Pagi ini saya menerima pesan bbm seperti ini di group chat dari teman saya Samuel Mulia :
Serombongan turis Amerika yang berwisata di pedalaman Tiongkok berpapasan dengan arak-arakan meriah. Sebuah arak-arakan pernikahan; pengantin pria sedang menjemput pengantin wanita untuk menuju balai pesta. "Siapa yang wajahnya ditutup cadar tebal itu?" tanya para turis. "Pengantin wanita, " sahut pemandu lagi. "Mengapa wajahnya harus ditutup?" "Di desa ini, orangtua menjodoh-kan anak-anaknya, dan seorang pengantin dilarang melihat calon pasangannya sampai resmi menikah, " jelas si pemandu.
Seorang turis penasaran: "Di negara saya, di mana setiap orang memilih jodohnya sendiri-bahkan ada yang sudah serumah sebelum menikah-angka perceraian sangat tinggi. Di sini, pasti jauh lebih tinggi ya?" Dengan heran si pemandu menjawab: "Di sini justru hampir tak ada perceraian." "Apa rahasianya?" tanya turis itu lagi. Si pemandu terdiam lama sebelum menjawab: "Di negara Anda, orang menikah dengan orang yang mereka cintai. Di sini, nenek moyang kami mengajar bahwa kami harus mencintai orang yang kami nikahi".
Kalimat terakhir dari cerita ini menancap dalam di benak saya. Benar sekali apa yang dikatakan si pemandu. Selama ini saya begitu ngotot untuk menikah dengan orang yang saya cintai, dan bukannya mencintai orang yang saya nikahi. Sebetulnya idealnya saya menikahi orang yang saya cintai dan saya mencintai orang yang saya nikahi itu. Namun kenyataannya berkata lain. Menikah dengan orang yang saya cintai sering kali memudar bersamaan dengan waktu sedang mencintai orang yang saya nikahi berarti saya mau belajar dan menerima karakter orang yang tadinya tak saya kenal sama sekali menjadi sebuah sinergi cinta yang hidup terus menerus.
Kisah di atas menyadarkan saya untuk mengubah konsep cinta. Terus terang selama ini saya selalu goyah bila dalam sebuah hubungan pribadi terdapat hal-hal yang tidak berkenan di hati. Segera saja saya menanyakan, mungkin cinta kita sudah pudar dan semua kejadian-kejadian yang ada, yang membuat saya semakin tak nyaman dan tak sabar lagi dalam hubungan ini perlu segera diakhiri. Sesungguhnya saya harus bisa melihat tujuan akhir dari hubungan ini : yaitu cinta sejati yang tak lekang waktu. Sama seperti dalam sebuah proyek atau pekerjaan, kita selalu diingatkan mengenai hasil akhir yang ingin kita capai dan secara berkala atau setiap ada kejadian tertentu kita akan mengevaluasi apakah tindakan kita sesuai dengan target yang ingin dicapai. Dalam sebuah hubungan kalau kita sudah menentukan bahwa cinta sejati yang tak lekang oleh waktu menjadi tujuan hubungan kita, tentu kita akan dengan lebih mudah menempatkan segala kejadian kembali ke perspektifnya. Saya jadi menyadari bahwa sering kali saya nya saja yang sok sensitif atau sok mau sempurna padahal kalau semua kesensitifan dan kesempurnaan itu mau dikesampingkan, hubungan ini mestinya bisa bertahan tak lekang waktu. Saya lalu menyadari begitu banyak hal yang tidak penting dalam hidup ini diposisikan secara salah menjadi prioritas padahal prioritas yang sebenarnya adalah membangun suatu hubungan penuh cinta yang bisa bertahan di antara begitu banyak badai. Saya juga akhirnya menyadari bahwa kalau kita cengeng, maka kita tak akan pernah menemukan cinta sejati. Selalu saja ada kurangnya, dan kalau sudah kejadian seperti itu, kita lalu mencari alasan untuk mencari yang baru yang lebih sempurna.
Well, tak ada yang sempurna. Karena itu kalimat tadi benar-benar ampuh untuk selalu mengingatkan saya dalam mencari cinta sejati : saya mencintai orang yang saya nikahi, bukan cuma sekedar saya menikahi orang yang saya cintai...
No comments:
Post a Comment