Saya menyaksikan perubahan dari seorang kerabat yang tadinya ceria menjadi diam saja. Saya yang biasa peka menanyakan ada apa, tapi ia mengatakan baik-baik saja. Lama setelah itu, baru ia bercerita apa yang menjadi kegundahannya. Saya tanya, kok nggak dari tadi cerita? Ia lalu berkata habis kalau ia bercerita, tanggapan saya selalu menggampangkan : ah, itu kan hanya perasaan kamu saja. Everything will be alright. Don't worry... dan respon seperti itu justru membuat ia malas bercerita lanjut. Saya lalu bertanya, "jadi respon apa yang kamu inginkan dari saya?" Ya ikut terlibat dan membahas, bukannya menggampangkan. Saya lalu menjawab, "Wah, berarti salah persepsi. Saya berlaku seperti itu bukan untuk menggampangkan, tetapi sebenarnya ingin membuat kamu tidak terlalu khawatir mengenai sesuatu hal..."
Saya berlaku seperti ini karena ada teman yang kerjanya berpikir negatif terhadap berbagai kejadian yang menimpa dirinya, terutama soal penyakit. Begitu ada indikator bahwa trigliserid nya naik, ia sudah merasa maut menjemputnya. Tidak enak apa, ia langsung merasa mau mati. Menghadapi yang seperti ini, saya mencoba untuk menghilangkan rasa kepikirannya dengan menghibur dan meyakinkan bahwa ia tidak akan mati gara-gara trigeliserid nya di atas ambang rata-rata. Yang perlu dilakukan adalah mengubah gaya hidup dan berkonsultasi ke ahli. Tapi rupanya teknik menghibur macam ini tidak berlaku untuk semua orang. Bagi kerabat saya yang di atas, justru merupakan teknik basi yang menyebalkan, dan membuat ia tak bersemangat untuk berbagi cerita.
Saya pasti pernah bercerita tentang respon yang diberikan Ibu saya ketika saya mengatakan berhenti dari pekerjaan lama dan pindah ke pekerjaan yang baru. Saat itu saya habis diceramahi sampai akhirnya saya sakit kuping dan bilang, "Ma, tugas orang tua itu macam-macam. Salah satunya, menjadi sandaran dan tempat berkeluh-kesah sang anak, tanpa perlu mengomentarinya. Inilah saatnya Mami berperan seperti itu. Saya tahu apa yang saya lakukan. Saya hanya butuh orang tua yang mau mendengar tanpa menasihati agar saya mantap melangkah. Believe me, I know what I am doing."
Seorang teman sejak kemarin berkeluh kesah ditipu oleh seseorang yang dikenalnya melalui internet padahal ia sudah kadung jatuh cinta. Mendengar ceritanya saya jadi panas dan mengatakan, sudahlah, get realistic, dia cuma mau iseng saja. Makanya jangan terlalu cepat percaya terbuai rayuan gombal. Mumpung ini masih awal, lupakan saja dan jangan mudah percaya lagi. Responnya? Setelah sms saya yang terakhir tadi, sampai detik ini saya tidak mendapat jawaban atau tanggapan apa pun darinya. Saya mulai merasa bersalah. Jangan-jangan saya terlalu kasar mengungkapkan nasihat saya. Jangan-jangan ia sakit hati. Tapi biarlah, biasanya sebuah kebenaran yang pahit bisa menjadi obat mujarab bagi orang yang kena penyakit linglung, begitu saya menghibur diri...
Hari ini saya menyadari bahwa ketika seseorang mempercayakan cerita pribadinya kepada orang lain, orang yang dipercaya diharapkan memberi respon yang tepat agar berdampak positif bagi yang bercerita - dan respon positif yang diharapkan ternyata bukan melulu yang bernada menghibur. Kerabat saya membutuhkan seseorang yang mau ikut terlibat mendiskusikan masalahnya. Saya membutuhkan telinga orang tua untuk mendengar minut ceramah-ceramahnya. Jadi apa yang harus saya lakukan ketika seseorang bercerita tentang masalahnya kepada saya? Mendengar tentunya, dan jangan berkomentar dulu sebelum yang bersangkutan mengungkapkan apa yang dibutuhkannya dari saya. Kali ini saya tidak mau sok pintar lagi, dan sok menjadi seorang penasihat ulung...
No comments:
Post a Comment