Saya baru menyadari betapa banyak teman saya yang desperado. Artinya desperate mencari cinta. Sampai ada teman perempuan yang setiap lelaki dibilang tampan, tak peduli yang modelnya tidak karu-karuan sekalipun. Nonton tivi, langsung bbm, eh lihat deh itu ganteng bangeeet. Lalu nonton film, tergila-gila dengan pemerannya, entah yang utama atau figuran. Lihat infotainment, begitu juga. Lama-lama saya tidak tahan dan berkomentar, "Aduuuuh kamu tuh desperate banget ya? Jaim dikit kenapa..."
Teman saya yang lain setiap hari merengek dikenalkan teman saya yang lainnya. Katanya, "Kamu kan banyak teman yang cantik-cantik, mbok ya dikenalkan..." Padahal teman saya ini tidak kurang apa-apa. Tampang tidak jelek, punya perusahaan sendiri, dan hatinya baik.
Saya bisa saja mempertemukan keduanya, tapi saya rasa tidak akan klop. Lagi pula saya paling anti konsep comblang.Saya pernah mengalaminya, dan comblang bagi saya adalah resep disaster. Kalau ada apa-apa, bisa jadi hubungan saya dengan setiap pihak yang terkait bisa hancur.
Baru saja saya menerima email dari teman saya di Bandung yang sharing, punya pacar jarak jauh dari Makassar tapi kok kayaknya makin lama makin dingin saja padahal sudah terlanjur sayang. Saya menjawab, saran saya sih lebih bersikap realistis, karena pacaran jarak jauh itu susah dipegang. Jangan sampai karena terbuai mimpi, kita jadi termehek-mehek dan mengeluarkan air mata yang tak perlu.
Saya lalu berpikir, kenapa sih sekarang banyak yang desperate? Bukan hanya di Indonesia saja, di Amerika juga - sampai-sampai serial desperate housewives menjadi hits luar biasa. Saya lalu terpikir apakah semua ini gara-gara tatanan sosial kita yang berubah : kemajuan teknologi membuat kita "dekat" tapi jauh. Kita jadi dekat dengan orang-orang yang jauh, tapi jadi jauh dengan orang-orang di sekitar kita. Adalah sifat dasar manusia membutuhkan sentuhan dan ketika komunikasi terjawab dengan baik dengan bantuan teknologi, ternyata belum ada yang bisa menggantikan gelombang kenyamanan yang ditimbulkan dari sebuah sentuhan. Itulah sebabnya kedekatan yang terjalin dari kemajuan teknologi tak menjawab kebutuhan kita akan adanya seseorang yang nyata yang diharapkan ada di dekat kita, memberikan sentuhan cinta yang sesungguhnya. Semua ini menimbulkan sebuah fenomena baru : desperado.
Malam ini saya menyadari pentingnya kehadiran seseorang di samping kita, melebihi pentingnya kedekatan semu yang dihadirkan oleh teknologi. Saya lalu berkesimpulan, semakin tinggi dan canggih perkembangan teknologi, semakin tinggi pula kebutuhan untuk kembali kepada azas-azas hakiki yang tradisional dan alami. Saya melihat orang kini memilih segala sesuatu yang berbau alami seperti organik, padahal teknik itu pernah tumbuh subur sebelum orang menemukan berbagai jenis zat kimia pabrikan untuk membantu pertanian. Orang kembali ke yoga dan memilih makanan jenis slow cooking, padahal gaya hidup itu sudah ada sebelum kita keranjingan budaya fitness dan makanan siap saji. Intinya, the more advanced the technology, the more we prefer to live a simple basic life. Begitu juga dengan cinta. Basic nya adalah hubungan langsung antara dua pribadi, bukan melalui internet atau chatting bbm namun berhadap-hadapan, bersentuhan. Bisa pergi bareng, nonton bareng, makan bareng, jalan bareng sambil saling menggenggam tangan, lalu tidur dan bangun pagi di pelukan masing-masing adalah sensasi kenikmatan hidup yang tak tergantikan oleh apa pun...
Akhirnya, karena tidak tahan rengekan mereka, saya kemudian meminta izin mempertemukan keduanya. Masing-masing merasa excited sambil tak sabar akan dikenalkan. Saya jadi ragu. Dikenalkan nggak ya? Kalau dikenalkan terus langsung pada suka sih oke, lha kalau terus pada il-fil nanti dikira saya tidak punya selera...
1 comment:
Il semble que vous soyez un expert dans ce domaine, vos remarques sont tres interessantes, merci.
- Daniel
Post a Comment