Hari ini saya menghadiri acara L'oreal Indonesia Fellowships for Women in Science 2010, sebuah ajang penghargaan kepada perempuan peneliti Indonesia muda berbakat. Syarat utama mengikuti pemilihan fellows ini adalah wanita peneliti berusia di bawah 37 tahun. Dan ternyata, cukup banyak perempuan peneliti muda yang mengikuti program ini dengan proposal penelitian yang mengagumkan dan dapat mengharumkan nama Indonesia.
Dalam pidatonya, Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh mengatakan ajang ini adalah ajang diskriminasi yang bersifat positif. Mengapa harus dikhususkan untuk wanita saja? Padahal nasib peneliti Indonesia secara keseluruhan - tidak hanya wanita - juga membutuhkan perhatian. Saya lalu berpikir, iya ya, mengapa ada kata-kata emansipasi wanita? Mengapa kesetaraan gender menjadi issue yang masih terus diperjuangkan? Bukankah sekarang sudah abad ke 21 dimana zaman sudah berubah dan wanita sudah memegang peran setara dengan pria di bidang-bidang yang tak pernah terbayang sebelumnya?
Ternyata kesetaraan hak antar gender memang belum seindah yang dibayangkan orang. Sekarang ini kita melihat wanita menjadi pemimpin negara, menjadi pejabat kunci di pemerintahan, di parlemen, sampai menjadi pimpinan puncak perusahaan besar. Cendekiawan wanita juga tak kalah berkibarnya. Namun itu hanya pucuknya saja. Selebihnya keberadaan wanita masih tertinggal jauh karena dominasi kaum pria, dan karena budaya mendahulukan kaum pria inilah, kaum wanitanya juga maklum saja diperlakukan tidak adil oleh pria.
Terlepas dari perlunya perjuangan menyetarakan hak, saya sebetulnya mempertanyakan mengapa wanita diperlakukan seperti ratu dan pria diminta untuk mengalah. Kalau tidak mengalah, artinya tidak gentlemen. Mau bukti? Kalau di bis ada wanita berdiri, maka pria diminta untuk memberikan tempat duduknya bagi si wanita. Katanya mau kesetaraan gender, tetapi mengapa untuk hal yang begini ini tidak mau disetarakan?
Sekarang ini perjuangan kesetaraan gender lebih menuntut hak seperti apa yang diperoleh kaum pria, namun untuk hak-hak istimewa yang diperoleh wanita karena warisan budaya seperti budaya mendahulukan wanita, maunya tetap dipertahankan. Maka saya merasa bahwa yang harus diperjuangkan kaum perempuan bukan soal emansipasi yang selama ini sering salah kaprah, tapi soal kesetaraan kesempatan. Selebihnya, yang benar adalah persaingan sehat antar pria dan wanita. Kalau wanitanya bisa menunjukkan kemampuan yang lebih baik dan mendapat kesempatan yang sama, niscaya ia akan keluar sebagai pemenang, bukan karena ia wanita, tapi karena secara kualitas unggul.
Kalau sampai terjadi pengkhususan seperti yang dilakukan L'oreal dan Unesco, itu rasanya karena saat ini kita masih ditaraf mengedukasi masyarakat untuk meniadakan kepincangan kesempatan karena batasan-batasan budaya yang membedakan antara peran pria dan wanita.
Melalui keunggulan kualitas pemikiran dan ketekunan para perempuan peneliti, hari ini saya belajar untuk mengabaikan semua atribut yang menempel dari diri seseorang - apakah dia pria atau wanita, kaya atau miskin, cantik atau jelek - dan lebih fokus kepada kualitas pribadinya. Bukankah semua orang telanjang di hadapan Tuhan? Dalam ketelanjangan itulah tercermin keunggulan pribadinya.
No comments:
Post a Comment