Monday, November 22, 2010

22 November 2010 : Orang Tua Durhaka

Membaca tulisan Samuel Mulia hari Minggu kemarin yang bercerita bahwa saat ia bekerja sambil kuliah dan menabung uang agar bisa membelikan ayahnya kue, respon ayahnya di luar dugaan dengan mengatakan bahwa uang itu seharusnya ditabung - mengingatkan saya pada diskusi yang kami lakukan saat kumpul-kumpul santai di apartemen Samuel Mulia sambil makan malam Senin lalu. Ia bercerita kalau ia sakit hati. Tidak bisakah ayahnya menghargai jerih payah seorang anak dalam mengekspresikan cinta dan bakti kepada orang tuanya? Ia lalu bertanya, "selama ini ada anak durhaka, apakah ada istilah orang tua durhaka?"

Saya berpikir selama seminggu ini, "Iya ya, kenapa tidak ada istilah orang tua durhaka? Selama ini selalu digambarkan bahwa surga adanya di telapak kaki ibu, atau orang tua. Selama ini orang tua selalu digambarkan sebagai seorang suci. Tak ada di kamus orang tua memerkosa anaknya, menjual anaknya dan mengeksploitasi anaknya. Hari ini adalah hari kesekian hebohnya seorang artis muda, Arumi, yang melarikan diri karena menurut versinya, ia dijodohkan kepada seorang pemuda asal Kudus dan dipaksa menemani berlibur hingga ke Singapura, sekamar di hotel. Kalau benar kejadiannya seperti itu, orang tua macam apa ayah ibunya?

Budaya kita menempatkan orang tua sebagai orang yang harus kita hormati, cintai, pelabuhan bakti kita, no matter what. Dalam bayangan kebanyakan orang, orang tua adalah seorang yang menjadi panutan dan sempurna. Begitu sempurnanya pencitraan orang tua sehingga kita tidak pernah mengasosiasikan mereka dengan perbuatan yang tidak pada tempatnya. Saya pernah bereksperimen dan menanyakan kepada teman-teman dekat saya, "pernah nggak kamu terpikir atau membayangkan orang tua kamu having sex?" Semua menjawab, "pertanyaan macam apa itu? Of course nggak pernah!" Saya lalu melanjutkan, "kalau mereka tidak having sex, lha kamu asalnya dari mana?" Mereka tertegun, "iya, ya." Saya juga pernah menceramahi teman saya yang sangat anti ayahnya menikah lagi setelah ibunya meninggal dunia. Saya bilang, "kamu pikir ayah kamu itu nggak butuh seks? Nggak butuh sharing? Nggak butuh hiburan? Make no mistakes, your parents also does all the crazy things that we do!" Kita tidak pernah memikirkan bahwa orang tua kita adalah orang biasa juga. Yang gemar makan, hiburan dan bergaul. Tak ada yang salah kan kalau orang tua kita juga main twitter dan foursquare?

Saya sendiri senang berkumpul dengan teman-teman sekolah yang sekarang sudah jadi bapak-bapak dan ibu-ibu beranak remaja, bahkan ada yang sudah kuliah. Saat berkumpul kami semua tetap berlagak seperti anak sekolah puluhan tahun lalu. Pernahkah terbersit di otak kita bahwa orang tua kita juga memerlukan dan melakukan kegiatan yang sama? Selama ini kita di brainwash bahwa orang tua itu hanya melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan orang tua : Pengayom, Pemberi cinta kasih, Pelindung, Penyayang, Pembimbing. Selama ini kita sering protes bahwa orang tua kita terlalu menuntut kita untuk berlaku ini dan itu. Pernahkah terpikir oleh kita bahwa kita juga melakukan tuntutan yang tak kalah beratnya kepada orang tua kita? Bahwa orang tua kita harus berlaku begini begitu. Termasuk menuntut mereka untuk bisa memahami jerih payah kita mengekspresikan cinta kasih kita melalui sepotong kue? Kalau kita bisa berteori bahwa semua orang menyatakan dan mengekpresikan diri dan perasaannya melalui caranya masing-masing, mengapa orang tua kita tidak boleh melakukan hal yang sama?

Tiba-tiba saya kasihan dengan orang tua. Mereka dibebani begitu banyak kewajiban. Di samping tanggung jawabnya kepada keluarga, mereka juga dituntut berperilaku sempurna. Di sisi lain, mereka tetap memiliki kebutuhan jasmani dan rohani bagi dirinya sendiri dan pasangan hidupnya. Begitu kompleksnya peran yang harus dimainkan orang tua. Jadi orang tua itu sama sekali tidak mudah. Tapi tak pernah sekalipun anak diberi wawasan tentang rumitnya peran orang tua. Sebagai anak, kerjanya kita mengeluh saja atas ketidakbecusan orang tua kita memerankan tugasnya.

Malam ini saya menjawab pertanyaan Sam dalam hati : ada saja orang tua durhaka, dan itu terjadi karena orang tua adalah manusia biasa. Kalau mereka juga manusia biasa, tentu kita akan maklum juga atas kelebihan dan kekurangannya, termasuk hasrat-hasrat kemanusiawiannya - semua hal yang kita rasakan dan alami, juga dirasakan dan dialami orang tua kita. Dengan perspektif ini, saya melihat orang tua dari sisi yang berbeda : tidak lagi orang tua yang otoriter dan yang harus selalu dituruti mau nya, tapi orang tua yang manusiawi, yang bisa berlaku benar, tapi juga bisa terjebak salah ... Saya teringat dalam diskusi kita Senin kemarin, seorang teman bercerita bagaimana ia merasa kesal terhadap sikap ayahnya yang membuatnya justru memberontak. Tapi, saya juga teringat seorang teman perempuan saya yang bercerita ketika puluhan tahun lalu pulang sekolah mendapati ayahnya sedang bercinta dengan wanita lain di kamar tidur dan membuatnya shock. Setelah ia bisa menguasai diri, ia berkata, "Papi, saya tidak akan memberitahu Mami apa yang telah Papi lakukan, asal Papi tidak mengulangi lagi perbuatan tadi." Sang ayah lalu mohon maaf dan sejak itu Beliau insaf dan menjadi seorang ayah sejati bagi keluarganya. Saya mau seperti teman perempuan saya itu. Saya mau menerima dan mencintai orang tua saya apa adanya, dan menjadi pribadi yang justru menjadikan segala sesuatunya menjadi (lebih) baik ketika kesalahan terjadi.

Mami, Papi, sekarang saya mengerti kalian dengan lebih baik. Di luar segala kekurangan kalian menjadi orang tua, saya sungguh salut atas pencapaian kalian selama ini dalam menjalankan peran sebagai orang tua mendidik lima anak yang memiliki watak dan kepribadian yang berlainan, dengan hasil yang relatif luar biasa. I love you even more today.

No comments: