Thursday, November 04, 2010

4 November 2010 : Badak

Pagi-pagi, status teman saya di facebook berbunyi seperti ini: Membaca kesulitan tim bantuan utk membantu korban di mentawai bikin prihatin, membaca gubernurnya ke jerman utk promo wisata bikin ..???.. Untuk mengingatkan saja, ratusan orang meninggal dunia dan ribuan lainnya menderita karena gempa bumi dan sapuan tsunami seminggu yang lalu. Pagi ini juga saya membaca di koran setelah mendapat kritik tajam mengenai penghamburan uang yang digunakan wakil rakyat untuk studi banding, masih ada saja yang bebal pergi studi banding dan meneruskan perjalanan berlibur, lalu ada yang mengakali kuota haji dengan membawa isteri dan sanak keluarganya. Berkali-kali rakyat juga berteriak untuk kemacetan yang semakin menggila, apa lagi bila gerimis datang tapi pejabatnya malah marah-marah merasa diserang. Agak siang sedikit, saya menjadi tempat curhat seorang teman yang mengelus dada atas ketidaksensitifan pejabat kita mengenai berbagai issue dan mengingatkan saya atas keluhan yang disampaikan teman saya yang lain atas sifat mau, mau, mau namun tak menghargai upaya mitranya dan menganggap mitra swasta hanyalah sumber uang untuk diperas-peras namun bisa diperlakukan seenaknya.

Sebetulnya keluhan berbagai pihak ini bukan untuk menghujat, tapi mengingatkan dan prihatin akan sikap para pemimpin yang berkulit badak. Tapi seiring dengan obrolan yang semakin seru, lama-lama saya kok merasa pertanyaan "sebenarnya kamu tuh punya nurani nggak sih?" itu kok kembali pada saya ya? Saya lalu keluar dari "badan pembicaraan kami" dan berada di alam "roh". Dan jantung saya mendadak berdegup kencang. Kalau pertanyaan, keluhan, hujatan dan kemarahan saya dan teman-teman kepada para pejabat itu dipulangkan pada saya, maka sejujurnya keadaan saya tidak lebih baik dari mereka. Saya juga berkulit badak, sudah diperingatkan berkali-kali oleh Tuhan untuk tidak melakukan ini itu, tapi tetap saja melakukannya. Masih bergosip, masih berlidah tajam, masih mencari celah yang enak-enak saja, masih menghakimi, masih, masih, masih ... padahal lihatlah selama ratusan hari di tahun ini melalui blog, berkali-kali saya menuliskan "diingatkan agar tidak ini dan itu".

Saya jadi malu sendiri. Berarti saya ini sama badaknya dan bebalnya dengan mereka yang sehari-hari kita keluhkan, urut dada sampai maki-maki itu ya? Rupanya kebebalan ini milik kita bersama dalam skala dan situasi yang berbeda-beda. Tapi bagaimana mengatasi kebebalan ini, kalau sudah diingatkan berkali-kali tapi tetap saja tidak mempan karena “kulit” kita sudah jadi lebih tebal dari badak sekali pun? Apakah penjara akan membuat kapok koruptor? Dari cerita-cerita yang saya peroleh, orang berhenti merokok setelah tervonis kanker, karena takut mati. Harus sebegitu seramnya kah sebuah keadaan yang dapat menghentikan kebebalan seseorang? Jadi “kanker” apa dong yang harus menyerang seseorang agar bisa segera tobat dan berubah sikap dan kebiasaan buruknya? Bukankah “kanker moral” yang diderita sekarang ini justru lebih menakutkan akibatnya bila ajal menjemput karena kalau kanker paru-paru, saat meninggal nanti masih punya kesempatan masuk surga tapi apa jadinya “kanker merebut dan menggunakan hak orang secara semena-mena”? Mengapa kita lebih takut pada penyakit fisik tapi sama sekali tak merasa “sakit” ketika mengalami degradasi moral? Atau apa yang saya bayangkan sekarang ini terlalu berlebihan?

Yang jelas Tuhan masih sayang saya, masih setia mengingatkan dan masih sudi menunjukkan bahwa saya ini sedang kena sakit bebal dan kulit badak karena hari ini saya untuk keribuan kalinya diingatkan bahwa saya tidak lebih baik dari orang-orang yang saya hujat-hujat, tentunya dalam skala dan situasi yang berbeda. Saya terima itu, dan menjadi introspeksi diri saya untuk memperbaiki diri. Tapi hal itu tidak mengubah fakta bahwa orang-orang yang kami perbincangkan di atas tidak bersalah. Hanya saja, untung ada mereka yang berkulit badak, jadi saya bisa diingatkan dan belajar atas kebebalan mereka...

No comments: