahwa uang itu seharusnya ditabung - mengingatkan saya pada diskusi yang kami lakukan saat kumpul-kumpul santai di apartemen Samuel Mulia sambil makan malam Senin lalu. Ia bercerita kalau ia sakit hati. Tidak bisakah ayahnya menghargai jerih payah seorang anak dalam mengekspresikan cinta dan bakti kepada orang tuanya? Ia lalu bertanya, "selama ini ada anak durhaka, apakah ada istilah orang tua durhaka?"
Saya berpikir selama seminggu ini, "Iya ya, kenapa tidak ada istilah orang tua durhaka? Selama ini selalu digambarkan bahwa surga adanya di telapak kaki ibu, atau orang tua. Selama ini orang tua selalu digambarkan sebagai seorang suci. Tak ada di kamus orang tua memerkosa anaknya, menjual anaknya dan mengeksploitasi anaknya. Hari ini adalah hari kesekian hebohnya seorang artis muda, Arumi, yang melarikan diri karena menurut versinya, ia dijodohkan kepada seorang pemuda asal Kudus dan dipaksa menemani berlibur hingga ke Singapura, sekamar di hotel. Kalau benar kejadiannya seperti itu, orang tua macam apa ayah ibunya?
Budaya kita menempatkan orang tua sebagai orang yang harus kita hormati, cintai, pelabuhan bakti kita, no matter what. Dalam bayangan kebanyakan orang, orang tua adalah seorang yang menjadi panutan dan sempurna. Begitu sempurnanya pencitraan orang tua sehingga kita tidak pernah mengasosiasikan mereka dengan perbuatan yang tidak pada tempatnya. Saya pernah bereksperimen dan menanyakan kepada teman-teman dekat saya, "pernah nggak kamu terpikir atau membayangkan orang tua kamu having sex?" Semua menjawab, "pertanyaan macam apa itu? Of course nggak pernah!" Saya lalu melanjutkan, "kalau mereka tidak having sex, lha kamu asalnya dari mana?" Mereka tertegun, "iya, ya." Saya juga pernah menceramahi teman saya yang sangat anti ayahnya menikah lagi setelah ibunya meninggal dunia. Saya bilang, "kamu pikir ayah kamu itu nggak butuh seks? Nggak butuh sharing? Nggak butuh hiburan? Make no mistakes, your parents also does all the crazy things that we do!" Kita tidak pernah memikirkan bahwa orang tua kita adalah orang biasa juga. Yang gemar makan, hiburan dan bergaul. Tak ada yang salah kan kalau orang tua kita juga main twitter dan foursquare?
Saya sendiri senang berkumpul dengan teman-teman sekolah yang sekarang sudah jadi bapak-bapak dan ibu-ibu beranak remaja, bahkan ada yang sudah kuliah. Saat berkumpul kami semua tetap berlagak seperti anak sekolah puluhan tahun lalu. Pernahkah terbersit di otak kita bahwa orang tua kita juga memerlukan dan melakukan kegiatan yang sama? Selama ini kita di brainwash bahwa orang tua itu hanya melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan orang tua : Pengayom, Pemberi cinta kasih, Pelindung, Penyayang, Pembimbing. Selama ini kita sering protes bahwa orang tua kita terlalu menuntut kita untuk berlaku ini dan itu. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa kita juga melakukan tuntutan yang tak kalah beratnya kepada orang tua kita? Bahwa orang tua kita harus berlaku begini begitu. Termasuk menuntut mereka untuk bisa memahami jerih payah kita mengekspresikan cinta kasih kita melalui sepotong kue? Kalau kita bisa berteori bahwa semua orang menyatakan dan mengekpresikan diri dan perasaannya melalui caranya masing-masing, mengapa orang tua kita tidak boleh melakukan hal yang sama?
Tiba-tiba saya kasihan dengan orang tua. Mereka dibebani begitu banyak kewajiban. Di samping tanggung jawabnya kepada keluarga, mereka juga dituntut berperilaku sempurna. Di sisi lain, mereka tetap memiliki kebutuhan jasmani dan rohani bagi dirinya sendiri dan pasangan hidupnya. Begitu kompleksnya peran yang harus dimainkan orang tua. Jadi orang tua itu sama sekali tidak mudah. Tapi tak pernah sekalipun anak diberi wawasan tentang rumitnya peran orang tua. Sebagai anak, kerjanya kita mengeluh saja atas ketidakbecusan orang tua kita memerankan tugasnya.
Malam ini saya menjawab pertanyaan Sam dalam hati : ada saja orang tua durhaka, dan itu terjadi karena orang tua adalah manusia biasa. Kalau mereka juga manusia biasa, tentu kita akan maklum juga atas kelebihan dan kekurangannya, termasuk hasrat-hasrat kemanusiawiannya - semua hal yang kita rasakan dan alami, juga dirasakan dan dialami orang tua kita. Dengan perspektif ini, saya melihat orang tua dari sisi yang berbeda : tidak lagi orang tua yang otoriter dan yang harus selalu dituruti mau nya, tapi orang tua yang manusiawi, yang bisa berlaku benar, tapi juga bisa terjebak salah ... Saya teringat dalam diskusi kita Senin kemarin, seorang teman bercerita bagaimana ia merasa kesal terhadap sikap ayahnya yang membuatnya justru memberontak. Tapi, saya juga teringat seorang teman perempuan saya yang bercerita ketika puluhan tahun lalu pulang sekolah mendapati ayahnya sedang bercinta dengan wanita lain di kamar tidur dan membuatnya shock. Setelah ia bisa menguasai diri, ia berkata, "Papi, saya tidak akan memberitahu Mami apa yang telah Papi lakukan, asal Papi tidak mengulangi lagi perbuatan tadi." Sang ayah lalu mohon maaf dan sejak itu Beliau insaf dan menjadi seorang ayah sejati bagi keluarganya. Saya mau seperti teman perempuan saya itu. Saya mau menerima dan mencintai orang tua saya apa adanya, dan menjadi pribadi yang justru menjadikan segala sesuatunya menjadi (lebih) baik ketika kesalahan terjadi.
Mami, Papi, sekarang saya mengerti kalian dengan lebih baik. Di luar segala kekurangan kalian menjadi orang tua, saya sungguh salut atas pencapaian kalian selama ini dalam menjalankan peran sebagai orang tua mendidik lima anak yang memiliki watak dan kepribadian yang berlainan, dengan hasil yang relatif luar biasa. I love you even more today.
Saya berpikir selama seminggu ini, "Iya ya, kenapa tidak ada istilah orang tua durhaka? Selama ini selalu digambarkan bahwa surga adanya di telapak kaki ibu, atau orang tua. Selama ini orang tua selalu digambarkan sebagai seorang suci. Tak ada di kamus orang tua memerkosa anaknya, menjual anaknya dan mengeksploitasi anaknya. Hari ini adalah hari kesekian hebohnya seorang artis muda, Arumi, yang melarikan diri karena menurut versinya, ia dijodohkan kepada seorang pemuda asal Kudus dan dipaksa menemani berlibur hingga ke Singapura, sekamar di hotel. Kalau benar kejadiannya seperti itu, orang tua macam apa ayah ibunya?
Budaya kita menempatkan orang tua sebagai orang yang harus kita hormati, cintai, pelabuhan bakti kita, no matter what. Dalam bayangan kebanyakan orang, orang tua adalah seorang yang menjadi panutan dan sempurna. Begitu sempurnanya pencitraan orang tua sehingga kita tidak pernah mengasosiasikan mereka dengan perbuatan yang tidak pada tempatnya. Saya pernah bereksperimen dan menanyakan kepada teman-teman dekat saya, "pernah nggak kamu terpikir atau membayangkan orang tua kamu having sex?" Semua menjawab, "pertanyaan macam apa itu? Of course nggak pernah!" Saya lalu melanjutkan, "kalau mereka tidak having sex, lha kamu asalnya dari mana?" Mereka tertegun, "iya, ya." Saya juga pernah menceramahi teman saya yang sangat anti ayahnya menikah lagi setelah ibunya meninggal dunia. Saya bilang, "kamu pikir ayah kamu itu nggak butuh seks? Nggak butuh sharing? Nggak butuh hiburan? Make no mistakes, your parents also does all the crazy things that we do!" Kita tidak pernah memikirkan bahwa orang tua kita adalah orang biasa juga. Yang gemar makan, hiburan dan bergaul. Tak ada yang salah kan kalau orang tua kita juga main twitter dan foursquare?
Saya sendiri senang berkumpul dengan teman-teman sekolah yang sekarang sudah jadi bapak-bapak dan ibu-ibu beranak remaja, bahkan ada yang sudah kuliah. Saat berkumpul kami semua tetap berlagak seperti anak sekolah puluhan tahun lalu. Pernahkah terbersit di otak kita bahwa orang tua kita juga memerlukan dan melakukan kegiatan yang sama? Selama ini kita di brainwash bahwa orang tua itu hanya melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan orang tua : Pengayom, Pemberi cinta kasih, Pelindung, Penyayang, Pembimbing. Selama ini kita sering protes bahwa orang tua kita terlalu menuntut kita untuk berlaku ini dan itu. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa kita juga melakukan tuntutan yang tak kalah beratnya kepada orang tua kita? Bahwa orang tua kita harus berlaku begini begitu. Termasuk menuntut mereka untuk bisa memahami jerih payah kita mengekspresikan cinta kasih kita melalui sepotong kue? Kalau kita bisa berteori bahwa semua orang menyatakan dan mengekpresikan diri dan perasaannya melalui caranya masing-masing, mengapa orang tua kita tidak boleh melakukan hal yang sama?
Tiba-tiba saya kasihan dengan orang tua. Mereka dibebani begitu banyak kewajiban. Di samping tanggung jawabnya kepada keluarga, mereka juga dituntut berperilaku sempurna. Di sisi lain, mereka tetap memiliki kebutuhan jasmani dan rohani bagi dirinya sendiri dan pasangan hidupnya. Begitu kompleksnya peran yang harus dimainkan orang tua. Jadi orang tua itu sama sekali tidak mudah. Tapi tak pernah sekalipun anak diberi wawasan tentang rumitnya peran orang tua. Sebagai anak, kerjanya kita mengeluh saja atas ketidakbecusan orang tua kita memerankan tugasnya.
Malam ini saya menjawab pertanyaan Sam dalam hati : ada saja orang tua durhaka, dan itu terjadi karena orang tua adalah manusia biasa. Kalau mereka juga manusia biasa, tentu kita akan maklum juga atas kelebihan dan kekurangannya, termasuk hasrat-hasrat kemanusiawiannya - semua hal yang kita rasakan dan alami, juga dirasakan dan dialami orang tua kita. Dengan perspektif ini, saya melihat orang tua dari sisi yang berbeda : tidak lagi orang tua yang otoriter dan yang harus selalu dituruti mau nya, tapi orang tua yang manusiawi, yang bisa berlaku benar, tapi juga bisa terjebak salah ... Saya teringat dalam diskusi kita Senin kemarin, seorang teman bercerita bagaimana ia merasa kesal terhadap sikap ayahnya yang membuatnya justru memberontak. Tapi, saya juga teringat seorang teman perempuan saya yang bercerita ketika puluhan tahun lalu pulang sekolah mendapati ayahnya sedang bercinta dengan wanita lain di kamar tidur dan membuatnya shock. Setelah ia bisa menguasai diri, ia berkata, "Papi, saya tidak akan memberitahu Mami apa yang telah Papi lakukan, asal Papi tidak mengulangi lagi perbuatan tadi." Sang ayah lalu mohon maaf dan sejak itu Beliau insaf dan menjadi seorang ayah sejati bagi keluarganya. Saya mau seperti teman perempuan saya itu. Saya mau menerima dan mencintai orang tua saya apa adanya, dan menjadi pribadi yang justru menjadikan segala sesuatunya menjadi (lebih) baik ketika kesalahan terjadi.
Mami, Papi, sekarang saya mengerti kalian dengan lebih baik. Di luar segala kekurangan kalian menjadi orang tua, saya sungguh salut atas pencapaian kalian selama ini dalam menjalankan peran sebagai orang tua mendidik lima anak yang memiliki watak dan kepribadian yang berlainan, dengan hasil yang relatif luar biasa. I love you even more today.
Sunday, November 21, 2010
21 November 2010 : Mengejar Fenomena
Saya sangat menikmati bagian pertama serial film terakhir Harry Potter. Yang katanya perlu mengantri-antri, saya mendapatkan dengan mudah dengan layar besar pula. Menurut saya film ini adalah yang terbaik dari ke tujuh film Harry Potter yang pernah ada sehingga saya tak sabar menanti bagian keduanya di bulan Juli tahun depan.
Harry Potter adalah karya fenomenal J.K. Rowling yang menciptakannya saat ia sedang depresi ditinggal mati ibunya dan bercerai dari suami pertamanya. Ia harus berjuang keras membesarkan puterinya dengan gaji pas-pas annya sebagai seorang sekretaris. Ide Harry Potter muncul dalam perjalanan kereta api dan sejak itu mengalir deraslah alur cerita penyihir muda ini yang menjadikan pengarangnya salah seorang wanita terkaya di dunia.
Dalam sebuah obrolan, Oprah bertanya padanya apakah ia akan terus menulis, dan Jo mengatakan ia tak akan pernah berhenti menulis. Ia bercerita banyak orang yang menanyakan bagaimana ia akan membuat karya yang lebih spektakuler dari Harry Potter, dan bertanya apa yang dilakukan Oprah saat ia berhenti menjalani talkshow nya yang fenomenal. Oprah malah bercerita ia membaca buku riwayat Michael Jackson. Dalam buku itu diceritakan bahwa Michael Jackson tidak pernah menyadari bahwa Thriller adalah sebuah karya fenomenal sehingga seumur hidupnya ia terus berusaha mengejar fenomena. Oprah bilang ia tidak mau menjadi seperti Michael Jackson. Fenomena itu bukan suatu untuk dikejar. Fenomena terjadi karena semua unsur kosmik kehidupan bersinergi bersamaan dan menjadikannya sebuah fenomena. J.K. Rowling membenarkannya. Ia bilang Harry Potter adalah sebuah fase hidupnya. Ia akan tetap berkarya dan berusaha melakukan yang terbaik tanpa membebani diri untuk menjadikan karya terbarunya sebuah fenomena yang melampaui Harry Potter. Baginya sulit untuk mendiskripsikan fenomena Harry Potter. Ia ditolak 12 penerbit sebelum penerbit ke 13 mau menerimanya, itu pun ia mendapat peringatan dari agennya bahwa menulis cerita anak-anak bukanlah cara yang tepat meraup keuntungan. Ide Harry Potter itupun muncul setelah kematian Ibunya. Ia bercerita jika ibunya tidak sakit dan meninggal, belum tentu pernah muncul cerita Harry Potter. Di kesempatan yang berbeda James Cameron bercerita bahwa setelah film fenomenalnya Titanic ia telah membuat sebuah film yang kemudian ditolak oleh berbagai bioskop untuk diputar. Ia tidak menyesalinya. Katanya, meskipun film itu ditolak di pasar, ia tak kecewa karena film itu memenuhi kepuasan batinnya. Baru setelah puluhan tahun kemudian ia dilingkupi dewi fortuna saat salah satu filmnya kembali menjadi fenomena dunia : The Avatar.
Mencerna apa yang didiskusikan Oprah, JK Rowling dan James Cameron, saya kemudian melihat secara flashback kehidupan lalu yang secara unik membawa saya dalam sebuah perjalanan rollercoaster yang sulit dipercaya. Saya lulus Summa Cumlaude padahal saya tidak suka bersekolah. Saya menjadi seorang asisten presiden direktur hanya dalam hitungan kurang dari dua tahun pengalaman kerja. Saya kemudian menjadi bagian dari sebuah perusahaan komunikasi terbesar di usia yang cukup muda. Jejaring kenalan saya luar biasa luasnya : dari tukang jual es duren sampai ke tingkat pengurus negara, sebuah spektrum yang tidak pernah masuk di akal sehat saya. Saya sama sekali tidak termasuk orang yang punya daftar kekayaan yang bisa diperhitungkan, namun saya juga tidak yakin kekayaan batin yang saya peroleh dan alami dalam hidup ini pernah dirasakan oleh mereka yang terkaya sekalipun. But here's the deal : saya berencana menutup bagian hidup profesional saya yang luar biasa ini sepuluh tahun lagi. Di saat itu, saya sudah punya angan-angan akan apa yang akan saya lakukan namun belum tahu bagaimana hasil yang akan terjadi nantinya. Persis seperti apa yang dikatakan Oprah. Ia menganggap bahwa "bab talkshow" yang dijalaninya selama 25 tahun ini adalah sebuah fenomena, dan ia tidak tahu bagaimana hasil bab baru yang akan dibangunnya bersama jaringan televisinya yang baru. Ia tidak mau memasang target bahwa bab barunya harus menjadi fenomena yang lebih besar dari yang sekarang, karena fenomena bukanlah area kekuasaannya. Yang pasti akan dilakukannya adalah tetap berkarya, sebaik mungkin. Di sanalah saya mengerti dan menangkap makna apa yang dikatakan Oprah. Kehidupan saya ini bukan untuk menciptakan fenomena, apalagi menciptakan fenomena yang melampaui fenomena yang pernah saya capai. Kehidupan saya adalah untuk melakukan yang terbaik bagi saya, masyarakat sekitar dan dunia. Kalau apa yang saya lakukan ini kemudian menjadi fenomena, itu adalah hasil karya kosmik kehidupan alias Sang Pencipta.
Saya lalu menceritakan mengenai hal ini kepada seorang kerabat dekat yang dahulu lulus S1 dengan Magna Cum laude. Di S2 nya kini ia sering bertanya pada saya apakah ia bisa mendapat nilai yang lebih baik dari yang terdahulu. Saya bilang, just do your best, God will do the rest. Kalau pun sudah melakukan yang terbaik tapi tidak bisa melebihi yang terdahulu, terimalah dengan tulus ikhlas dan syukurilah. Berarti, it's meant to be (that way) ...
Harry Potter adalah karya fenomenal J.K. Rowling yang menciptakannya saat ia sedang depresi ditinggal mati ibunya dan bercerai dari suami pertamanya. Ia harus berjuang keras membesarkan puterinya dengan gaji pas-pas annya sebagai seorang sekretaris. Ide Harry Potter muncul dalam perjalanan kereta api dan sejak itu mengalir deraslah alur cerita penyihir muda ini yang menjadikan pengarangnya salah seorang wanita terkaya di dunia.
Dalam sebuah obrolan, Oprah bertanya padanya apakah ia akan terus menulis, dan Jo mengatakan ia tak akan pernah berhenti menulis. Ia bercerita banyak orang yang menanyakan bagaimana ia akan membuat karya yang lebih spektakuler dari Harry Potter, dan bertanya apa yang dilakukan Oprah saat ia berhenti menjalani talkshow nya yang fenomenal. Oprah malah bercerita ia membaca buku riwayat Michael Jackson. Dalam buku itu diceritakan bahwa Michael Jackson tidak pernah menyadari bahwa Thriller adalah sebuah karya fenomenal sehingga seumur hidupnya ia terus berusaha mengejar fenomena. Oprah bilang ia tidak mau menjadi seperti Michael Jackson. Fenomena itu bukan suatu untuk dikejar. Fenomena terjadi karena semua unsur kosmik kehidupan bersinergi bersamaan dan menjadikannya sebuah fenomena. J.K. Rowling membenarkannya. Ia bilang Harry Potter adalah sebuah fase hidupnya. Ia akan tetap berkarya dan berusaha melakukan yang terbaik tanpa membebani diri untuk menjadikan karya terbarunya sebuah fenomena yang melampaui Harry Potter. Baginya sulit untuk mendiskripsikan fenomena Harry Potter. Ia ditolak 12 penerbit sebelum penerbit ke 13 mau menerimanya, itu pun ia mendapat peringatan dari agennya bahwa menulis cerita anak-anak bukanlah cara yang tepat meraup keuntungan. Ide Harry Potter itupun muncul setelah kematian Ibunya. Ia bercerita jika ibunya tidak sakit dan meninggal, belum tentu pernah muncul cerita Harry Potter. Di kesempatan yang berbeda James Cameron bercerita bahwa setelah film fenomenalnya Titanic ia telah membuat sebuah film yang kemudian ditolak oleh berbagai bioskop untuk diputar. Ia tidak menyesalinya. Katanya, meskipun film itu ditolak di pasar, ia tak kecewa karena film itu memenuhi kepuasan batinnya. Baru setelah puluhan tahun kemudian ia dilingkupi dewi fortuna saat salah satu filmnya kembali menjadi fenomena dunia : The Avatar.
Mencerna apa yang didiskusikan Oprah, JK Rowling dan James Cameron, saya kemudian melihat secara flashback kehidupan lalu yang secara unik membawa saya dalam sebuah perjalanan rollercoaster yang sulit dipercaya. Saya lulus Summa Cumlaude padahal saya tidak suka bersekolah. Saya menjadi seorang asisten presiden direktur hanya dalam hitungan kurang dari dua tahun pengalaman kerja. Saya kemudian menjadi bagian dari sebuah perusahaan komunikasi terbesar di usia yang cukup muda. Jejaring kenalan saya luar biasa luasnya : dari tukang jual es duren sampai ke tingkat pengurus negara, sebuah spektrum yang tidak pernah masuk di akal sehat saya. Saya sama sekali tidak termasuk orang yang punya daftar kekayaan yang bisa diperhitungkan, namun saya juga tidak yakin kekayaan batin yang saya peroleh dan alami dalam hidup ini pernah dirasakan oleh mereka yang terkaya sekalipun. But here's the deal : saya berencana menutup bagian hidup profesional saya yang luar biasa ini sepuluh tahun lagi. Di saat itu, saya sudah punya angan-angan akan apa yang akan saya lakukan namun belum tahu bagaimana hasil yang akan terjadi nantinya. Persis seperti apa yang dikatakan Oprah. Ia menganggap bahwa "bab talkshow" yang dijalaninya selama 25 tahun ini adalah sebuah fenomena, dan ia tidak tahu bagaimana hasil bab baru yang akan dibangunnya bersama jaringan televisinya yang baru. Ia tidak mau memasang target bahwa bab barunya harus menjadi fenomena yang lebih besar dari yang sekarang, karena fenomena bukanlah area kekuasaannya. Yang pasti akan dilakukannya adalah tetap berkarya, sebaik mungkin. Di sanalah saya mengerti dan menangkap makna apa yang dikatakan Oprah. Kehidupan saya ini bukan untuk menciptakan fenomena, apalagi menciptakan fenomena yang melampaui fenomena yang pernah saya capai. Kehidupan saya adalah untuk melakukan yang terbaik bagi saya, masyarakat sekitar dan dunia. Kalau apa yang saya lakukan ini kemudian menjadi fenomena, itu adalah hasil karya kosmik kehidupan alias Sang Pencipta.
Saya lalu menceritakan mengenai hal ini kepada seorang kerabat dekat yang dahulu lulus S1 dengan Magna Cum laude. Di S2 nya kini ia sering bertanya pada saya apakah ia bisa mendapat nilai yang lebih baik dari yang terdahulu. Saya bilang, just do your best, God will do the rest. Kalau pun sudah melakukan yang terbaik tapi tidak bisa melebihi yang terdahulu, terimalah dengan tulus ikhlas dan syukurilah. Berarti, it's meant to be (that way) ...
Labels:
'lawrence tjandra',
fenomena
Saturday, November 20, 2010
20 November 2010 : Kambing Hitam
Teman saya punya keponakan yang gemuk, lucu seperti tokoh Russel di film animasi Disney : Up. Yang membuat si keponakan ini berbeda dari Russel adalah sikapnya yang "annoying!" Mungkin karena dasarnya broken-home, dan ia dititipkan di orang tua teman saya sedang sang Ibu sudah menikah lagi dan baru punya anak kembar, ia suka berulah mencari perhatian. Orang tua teman saya yang sudah tidak punya anak kecil lagi sangat memanjakan cucunya ini. Jadilah ulahnya makin menjadi, maunya dituruti terus. Jadi: bikin pusing di rumah, juga bikin onar di sekolah. Karena kebandelannya, maka setiap insiden yang terjadi di sekolah, jadinya sang guru selalu mengambinghitamkan si anak, padahal tidak setiap saat si anak salah. Buktinya kerap kali ia pulang rumah mengadukan diperlakukan ini dan itu oleh teman sekelasnya, namun kakek neneknya selalu memandang bahwa apa yang terjadi masih dalam batas kewajaran anak-anak.
Hari ini sepulang sekolah, si anak bikin ulah lagi, tarik-tarikan tas dengan temannya. Serta merta si guru menuduh si anak atas ulahnya. Melihat si anak dipersalahkan terus, lama-lama kakeknya tidak terima juga. Beliau lalu naik darah dan memarahi sekaligus menceramahi gurunya. Sebagai seorang guru, mestinya ia tidak main menyalahkan dan menghukum. Guru tingkat TK dan SD harus punya kualitas ekstra sabar karena memang kelakuan anak seumur jagung suka ada saja, dan semuanya itu bila di batas kewajaran sah-sah saja. Jadilah saya yang sedang mengantar titipan tadi siang mendengar drama keluarga, sang kakek pulang bercerita dengan semangat menirukan kemurkaannya kepada si guru.
Diam-diam saya berpikir, wah, soal kambing hitam ini sih terjadi di mana-mana. Apa sih yang membuatkan seseorang jadi sasaran tembak? Pikir punya pikir akhirnya saya menemukan sebuah jawaban : kalau seseorang sering melakukan ulah, maka secara alami orang biasanya mengambil kesimpulan yang menyamaratakan bahwa kalau terjadi sesuatu, pasti dia biang keroknya! Kecenderungan men-generalisasi juga terjadi pada saya. Tapi hari ini saya disadarkan bahwa kita tidak bisa main pukul rata. Kita tidak tahu mengapa dan apa sebetulnya yang melatarbelakangi seseorang berlaku seperti itu, dan juga apa sebetulnya yang terjadi di balik sebuah kasus tertentu. Jangan-jangan untuk kasus ini bukan dia biang keroknya. Juga, siapa tahu bahwa si kambing hitam ini juga sering terkena masalah yang sama menimpa dia.
Jadi hari ini saya berjanji, kalau ada kejadian tertentu, saya tidak akan lagi seenaknya menarik kesimpulan, ini pasti karena ulah si anu, bahkan setelah saya selesai menginterogasi semua pihak terkait. Kalau biasanya saya masih saja punya persepsi bahwa tetap saja yang melakukan si anu, maka sekarang saya akan menghapus semua dugaan tersebut menjadi bersih. Istilah hukumnya : azas praduga tak bersalah.
Selain itu, saya harus melihat apakah semua yang terjadi masih di batas-batas kewajaran. Kadang kita ini sudah keburu sebal karena ada si kambing hitam dalam kejadian tertentu. Coba kalau kejadian itu dilakukan oleh orang lain, belum tentu kita menghakimi dia sama seperti kita menghakimi si kambing hitam.
Saya lalu menarik napas. Tidak enak sekali jadi kambing hitam. Makanya, jangan bikin ulah yang bikin orang menempelkan cap kambing hitam di jidat kita...
Hari ini sepulang sekolah, si anak bikin ulah lagi, tarik-tarikan tas dengan temannya. Serta merta si guru menuduh si anak atas ulahnya. Melihat si anak dipersalahkan terus, lama-lama kakeknya tidak terima juga. Beliau lalu naik darah dan memarahi sekaligus menceramahi gurunya. Sebagai seorang guru, mestinya ia tidak main menyalahkan dan menghukum. Guru tingkat TK dan SD harus punya kualitas ekstra sabar karena memang kelakuan anak seumur jagung suka ada saja, dan semuanya itu bila di batas kewajaran sah-sah saja. Jadilah saya yang sedang mengantar titipan tadi siang mendengar drama keluarga, sang kakek pulang bercerita dengan semangat menirukan kemurkaannya kepada si guru.
Diam-diam saya berpikir, wah, soal kambing hitam ini sih terjadi di mana-mana. Apa sih yang membuatkan seseorang jadi sasaran tembak? Pikir punya pikir akhirnya saya menemukan sebuah jawaban : kalau seseorang sering melakukan ulah, maka secara alami orang biasanya mengambil kesimpulan yang menyamaratakan bahwa kalau terjadi sesuatu, pasti dia biang keroknya! Kecenderungan men-generalisasi juga terjadi pada saya. Tapi hari ini saya disadarkan bahwa kita tidak bisa main pukul rata. Kita tidak tahu mengapa dan apa sebetulnya yang melatarbelakangi seseorang berlaku seperti itu, dan juga apa sebetulnya yang terjadi di balik sebuah kasus tertentu. Jangan-jangan untuk kasus ini bukan dia biang keroknya. Juga, siapa tahu bahwa si kambing hitam ini juga sering terkena masalah yang sama menimpa dia.
Jadi hari ini saya berjanji, kalau ada kejadian tertentu, saya tidak akan lagi seenaknya menarik kesimpulan, ini pasti karena ulah si anu, bahkan setelah saya selesai menginterogasi semua pihak terkait. Kalau biasanya saya masih saja punya persepsi bahwa tetap saja yang melakukan si anu, maka sekarang saya akan menghapus semua dugaan tersebut menjadi bersih. Istilah hukumnya : azas praduga tak bersalah.
Selain itu, saya harus melihat apakah semua yang terjadi masih di batas-batas kewajaran. Kadang kita ini sudah keburu sebal karena ada si kambing hitam dalam kejadian tertentu. Coba kalau kejadian itu dilakukan oleh orang lain, belum tentu kita menghakimi dia sama seperti kita menghakimi si kambing hitam.
Saya lalu menarik napas. Tidak enak sekali jadi kambing hitam. Makanya, jangan bikin ulah yang bikin orang menempelkan cap kambing hitam di jidat kita...
Labels:
'kambing hitam',
'lawrence tjandra',
ulah
Friday, November 19, 2010
19 November 2010 : Lost in Translation
Sore ini untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun saya menulis sebuah press release. Biasanya saya hanya tinggal mengarahkan, namun kali ini karena rilis yang tadinya diterjemahkan oleh penerjemah kami bahasanya super hancur dan mendapat protes keras dari klien dan waktunya sudah sangat mendesak, saya mengambil alih tugas Account Manager saya dan membuat sendiri rilis versi Bahasa Inggrisnya dalam waktu kurang dari 30 menit.
Saya sempat mengomel-ngomel membaca hasil terjemahan sesbelumnya. Sang penerjemah hanya memindahkan kata per kata dari bahasa Indonesia menjadi bahasa Inggris yang membuat kalimatnya aneh terdengar dan tak bisa saya mengerti. Saya jadi teringat ketika di suatu Sabtu melihat sebuah stiker di belakang bus trans Jakarta bertuliskan : Take The Bus, No It's Way. Saya bingung mengartikannya sampai teman saya berkata sambil tertawa terbahak-bahak, "Coba terjemahkan kata per kata" Ya ampun! Bunyinya jadi : Ambil bus nya, tidak jalannya! Maksudnya naik bisnya, tapi jangan masuk ke jalan yang disediakan khusus untuk busway. Gila kali ya yang nulis itu! Belajar Bahasa Inggris dari mana pula itu? Begidik jangan sampai hal itu terjadi di kantor, saya lalu menyiapkan "ceramah" bagi penerjemah kantor :
1. Dalam menerjemahkan, perhatikan pesan yang disampaikan dalam bahasa Ibu dan pindahkan konsepnya dalam bahasa ke dua, bukan asal memindahkan kata per kata, tak akan ada maknanya.
2. Kuasai karakter budaya setiap bahasa : Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu namun terkena pengaruh kuat budaya Jawa adalah bahasa yang tidak suka menuturkan secara langsung karena di adat Jawa "pamali" hukumnya berbicara langsung pada yang diataskan. Karenanya kalimat Indonesia banyak yang diciptakan dari pendekatan kalimat pasif, contohnya : "Penghargaan ini diberikan kepada A", sedang Budaya Barat adalah budaya yang "direct" yang tidak suka basa basi dan apa adanya sehingga kalimat-kalimatnya lebih bersifat aktif. Dalam contoh di atas, kalimatnya menjadi "A menerima penghargaan ini."
3. Trik yang paling mudah dicobakan bila membaca terjemahan adalah dengan membacanya langsung tanpa melihat naskah aslinya. Kalau kita mengerti dengan mudah, berarti terjemahan itu kurang lebih benar. Kalau kita tak paham apa yang mau dikatakan, maka terjemahannya kemungkinan besar tidak benar.
Sambil menerjemahkan, pikiran saya melantur dan menemukan bahwa ketidakmampuan kita menerjemahkan makna sebuah kalimat atau percakapan dalam bahasa asing ini ternyata juga berlaku dengan bagaimana kita menerjemahkan "bahasa" pasangan. Karena datang dari kalangan yang berbeda, sering kali kita sering salah menerjemahkan "tanda-tanda" atau sinyal yang diberikan pasangan kita sehingga terjadilah kesalahpahaman yang berakhir dengan keributan.
Saya lalu memperhatikan bahwa seringnya terjadi kesalahpahaman antara saya dan pasangan saya adalah karena :
1. Saya tidak mampu menerjemahkan makna di balik sinyal-sinyal yang dikirimnya.
2. Saya tidak mampu memahami karakter budaya pasangan saya.
sehingga saya sering hanya "menerjemahkan" gerak gerik pasangan saya secara harafiah saja, sehingga sering salah menangkap maknanya. Saya yang terbiasa "direct" tak suka harus mematahkan "teka-teki silang" yang kerap dilakukan pasangan saya. Terkadang pasangan saya protes dan bilang, "seharusnya kamu tahu, kalau saya sedang begini ini artinya ini..." Saya lalu bilang, "Well, saya bukan peramal dan dukun jadi jangan mengharapkan saya bisa menebak setiap gerak gerik kamu. Karena saya bukan tukang ramal, jadi katakan saja apa yang kamu rasakan dan apa yang kamu maui sehingga saya jelas menangkapnya dan tahu harus melakukan apa untuk memenuhi keinginan dan harapan kamu." Bukan berarti saya tidak romantis, tapi sungguh, permainan tebak-tebakan ini sungguh menguras batin saya. Memang, saya tahu, kalau terlalu transparan, sudah tidak fun lagi, tapi kalau terlalu misterius, buat saya yang tidak suka film misteri, jadinya menyebalkan dan membuat capai juga.
Jadi tolong, kalau mau keinginan dan maksud tujuan Anda dimengerti pasangan, jangan main-main dengan "silakan artikan sendiri apa arti tindakan saya ini." Bisa-bisa Anda dan dia jadi "lost in translation" - yang ada bukannya jadi mesra, tapi malah berantem besar.
Hari ini saya menemukan resep bagaimana sebaiknya menerjemahkan keinginan kita kepada pasangan agar tidak salah tangkap : katakan saja secara langsung dan jelas apa yang kita mau!
Saya sempat mengomel-ngomel membaca hasil terjemahan sesbelumnya. Sang penerjemah hanya memindahkan kata per kata dari bahasa Indonesia menjadi bahasa Inggris yang membuat kalimatnya aneh terdengar dan tak bisa saya mengerti. Saya jadi teringat ketika di suatu Sabtu melihat sebuah stiker di belakang bus trans Jakarta bertuliskan : Take The Bus, No It's Way. Saya bingung mengartikannya sampai teman saya berkata sambil tertawa terbahak-bahak, "Coba terjemahkan kata per kata" Ya ampun! Bunyinya jadi : Ambil bus nya, tidak jalannya! Maksudnya naik bisnya, tapi jangan masuk ke jalan yang disediakan khusus untuk busway. Gila kali ya yang nulis itu! Belajar Bahasa Inggris dari mana pula itu? Begidik jangan sampai hal itu terjadi di kantor, saya lalu menyiapkan "ceramah" bagi penerjemah kantor :
1. Dalam menerjemahkan, perhatikan pesan yang disampaikan dalam bahasa Ibu dan pindahkan konsepnya dalam bahasa ke dua, bukan asal memindahkan kata per kata, tak akan ada maknanya.
2. Kuasai karakter budaya setiap bahasa : Bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu namun terkena pengaruh kuat budaya Jawa adalah bahasa yang tidak suka menuturkan secara langsung karena di adat Jawa "pamali" hukumnya berbicara langsung pada yang diataskan. Karenanya kalimat Indonesia banyak yang diciptakan dari pendekatan kalimat pasif, contohnya : "Penghargaan ini diberikan kepada A", sedang Budaya Barat adalah budaya yang "direct" yang tidak suka basa basi dan apa adanya sehingga kalimat-kalimatnya lebih bersifat aktif. Dalam contoh di atas, kalimatnya menjadi "A menerima penghargaan ini."
3. Trik yang paling mudah dicobakan bila membaca terjemahan adalah dengan membacanya langsung tanpa melihat naskah aslinya. Kalau kita mengerti dengan mudah, berarti terjemahan itu kurang lebih benar. Kalau kita tak paham apa yang mau dikatakan, maka terjemahannya kemungkinan besar tidak benar.
Sambil menerjemahkan, pikiran saya melantur dan menemukan bahwa ketidakmampuan kita menerjemahkan makna sebuah kalimat atau percakapan dalam bahasa asing ini ternyata juga berlaku dengan bagaimana kita menerjemahkan "bahasa" pasangan. Karena datang dari kalangan yang berbeda, sering kali kita sering salah menerjemahkan "tanda-tanda" atau sinyal yang diberikan pasangan kita sehingga terjadilah kesalahpahaman yang berakhir dengan keributan.
Saya lalu memperhatikan bahwa seringnya terjadi kesalahpahaman antara saya dan pasangan saya adalah karena :
1. Saya tidak mampu menerjemahkan makna di balik sinyal-sinyal yang dikirimnya.
2. Saya tidak mampu memahami karakter budaya pasangan saya.
sehingga saya sering hanya "menerjemahkan" gerak gerik pasangan saya secara harafiah saja, sehingga sering salah menangkap maknanya. Saya yang terbiasa "direct" tak suka harus mematahkan "teka-teki silang" yang kerap dilakukan pasangan saya. Terkadang pasangan saya protes dan bilang, "seharusnya kamu tahu, kalau saya sedang begini ini artinya ini..." Saya lalu bilang, "Well, saya bukan peramal dan dukun jadi jangan mengharapkan saya bisa menebak setiap gerak gerik kamu. Karena saya bukan tukang ramal, jadi katakan saja apa yang kamu rasakan dan apa yang kamu maui sehingga saya jelas menangkapnya dan tahu harus melakukan apa untuk memenuhi keinginan dan harapan kamu." Bukan berarti saya tidak romantis, tapi sungguh, permainan tebak-tebakan ini sungguh menguras batin saya. Memang, saya tahu, kalau terlalu transparan, sudah tidak fun lagi, tapi kalau terlalu misterius, buat saya yang tidak suka film misteri, jadinya menyebalkan dan membuat capai juga.
Jadi tolong, kalau mau keinginan dan maksud tujuan Anda dimengerti pasangan, jangan main-main dengan "silakan artikan sendiri apa arti tindakan saya ini." Bisa-bisa Anda dan dia jadi "lost in translation" - yang ada bukannya jadi mesra, tapi malah berantem besar.
Hari ini saya menemukan resep bagaimana sebaiknya menerjemahkan keinginan kita kepada pasangan agar tidak salah tangkap : katakan saja secara langsung dan jelas apa yang kita mau!
Labels:
'lawrence tjandra',
'lost in translation',
direct
Thursday, November 18, 2010
18 November 2010 : Begitu-Begitu Saja
Perjalanan Kelapa Gading - Karawaci malam ini saya tempuh dalam jangka waktu satu film. Film yang saya tonton kali ini adalah "Date Night", sebuah film komedi action yang diperankan Steve Carell dan Tina Fey. Film yang membuat saya terpingkal-pingkal ini sebenarnya didasari oleh sebuah kenyataan pahit : pernikahan yang sering berujung hambar. Dalam film ini diceritakan bagaimana pasangan menjadi bosan akan kehidupan pernikahannya karena semua yang akan terjadi di dalam rumah, maupun tingkah laku pasangan dapat ditebak dengan tepat karena semua kelakuan dan aktivitas sudah menjadi sebuah kebiasaan dan berjalan seperti mesin saja, sehingga sang pasangan bisa mengatakan dengan tepat dan tutup mata apa saja yang dilakukannya, dan apa saja yang dilakukan pasangannya, bahkan sampai urutan aktivitas ranjangnya.
Selama berpasangan, saya juga mengalaminya dan semua rutinitas yang sampai sambil memejamkan mata saja tahu apa diletakkan di mana dan setiap rute yang ada di dalam rumah. Saya bahkan bisa membuat jadwal rutin mulai bangun sampai memejamkan mata. Saya lalu bertanya, kenapa ya yang awalnya begitu exciting menjadi begitu rutin? Padahal kita ini terdiri dari dua insan yang berbeda perilaku dan gaya, punya teman-teman yang berbeda dan pekerjaan yang berbeda pula, apa lagi latar belakang. Lalu mengapa ketika menjadi satu atap semuanya menjadi seragam? Saya bahkan merasa kehilangan potensi yang dulu pernah ada dan tidak tahu lagi kalau saya memiliki kemampuan yang jauh lebih besar dari yang sehari-hari saya lakukan. Karena itu saya bisa memahami ketika dalam film sang suami terkaget-kaget melihat isterinya punya koneksi ini itu dan bisa berlaku genit, karena selama ini saya juga sudah punya imaji citra tersendiri atas pasangan saya berdasarkan rutinitas keseharian. Singkatnya, rutinitas sebuah hubungan punya potensi besar membunuh potensi diri.
Tak mengherankan, saat saya bercerai saya merasa bebas. Saya merasa hidup baru. Saya merasa : ini baru hidup! Saya bisa melakukan apa yang saya maui tanpa terikat suatu rutinitas yang menjenuhkan. Saya rasa saya tidak sendiri. Mungkin, ini juga yang dirasakan sebagian besar orang yang bercerai. Namun, sekarang saya juga menyadari bahwa kejenuhan dan kerutinan tersebut juga terjadi karena ulah saya dan pasangan saya yang membiarkan hidup ini menjadi monoton karena merasa bahwa sudah tidak ada lagi yang harus di "neko-neko" karena sudah menikah.
Masalahnya tidak mudah memberi warna pada sebuah rumah tangga. Ada anak pusing, tidak ada anak juga pusing juga. Ada pembantu pusing, tidak ada pembantu juga tak kalah pusing. Dulu waktu saya masih sendiri dan kos, wah, tak ada yang dipikir, bisa suka-suka. Saat saya memutuskan membeli rumah, kehidupan saya menjadi terjungkir balik. Saya tidak pernah terpikir bahwa rumah saya bisa kebocoran, korslet listrik, retak, cat memudar, kadar besi di air terlalu tinggi, mesti beli perangkat pel dan sapu, mesti gunting rumput dan segala macam tetek bengek rumah tangga yang sangat menyita waktu. Semuanya itu butuh uang dan tenaga yang tidak sedikit. Setelah menikah, ternyata tidak berarti tanggungan lebih ringan, malah berlipat. Bukan karena saya mau komplen, tapi kenyataannya begitu.Rumah jadi kurang besar, harus sedia tempat baju buat isteri, area make up dan meletakkan perangkatnya, dapur menjadi terlalu sempit karena dapur yang dulunya tak pernah ada aktivitas berarti kecuali masak mie instan, tiba-tiba dibebani masak sehari-hari. Dengan sederet kewajiban yang harus diurus dan dijalani, tak heran sebuah pasangan mudah tergelincir dalam rutinitas dan tanpa disadari kehidupan yang begitu-begitu saja berjalan bertahun-tahun sampai tiba saatnya kita ingin teriak dan keluar dari semuanya.
Saya jadi bertanya pada diri sendiri, bagaimana dong mengatasi hal ini karena cepat atau lambat saya toh akan menghadapi lagi situasi seperti ini? Tadi di film Steve Carell dan Tina Fey menetapkan sebuah date nite, satu malam yang menjadi us-time - namun lama kelamaan date nite yang seharusnya menjadi penyegar dalam pernikahan juga menjadi sebuah rutinitas : resto yang sama, tempat duduk yang sama, orang dan suasana yang sama, pembicaraan yang sama. Saya tiba-tiba teringat, tadi bertanya pada Account Manager saya ketika kami dalam perjalanan menuju klien di Kelapa Gading : Daerah mana di Jakarta yang belum pernah kamu explore? Jawabnya : wah banyak sekali. Saya juga begitu, padahal saya sudah terbosan-bosan di Jakarta. Bosan? Bagaimana saya bisa bilang bosan dengan Jakarta kalau yang saya lewati dan explore selama ini cuma beberapa area yang bisa dihitung dengan jari tangan? Saya bercerita waktu itu pergi ke daerah Pantai Indah Kapuk yang seumur-umur belum pernah saya kunjungi sebelumnya dan saya merasa berada di sebuah tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya ada di Jakarta.
Saya lalu mengambil kesimpulan, kalau begitu dalam kehidupan rumah tangga saya yang lalu, saya ini cuma explore satu dua area dan setelah itu balik lagi ke situ-situ juga sehingga tak heran saya terbosan-bosan. Coba waktu itu saya sesadar malam ini, tentu lain lagi ceritanya karena begitu saya mulai merasa jenuh, saya tentu mulai bertanya pada diri sendiri : have I explore enough?
Malam ini saya menemukan sebuah resep kuno dalam sebuah hubungan : explore and you will find life and love that actually have been there forever...
Selama berpasangan, saya juga mengalaminya dan semua rutinitas yang sampai sambil memejamkan mata saja tahu apa diletakkan di mana dan setiap rute yang ada di dalam rumah. Saya bahkan bisa membuat jadwal rutin mulai bangun sampai memejamkan mata. Saya lalu bertanya, kenapa ya yang awalnya begitu exciting menjadi begitu rutin? Padahal kita ini terdiri dari dua insan yang berbeda perilaku dan gaya, punya teman-teman yang berbeda dan pekerjaan yang berbeda pula, apa lagi latar belakang. Lalu mengapa ketika menjadi satu atap semuanya menjadi seragam? Saya bahkan merasa kehilangan potensi yang dulu pernah ada dan tidak tahu lagi kalau saya memiliki kemampuan yang jauh lebih besar dari yang sehari-hari saya lakukan. Karena itu saya bisa memahami ketika dalam film sang suami terkaget-kaget melihat isterinya punya koneksi ini itu dan bisa berlaku genit, karena selama ini saya juga sudah punya imaji citra tersendiri atas pasangan saya berdasarkan rutinitas keseharian. Singkatnya, rutinitas sebuah hubungan punya potensi besar membunuh potensi diri.
Tak mengherankan, saat saya bercerai saya merasa bebas. Saya merasa hidup baru. Saya merasa : ini baru hidup! Saya bisa melakukan apa yang saya maui tanpa terikat suatu rutinitas yang menjenuhkan. Saya rasa saya tidak sendiri. Mungkin, ini juga yang dirasakan sebagian besar orang yang bercerai. Namun, sekarang saya juga menyadari bahwa kejenuhan dan kerutinan tersebut juga terjadi karena ulah saya dan pasangan saya yang membiarkan hidup ini menjadi monoton karena merasa bahwa sudah tidak ada lagi yang harus di "neko-neko" karena sudah menikah.
Masalahnya tidak mudah memberi warna pada sebuah rumah tangga. Ada anak pusing, tidak ada anak juga pusing juga. Ada pembantu pusing, tidak ada pembantu juga tak kalah pusing. Dulu waktu saya masih sendiri dan kos, wah, tak ada yang dipikir, bisa suka-suka. Saat saya memutuskan membeli rumah, kehidupan saya menjadi terjungkir balik. Saya tidak pernah terpikir bahwa rumah saya bisa kebocoran, korslet listrik, retak, cat memudar, kadar besi di air terlalu tinggi, mesti beli perangkat pel dan sapu, mesti gunting rumput dan segala macam tetek bengek rumah tangga yang sangat menyita waktu. Semuanya itu butuh uang dan tenaga yang tidak sedikit. Setelah menikah, ternyata tidak berarti tanggungan lebih ringan, malah berlipat. Bukan karena saya mau komplen, tapi kenyataannya begitu.Rumah jadi kurang besar, harus sedia tempat baju buat isteri, area make up dan meletakkan perangkatnya, dapur menjadi terlalu sempit karena dapur yang dulunya tak pernah ada aktivitas berarti kecuali masak mie instan, tiba-tiba dibebani masak sehari-hari. Dengan sederet kewajiban yang harus diurus dan dijalani, tak heran sebuah pasangan mudah tergelincir dalam rutinitas dan tanpa disadari kehidupan yang begitu-begitu saja berjalan bertahun-tahun sampai tiba saatnya kita ingin teriak dan keluar dari semuanya.
Saya jadi bertanya pada diri sendiri, bagaimana dong mengatasi hal ini karena cepat atau lambat saya toh akan menghadapi lagi situasi seperti ini? Tadi di film Steve Carell dan Tina Fey menetapkan sebuah date nite, satu malam yang menjadi us-time - namun lama kelamaan date nite yang seharusnya menjadi penyegar dalam pernikahan juga menjadi sebuah rutinitas : resto yang sama, tempat duduk yang sama, orang dan suasana yang sama, pembicaraan yang sama. Saya tiba-tiba teringat, tadi bertanya pada Account Manager saya ketika kami dalam perjalanan menuju klien di Kelapa Gading : Daerah mana di Jakarta yang belum pernah kamu explore? Jawabnya : wah banyak sekali. Saya juga begitu, padahal saya sudah terbosan-bosan di Jakarta. Bosan? Bagaimana saya bisa bilang bosan dengan Jakarta kalau yang saya lewati dan explore selama ini cuma beberapa area yang bisa dihitung dengan jari tangan? Saya bercerita waktu itu pergi ke daerah Pantai Indah Kapuk yang seumur-umur belum pernah saya kunjungi sebelumnya dan saya merasa berada di sebuah tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya ada di Jakarta.
Saya lalu mengambil kesimpulan, kalau begitu dalam kehidupan rumah tangga saya yang lalu, saya ini cuma explore satu dua area dan setelah itu balik lagi ke situ-situ juga sehingga tak heran saya terbosan-bosan. Coba waktu itu saya sesadar malam ini, tentu lain lagi ceritanya karena begitu saya mulai merasa jenuh, saya tentu mulai bertanya pada diri sendiri : have I explore enough?
Malam ini saya menemukan sebuah resep kuno dalam sebuah hubungan : explore and you will find life and love that actually have been there forever...
Wednesday, November 17, 2010
17 November 2010 : The Power of Love
Mata saya tertumbuk pada sebuah tulisan :
When the power of love overcomes the love of power the world will know peace
wah, benar sekali maknanya dan seharusnya kalimat ini dibaca dan menjadi pegangan para pemimpin bangsa. Selama ini keserakahan membuat kita lupa berdamai karena lebih mengetengahkan kekuatan "kekuasaan". Banyak sekali orang yang setelah hidupnya tercukupi secara ekonomi kemudian mencari peran yang lebih dan mengincar kedudukan politik dan pemerintahan supaya memiliki kekuasaan. Sayangnya kekuasaan ini memiliki karakter yang menyandu, artinya sekali mengenyam nikmatnya kekuasaan, biasanya orang akan mabuk kepayang dan lupa akan mandat yang diberikan rakyat atas kekuasaan tersebut. Biasanya kalau sudah lupa diri, kekuasaan kemudian bertindak melebihi kekuasaannya dan menyebabkan sang penerima mandat untuk melakukan lompatan yang tidak masuk akal di bidang ekonomi dan kesejahteraan pribadinya. Ia lalu memasang jejaring yang terdiri dari kerabat dan teman-temannya agar bisa mencengkeram sehingga kekuasaannya tak lepas karena waktu, dan kekayaannya semakin menancap ke akar hingga tujuh turunan.
Namun kekuasaan ini tidak hanya terbatas pada pemerintahan, ia juga ada dalam kehidupan kita sehari-hari dalam skema dan lingkup yang lebih kecil. Dalam rumah tangga, di pekerjaan, dan di setiap tatanan masyarakat.
Kalimat tadi menjadi penanda dan peringatan agar saya selalu tetap di jalur cinta kasih dan menempatkan kekuasaan yang saya terima dengan penuh tanggung jawab dan welas asih, serta jauh dari keserakahan dan ketamakan agar tercipta kesejahteraan dan kedamaian yang penuh cinta kasih di lingkungan tempat saya berada, sekecil apa pun lingkup yang saya miliki ...
When the power of love overcomes the love of power the world will know peace
wah, benar sekali maknanya dan seharusnya kalimat ini dibaca dan menjadi pegangan para pemimpin bangsa. Selama ini keserakahan membuat kita lupa berdamai karena lebih mengetengahkan kekuatan "kekuasaan". Banyak sekali orang yang setelah hidupnya tercukupi secara ekonomi kemudian mencari peran yang lebih dan mengincar kedudukan politik dan pemerintahan supaya memiliki kekuasaan. Sayangnya kekuasaan ini memiliki karakter yang menyandu, artinya sekali mengenyam nikmatnya kekuasaan, biasanya orang akan mabuk kepayang dan lupa akan mandat yang diberikan rakyat atas kekuasaan tersebut. Biasanya kalau sudah lupa diri, kekuasaan kemudian bertindak melebihi kekuasaannya dan menyebabkan sang penerima mandat untuk melakukan lompatan yang tidak masuk akal di bidang ekonomi dan kesejahteraan pribadinya. Ia lalu memasang jejaring yang terdiri dari kerabat dan teman-temannya agar bisa mencengkeram sehingga kekuasaannya tak lepas karena waktu, dan kekayaannya semakin menancap ke akar hingga tujuh turunan.
Namun kekuasaan ini tidak hanya terbatas pada pemerintahan, ia juga ada dalam kehidupan kita sehari-hari dalam skema dan lingkup yang lebih kecil. Dalam rumah tangga, di pekerjaan, dan di setiap tatanan masyarakat.
Kalimat tadi menjadi penanda dan peringatan agar saya selalu tetap di jalur cinta kasih dan menempatkan kekuasaan yang saya terima dengan penuh tanggung jawab dan welas asih, serta jauh dari keserakahan dan ketamakan agar tercipta kesejahteraan dan kedamaian yang penuh cinta kasih di lingkungan tempat saya berada, sekecil apa pun lingkup yang saya miliki ...
Labels:
'lawrence tjandra',
kekuasaan
Tuesday, November 16, 2010
16 November 2010 : Stop and Go
Pagi ini saya menyempatkan diri membuka facebook untuk mengirimkan ucapan selamat ulang tahun kepada seorang teman sambil melihat-lihat update apa yang dituliskan teman dan kerabat di jejaring sosial tersebut. Mata saya terhenti pada foto-foto yang diunggah seorang teman saya, Haroen yang kini tinggal di negeri Paman Sam bersama keluarganya. Di sana ia berfoto bersama anak dan ibunya. Pikiran saya pun melanglang buana mengingat kembali kedekatan kami ketika bersama-sama mewakili perusahaan telekomunikasi internasional, saya untuk perusahaan Amerika dan ia di perusahaan Perancis. Saya masih ingat betul awal perjumpaan saya dan dia. Ketika itu ia mengatakan menjadi seorang pembawa berita di acara English News Service di TVRI dan dengan polos saya mengatakan, "Kok nggak pernah lihat ya?" Beberapa hari kemudian saya mendapat telepon darinya, "Cepet nyalain tv, bentar lagi gua on air!" dan saya pun melihat bukti bahwa ia benar-benar seorang anchor tv. Kejadian lucu dan pekerjaan sehari-hari mendekatkan kami, bahkan ia kemudian kenal dengan mantan isteri saya dan kami dengan keluarganya. Saat ia menikah, mantan isteri saya menjadi juru rias bagi ibu dan adiknya. Waktu berlalu, ia pun pindah ke Amerika meneruskan studinya di bidang hukum international, menetap di sana dan membuka law firm nya sendiri. Hanya sekali-sekali saja kami kontak. Hari ini saya mengirimkan kabar bahwa Pak George Pattian, koleganya di perusahaan lama telah tiada. Saya merasa begitu jauh semua ini terjadi.
Dari Haroen, ingatan saya kemudian bagaikan sebuah album foto yang membuka lembar lama dan menemukan begitu banyak orang yang mampir di hidup saya dan sekarang sudah begitu jauh, bahkan sebagian besar lenyap tak berbekas seolah tak pernah hadir dalam hidup ini. Orang-orang yang dahulunya sangat dekat, dan sekarang pupus menghilang. Ada juga teman-teman lama yang kemudian muncul lagi dalam "bentuk baru" persahabatan yang justru lebih hangat dari yang dulu. Lalu orang-orang baru yang kini menjadi dekat di hati. Ada yang mampirnya singkat, ada yang bertahan tak lekang waktu. Orang dan kejadian datang dan pergi dalam hidup saya seperti cepatnya saya membalik lembaran album foto kehidupan ini.
Sama seperti album, setiap orang dan kejadian membawa kenangannya masing-masing dan menimbulkan kerinduan tersendiri. Tiba-tiba tersirat pertanyaan di benak saya : apakah saya telah menggunakan kesempatan saat saya bersama dengan orang-orang yang saya temui saat ini dengan sebaik-baiknya, sehingga bila takdir menuliskan kami tidak akan bertemu kembali, saya membawa kenangan terbaik akan mereka? Saya mengakui ada beberapa kasus yang saya sesali, tidak berbuat sebaik mungkin, yang kalau boleh diulang, saya tidak akan berlaku kasar, atau ceroboh, atau tidak adil kepada orang yang saya jumpai itu. Inginnya kalau diberi kesempatan lagi, saya akan melakukan hal yang terbaik baginya karena ia adalah orang yang sangat baik. Namun kesempatan itu sudah tidak lagi datang karena kedekatan kami sudah memudar dan waktu sudah berjalan menempuh rutenya yang baru.
Saya hari ini belajar untuk memanfaatkan waktu kebersamaan dengan orang-orang yang saya jumpai sebaik-baiknya dan memberikan hanya yang terbaik bagi mereka sehingga ketika semua peristiwa menjadi kenangan, semuanya memberikan kesan terbaik dan terindah yang bisa saya berikan untuk kesempatan dan orang tersebut. Dengan kata lain saya menjadi lebih sadar untuk menjadikan momen saat ini sebagai momen terbaik dalam hidup saya, sehingga kalau seluruh "momen saat" ini dikumpulkan - baik yang telah lewat dan yang sedang berlangsung, saya bisa menarik kesimpulan bahwa saya telah menjadikan hidup ini "momen terbaik" yang pernah ada...
Dari Haroen, ingatan saya kemudian bagaikan sebuah album foto yang membuka lembar lama dan menemukan begitu banyak orang yang mampir di hidup saya dan sekarang sudah begitu jauh, bahkan sebagian besar lenyap tak berbekas seolah tak pernah hadir dalam hidup ini. Orang-orang yang dahulunya sangat dekat, dan sekarang pupus menghilang. Ada juga teman-teman lama yang kemudian muncul lagi dalam "bentuk baru" persahabatan yang justru lebih hangat dari yang dulu. Lalu orang-orang baru yang kini menjadi dekat di hati. Ada yang mampirnya singkat, ada yang bertahan tak lekang waktu. Orang dan kejadian datang dan pergi dalam hidup saya seperti cepatnya saya membalik lembaran album foto kehidupan ini.
Sama seperti album, setiap orang dan kejadian membawa kenangannya masing-masing dan menimbulkan kerinduan tersendiri. Tiba-tiba tersirat pertanyaan di benak saya : apakah saya telah menggunakan kesempatan saat saya bersama dengan orang-orang yang saya temui saat ini dengan sebaik-baiknya, sehingga bila takdir menuliskan kami tidak akan bertemu kembali, saya membawa kenangan terbaik akan mereka? Saya mengakui ada beberapa kasus yang saya sesali, tidak berbuat sebaik mungkin, yang kalau boleh diulang, saya tidak akan berlaku kasar, atau ceroboh, atau tidak adil kepada orang yang saya jumpai itu. Inginnya kalau diberi kesempatan lagi, saya akan melakukan hal yang terbaik baginya karena ia adalah orang yang sangat baik. Namun kesempatan itu sudah tidak lagi datang karena kedekatan kami sudah memudar dan waktu sudah berjalan menempuh rutenya yang baru.
Saya hari ini belajar untuk memanfaatkan waktu kebersamaan dengan orang-orang yang saya jumpai sebaik-baiknya dan memberikan hanya yang terbaik bagi mereka sehingga ketika semua peristiwa menjadi kenangan, semuanya memberikan kesan terbaik dan terindah yang bisa saya berikan untuk kesempatan dan orang tersebut. Dengan kata lain saya menjadi lebih sadar untuk menjadikan momen saat ini sebagai momen terbaik dalam hidup saya, sehingga kalau seluruh "momen saat" ini dikumpulkan - baik yang telah lewat dan yang sedang berlangsung, saya bisa menarik kesimpulan bahwa saya telah menjadikan hidup ini "momen terbaik" yang pernah ada...
Labels:
'lawrence tjandra',
'momen terbaik'
Monday, November 15, 2010
15 November 2010 : Cara Tuhan
Saya punya kenalan bernama George Pattian. Kadang kami menyebut Beliau Opa George. Dulu, ketika saya menangani Mitra KSO Telkom dan menjadi koordinator komunikasinya, saya hampir setiap hari berinteraksi dengan Beliau yang menangani komunikasi kemitraan Telkom di wilayah Sumatra. Setelah meninggalkan dunia telekomunikasi, saya berjumpa kembali dengan Beliau di sebuah event otomotif. Ketika itu Beliau meminta alamat email saya dan sejak itu hampir setiap hari Beliau tak bosannya mengirimkan berbagai email, terutama renungan Harian. Karena kesibukan, kadang saya tidak membaca email yang dikirimkan, namun Beliau tak pernah patah arang : email Pak George tak pernah lelah hadir di bb saya.
Pagi ini, saya terkejut luar biasa ketika membuka email melalui blackberry saat membuka mata dan melihat apa saja yang tertinggal selama saya tidur malam tadi. Sebuah email singkat mengatakan selamat jalan. Selamat jalan? Apa yang terjadi? Jadilah saya mencari tahu sana sini dan akhirnya mendapat kabar bahwa Pak George telah tiada hari Minggu kemarin tanggal 14 November 2010 pukul 13.35 di rumahnya karena serangan jantung mendadak. Saya langsung teringat email terakhir yang Beliau kirimkan hari Jumat yang lalu. Saya tadinya berpikir Sabtu Minggu saya tidak mendapat email Beliau karena Beliau sedang berakhir pekan. Langsung saya buka kembali emailnya dan beginilah pesan terakhir Beliau melalui renungan harian Jumat, 12 November 2010 :
Santapan Harian
Jumat, 12 November 2010
Lakukan Dengan Cara Tuhan
Baca: 2 Tawarikh 16:1-14
16
1Pada tahun ketiga puluh enam pemerintahan Asa majulah Baesa, raja Israel, hendak berperang melawan Yehuda. Ia memperkuat Rama dengan maksud mencegah lalu lintas kepada Asa, raja Yehuda. 2Lalu Asa mengeluarkan emas dan perak dari perbendaharaan rumah TUHAN dan dari perbendaharaan rumah raja dan mengirimnya kepada Benhadad, raja Aram yang diam di Damsyik dengan pesan: 3"Ada perjanjian antara aku dan engkau, antara ayahku dan ayahmu. Ini kukirim emas dan perak kepadamu. Marilah, batalkanlah perjanjianmu dengan Baesa, raja Israel, supaya ia undur dari padaku." 4Lalu Benhadad mendengarkan permintaan raja Asa; ia menyuruh panglima-panglimanya menyerang kota-kota Israel. Dan mereka memukul kalah Iyon, Dan, Abel-Maim dan segala tempat perbekalan kota-kota di Naftali. 5Segera sesudah Baesa mendengar hal itu, ia berhenti memperkuat Rama; ia menghentikan usahanya itu. 6Tetapi raja Asa mengerahkan segenap orang Yehuda, yang harus mengangkat batu dan kayu yang dipergunakan Baesa untuk memperkuat Rama itu. Ia mempergunakannya untuk memperkuat Geba dan Mizpa. 7Pada waktu itu datanglah Hanani, pelihat itu, kepada Asa, raja Yehuda, katanya kepadanya: "Karena engkau bersandar kepada raja Aram dan tidak bersandar kepada TUHAN Allahmu, oleh karena itu terluputlah tentara raja Aram dari tanganmu. 8Bukankah tentara orang Etiopia dan Libia besar jumlahnya, kereta dan orang berkudanya sangat banyak? Namun TUHAN telah menyerahkan mereka ke dalam tanganmu, karena engkau bersandar kepada-Nya. 9Karena mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia. Dalam hal ini engkau telah berlaku bodoh, oleh sebab itu mulai sekarang ini engkau akan mengalami peperangan." 10Maka sakit hatilah Asa karena perkataan pelihat itu, sehingga ia memasukkannya ke dalam penjara, sebab memang ia sangat marah terhadap dia karena perkara itu. Pada waktu itu Asa menganiaya juga beberapa orang dari rakyat. 11Sesungguhnya riwayat Asa dari awal sampai akhir tertulis dalam kitab raja-raja Yehuda dan Israel. 12Pada tahun ketiga puluh sembilan pemerintahannya Asa menderita sakit pada kakinya yang kemudian menjadi semakin parah. Namun dalam kesakitannya itu ia tidak mencari pertolongan TUHAN, tetapi pertolongan tabib-tabib. 13Kemudian Asa mendapat perhentian bersama-sama nenek moyangnya. Ia mati pada tahun keempat puluh satu pemerintahannya, 14dan dikuburkan di kuburan yang telah digali baginya di kota Daud. Mereka membaringkannya di atas petiduran yang penuh dengan rempah-rempah dan segala macam rempah-rempah campuran yang dicampur menurut cara pencampur rempah-rempah, lalu menyalakan api yang sangat besar untuk menghormatinya.
=============================================================================================
Ketika kita mengalami masalah, apakah secara spontan kita langsung berusaha memecahkannya? Atau kita segera teringat pada orang yang dapat menolong kita memecahkan masalah itu? Ataukah kita datang kepada Allah dan memercayakan masalah itu kepada Dia?
Asa pernah mengalami pertolongan Tuhan yang luar biasa ketika menghadapi tentara Etiopia (2Taw. 14:2-15). Kita tentu masih ingat bagaimana pasukan berjumlah tiga ratus ribu orang harus melawan satu juta prajurit musuh. Nyatanya Asa menang karena Tuhan menolong dia! Namun pengalaman menakjubkan itu tidak terpatri kuat dalam ingatan Asa. Saat menghadapi Baesa, raja Israel, ia berlaku seperti orang yang tidak memiliki Allah. Apa yang dia lakukan justru berbanding terbalik dengan pengalamannya. Alih-alih berseru kepada Tuhan, Asa justru menghubungi Benhadad, raja Aram, untuk berpihak padanya (2-3). Dengan banyak hadiah, Asa berhasil menyogok raja Aram agar mendukung Yehuda. Dan upaya Asa memang menampakkan hasil (5). Asa beroleh keuntungan dari persahabatannya dengan dunia, tetapi ia mengorbankan iman kepada Allah.
Akan tetapi, cara yang ditempuh Asa tidak diperkenan Tuhan. Dan dengan tegas, Tuhan menyatakan hal itu melalui Hanani, sang pelihat (7-9). Anehnya, bukannya menyesal dan bertobat, Raja Asa justru sakit hati karena teguran itu (10). Dan iman Asa kepada Tuhan tampaknya berhenti sampai di situ. Karena waktu ia sakit dikemudian hari, Asa malah memilih mengandalkan pertolongan tenaga medis daripada mencari pertolongan Tuhan. Tragis!
Kita pun sesungguhnya berada dalam bahaya yang sama. Berkat yang kita terima dari Tuhan bukan merupakan ja-minan bahwa iman kita akan tetap terpelihara. Kemauan untuk setia, kerelaan untuk tetap taat, dan yang terutama kasih kita kepada Tuhan kiranya mengingatkan kita untuk senantiasa bergantung kepada Tuhan dalam mengatasi setiap persoalan yang menghadang kita.
===================================================================================
Dikutip dari Santapan Harian. Hak Cipta : Yayasan Persekutuan Pembaca Alkitab. Isi Santapan Harian lainnya seperti pengantar kitab, artikel ringkas, sisipan, dlsb. dapat diperoleh dengan membeli buku Santapan Harian dari Yayasan PPA: Jl. Pintu Air Raya No 7 Blok C4, Jakarta 10710, ph:3442461-2; 3519742-3; Fax: 344972; email: ppa@ppa.or.id.
Informasi lengkap : PPA di: http://www.ppa.or.id.
Pak George hingga akhir hidupnya tak pernah ingkar akan Tuhan dan selalu patuh di jalanNya. Bahkan pesan terakhir Beliau tak lelah-lelahnya mengingatkan agar saya tidak pernah melupakan dan bergantung kepada Tuhan dalam menghadapi setiap persoalan hidup.
Selamat jalan Pak George. Saya tak akan melupakan pesan terakhir Bapak : Menjalani Hidup dengan cara Tuhan.
Pagi ini, saya terkejut luar biasa ketika membuka email melalui blackberry saat membuka mata dan melihat apa saja yang tertinggal selama saya tidur malam tadi. Sebuah email singkat mengatakan selamat jalan. Selamat jalan? Apa yang terjadi? Jadilah saya mencari tahu sana sini dan akhirnya mendapat kabar bahwa Pak George telah tiada hari Minggu kemarin tanggal 14 November 2010 pukul 13.35 di rumahnya karena serangan jantung mendadak. Saya langsung teringat email terakhir yang Beliau kirimkan hari Jumat yang lalu. Saya tadinya berpikir Sabtu Minggu saya tidak mendapat email Beliau karena Beliau sedang berakhir pekan. Langsung saya buka kembali emailnya dan beginilah pesan terakhir Beliau melalui renungan harian Jumat, 12 November 2010 :
Santapan Harian
Jumat, 12 November 2010
Lakukan Dengan Cara Tuhan
Baca: 2 Tawarikh 16:1-14
16
1Pada tahun ketiga puluh enam pemerintahan Asa majulah Baesa, raja Israel, hendak berperang melawan Yehuda. Ia memperkuat Rama dengan maksud mencegah lalu lintas kepada Asa, raja Yehuda. 2Lalu Asa mengeluarkan emas dan perak dari perbendaharaan rumah TUHAN dan dari perbendaharaan rumah raja dan mengirimnya kepada Benhadad, raja Aram yang diam di Damsyik dengan pesan: 3"Ada perjanjian antara aku dan engkau, antara ayahku dan ayahmu. Ini kukirim emas dan perak kepadamu. Marilah, batalkanlah perjanjianmu dengan Baesa, raja Israel, supaya ia undur dari padaku." 4Lalu Benhadad mendengarkan permintaan raja Asa; ia menyuruh panglima-panglimanya menyerang kota-kota Israel. Dan mereka memukul kalah Iyon, Dan, Abel-Maim dan segala tempat perbekalan kota-kota di Naftali. 5Segera sesudah Baesa mendengar hal itu, ia berhenti memperkuat Rama; ia menghentikan usahanya itu. 6Tetapi raja Asa mengerahkan segenap orang Yehuda, yang harus mengangkat batu dan kayu yang dipergunakan Baesa untuk memperkuat Rama itu. Ia mempergunakannya untuk memperkuat Geba dan Mizpa. 7Pada waktu itu datanglah Hanani, pelihat itu, kepada Asa, raja Yehuda, katanya kepadanya: "Karena engkau bersandar kepada raja Aram dan tidak bersandar kepada TUHAN Allahmu, oleh karena itu terluputlah tentara raja Aram dari tanganmu. 8Bukankah tentara orang Etiopia dan Libia besar jumlahnya, kereta dan orang berkudanya sangat banyak? Namun TUHAN telah menyerahkan mereka ke dalam tanganmu, karena engkau bersandar kepada-Nya. 9Karena mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia. Dalam hal ini engkau telah berlaku bodoh, oleh sebab itu mulai sekarang ini engkau akan mengalami peperangan." 10Maka sakit hatilah Asa karena perkataan pelihat itu, sehingga ia memasukkannya ke dalam penjara, sebab memang ia sangat marah terhadap dia karena perkara itu. Pada waktu itu Asa menganiaya juga beberapa orang dari rakyat. 11Sesungguhnya riwayat Asa dari awal sampai akhir tertulis dalam kitab raja-raja Yehuda dan Israel. 12Pada tahun ketiga puluh sembilan pemerintahannya Asa menderita sakit pada kakinya yang kemudian menjadi semakin parah. Namun dalam kesakitannya itu ia tidak mencari pertolongan TUHAN, tetapi pertolongan tabib-tabib. 13Kemudian Asa mendapat perhentian bersama-sama nenek moyangnya. Ia mati pada tahun keempat puluh satu pemerintahannya, 14dan dikuburkan di kuburan yang telah digali baginya di kota Daud. Mereka membaringkannya di atas petiduran yang penuh dengan rempah-rempah dan segala macam rempah-rempah campuran yang dicampur menurut cara pencampur rempah-rempah, lalu menyalakan api yang sangat besar untuk menghormatinya.
=============================================================================================
Ketika kita mengalami masalah, apakah secara spontan kita langsung berusaha memecahkannya? Atau kita segera teringat pada orang yang dapat menolong kita memecahkan masalah itu? Ataukah kita datang kepada Allah dan memercayakan masalah itu kepada Dia?
Asa pernah mengalami pertolongan Tuhan yang luar biasa ketika menghadapi tentara Etiopia (2Taw. 14:2-15). Kita tentu masih ingat bagaimana pasukan berjumlah tiga ratus ribu orang harus melawan satu juta prajurit musuh. Nyatanya Asa menang karena Tuhan menolong dia! Namun pengalaman menakjubkan itu tidak terpatri kuat dalam ingatan Asa. Saat menghadapi Baesa, raja Israel, ia berlaku seperti orang yang tidak memiliki Allah. Apa yang dia lakukan justru berbanding terbalik dengan pengalamannya. Alih-alih berseru kepada Tuhan, Asa justru menghubungi Benhadad, raja Aram, untuk berpihak padanya (2-3). Dengan banyak hadiah, Asa berhasil menyogok raja Aram agar mendukung Yehuda. Dan upaya Asa memang menampakkan hasil (5). Asa beroleh keuntungan dari persahabatannya dengan dunia, tetapi ia mengorbankan iman kepada Allah.
Akan tetapi, cara yang ditempuh Asa tidak diperkenan Tuhan. Dan dengan tegas, Tuhan menyatakan hal itu melalui Hanani, sang pelihat (7-9). Anehnya, bukannya menyesal dan bertobat, Raja Asa justru sakit hati karena teguran itu (10). Dan iman Asa kepada Tuhan tampaknya berhenti sampai di situ. Karena waktu ia sakit dikemudian hari, Asa malah memilih mengandalkan pertolongan tenaga medis daripada mencari pertolongan Tuhan. Tragis!
Kita pun sesungguhnya berada dalam bahaya yang sama. Berkat yang kita terima dari Tuhan bukan merupakan ja-minan bahwa iman kita akan tetap terpelihara. Kemauan untuk setia, kerelaan untuk tetap taat, dan yang terutama kasih kita kepada Tuhan kiranya mengingatkan kita untuk senantiasa bergantung kepada Tuhan dalam mengatasi setiap persoalan yang menghadang kita.
===================================================================================
Dikutip dari Santapan Harian. Hak Cipta : Yayasan Persekutuan Pembaca Alkitab. Isi Santapan Harian lainnya seperti pengantar kitab, artikel ringkas, sisipan, dlsb. dapat diperoleh dengan membeli buku Santapan Harian dari Yayasan PPA: Jl. Pintu Air Raya No 7 Blok C4, Jakarta 10710, ph:3442461-2; 3519742-3; Fax: 344972; email: ppa@ppa.or.id.
Informasi lengkap : PPA di: http://www.ppa.or.id.
Pak George hingga akhir hidupnya tak pernah ingkar akan Tuhan dan selalu patuh di jalanNya. Bahkan pesan terakhir Beliau tak lelah-lelahnya mengingatkan agar saya tidak pernah melupakan dan bergantung kepada Tuhan dalam menghadapi setiap persoalan hidup.
Selamat jalan Pak George. Saya tak akan melupakan pesan terakhir Bapak : Menjalani Hidup dengan cara Tuhan.
Labels:
'Cara Tuhan',
'George Pattian',
'lawrence tjandra'
Sunday, November 14, 2010
14 November 2010 : Better!
Jarang saya menyaksikan acara Oprah Winfrey di hari Minggu karena biasanya saya masih di luar rumah, tapi hari ini saya berkesempatan menyaksikan Oprah mengumpulkan 300 penonton setianya sejak 25 tahun yang lalu di acara perdana season penutup acara The Oprah Winfrey show yang menghadiahi ke 300 penontonnya jalan-jalan ke Australia selama 8 hari.
Acara kali ini dibuka Oprah dengan bergandengan tangan bersama sahabat lamanya John Trravolta. Ia kemudian menayangkan sebuah film pendek tentang pengakuan seorang fans nya yang terinspirasi kata-kata John Travolta saat ia bersulang bagi ulang tahun ke 50 pembawa acara nomor satu dunia itu. Saat itu John mengatakan bahwa Oprah adalah "hadiah" yang diberikan Tuhan bagi dunia. Oprah dengan keunikannya membuat semua orang merasa nyaman berdekatan dan berbicara dengannya dan menjadi seorang sahabat yang menjadikan sahabatnya seorang yang lebih baik. Dalam bahasa Inggris, to make a better person. Kata-kata itu kemudian tertancap di benak si pemirsa yang kemudian bersama puterinya terbang ke Afrika dan membangun tempat tinggal yang layak bagi anak-anak yang kurang beruntung sehingga merasa hidupnya kini lebih bermakna karena dapat memberikan sumbangsih bagi hidup yang lebih baik bagi orang lain.
Saya lalu mengamini. Seorang sahabat selayaknya menjadi seorang yang dapat membuat sahabatnya menjadi orang yang lebih baik. Saya lalu bertanya apa yang sudah saya lakukan bagi orang-orang sekitar saya? di lingkungan keluarga? di lingkungan kerja? dan di lingkungan pertemanan? Apakah saya telah membantu keluarga saya menjadi orang yang lebih baik? Membantu teman-teman kerja saya menjadi orang yang lebih baik? membuat teman-teman saya menjadi orang yang lebih baik?
Jawaban saya: boro-boro. Menjadikan diri sendiri menjadi seorang yang lebih baik saja saya tidak yakin, apa lagi menjadi seorang yang menjadikan orang lain menjadi seorang yang lebih baik. Saya benar-benar kagum dengan teman-teman saya yang terjun langsung membantu mereka yang sedang kesulitan di Mentawai dan Merapi sementara saya hanya mengikuti perkembangannya saja melalui televisi. Ketika sedang ada tsunami di Aceh, saya bahkan tidak tahu apa-apa karena sedang berlibur di manca negara. Tahunya lewat CNN dan tidak punya gambaran sama sekali betapa parahnya kondisi di tanah air sampai saya pulang dan menyalakan tv lokal yang gambarnya beribu-ribu kali lebih seram dari apa yang ditayangkan CNN. Selama ini saya membantu membuat kampanye pendidikan masyarakat, namun itu juga karena saya dibayar. Memang saya selektif menerima pekerjaan dan memilih yang memberi manfaat bagi masyarakat, namun tetap, saya dibayar untuk itu.
Untuk keluarga, saya tidak bisa bicara banyak, tanya saja mereka. Yang jelas saya berusaha untuk mandiri dan tidak merepotkan mereka. Apakah mereka merasakan kasih sayang dan perhatian saya, mungkin ada yang merasakan namun juga banyak yang tidak tersentuh sehingga meskipun saudara rasanya jauh dan asing. Saya juga tidak serta merta membantu saudara yang membutuhkan, karena terkadang kebutuhan yang diperlukan saudara menurut saya adalah sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sendiri namun tidak tersedia karena ia kurang berusaha, atau terkadang sesuatu yang "nice to have". Terkadang justru karena keluarga kesannya jadi menggampangkan dan menganggap bahwa yang namanya pertalian darah berarti kita wajib membantu. Buat saya, semua itu tunggu dulu, lihat-lihat, betul butuh dibantu atau tidak. Kalau memang iya, saya tentu tidak segan-segan membantu.
Teman? Wah, saya ini teman yang buruk sekali. Sehari-hari jadwal saya diisi dengan kerja, dan kalau sudah bersantai, maunya bersantai dengan orang-orang terdekat saja karena sehari-hari hidup saya isi nya sudah socializing, jadi weekends dan hari libur atau jam-jam selepas kerja mau nya saya "libur" juga dari socializing. Karena itu saya memilih betul siapa-siapa yang ingin saya libatkan dalam waktu-waktu tersebut. Bukannya saya anti sosial, tetapi yang saya maksudkan, saya ini lebih senang menghabiskan waktu tertentu dengan teman tertentu, tidak ramai-ramai karena saya merasa jauh lebih relaks dan memiliki waktu santai yang lebih berkualitas dengan jumlah (orang) yang kecil. Semoga saja teman-teman yang menghabiskan waktu bersama saya merasakan ada manfaatnya ketawa ketiwi dan relaks bersama saya.
Tapi, terinspirasi oleh wantia yang terinspirasi John Travolta, saya merasa saya harus melakukan sesuatu yang "besar" dalam sisa hidup saya agar saya bisa memberikan sumbangsih lebih bagi hidup (orang), apakah itu hidup teman dan kerabat terdekat, lingkup kerja, lingkup masyarakat, lingkup negara atau bahkan lingkup dunia.
Hari ini saya belajar, bahwa hidup ini tidak hanya bertujuan untuk membuat hidup kita lebih baik, namun ada tujuan lain dari hidup ini yang tak kalah pentingnya : menjadikan dunia yang kita tinggali ini menjadi sebuah tempat yang lebih baik, termasuk semua mahluk hidup yang hidup di atasnya. Saya sedang mencari bentuk sumbangsih yang bisa saya kerjakan bagi kehidupan yang lebih baik. Bagaimana dengan Anda? Siapa tahu Anda sudah punya dan bisa menjadi inspirasi bagi saya. Coba ceritakan...
Acara kali ini dibuka Oprah dengan bergandengan tangan bersama sahabat lamanya John Trravolta. Ia kemudian menayangkan sebuah film pendek tentang pengakuan seorang fans nya yang terinspirasi kata-kata John Travolta saat ia bersulang bagi ulang tahun ke 50 pembawa acara nomor satu dunia itu. Saat itu John mengatakan bahwa Oprah adalah "hadiah" yang diberikan Tuhan bagi dunia. Oprah dengan keunikannya membuat semua orang merasa nyaman berdekatan dan berbicara dengannya dan menjadi seorang sahabat yang menjadikan sahabatnya seorang yang lebih baik. Dalam bahasa Inggris, to make a better person. Kata-kata itu kemudian tertancap di benak si pemirsa yang kemudian bersama puterinya terbang ke Afrika dan membangun tempat tinggal yang layak bagi anak-anak yang kurang beruntung sehingga merasa hidupnya kini lebih bermakna karena dapat memberikan sumbangsih bagi hidup yang lebih baik bagi orang lain.
Saya lalu mengamini. Seorang sahabat selayaknya menjadi seorang yang dapat membuat sahabatnya menjadi orang yang lebih baik. Saya lalu bertanya apa yang sudah saya lakukan bagi orang-orang sekitar saya? di lingkungan keluarga? di lingkungan kerja? dan di lingkungan pertemanan? Apakah saya telah membantu keluarga saya menjadi orang yang lebih baik? Membantu teman-teman kerja saya menjadi orang yang lebih baik? membuat teman-teman saya menjadi orang yang lebih baik?
Jawaban saya: boro-boro. Menjadikan diri sendiri menjadi seorang yang lebih baik saja saya tidak yakin, apa lagi menjadi seorang yang menjadikan orang lain menjadi seorang yang lebih baik. Saya benar-benar kagum dengan teman-teman saya yang terjun langsung membantu mereka yang sedang kesulitan di Mentawai dan Merapi sementara saya hanya mengikuti perkembangannya saja melalui televisi. Ketika sedang ada tsunami di Aceh, saya bahkan tidak tahu apa-apa karena sedang berlibur di manca negara. Tahunya lewat CNN dan tidak punya gambaran sama sekali betapa parahnya kondisi di tanah air sampai saya pulang dan menyalakan tv lokal yang gambarnya beribu-ribu kali lebih seram dari apa yang ditayangkan CNN. Selama ini saya membantu membuat kampanye pendidikan masyarakat, namun itu juga karena saya dibayar. Memang saya selektif menerima pekerjaan dan memilih yang memberi manfaat bagi masyarakat, namun tetap, saya dibayar untuk itu.
Untuk keluarga, saya tidak bisa bicara banyak, tanya saja mereka. Yang jelas saya berusaha untuk mandiri dan tidak merepotkan mereka. Apakah mereka merasakan kasih sayang dan perhatian saya, mungkin ada yang merasakan namun juga banyak yang tidak tersentuh sehingga meskipun saudara rasanya jauh dan asing. Saya juga tidak serta merta membantu saudara yang membutuhkan, karena terkadang kebutuhan yang diperlukan saudara menurut saya adalah sesuatu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sendiri namun tidak tersedia karena ia kurang berusaha, atau terkadang sesuatu yang "nice to have". Terkadang justru karena keluarga kesannya jadi menggampangkan dan menganggap bahwa yang namanya pertalian darah berarti kita wajib membantu. Buat saya, semua itu tunggu dulu, lihat-lihat, betul butuh dibantu atau tidak. Kalau memang iya, saya tentu tidak segan-segan membantu.
Teman? Wah, saya ini teman yang buruk sekali. Sehari-hari jadwal saya diisi dengan kerja, dan kalau sudah bersantai, maunya bersantai dengan orang-orang terdekat saja karena sehari-hari hidup saya isi nya sudah socializing, jadi weekends dan hari libur atau jam-jam selepas kerja mau nya saya "libur" juga dari socializing. Karena itu saya memilih betul siapa-siapa yang ingin saya libatkan dalam waktu-waktu tersebut. Bukannya saya anti sosial, tetapi yang saya maksudkan, saya ini lebih senang menghabiskan waktu tertentu dengan teman tertentu, tidak ramai-ramai karena saya merasa jauh lebih relaks dan memiliki waktu santai yang lebih berkualitas dengan jumlah (orang) yang kecil. Semoga saja teman-teman yang menghabiskan waktu bersama saya merasakan ada manfaatnya ketawa ketiwi dan relaks bersama saya.
Tapi, terinspirasi oleh wantia yang terinspirasi John Travolta, saya merasa saya harus melakukan sesuatu yang "besar" dalam sisa hidup saya agar saya bisa memberikan sumbangsih lebih bagi hidup (orang), apakah itu hidup teman dan kerabat terdekat, lingkup kerja, lingkup masyarakat, lingkup negara atau bahkan lingkup dunia.
Hari ini saya belajar, bahwa hidup ini tidak hanya bertujuan untuk membuat hidup kita lebih baik, namun ada tujuan lain dari hidup ini yang tak kalah pentingnya : menjadikan dunia yang kita tinggali ini menjadi sebuah tempat yang lebih baik, termasuk semua mahluk hidup yang hidup di atasnya. Saya sedang mencari bentuk sumbangsih yang bisa saya kerjakan bagi kehidupan yang lebih baik. Bagaimana dengan Anda? Siapa tahu Anda sudah punya dan bisa menjadi inspirasi bagi saya. Coba ceritakan...
Labels:
'lawrence tjandra',
'lebih baik',
better
Saturday, November 13, 2010
13 November 2010 : Memilih Mencintai
Pagi ini saya menerima pesan bbm seperti ini di group chat dari teman saya Samuel Mulia :
Serombongan turis Amerika yang berwisata di pedalaman Tiongkok berpapasan dengan arak-arakan meriah. Sebuah arak-arakan pernikahan; pengantin pria sedang menjemput pengantin wanita untuk menuju balai pesta. "Siapa yang wajahnya ditutup cadar tebal itu?" tanya para turis. "Pengantin wanita, " sahut pemandu lagi. "Mengapa wajahnya harus ditutup?" "Di desa ini, orangtua menjodoh-kan anak-anaknya, dan seorang pengantin dilarang melihat calon pasangannya sampai resmi menikah, " jelas si pemandu.
Seorang turis penasaran: "Di negara saya, di mana setiap orang memilih jodohnya sendiri-bahkan ada yang sudah serumah sebelum menikah-angka perceraian sangat tinggi. Di sini, pasti jauh lebih tinggi ya?" Dengan heran si pemandu menjawab: "Di sini justru hampir tak ada perceraian." "Apa rahasianya?" tanya turis itu lagi. Si pemandu terdiam lama sebelum menjawab: "Di negara Anda, orang menikah dengan orang yang mereka cintai. Di sini, nenek moyang kami mengajar bahwa kami harus mencintai orang yang kami nikahi".
Kalimat terakhir dari cerita ini menancap dalam di benak saya. Benar sekali apa yang dikatakan si pemandu. Selama ini saya begitu ngotot untuk menikah dengan orang yang saya cintai, dan bukannya mencintai orang yang saya nikahi. Sebetulnya idealnya saya menikahi orang yang saya cintai dan saya mencintai orang yang saya nikahi itu. Namun kenyataannya berkata lain. Menikah dengan orang yang saya cintai sering kali memudar bersamaan dengan waktu sedang mencintai orang yang saya nikahi berarti saya mau belajar dan menerima karakter orang yang tadinya tak saya kenal sama sekali menjadi sebuah sinergi cinta yang hidup terus menerus.
Kisah di atas menyadarkan saya untuk mengubah konsep cinta. Terus terang selama ini saya selalu goyah bila dalam sebuah hubungan pribadi terdapat hal-hal yang tidak berkenan di hati. Segera saja saya menanyakan, mungkin cinta kita sudah pudar dan semua kejadian-kejadian yang ada, yang membuat saya semakin tak nyaman dan tak sabar lagi dalam hubungan ini perlu segera diakhiri. Sesungguhnya saya harus bisa melihat tujuan akhir dari hubungan ini : yaitu cinta sejati yang tak lekang waktu. Sama seperti dalam sebuah proyek atau pekerjaan, kita selalu diingatkan mengenai hasil akhir yang ingin kita capai dan secara berkala atau setiap ada kejadian tertentu kita akan mengevaluasi apakah tindakan kita sesuai dengan target yang ingin dicapai. Dalam sebuah hubungan kalau kita sudah menentukan bahwa cinta sejati yang tak lekang oleh waktu menjadi tujuan hubungan kita, tentu kita akan dengan lebih mudah menempatkan segala kejadian kembali ke perspektifnya. Saya jadi menyadari bahwa sering kali saya nya saja yang sok sensitif atau sok mau sempurna padahal kalau semua kesensitifan dan kesempurnaan itu mau dikesampingkan, hubungan ini mestinya bisa bertahan tak lekang waktu. Saya lalu menyadari begitu banyak hal yang tidak penting dalam hidup ini diposisikan secara salah menjadi prioritas padahal prioritas yang sebenarnya adalah membangun suatu hubungan penuh cinta yang bisa bertahan di antara begitu banyak badai. Saya juga akhirnya menyadari bahwa kalau kita cengeng, maka kita tak akan pernah menemukan cinta sejati. Selalu saja ada kurangnya, dan kalau sudah kejadian seperti itu, kita lalu mencari alasan untuk mencari yang baru yang lebih sempurna.
Well, tak ada yang sempurna. Karena itu kalimat tadi benar-benar ampuh untuk selalu mengingatkan saya dalam mencari cinta sejati : saya mencintai orang yang saya nikahi, bukan cuma sekedar saya menikahi orang yang saya cintai...
Serombongan turis Amerika yang berwisata di pedalaman Tiongkok berpapasan dengan arak-arakan meriah. Sebuah arak-arakan pernikahan; pengantin pria sedang menjemput pengantin wanita untuk menuju balai pesta. "Siapa yang wajahnya ditutup cadar tebal itu?" tanya para turis. "Pengantin wanita, " sahut pemandu lagi. "Mengapa wajahnya harus ditutup?" "Di desa ini, orangtua menjodoh-kan anak-anaknya, dan seorang pengantin dilarang melihat calon pasangannya sampai resmi menikah, " jelas si pemandu.
Seorang turis penasaran: "Di negara saya, di mana setiap orang memilih jodohnya sendiri-bahkan ada yang sudah serumah sebelum menikah-angka perceraian sangat tinggi. Di sini, pasti jauh lebih tinggi ya?" Dengan heran si pemandu menjawab: "Di sini justru hampir tak ada perceraian." "Apa rahasianya?" tanya turis itu lagi. Si pemandu terdiam lama sebelum menjawab: "Di negara Anda, orang menikah dengan orang yang mereka cintai. Di sini, nenek moyang kami mengajar bahwa kami harus mencintai orang yang kami nikahi".
Kalimat terakhir dari cerita ini menancap dalam di benak saya. Benar sekali apa yang dikatakan si pemandu. Selama ini saya begitu ngotot untuk menikah dengan orang yang saya cintai, dan bukannya mencintai orang yang saya nikahi. Sebetulnya idealnya saya menikahi orang yang saya cintai dan saya mencintai orang yang saya nikahi itu. Namun kenyataannya berkata lain. Menikah dengan orang yang saya cintai sering kali memudar bersamaan dengan waktu sedang mencintai orang yang saya nikahi berarti saya mau belajar dan menerima karakter orang yang tadinya tak saya kenal sama sekali menjadi sebuah sinergi cinta yang hidup terus menerus.
Kisah di atas menyadarkan saya untuk mengubah konsep cinta. Terus terang selama ini saya selalu goyah bila dalam sebuah hubungan pribadi terdapat hal-hal yang tidak berkenan di hati. Segera saja saya menanyakan, mungkin cinta kita sudah pudar dan semua kejadian-kejadian yang ada, yang membuat saya semakin tak nyaman dan tak sabar lagi dalam hubungan ini perlu segera diakhiri. Sesungguhnya saya harus bisa melihat tujuan akhir dari hubungan ini : yaitu cinta sejati yang tak lekang waktu. Sama seperti dalam sebuah proyek atau pekerjaan, kita selalu diingatkan mengenai hasil akhir yang ingin kita capai dan secara berkala atau setiap ada kejadian tertentu kita akan mengevaluasi apakah tindakan kita sesuai dengan target yang ingin dicapai. Dalam sebuah hubungan kalau kita sudah menentukan bahwa cinta sejati yang tak lekang oleh waktu menjadi tujuan hubungan kita, tentu kita akan dengan lebih mudah menempatkan segala kejadian kembali ke perspektifnya. Saya jadi menyadari bahwa sering kali saya nya saja yang sok sensitif atau sok mau sempurna padahal kalau semua kesensitifan dan kesempurnaan itu mau dikesampingkan, hubungan ini mestinya bisa bertahan tak lekang waktu. Saya lalu menyadari begitu banyak hal yang tidak penting dalam hidup ini diposisikan secara salah menjadi prioritas padahal prioritas yang sebenarnya adalah membangun suatu hubungan penuh cinta yang bisa bertahan di antara begitu banyak badai. Saya juga akhirnya menyadari bahwa kalau kita cengeng, maka kita tak akan pernah menemukan cinta sejati. Selalu saja ada kurangnya, dan kalau sudah kejadian seperti itu, kita lalu mencari alasan untuk mencari yang baru yang lebih sempurna.
Well, tak ada yang sempurna. Karena itu kalimat tadi benar-benar ampuh untuk selalu mengingatkan saya dalam mencari cinta sejati : saya mencintai orang yang saya nikahi, bukan cuma sekedar saya menikahi orang yang saya cintai...
Labels:
'cinta sejati',
'lawrence tjandra'
Friday, November 12, 2010
12 November 2010 : Ketagihan!
Pagi ini saya mengobrol dengan beberapa selebriti setelah turun ke jalan bersama untuk membagikan pesan kesehatan kepada masyarakat. Sambil makan santai kami bicara ngalor ngidul dan sampailah pembahasan kami mengenai hal yang sedang hangat diperbincangkan saat ini : Gayus di Bali. Seorang di antara kami bertanya bagaimana perasaan dia saat berkeliaran di luar penjara dan kemudian dijawab bahwa orang yang sudah biasa keluar seperti dia ya akhirnya merasa biasa saja. Mungkin di awal ada kecemasan tetapi lama-lama jadi biasa, dan ketagihan. Dan kalau sudah ketagihan, sudah lupa segalanya - apa yang salah menjadi tidak salah lagi, apa pun itu bentuk kebiasaannya, mau merokok, narkoba, atau korupsi.
Malam ini saat di toko buku, teman saya bilang mau ke tempat stationary mencari pensil. Ternyata pensil miliknya diaku oleh teman kerjanya sendiri saat ia kelupaan si pensil di ruang rapat. Pensilnya bukan sembarang pensil karena dikeluarkan oleh merk terkenal jadi mudah dikenali tapi teman kerjanya dengan nada lurus mengaku bahwa itu miliknya. Teman saya tak bisa apa-apa selain mencari yang baru. Ia memang salah tidak menandai pensilnya itu. Ia merasa heran, kok soal pensil saja tega diaku. Saya yang teringat pembahasan tadi pagi lalu mengatakan bahwa kalau sesuatu sudah jadi kebiasaan, ya sudah tidak ada perasaan bersalah lagi.
Inti pembahasan saya pagi dan malam ini adalah sesuatu yang salah, bila dicoba sekali bisa menjadikan seseorang terbiasa dan ketagihan sehingga yang tadinya salah menjadi terbenarkan dan tidak salah lagi baginya. Pembicaraan ini memperingatkan saya untuk tidak pernah coba-coba terhadap sesuatu yang salah. Karena sekali coba, mungkin merasa bersalah - tapi enak, lalu ingin mencoba lagi, lalu mencoba lagi, lalu jadi kebiasaan, dan jadi ketagihan - maka dunia menjadi terbalik, yang salah menjadi benar dan yang benar menjadi begitu jauh dan asing. Kalau sudah begitu, kita akan berdiri di sisi yang berseberangan dari tempat kita berpijak sebelumnya dan menjadi orang yang kita sendiri pun tak kenal lagi.
Jadi, untuk hari ini saya menyimpulkan : jangan pernah coba-coba!
Malam ini saat di toko buku, teman saya bilang mau ke tempat stationary mencari pensil. Ternyata pensil miliknya diaku oleh teman kerjanya sendiri saat ia kelupaan si pensil di ruang rapat. Pensilnya bukan sembarang pensil karena dikeluarkan oleh merk terkenal jadi mudah dikenali tapi teman kerjanya dengan nada lurus mengaku bahwa itu miliknya. Teman saya tak bisa apa-apa selain mencari yang baru. Ia memang salah tidak menandai pensilnya itu. Ia merasa heran, kok soal pensil saja tega diaku. Saya yang teringat pembahasan tadi pagi lalu mengatakan bahwa kalau sesuatu sudah jadi kebiasaan, ya sudah tidak ada perasaan bersalah lagi.
Inti pembahasan saya pagi dan malam ini adalah sesuatu yang salah, bila dicoba sekali bisa menjadikan seseorang terbiasa dan ketagihan sehingga yang tadinya salah menjadi terbenarkan dan tidak salah lagi baginya. Pembicaraan ini memperingatkan saya untuk tidak pernah coba-coba terhadap sesuatu yang salah. Karena sekali coba, mungkin merasa bersalah - tapi enak, lalu ingin mencoba lagi, lalu mencoba lagi, lalu jadi kebiasaan, dan jadi ketagihan - maka dunia menjadi terbalik, yang salah menjadi benar dan yang benar menjadi begitu jauh dan asing. Kalau sudah begitu, kita akan berdiri di sisi yang berseberangan dari tempat kita berpijak sebelumnya dan menjadi orang yang kita sendiri pun tak kenal lagi.
Jadi, untuk hari ini saya menyimpulkan : jangan pernah coba-coba!
Thursday, November 11, 2010
11 November 2010 : Lupa Belanja
Malam ini saya dibuat terkejut melihat tagihan kartu kredit saya yang membengkak hampir empat kali lipat dari yang biasanya saya bayar. Selidik punya selidik ternyata penyebabnya adalah pembayaran biaya perbaikan bocor beberapa waktu lalu dan pembelian telepon genggam baru. Meskipun sebenarnya telepon genggam itu saya beli dengan cara menjual telepon lama dan tinggal menambah sisanya, kenyataannya uang hasil menjual telepon lama itu sudah menguap dan tetap saja sekarang saya harus membayar sesuai harga asli si telepon. Sejenak saya terhenyak, padahal di bulan ini saya sudah berencana untuk membeli ini dan itu. Tampaknya rencana itu harus ditunda dulu, dan saya akan melunasi tagihan kartu kredit saya.
Saya langsung mencerna dan belajar dari kejadian ini : ternyata karena kemudahan kartu kredit kita cenderung lupa sudah berbelanja apa saja. Mungkin kelupaan saya ini ada sangkut pautnya dengan keputusan saya selama ini yang menggunakan kartu kredit hanya sebagai sarana membayar tagihan bulanan semata, namun pada kasus telepon genggam - waktu itu sebetulnya saya berniat membayarnya dengan kartu debit tetapi jaringan bank yang saya gunakan saat itu sedang "down" sehingga saya terpaksa menggesek dengan kartu kredit. Sebenarnya saya lebih suka bertransaksi dengan kartu debet karena langsung ketahuan kalau ternyata uangnya tinggal sedikit sehingga langsung mengerem niat belanja saya. Dengan kartu kredit, semuanya tak tampak, sepertinya saya tambah barang dan tetap punya uang.
Malam ini saya belajar, kalau belanjanya menggunakan kartu kredit, langsung "catat dan kurangi saldo di tabungan" sehingga ingat bahwa uang saya sebenarnya sudah berkurang. Bila dikaitkan dengan hidup, ternyata apa yang saya pelajari ini juga relevan. Kalau kejadian malam ini dijadikan analogi dalam hubungan dengan antar manusia, maka saya bisa menyetarakan dengan kejadian saya melakukan suatu kesalahan kepada orang dan orang itu sudah memaafkan. Kesalahan saya itu bagaikan harta yang saya belanjakan, dan pemberian maaf itu seperti fasilitas kredit. Kita sering lupa bahwa maaf itu adalah "utang". Seringkali kalau kita sudah dimaafkan kita pikir hubungan kita masih sama baiknya seperti ketika sebelum berbuat salah. Nyatanya, tidak demikian. Sebenarnya "tabungan" kita sudah berkurang sebesar kesalahan yang sudah kita perbuat. Kewajiban kita untuk membayarnya agar "neraca keuangan" kita kembali berimbang...
Saya langsung mencerna dan belajar dari kejadian ini : ternyata karena kemudahan kartu kredit kita cenderung lupa sudah berbelanja apa saja. Mungkin kelupaan saya ini ada sangkut pautnya dengan keputusan saya selama ini yang menggunakan kartu kredit hanya sebagai sarana membayar tagihan bulanan semata, namun pada kasus telepon genggam - waktu itu sebetulnya saya berniat membayarnya dengan kartu debit tetapi jaringan bank yang saya gunakan saat itu sedang "down" sehingga saya terpaksa menggesek dengan kartu kredit. Sebenarnya saya lebih suka bertransaksi dengan kartu debet karena langsung ketahuan kalau ternyata uangnya tinggal sedikit sehingga langsung mengerem niat belanja saya. Dengan kartu kredit, semuanya tak tampak, sepertinya saya tambah barang dan tetap punya uang.
Malam ini saya belajar, kalau belanjanya menggunakan kartu kredit, langsung "catat dan kurangi saldo di tabungan" sehingga ingat bahwa uang saya sebenarnya sudah berkurang. Bila dikaitkan dengan hidup, ternyata apa yang saya pelajari ini juga relevan. Kalau kejadian malam ini dijadikan analogi dalam hubungan dengan antar manusia, maka saya bisa menyetarakan dengan kejadian saya melakukan suatu kesalahan kepada orang dan orang itu sudah memaafkan. Kesalahan saya itu bagaikan harta yang saya belanjakan, dan pemberian maaf itu seperti fasilitas kredit. Kita sering lupa bahwa maaf itu adalah "utang". Seringkali kalau kita sudah dimaafkan kita pikir hubungan kita masih sama baiknya seperti ketika sebelum berbuat salah. Nyatanya, tidak demikian. Sebenarnya "tabungan" kita sudah berkurang sebesar kesalahan yang sudah kita perbuat. Kewajiban kita untuk membayarnya agar "neraca keuangan" kita kembali berimbang...
Labels:
'lawrence tjandra',
utang
Wednesday, November 10, 2010
10 November 2010 : Belajar dari Obama
Presiden Amerika Serikat Barack Obama akhirnya tiba juga di negara yang pernah mengisi masa kecilnya selama empat tahun. Meskipun kurang dari sehari, ia dan isterinya Michelle membuat heboh bangsa ini. Mulai dari pakaian dan kerudung yang digunakan Ibu Negara sampai emping dan kerupuk masuk dalam topik bahasan. Dibanding dengan pendahulunya, George Walker Bush, penolakan terhadap kehadiran Obama terasa lebih lunak. Mungkin karena ia dianggap masih sebagai anak Menteng Dalam, jadi kita merasa ia masih sebagai bagian dari kita.
Saya pribadi mengikuti setiap gerak gerik Presiden muda itu sejak ia mendarat hingga lepas landas meninggalkan bumi pertiwi. Yang paling menarik bagi saya adalah gaya dan caranya merangkul bangsa ini. Bangsa yang cemburu karena ia cuma datang sehari padahal di India tinggal tiga hari. Bangsa yang curiga kira-kira misi apa yang ada dibalik kedatangannya. Kata-kata yang pertama keluar dari mulutnya sesaat turun dari tangga pesawat? "Apa kabar?" Dalam bahasa Indonesia. Ketika mengeluarkan pernyataan dalam konferensi pers, ia memamerkan keIndonesiaannya bahkan kepada wartawan asing dengan sempat-sempatnya menjelaskan soal bemo. Lalu ia bersikap sedikit promotif, mengatakan bahwa ada banyak tempat lain yang indah di Indonesia di luar Jakarta seperti Yogya dan Bali yang kaya akan budaya dan candi kunonya. Ia menutup pidatonya dengan Assalamualaikum. Malamnya, ia kembali bernostalgia sambil mengambil hati tuan rumah dengan mengatakan "Terima kasih. Semuanya Enak!" untuk bakso, nasi goreng, emping dan kerupuk yang dihidangkan dalam jamuan kenegaraan. Sebelumnya, ia melanggar protokoler acara kenegaraan dengan bangkit dari duduknya dan menghampiri serta menyalami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, lalu berkeliling menyapa tetamu lainnya. Suasana formal langsung mencair. Pagi ini ia dan isterinya berkeliling Masjid Istiqlal. Jelas untuk kepentingan public relations, namun ia melakukannya dengan sempurna. Ibu Negara bahkan tampil dengan busana daur ulang ditambah kerudung yang membelit wajahnya menyerupai jilbab namun tetap stylish dengan motif animal print. Di Universitas Indonesia, ia mengulang kemampuan sihirnya dengan pidato yang santai, sedikit kembali bernostalgia bahkan melucu dengan gaya khasnya menirukan tukang sate, namun berbobot dan menunjukkan kualitas kenegarawanannya. Serta merta para mahasiswa membandingkannya dengan pemimpin negeri ini yang cenderung kaku dan protokoler sehingga berkesan berjarak dan membosankan. Lepas dari UI, ia langsung terbang ke Korea setelah sebelumnya sang isteri terlebih dahulu lepas landas pulang ke negeri Paman Sam.
Apa yang saya dapatkan dari kunjungan Obama kali ini? Kemampuan komunikasi yang luar biasa jenius. Ia tahu kapan mengambil hati, tahu kapan menyelipkan pesan kunci kedatangannya di antara cerita nostalgia yang menarik minat bangsa ini. Tahu bagaimana membangun rasa bangga kita "memiliki" seorang Obama sekaligus dibangkitkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Suatu hal yang selama ini gagal diciptakan oleh pemimpin kita sendiri. Kata-kata Bahasa Indonesia yang digunakan tidak terlalu banyak, namun dilafalkan dengan gaya orang Indonesia asli sehingga cukup membuat kita bangga dan puas mendengarnya. Obama mengajari saya bahwa agar sebuah pesan itu masuk ke jantung hati khalayak pendengar tidak harus dilakukan dengan gaya penuh otoritas, namun dengan kesahajaan dan rangkulan yang membuatnya salah satu dari kita. Itulah teknik komunikasi yang jitu.
Terima kasih, Obama. Kehadiran Anda kali ini membuka mata saya akan teknik presentasi dan public speaking yang mumpuni. Sebuah pelajaran yang jauh lebih berharga dari teori dan kuliah public speaking dan presentation skill mana pun yang pernah saya jumpai. Sampai datang lagi ke Indonesia tahun depan, Mr. President. Kali ini Anda ditunggu bersama seluruh keluarga, sesuai janji Anda kemarin sore di Istana Negara...
Saya pribadi mengikuti setiap gerak gerik Presiden muda itu sejak ia mendarat hingga lepas landas meninggalkan bumi pertiwi. Yang paling menarik bagi saya adalah gaya dan caranya merangkul bangsa ini. Bangsa yang cemburu karena ia cuma datang sehari padahal di India tinggal tiga hari. Bangsa yang curiga kira-kira misi apa yang ada dibalik kedatangannya. Kata-kata yang pertama keluar dari mulutnya sesaat turun dari tangga pesawat? "Apa kabar?" Dalam bahasa Indonesia. Ketika mengeluarkan pernyataan dalam konferensi pers, ia memamerkan keIndonesiaannya bahkan kepada wartawan asing dengan sempat-sempatnya menjelaskan soal bemo. Lalu ia bersikap sedikit promotif, mengatakan bahwa ada banyak tempat lain yang indah di Indonesia di luar Jakarta seperti Yogya dan Bali yang kaya akan budaya dan candi kunonya. Ia menutup pidatonya dengan Assalamualaikum. Malamnya, ia kembali bernostalgia sambil mengambil hati tuan rumah dengan mengatakan "Terima kasih. Semuanya Enak!" untuk bakso, nasi goreng, emping dan kerupuk yang dihidangkan dalam jamuan kenegaraan. Sebelumnya, ia melanggar protokoler acara kenegaraan dengan bangkit dari duduknya dan menghampiri serta menyalami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, lalu berkeliling menyapa tetamu lainnya. Suasana formal langsung mencair. Pagi ini ia dan isterinya berkeliling Masjid Istiqlal. Jelas untuk kepentingan public relations, namun ia melakukannya dengan sempurna. Ibu Negara bahkan tampil dengan busana daur ulang ditambah kerudung yang membelit wajahnya menyerupai jilbab namun tetap stylish dengan motif animal print. Di Universitas Indonesia, ia mengulang kemampuan sihirnya dengan pidato yang santai, sedikit kembali bernostalgia bahkan melucu dengan gaya khasnya menirukan tukang sate, namun berbobot dan menunjukkan kualitas kenegarawanannya. Serta merta para mahasiswa membandingkannya dengan pemimpin negeri ini yang cenderung kaku dan protokoler sehingga berkesan berjarak dan membosankan. Lepas dari UI, ia langsung terbang ke Korea setelah sebelumnya sang isteri terlebih dahulu lepas landas pulang ke negeri Paman Sam.
Apa yang saya dapatkan dari kunjungan Obama kali ini? Kemampuan komunikasi yang luar biasa jenius. Ia tahu kapan mengambil hati, tahu kapan menyelipkan pesan kunci kedatangannya di antara cerita nostalgia yang menarik minat bangsa ini. Tahu bagaimana membangun rasa bangga kita "memiliki" seorang Obama sekaligus dibangkitkan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Suatu hal yang selama ini gagal diciptakan oleh pemimpin kita sendiri. Kata-kata Bahasa Indonesia yang digunakan tidak terlalu banyak, namun dilafalkan dengan gaya orang Indonesia asli sehingga cukup membuat kita bangga dan puas mendengarnya. Obama mengajari saya bahwa agar sebuah pesan itu masuk ke jantung hati khalayak pendengar tidak harus dilakukan dengan gaya penuh otoritas, namun dengan kesahajaan dan rangkulan yang membuatnya salah satu dari kita. Itulah teknik komunikasi yang jitu.
Terima kasih, Obama. Kehadiran Anda kali ini membuka mata saya akan teknik presentasi dan public speaking yang mumpuni. Sebuah pelajaran yang jauh lebih berharga dari teori dan kuliah public speaking dan presentation skill mana pun yang pernah saya jumpai. Sampai datang lagi ke Indonesia tahun depan, Mr. President. Kali ini Anda ditunggu bersama seluruh keluarga, sesuai janji Anda kemarin sore di Istana Negara...
Tuesday, November 09, 2010
9 November 2010 : Santai Bermakna
Tidak biasanya saya mengangkat telepon yang berdering saat sedang dalam pertemuan dengan klien kecuali bila yang menelepon itu adalah keluarga dan orang terdekat saya. Namun kali ini, saya membuat pengecualian karena yang menelepon adalah seorang Duta Besar kenalan lama saya yang sedang berada di Indonesia. Perbincangan kami tidak lama terutama karena terputus oleh buruknya sambungan telepon, namun dari pembicaraan singkat itu kami sempat saling curhat.
Sebelum menjadi Duta Besar, saya sempat menjadi konsultan komunikasi untuk perusahaan Beliau namun sepeninggalan Beliau bertugas ke luar negeri dan masuknya insan-insan baru yang tidak mengerti visi Beliau di bidang komunikasi korporasi, saya tidak lagi menjadi konsultan perusahaan itu lagi. Setelah sekian lama, Beliau terkaget-kaget atas perubahan yang terjadi di dalam dan meminta saya untuk bersedia membantu lagi. Saya pribadi mengatakan siap dan sebetulnya ingin curhat juga kepada Beliau akan apa yang terjadi, namun tentu waktunya sekarang tidak memungkinkan, maka saya meminta Beliau untuk mencari tahu dari wakil Beliau di perusahaan tersebut.
Saya merasa tersanjung atas kesediaan Beliau menghubungi saya terlebih dahulu di sela-sela kesibukan Beliau menunaikan tugas negaranya. Dari kejadian singkat ini saya mencatat berapa hal :
1. Pentingnya menjaga kualitas kerja dan menjalin hubungan kemitraan dan persahabatan dengan tulus.
2. Pentingnya membuang jauh-jauh rasa gengsi dan berinisiatif untuk "reach out" terlebih dahulu. Sebagai seorang pejabat negara, Beliau mengesampingkan protokoler untuk menghubungi saya secara pribadi dan bicara dari hati ke hati ketimbang memilih dibuatkan appointment resmi oleh sekretaris maupun asisten pribadinya. Perlakuan ini jelas mencairkan suasana formal.
Saya jadi teringat pelajaran teknik negosiasi terpenting yang saya peroleh dari pengalaman saya bersama mendiang Bapak Ken Sudarto yang membawa masalah rumit ke meja makan. Beliau punya kebiasaan mengundang mitra nya yang sedang bermasalah untuk makan siang atau makan malam. Selama jamuan makan, saya yang mendampingi Beliau tidak pernah mendengar sedikit pun dari mereka menyentuh mengenai masalah yang diributkan. Baru pada saat hidangan penutup, mereka membahasnya kurang dari lima menit, lalu meneruskan hasil pembahasan tersebut untuk saya tindaklanjuti. Tidak ada pertikaian sengit. Yang ada hanyalah penyelesaian sambil ketawa ketiwi, jauh berbeda kalau bawahan yang menyelesaikan. Mungkin karena negosiasi tingkat tinggi ini juga dibekali dengan daya dan otoritas yang besar pula sehingga mempermudah melicinkan jalan kesepakatan, namun yang saya pelajari dari kebiasaan jamuan makan Pak Ken maupun telepon singkat Pak Dubes adalah sesuatu (masalah)yang rumit akan bisa tercairkan dan terurai dengan kepala dingin dan niat persahabatan yang tulus ...
Sebelum menjadi Duta Besar, saya sempat menjadi konsultan komunikasi untuk perusahaan Beliau namun sepeninggalan Beliau bertugas ke luar negeri dan masuknya insan-insan baru yang tidak mengerti visi Beliau di bidang komunikasi korporasi, saya tidak lagi menjadi konsultan perusahaan itu lagi. Setelah sekian lama, Beliau terkaget-kaget atas perubahan yang terjadi di dalam dan meminta saya untuk bersedia membantu lagi. Saya pribadi mengatakan siap dan sebetulnya ingin curhat juga kepada Beliau akan apa yang terjadi, namun tentu waktunya sekarang tidak memungkinkan, maka saya meminta Beliau untuk mencari tahu dari wakil Beliau di perusahaan tersebut.
Saya merasa tersanjung atas kesediaan Beliau menghubungi saya terlebih dahulu di sela-sela kesibukan Beliau menunaikan tugas negaranya. Dari kejadian singkat ini saya mencatat berapa hal :
1. Pentingnya menjaga kualitas kerja dan menjalin hubungan kemitraan dan persahabatan dengan tulus.
2. Pentingnya membuang jauh-jauh rasa gengsi dan berinisiatif untuk "reach out" terlebih dahulu. Sebagai seorang pejabat negara, Beliau mengesampingkan protokoler untuk menghubungi saya secara pribadi dan bicara dari hati ke hati ketimbang memilih dibuatkan appointment resmi oleh sekretaris maupun asisten pribadinya. Perlakuan ini jelas mencairkan suasana formal.
Saya jadi teringat pelajaran teknik negosiasi terpenting yang saya peroleh dari pengalaman saya bersama mendiang Bapak Ken Sudarto yang membawa masalah rumit ke meja makan. Beliau punya kebiasaan mengundang mitra nya yang sedang bermasalah untuk makan siang atau makan malam. Selama jamuan makan, saya yang mendampingi Beliau tidak pernah mendengar sedikit pun dari mereka menyentuh mengenai masalah yang diributkan. Baru pada saat hidangan penutup, mereka membahasnya kurang dari lima menit, lalu meneruskan hasil pembahasan tersebut untuk saya tindaklanjuti. Tidak ada pertikaian sengit. Yang ada hanyalah penyelesaian sambil ketawa ketiwi, jauh berbeda kalau bawahan yang menyelesaikan. Mungkin karena negosiasi tingkat tinggi ini juga dibekali dengan daya dan otoritas yang besar pula sehingga mempermudah melicinkan jalan kesepakatan, namun yang saya pelajari dari kebiasaan jamuan makan Pak Ken maupun telepon singkat Pak Dubes adalah sesuatu (masalah)yang rumit akan bisa tercairkan dan terurai dengan kepala dingin dan niat persahabatan yang tulus ...
Labels:
'lawrence tjandra',
negosiasi
Monday, November 08, 2010
8 November 2010 : Cemburu!
Pagi-pagi saya sudah disuguhi bacaan mengenai kehebohan di dunia entertainment. Marissa Haque, artis senior dan mantan politisi menulis di blog nya marah-marah kepada Vina Panduwinata dan Memes yang katanya berlaku provokatif dan menggoda suaminya. Buat yang mengikuti jagad entertainment di Indonesia, ini sebuah kejutan karena selama ini Marissa dianggap sebagai seorang yang santun. Saya sendiri pernah berinteraksi dengan Marissa dan memiliki pandangan yang sama dengan kebanyakan orang. Akan halnya Ikang Fawzi suaminya, ia juga seorang yang sangat baik dan tidak sombong. Karena itu, berita pagi ini merupakan kejutan bagi saya pribadi. Dikabarkan puterinya Bella sampai harus men-tweet minta maaf.
Berita ini kemudian menjadi topik bahasan ringan di saat meeting tadi. Semua yang ada di dalam ruangan itu sepakat bahwa pasti ngawur menuduh Memes dan Vina Panduwinata seenaknya. Saya sendiri pernah mengobrol santai dengan Vina di sebuah pesta keluarga mengingat adik Vina adalah adik ipar teman baik saya. Namun begitulah kalau sedang cemburu.
Belum lagi hari usai, saya menerima ocehan seorang teman yang dibakar api cemburu. Ia bercerita bahwa beberapa hari yang lalu kekasihnya menceritakan seorang pengusaha kaya rekanan perusahaannya sedang menggoda-godanya, sampai menulis sms tidak senonoh, mengatakan sedang membayangkan kekasih teman saya dalam keadaan telanjang. Sore ini ia dikabari pacarnya bahwa sang pacar harus meeting malam ini dengan si playboy cap kampak itu. Lalu berkembang, meetingnya tidak jadi di kantor, tapi di sebuah hotel mewah. Si rekanan bisnis itu ngotot melakukan penandatanganan di kamarnya, lalu mengajak makan. Si eksekutif mengatakan di coffee shop saja dan ditanggapi positif, bahkan diajak makan. Lalu ia bilang, oke makan dulu nanti tanda tangannya di kamar. Sang pacar kemudian menelpon teman saya dan teman saya pun mengutarakan ketidaknyamanannya atas pengaturan pertemuan ini. Sang pacar bilang, ia akan bawa supirnya. Teman saya tidak bisa berbuat terlalu banyak melarang-larang, dia hanya berkata, "Use your judgement. Be careful."
Untuk urusan ini, ia ragu bagaimana cara yang terbaik menghadapinya sehingga ia tidak semata-mata terbakar api cemburu, tapi juga bisa mengutarakan keberatannya secara proposional kepada pacarnya. Sebetulnya ia kesal benar, dan sialnya kekesalannya ditumpahkan bukan pada pacarnya, tapi kepada saya. Bukan karena saya bersalah atau ikut andil dalam semuanya ini, tetapi sudah nasib jadi tempat curhat.
Saya lalu teringat sebuah link blog tulisan Adrian Nugraha yang dikirim teman saya Anita siang ini, namun baru sempat saya buka ketika sedang dalam perjalanan pulang. Saya copy kan saja isinya supaya mudah :
Eko Pratomo Suyatno, siapa yang tidak kenal lelaki bersahaja ini? Namanya sering muncul di koran, televisi, di buku-buku investasi dan keuangan. Dialah salah seorang di balik kemajuan industri reksadana di Indonesia dan juga seorang pemimpin dari sebuah perusahaan investasi reksadana besar di negeri ini.
Dalam posisinya seperti sekarang ini, boleh jadi kita beranggapan bahwa pria ini pasti super sibuk dengan segudang jadwal padat. Tapi dalam note ini saya tidak akan menyoroti kesuksesan beliau sebagai eksekutif. Karena ada sisi kesehariannya yang luar biasa!!!!
Usianya sudah tidak terbilang muda lagi, 60 tahun. Orang bilang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, tapi Pak Suyatno masih bersemangat merawat istrinya yang sedang sakit. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Dikaruniai 4 orang anak.
Dari sinilah awal cobaan itu menerpa, saat istrinya melahirkan anak yang ke empat. tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Hal itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari sebelum berangkat kerja Pak Suyatno sendirian memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi dan mengangkat istrinya ke tempat tidur. Dia letakkan istrinya di depan TV agar istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya sudah tidak dapat bicara tapi selalu terlihat senyum. Untunglah tempat berkantor Pak Suyatno tidak terlalu jauh dari kediamannya, sehingga siang hari dapat pulang untuk menyuapi istrinya makan siang.
Sorenya adalah jadwal memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa menanggapi lewat tatapan matanya, namun begitu bagi Pak Suyatno sudah cukup menyenangkan. Bahkan terkadang diselingi dengan menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun. Dengan penuh kesabaran dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah hati mereka. Sekarang anak- anak mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yg masih kuliah.
Pada suatu hari…saat seluruh anaknya berkumpul di rumah menjenguk ibunya– karena setelah anak-anak mereka menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing– Pak Suyatno memutuskan dirinyalah yang merawat ibu mereka karena yang dia inginkan hanya satu ‘agar semua anaknya dapat berhasil’.
Dengan kalimat yang cukup hati-hati, anak yang sulung berkata:
“Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak……bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu.” Sambil air mata si sulung berlinang.
“Sudah keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak, dengan berkorban seperti ini, kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”. Si Sulung melanjutkan permohonannya.
”Anak-anakku…Jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah lagi, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian di sampingku itu sudah lebih dari cukup,dia telah melahirkan kalian….*sejenak kerongkongannya tersekat*… kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat dihargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini ?? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya seperti sekarang, kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit.” Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anaknya
Sejenak meledaklah tangis anak-anak Pak Suyatno, merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata Ibu Suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu……
Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Pak Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa-apa….disaat itulah meledak tangisnya dengan tamu yang hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru.
Disitulah Pak Suyatno bercerita : “Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian itu adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 anak yang lucu-lucu..Sekarang saat dia sakit karena berkorban untuk cinta kami bersama… dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit…” Sambil menangis
” Setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya hanya dapat bercerita kepada Allah di atas sajadah..dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk menyimpan dan mendengar rahasia saya…”BAHWA CINTA SAYA KEPADA ISTRI, SAYA SERAHKAN SEPENUHNYA KEPADA ALLAH”.
Saya terpaku membacanya. Dan malu, lalu mensharekan blog ini kepada teman saya. Malu karena tingkat kedewasaan batiniah saya masih sebatas cemburu-cemburuan, sama seperti teman saya tadi, sedang cinta Pak Suyatno sudah di taraf unconditional love.
Malam ini saya membuat beberapa catatan tentang cemburu :
1. Saat cemburu, orang menjadi kehilangan akal sehat dan berlaku yang tidak seharusnya dilakukan. Apa yang dilakukan seseorang di kala cemburu, justru akan menghancurkan kebersamaan dan cinta yang terjalin sebelumnya. Karenanya, kalau sedang cemburu, berdebatlah dengan diri sendiri sampai pada titik dimana emosi sudah mulai mendingin, baru bicara baik-baik pada pasangan kita. Yang dibutuhkan pasangan kita bukan tuduhan, tapi mengerti perasaan kita dalam skala yang proporsional.
2. Saat cemburu, pikiran yang biasanya segera muncul adalah : putus. Padahal, belum tentu apa yang dicemburukan tepat seperti yang terjadi. Seringkali pemikiran cemburu itu berkembang liar menuruti napsu angkara murka kita. Saat cemburu, saya belajar untuk tidak bicara apa pun atau bertindak apa pun juga, karena perkataan dan tindakan yang saya hasilkan akan ngawur dan sia-sia saja hasilnya. Yang rugi, besar kemungkinan ya kita sendiri.
3. Cinta sejati adalah cinta yang melewati batas cemburu. Cinta sejati adalah cinta yang tidak menuntut dan bersyarat. Cinta sejati adalah cinta yang mengerti.
Hari ini saya belajar sekaligus soal kecemburuan dan cinta sejati.
Berita ini kemudian menjadi topik bahasan ringan di saat meeting tadi. Semua yang ada di dalam ruangan itu sepakat bahwa pasti ngawur menuduh Memes dan Vina Panduwinata seenaknya. Saya sendiri pernah mengobrol santai dengan Vina di sebuah pesta keluarga mengingat adik Vina adalah adik ipar teman baik saya. Namun begitulah kalau sedang cemburu.
Belum lagi hari usai, saya menerima ocehan seorang teman yang dibakar api cemburu. Ia bercerita bahwa beberapa hari yang lalu kekasihnya menceritakan seorang pengusaha kaya rekanan perusahaannya sedang menggoda-godanya, sampai menulis sms tidak senonoh, mengatakan sedang membayangkan kekasih teman saya dalam keadaan telanjang. Sore ini ia dikabari pacarnya bahwa sang pacar harus meeting malam ini dengan si playboy cap kampak itu. Lalu berkembang, meetingnya tidak jadi di kantor, tapi di sebuah hotel mewah. Si rekanan bisnis itu ngotot melakukan penandatanganan di kamarnya, lalu mengajak makan. Si eksekutif mengatakan di coffee shop saja dan ditanggapi positif, bahkan diajak makan. Lalu ia bilang, oke makan dulu nanti tanda tangannya di kamar. Sang pacar kemudian menelpon teman saya dan teman saya pun mengutarakan ketidaknyamanannya atas pengaturan pertemuan ini. Sang pacar bilang, ia akan bawa supirnya. Teman saya tidak bisa berbuat terlalu banyak melarang-larang, dia hanya berkata, "Use your judgement. Be careful."
Untuk urusan ini, ia ragu bagaimana cara yang terbaik menghadapinya sehingga ia tidak semata-mata terbakar api cemburu, tapi juga bisa mengutarakan keberatannya secara proposional kepada pacarnya. Sebetulnya ia kesal benar, dan sialnya kekesalannya ditumpahkan bukan pada pacarnya, tapi kepada saya. Bukan karena saya bersalah atau ikut andil dalam semuanya ini, tetapi sudah nasib jadi tempat curhat.
Saya lalu teringat sebuah link blog tulisan Adrian Nugraha yang dikirim teman saya Anita siang ini, namun baru sempat saya buka ketika sedang dalam perjalanan pulang. Saya copy kan saja isinya supaya mudah :
Eko Pratomo Suyatno, siapa yang tidak kenal lelaki bersahaja ini? Namanya sering muncul di koran, televisi, di buku-buku investasi dan keuangan. Dialah salah seorang di balik kemajuan industri reksadana di Indonesia dan juga seorang pemimpin dari sebuah perusahaan investasi reksadana besar di negeri ini.
Dalam posisinya seperti sekarang ini, boleh jadi kita beranggapan bahwa pria ini pasti super sibuk dengan segudang jadwal padat. Tapi dalam note ini saya tidak akan menyoroti kesuksesan beliau sebagai eksekutif. Karena ada sisi kesehariannya yang luar biasa!!!!
Usianya sudah tidak terbilang muda lagi, 60 tahun. Orang bilang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, tapi Pak Suyatno masih bersemangat merawat istrinya yang sedang sakit. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Dikaruniai 4 orang anak.
Dari sinilah awal cobaan itu menerpa, saat istrinya melahirkan anak yang ke empat. tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Hal itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari sebelum berangkat kerja Pak Suyatno sendirian memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi dan mengangkat istrinya ke tempat tidur. Dia letakkan istrinya di depan TV agar istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya sudah tidak dapat bicara tapi selalu terlihat senyum. Untunglah tempat berkantor Pak Suyatno tidak terlalu jauh dari kediamannya, sehingga siang hari dapat pulang untuk menyuapi istrinya makan siang.
Sorenya adalah jadwal memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa menanggapi lewat tatapan matanya, namun begitu bagi Pak Suyatno sudah cukup menyenangkan. Bahkan terkadang diselingi dengan menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun. Dengan penuh kesabaran dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah hati mereka. Sekarang anak- anak mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yg masih kuliah.
Pada suatu hari…saat seluruh anaknya berkumpul di rumah menjenguk ibunya– karena setelah anak-anak mereka menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing– Pak Suyatno memutuskan dirinyalah yang merawat ibu mereka karena yang dia inginkan hanya satu ‘agar semua anaknya dapat berhasil’.
Dengan kalimat yang cukup hati-hati, anak yang sulung berkata:
“Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak……bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu.” Sambil air mata si sulung berlinang.
“Sudah keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak, dengan berkorban seperti ini, kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”. Si Sulung melanjutkan permohonannya.
”Anak-anakku…Jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah lagi, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian di sampingku itu sudah lebih dari cukup,dia telah melahirkan kalian….*sejenak kerongkongannya tersekat*… kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat dihargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini ?? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya seperti sekarang, kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit.” Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anaknya
Sejenak meledaklah tangis anak-anak Pak Suyatno, merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata Ibu Suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu……
Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Pak Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa-apa….disaat itulah meledak tangisnya dengan tamu yang hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru.
Disitulah Pak Suyatno bercerita : “Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian itu adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 anak yang lucu-lucu..Sekarang saat dia sakit karena berkorban untuk cinta kami bersama… dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit…” Sambil menangis
” Setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya hanya dapat bercerita kepada Allah di atas sajadah..dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk menyimpan dan mendengar rahasia saya…”BAHWA CINTA SAYA KEPADA ISTRI, SAYA SERAHKAN SEPENUHNYA KEPADA ALLAH”.
Saya terpaku membacanya. Dan malu, lalu mensharekan blog ini kepada teman saya. Malu karena tingkat kedewasaan batiniah saya masih sebatas cemburu-cemburuan, sama seperti teman saya tadi, sedang cinta Pak Suyatno sudah di taraf unconditional love.
Malam ini saya membuat beberapa catatan tentang cemburu :
1. Saat cemburu, orang menjadi kehilangan akal sehat dan berlaku yang tidak seharusnya dilakukan. Apa yang dilakukan seseorang di kala cemburu, justru akan menghancurkan kebersamaan dan cinta yang terjalin sebelumnya. Karenanya, kalau sedang cemburu, berdebatlah dengan diri sendiri sampai pada titik dimana emosi sudah mulai mendingin, baru bicara baik-baik pada pasangan kita. Yang dibutuhkan pasangan kita bukan tuduhan, tapi mengerti perasaan kita dalam skala yang proporsional.
2. Saat cemburu, pikiran yang biasanya segera muncul adalah : putus. Padahal, belum tentu apa yang dicemburukan tepat seperti yang terjadi. Seringkali pemikiran cemburu itu berkembang liar menuruti napsu angkara murka kita. Saat cemburu, saya belajar untuk tidak bicara apa pun atau bertindak apa pun juga, karena perkataan dan tindakan yang saya hasilkan akan ngawur dan sia-sia saja hasilnya. Yang rugi, besar kemungkinan ya kita sendiri.
3. Cinta sejati adalah cinta yang melewati batas cemburu. Cinta sejati adalah cinta yang tidak menuntut dan bersyarat. Cinta sejati adalah cinta yang mengerti.
Hari ini saya belajar sekaligus soal kecemburuan dan cinta sejati.
Labels:
'cinta sejati',
'lawrence tjandra',
cemburu
Sunday, November 07, 2010
7 November 2010 : Respon Positif
Saya menyaksikan perubahan dari seorang kerabat yang tadinya ceria menjadi diam saja. Saya yang biasa peka menanyakan ada apa, tapi ia mengatakan baik-baik saja. Lama setelah itu, baru ia bercerita apa yang menjadi kegundahannya. Saya tanya, kok nggak dari tadi cerita? Ia lalu berkata habis kalau ia bercerita, tanggapan saya selalu menggampangkan : ah, itu kan hanya perasaan kamu saja. Everything will be alright. Don't worry... dan respon seperti itu justru membuat ia malas bercerita lanjut. Saya lalu bertanya, "jadi respon apa yang kamu inginkan dari saya?" Ya ikut terlibat dan membahas, bukannya menggampangkan. Saya lalu menjawab, "Wah, berarti salah persepsi. Saya berlaku seperti itu bukan untuk menggampangkan, tetapi sebenarnya ingin membuat kamu tidak terlalu khawatir mengenai sesuatu hal..."
Saya berlaku seperti ini karena ada teman yang kerjanya berpikir negatif terhadap berbagai kejadian yang menimpa dirinya, terutama soal penyakit. Begitu ada indikator bahwa trigliserid nya naik, ia sudah merasa maut menjemputnya. Tidak enak apa, ia langsung merasa mau mati. Menghadapi yang seperti ini, saya mencoba untuk menghilangkan rasa kepikirannya dengan menghibur dan meyakinkan bahwa ia tidak akan mati gara-gara trigeliserid nya di atas ambang rata-rata. Yang perlu dilakukan adalah mengubah gaya hidup dan berkonsultasi ke ahli. Tapi rupanya teknik menghibur macam ini tidak berlaku untuk semua orang. Bagi kerabat saya yang di atas, justru merupakan teknik basi yang menyebalkan, dan membuat ia tak bersemangat untuk berbagi cerita.
Saya pasti pernah bercerita tentang respon yang diberikan Ibu saya ketika saya mengatakan berhenti dari pekerjaan lama dan pindah ke pekerjaan yang baru. Saat itu saya habis diceramahi sampai akhirnya saya sakit kuping dan bilang, "Ma, tugas orang tua itu macam-macam. Salah satunya, menjadi sandaran dan tempat berkeluh-kesah sang anak, tanpa perlu mengomentarinya. Inilah saatnya Mami berperan seperti itu. Saya tahu apa yang saya lakukan. Saya hanya butuh orang tua yang mau mendengar tanpa menasihati agar saya mantap melangkah. Believe me, I know what I am doing."
Seorang teman sejak kemarin berkeluh kesah ditipu oleh seseorang yang dikenalnya melalui internet padahal ia sudah kadung jatuh cinta. Mendengar ceritanya saya jadi panas dan mengatakan, sudahlah, get realistic, dia cuma mau iseng saja. Makanya jangan terlalu cepat percaya terbuai rayuan gombal. Mumpung ini masih awal, lupakan saja dan jangan mudah percaya lagi. Responnya? Setelah sms saya yang terakhir tadi, sampai detik ini saya tidak mendapat jawaban atau tanggapan apa pun darinya. Saya mulai merasa bersalah. Jangan-jangan saya terlalu kasar mengungkapkan nasihat saya. Jangan-jangan ia sakit hati. Tapi biarlah, biasanya sebuah kebenaran yang pahit bisa menjadi obat mujarab bagi orang yang kena penyakit linglung, begitu saya menghibur diri...
Hari ini saya menyadari bahwa ketika seseorang mempercayakan cerita pribadinya kepada orang lain, orang yang dipercaya diharapkan memberi respon yang tepat agar berdampak positif bagi yang bercerita - dan respon positif yang diharapkan ternyata bukan melulu yang bernada menghibur. Kerabat saya membutuhkan seseorang yang mau ikut terlibat mendiskusikan masalahnya. Saya membutuhkan telinga orang tua untuk mendengar minut ceramah-ceramahnya. Jadi apa yang harus saya lakukan ketika seseorang bercerita tentang masalahnya kepada saya? Mendengar tentunya, dan jangan berkomentar dulu sebelum yang bersangkutan mengungkapkan apa yang dibutuhkannya dari saya. Kali ini saya tidak mau sok pintar lagi, dan sok menjadi seorang penasihat ulung...
Saya berlaku seperti ini karena ada teman yang kerjanya berpikir negatif terhadap berbagai kejadian yang menimpa dirinya, terutama soal penyakit. Begitu ada indikator bahwa trigliserid nya naik, ia sudah merasa maut menjemputnya. Tidak enak apa, ia langsung merasa mau mati. Menghadapi yang seperti ini, saya mencoba untuk menghilangkan rasa kepikirannya dengan menghibur dan meyakinkan bahwa ia tidak akan mati gara-gara trigeliserid nya di atas ambang rata-rata. Yang perlu dilakukan adalah mengubah gaya hidup dan berkonsultasi ke ahli. Tapi rupanya teknik menghibur macam ini tidak berlaku untuk semua orang. Bagi kerabat saya yang di atas, justru merupakan teknik basi yang menyebalkan, dan membuat ia tak bersemangat untuk berbagi cerita.
Saya pasti pernah bercerita tentang respon yang diberikan Ibu saya ketika saya mengatakan berhenti dari pekerjaan lama dan pindah ke pekerjaan yang baru. Saat itu saya habis diceramahi sampai akhirnya saya sakit kuping dan bilang, "Ma, tugas orang tua itu macam-macam. Salah satunya, menjadi sandaran dan tempat berkeluh-kesah sang anak, tanpa perlu mengomentarinya. Inilah saatnya Mami berperan seperti itu. Saya tahu apa yang saya lakukan. Saya hanya butuh orang tua yang mau mendengar tanpa menasihati agar saya mantap melangkah. Believe me, I know what I am doing."
Seorang teman sejak kemarin berkeluh kesah ditipu oleh seseorang yang dikenalnya melalui internet padahal ia sudah kadung jatuh cinta. Mendengar ceritanya saya jadi panas dan mengatakan, sudahlah, get realistic, dia cuma mau iseng saja. Makanya jangan terlalu cepat percaya terbuai rayuan gombal. Mumpung ini masih awal, lupakan saja dan jangan mudah percaya lagi. Responnya? Setelah sms saya yang terakhir tadi, sampai detik ini saya tidak mendapat jawaban atau tanggapan apa pun darinya. Saya mulai merasa bersalah. Jangan-jangan saya terlalu kasar mengungkapkan nasihat saya. Jangan-jangan ia sakit hati. Tapi biarlah, biasanya sebuah kebenaran yang pahit bisa menjadi obat mujarab bagi orang yang kena penyakit linglung, begitu saya menghibur diri...
Hari ini saya menyadari bahwa ketika seseorang mempercayakan cerita pribadinya kepada orang lain, orang yang dipercaya diharapkan memberi respon yang tepat agar berdampak positif bagi yang bercerita - dan respon positif yang diharapkan ternyata bukan melulu yang bernada menghibur. Kerabat saya membutuhkan seseorang yang mau ikut terlibat mendiskusikan masalahnya. Saya membutuhkan telinga orang tua untuk mendengar minut ceramah-ceramahnya. Jadi apa yang harus saya lakukan ketika seseorang bercerita tentang masalahnya kepada saya? Mendengar tentunya, dan jangan berkomentar dulu sebelum yang bersangkutan mengungkapkan apa yang dibutuhkannya dari saya. Kali ini saya tidak mau sok pintar lagi, dan sok menjadi seorang penasihat ulung...
Saturday, November 06, 2010
6 November 2010 : Kebaya Indonesia
Malam pembukaan Jakarta Fashion Week digelar malam ini di tenda khusus Pacific Place. Acara yang digelar ketiga kalinya oleh kelompok media Femina ini mengangkat tema "A Tribute to Kebaya". Walaupun Kebaya digunakan hampir di seluruh kawasan Asia Tenggara, Kebaya Indonesia menemukan bentuknya dan kekhasannya - membuat bangsa lain iri atas keindahan dan keanggunannya.
Malam ini saya menyaksikan deretan desainer yang mencoba menerjemahkan kebaya di era globalisasi ini, mulai dari interpretasi klasik hingga merangkul era hip hop. Teman saya Petty Fatimah, pemred Femina bertanya singkat lewat bbm setelah acara usai, "Do u like it?" Saya jawab: Wah, benar benar menikmati dan merasa bangga jadi insan Indonesia. Jawaban saya ini jujur dan tulus. Saya benar-benar bangga melihat kekayaan budaya Indonesia yang anggun. Terlepas dari beberapa busana yang ditampilkan dengan rumit dan ribet, saya sungguh mengagumi keindahan corak dan detil kain yang dipakai. Pola Indonesia yang sulit ditandingi dan ditiru bahkan oleh bangsa yang kerja nya mengklaim budaya Indonesia.
Saya pribadi sudah sering melihat orang berkebaya, terutama di pesta-pesta nikah, namun baru hari ini saya memperhatikan secara detil segala asesoris dan pernik kebaya saat ditampilkan di atas catwalk dan tersorot lampu terang. Meskipun sudah melihat ribuan kali, baru sekarang saya menyelami arti kebaya saat beberapa tokoh fashion Indonesia angkat bicara mengenai kebaya dalam video pengantar sebelum fashion show digelar.
Moral pengalaman yang saya peroleh malam ini adalah : terkadang butuh kaca mata orang lain dan sorotan lampu untuk bisa mengapresiasi suatu hal yang kita jumpai sehari-hari. Pikiran saya melayang sejenak dan bertanya, "Kalau kebaya saja luput dari apresiasi saya, berapa banyak hal lain yang luput dari perhatian saya, hanya karena saya sudah terlalu biasa bersinggungan dengannya dalam kehidupan sehari-hari?" Mulai saat ini, saya akan lebih peka memperhatikan sekeliling saya. Saya yakin, akan ada saja hal "baru" yang muncul ke permukaan dan memberi saya kekaguman "baru" setiap saya membuka mata dan menyorotkan "lampu hati" saya terhadap begitu banyak hal yang biasanya saya anggap "biasa-biasa" saja. Seperti kemewahan hidup nyaman dan damai, bila dibandingkan begitu banyak orang yang terkena musibah bencana meletusnya Merapi dan tsunami Mentawai saat ini...
Malam ini saya menyaksikan deretan desainer yang mencoba menerjemahkan kebaya di era globalisasi ini, mulai dari interpretasi klasik hingga merangkul era hip hop. Teman saya Petty Fatimah, pemred Femina bertanya singkat lewat bbm setelah acara usai, "Do u like it?" Saya jawab: Wah, benar benar menikmati dan merasa bangga jadi insan Indonesia. Jawaban saya ini jujur dan tulus. Saya benar-benar bangga melihat kekayaan budaya Indonesia yang anggun. Terlepas dari beberapa busana yang ditampilkan dengan rumit dan ribet, saya sungguh mengagumi keindahan corak dan detil kain yang dipakai. Pola Indonesia yang sulit ditandingi dan ditiru bahkan oleh bangsa yang kerja nya mengklaim budaya Indonesia.
Saya pribadi sudah sering melihat orang berkebaya, terutama di pesta-pesta nikah, namun baru hari ini saya memperhatikan secara detil segala asesoris dan pernik kebaya saat ditampilkan di atas catwalk dan tersorot lampu terang. Meskipun sudah melihat ribuan kali, baru sekarang saya menyelami arti kebaya saat beberapa tokoh fashion Indonesia angkat bicara mengenai kebaya dalam video pengantar sebelum fashion show digelar.
Moral pengalaman yang saya peroleh malam ini adalah : terkadang butuh kaca mata orang lain dan sorotan lampu untuk bisa mengapresiasi suatu hal yang kita jumpai sehari-hari. Pikiran saya melayang sejenak dan bertanya, "Kalau kebaya saja luput dari apresiasi saya, berapa banyak hal lain yang luput dari perhatian saya, hanya karena saya sudah terlalu biasa bersinggungan dengannya dalam kehidupan sehari-hari?" Mulai saat ini, saya akan lebih peka memperhatikan sekeliling saya. Saya yakin, akan ada saja hal "baru" yang muncul ke permukaan dan memberi saya kekaguman "baru" setiap saya membuka mata dan menyorotkan "lampu hati" saya terhadap begitu banyak hal yang biasanya saya anggap "biasa-biasa" saja. Seperti kemewahan hidup nyaman dan damai, bila dibandingkan begitu banyak orang yang terkena musibah bencana meletusnya Merapi dan tsunami Mentawai saat ini...
Friday, November 05, 2010
5 November 2010 : Social Network
Saya terpaku pada kalimat yang tercantum sebagai penggelitik untuk menonton film The Social Network yang menceritakan sepak terjang Bilyuner muda Mark Zuckerberg menciptakan jejaring sosial bernama Facebook :
You Don't Get To 500 Million Friends Without Making A Few Enemies
Film The Social Network menceritakan bagian kehidupan Mark yang awalnya diputuskan pacarnya - Erica - karena sikapnya yang menyebalkan. Mark lalu marah dan mempermalukan Erica melalui blog nya dan masuk ke sistem komunikasi Universitas Harvard. Dalam semalam, "karya" nya yang kreatif mempermalukan para gadis itu mendapat respons luar biasa dengan 22.000 hit atau kunjungan. Respons yang luar biasa itu memberi ide kepada sekelompok pemuda kaya yang dipimpin oleh Winklevoss bersaudara untuk membangun jejaring Harvard dengan mengajak Mark. Mark mengiyakan namun kemudian mengembangkan ide Winklevoss menjadi sebuah jejaring sosial tanpa sepengetahuan Kelompok Winklevoss dan mengajak teman baiknya Eduardo Saverin untuk berkongsi membentu sebuah perusahaan yang mendanai jejaring sosial bernama The Facebook. The Facebook mendapat sambutan luar biasa dan Eduardo menganggap inilah saatnya untuk beriklan. Mark yang merasa momennya belum tepat segera terpesona oleh visi Sean Parker. Dengan sekejap visi bisnis Sean merasuk ke sanubari Mark dan terpentallah Eduardo dalam sebuah kup ber"darah dingin." Eduardo tentu tidak tinggal diam membiarkan sahamnya di Facebook yang tadinya 30% dan mendadak tinggal 0,33%. Sementara itu Sean Parker yang flamboyan berurusan dengan polisi karena bercinta dengan gadis di bawah umur dan pesta narkoba. Lalu Mark panen gugatan. Ia digugat kelompok Winklevoss, dan digugat oleh teman baiknya sendiri Eduardo. Film itu berakhir dengan Winklevoss mendapat uang damai dan tutup mulut, dan Eduardo mendapatkan hak sahamnya kembali, serta namanya tercantum lagi sebagai pendiri Facebook.
Buat saya, film yang diangkat dari kisah kehidupan Mark Zuckerberg ini jauh lebih menarik dan ada gregetnya dibandingkan Eat, Pray, Love. Dari film ini setidaknya saya membuat beberapa catatan :
1. Sungguh ironis bahwa jejaring sosial yang terbesar di dunia diciptakan oleh seorang asosial. Mark Zuckerberg kalau pun benar penggambarannya di film adalah orang yang paling tidak peduli dengan orang lain. He just doesn't care, bahkan dengan teman terdekatnya sekalipun. Sampai-sampai seorang dari anggota tim hukumnya mengatakan : "You are not an asshole. You are somebody who's trying too hard to be one." Ketidakpeduliannya tercermin dari sistem facebook yang sangat terbuka bagi aneka sistem aplikasi untuk bisa diserap dan digunakan oleh pemegang akun facebook. Di satu sisi ini menguntungkan pihak facebook dan penggunanya, di lain sisi hal ini membuat banyak pihak mencak-mencak karena merasa hak intelektualnya dirampas. Tapi Mark adalah Mark, he just doesn't care.
2. Sungguh ironis juga, ketika ia berhasil menggalang "pertemuan" 500 juta orang, beberapa musuh yang digambarkan dalam kalimat teaser di atas adalah teman-teman (terdekat)nya sendiri.
3. Betapa Sebuah kata memberi dampak yang luar biasa. Sean parker memberi saran kepada Mark untuk menanggalkan kata "the" dari "The Facebook." Jadilah jejaring ini dikenal dengan nama "Facebook" yang lebih akrab di telinga ketimbang "The Facebook"
4. Betapa dunia usaha tak mengenal nurani. Kalau kita tidak mengikuti perkembangan, kita akan terpental, tak peduli seberapa dekatnya kita pada sumber penghasil uang. Dan tak satu pun bisa disalahkan karena begitulah alam dunia usaha.
5. Yang namanya mencuri "ide" itu tak bisa sembarang dituduhkan. Meskipun ide awalnya dari Anda, tapi bila pada perkembangannya muncul kreativitas yang tak pernah Anda bayangkan, Anda tidak bisa serta merta menuduh seseorang telah mencuri ide Anda. Siapa suruh Anda tidak sehandal dan sekreatif dia.
6. Mungkin Anda punya visi bisnis untuk sesuatu hal, namun dibutuhkan jiwa wirausaha dan kepemimpinan yang kuat serta pengalaman yang terasah - meskipun tidak di bidangnya, untuk mengangkat sebuah kesempatan mencuat dari sekedar berkubang di rana universitas di Amerika menjadi sebuah fenomena dunia. Eduardo bervisi lokal, sedang Sean dengan gaya nya sendiri membawa facebook merambah seluruh penjuru dunia - dan Eduardo tak punya hak untuk cemburu. Ia harus mengakui kelihaian Sean, seburuk apa pun pengaruhnya pada Mark.
6. Banyak pihak yang secara instinktif lihai dalam melihat peluang. Facebook bagaikan madu. Lihat saja berapa orang yang langsung mendekati Mark dan Eduardo : baik Sean yang ingin mendapat bagian menikmati madu, atau para wanita yang mencoba mengkontrol kehidupan Eduardo.
Awalnya, di penghujung film saya berkesimpulan, "I hate this guy!" dan berniat menghapus akun facebook saya. Tapi kemudian saya ingat, saya bertemu teman-teman SD saya ya dari facebook. Saya bisa dekat dengan saudara dan kerabat ya karena facebook. Jadi, saya ambil prinsip Mark. Kalau saya bisa mendapat manfaat dari seseorang yang a-nurani dan a-sosial, mengapa tidak? Toh buat dia tak ada ruginya... But anyway, kali ini saya tidak hanya menikmati jejaring sosial buatannya, saya juga mendapat berbagai pelajaran hidup dari sepak terjangnya membesarkan Facebook...
You Don't Get To 500 Million Friends Without Making A Few Enemies
Film The Social Network menceritakan bagian kehidupan Mark yang awalnya diputuskan pacarnya - Erica - karena sikapnya yang menyebalkan. Mark lalu marah dan mempermalukan Erica melalui blog nya dan masuk ke sistem komunikasi Universitas Harvard. Dalam semalam, "karya" nya yang kreatif mempermalukan para gadis itu mendapat respons luar biasa dengan 22.000 hit atau kunjungan. Respons yang luar biasa itu memberi ide kepada sekelompok pemuda kaya yang dipimpin oleh Winklevoss bersaudara untuk membangun jejaring Harvard dengan mengajak Mark. Mark mengiyakan namun kemudian mengembangkan ide Winklevoss menjadi sebuah jejaring sosial tanpa sepengetahuan Kelompok Winklevoss dan mengajak teman baiknya Eduardo Saverin untuk berkongsi membentu sebuah perusahaan yang mendanai jejaring sosial bernama The Facebook. The Facebook mendapat sambutan luar biasa dan Eduardo menganggap inilah saatnya untuk beriklan. Mark yang merasa momennya belum tepat segera terpesona oleh visi Sean Parker. Dengan sekejap visi bisnis Sean merasuk ke sanubari Mark dan terpentallah Eduardo dalam sebuah kup ber"darah dingin." Eduardo tentu tidak tinggal diam membiarkan sahamnya di Facebook yang tadinya 30% dan mendadak tinggal 0,33%. Sementara itu Sean Parker yang flamboyan berurusan dengan polisi karena bercinta dengan gadis di bawah umur dan pesta narkoba. Lalu Mark panen gugatan. Ia digugat kelompok Winklevoss, dan digugat oleh teman baiknya sendiri Eduardo. Film itu berakhir dengan Winklevoss mendapat uang damai dan tutup mulut, dan Eduardo mendapatkan hak sahamnya kembali, serta namanya tercantum lagi sebagai pendiri Facebook.
Buat saya, film yang diangkat dari kisah kehidupan Mark Zuckerberg ini jauh lebih menarik dan ada gregetnya dibandingkan Eat, Pray, Love. Dari film ini setidaknya saya membuat beberapa catatan :
1. Sungguh ironis bahwa jejaring sosial yang terbesar di dunia diciptakan oleh seorang asosial. Mark Zuckerberg kalau pun benar penggambarannya di film adalah orang yang paling tidak peduli dengan orang lain. He just doesn't care, bahkan dengan teman terdekatnya sekalipun. Sampai-sampai seorang dari anggota tim hukumnya mengatakan : "You are not an asshole. You are somebody who's trying too hard to be one." Ketidakpeduliannya tercermin dari sistem facebook yang sangat terbuka bagi aneka sistem aplikasi untuk bisa diserap dan digunakan oleh pemegang akun facebook. Di satu sisi ini menguntungkan pihak facebook dan penggunanya, di lain sisi hal ini membuat banyak pihak mencak-mencak karena merasa hak intelektualnya dirampas. Tapi Mark adalah Mark, he just doesn't care.
2. Sungguh ironis juga, ketika ia berhasil menggalang "pertemuan" 500 juta orang, beberapa musuh yang digambarkan dalam kalimat teaser di atas adalah teman-teman (terdekat)nya sendiri.
3. Betapa Sebuah kata memberi dampak yang luar biasa. Sean parker memberi saran kepada Mark untuk menanggalkan kata "the" dari "The Facebook." Jadilah jejaring ini dikenal dengan nama "Facebook" yang lebih akrab di telinga ketimbang "The Facebook"
4. Betapa dunia usaha tak mengenal nurani. Kalau kita tidak mengikuti perkembangan, kita akan terpental, tak peduli seberapa dekatnya kita pada sumber penghasil uang. Dan tak satu pun bisa disalahkan karena begitulah alam dunia usaha.
5. Yang namanya mencuri "ide" itu tak bisa sembarang dituduhkan. Meskipun ide awalnya dari Anda, tapi bila pada perkembangannya muncul kreativitas yang tak pernah Anda bayangkan, Anda tidak bisa serta merta menuduh seseorang telah mencuri ide Anda. Siapa suruh Anda tidak sehandal dan sekreatif dia.
6. Mungkin Anda punya visi bisnis untuk sesuatu hal, namun dibutuhkan jiwa wirausaha dan kepemimpinan yang kuat serta pengalaman yang terasah - meskipun tidak di bidangnya, untuk mengangkat sebuah kesempatan mencuat dari sekedar berkubang di rana universitas di Amerika menjadi sebuah fenomena dunia. Eduardo bervisi lokal, sedang Sean dengan gaya nya sendiri membawa facebook merambah seluruh penjuru dunia - dan Eduardo tak punya hak untuk cemburu. Ia harus mengakui kelihaian Sean, seburuk apa pun pengaruhnya pada Mark.
6. Banyak pihak yang secara instinktif lihai dalam melihat peluang. Facebook bagaikan madu. Lihat saja berapa orang yang langsung mendekati Mark dan Eduardo : baik Sean yang ingin mendapat bagian menikmati madu, atau para wanita yang mencoba mengkontrol kehidupan Eduardo.
Awalnya, di penghujung film saya berkesimpulan, "I hate this guy!" dan berniat menghapus akun facebook saya. Tapi kemudian saya ingat, saya bertemu teman-teman SD saya ya dari facebook. Saya bisa dekat dengan saudara dan kerabat ya karena facebook. Jadi, saya ambil prinsip Mark. Kalau saya bisa mendapat manfaat dari seseorang yang a-nurani dan a-sosial, mengapa tidak? Toh buat dia tak ada ruginya... But anyway, kali ini saya tidak hanya menikmati jejaring sosial buatannya, saya juga mendapat berbagai pelajaran hidup dari sepak terjangnya membesarkan Facebook...
Labels:
'lawrence tjandra',
'the social network'
Subscribe to:
Posts (Atom)