Saturday, November 27, 2010

26 November 2010 : Pelajar Kehidupan

Teman saya bercerita betapa kasihannya dia dengan sang keponakan yang sedang terkapar sakit terkena radang usus buntu dan harus dioperasi. Si anak berusia 7 tahun, anak pertama dari dua bersaudara hasil perkawinan kakak teman saya dari suami yang terdahulu. Adiknya ikut sang ayah ketika perceraian terjadi. Si Ibu sekarang sudah menikah lagi dan baru saja mempunyai anak kembar. Anak yang dulu? Disingkirkan begitu saja ke kakek neneknya. Ketika dikabari anaknya sakit, ia cuma bilang baru melahirkan dan tak ada biaya. Jadilah kakek nenek dan teman saya urunan untuk membayar biaya pengobatan. Untungnya teman saya smart, ia memasukkan anggota keluarganya ke asuransi.

Saya lalu teringat akan pembahasan saya beberapa hari lalu tentang orang tua durhaka. Saya bilang ke teman saya, kalau besok-besok anaknya menjadi dewasa dan kurang ajar sama orang tuanya, ya jangan salahkan anaknya, karena yang durhaka itu bukan anaknya, tapi orang tuanya!

Karena teman saya berkali-kali bilang kasihan, kasihan, kasihan, lama-lama saya berandai-andai. Saya bilang, kalau dilihat dari kondisinya memang benar kasihan sekali hidupnya. Tapi pernahkah kita terpikir bahwa semua ini tidak kebetulan? Bagaimana kalau kita melihat dari sudut pandang yang tidak biasa, bahwa ia lah yang memilih orang tua seperti yang dipunyainya sekarang untuk memperbaiki peringkat batinnya? Teman saya tidak menangkap maksud saya. Jadilah saya menceritakan perandaian ini dengan lebih detil. Kalau semua kejadian dalam hidup ini bukan kebetulan, berarti kehidupan ini sudah dirancang. Kalau misalnya yang merancang diri kita sendiri, maka kita jugalah yang menentukan tujuan dan pencapaian-pencapaian apa yang harus kita raih dalam hidup ini. Jadi kita jugalah yang dengan sengaja menentukan akan mengadapi cobaan apa dan akan bersinggungan dengan orang-orang berkarakter bagaimana supaya kita mengalami dan dapat mengatasi kesulitan dan rintangan yang kita ciptakan sendiri agar kita bisa memperoleh kemajuan batin yang berarti. Saya lalu berandai, "Kalau seperti itu kejadiannya, dan kalau anak ini memilih kakak kamu jadi ibunya supaya ia belajar unconditional love, apa ya kita masih kasihan. Itu kan proses pembelajaran?" Teman saya terdiam, mungkin dia dalam hati mengamini perandaian saya, tapi bisa juga ia dalam hati mengumpat : nih orang gila juga!

Saya lalu berpikir sendiri. Selama ini kalau ada apa-apa kita ini seringnya merasa yang jadi korban, lalu meratapi diri menangis-nangis dan minta dikasihani. Tak pernahkah kita berpikir bahwa apa yang kita alami ini adalah berbagai situasi yang memang kita ciptakan sendiri agar kita mengalami kemajuan batin sehingga pandangan kita terhadap sebuah musibah atau rintangan berubah drastis dari korban atau obyek penderita menjadi subyek yang mendesain dalam kapasitas sebagai pelajar kehidupan?

Tiba-tiba saya merasa "in charge" terhadap hidup kita. Tidak lagi asal kasihan, terutama pada diri sendiri, karena kalau dari sudut pandang itu, saya lah yang punya kendali dalam hidup : mau maju dan belajar supaya saya "lulus" dan "naik kelas"! Jadi, mulai sekarang : Tantangan Hidup? Siapa Takut!

No comments: