Sunday, November 28, 2010

28 November 2010 : Guilty Pleasure!

Keluar dari studio film malam ini, saya terpuas-puas menonton "Rapunzel" film animasi rilisan Disney yang paling mutakhir. Disney sangat berhasil menghibur saya yang sedang jenuh dengan plintiran cerita yang sangat brilian.

Dari semua adegan yang segar itu, saya mengingat baik adegan dimana Rapunzel melanggar perintah ibunya dan menikmati hidup alam bebas namun pada saat yang bersamaan merasa bersalah melakukan pelanggaran. Di satu sisi nikmatnya bukan main, di sisi lain merasa bersalahnya setengah mati!

Saya sendiri merasa sering di posisi itu. Menikmati kesenangan "nakal" tapi merasa bersalah luar biasa di saat yang sama. Mulai dari yang kecil, sampai yang peringkat khusus dewasa. Mulai dari tahu tidak baik makan durian, kambing dan cumi-cumi karena kadar kolesterol saya yang cukup tinggi, tapi tetap saja bilang, "aaaaaah, dikit aja lagiiii" sampai hal-hal yang sensasinya serupa, tapi tidak untuk dibahas di sini.

Saya lalu melantur dari film. Kalau di film, kelakuan Rapunzel melakukan guilty pleasure itu harus, karena menjadi keputusan kunci yang menggulirkan drama di film tersebut, kenyataan sehari-harinya mengatakan bahwa guilty pleasure yang saya lakukan kadang-kadang bikin runyam, tapi kebanyakan nikmat-nikmat saja dilakukan sepanjang tidak menimbulkan gejolak. Namanya guilty pleasure, tentu saja dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan orang atau pihak yang punya otoritas seperti polisi. Pasangan, orang tua, anak, keluarga ada 4 dari begitu "banyak polisi" dalam hidup kita. Selain itu juga agama, Tuhan. Guilty pleasure menjadi semakin nikmat karena sensasi ketegangannya. Kalau tidak dilarang, maka rasanya akan biasa-biasa saja.

Sayangnya yang namanya guilty pleasure itu menagih. Sekali dilakukan, tak mungkin tidak melakukan lagi. Saya jadi ingat, kalau di film kartun kerap muncul setan dan malaikat yang berusaha "memenangkan" perang batin. Saya sendiri kalau tidak sedang lupa diri, kadang mengatur dan menakar kadar pelanggaran. Saya suka sekali durian, bahkan pernah mabok karena makan 5 durian sendirian saat di Padang. Kini saya mengatasi kegemaran tersebut dengan makan es puter rasa durian yang ada durian atau paling tidak daging durian asli di atasnya. Dengan demikian saya makan cuma paling banyak 1 biji durian, tapi rasanya makan keseluruhan buah durian. Saya juga suka daging kambing. Biasanya kalau ke pesta nikah, yang pertama-tama saya tongkrongi adalah kambing gulingnya. Sekarang masih melakukan yang sama, tapi cuma ambil paling banyak 5 potong kecil untuk mengobati kangen kambing.

Melihat kegelisahan Rapunzel meninggalkan menaranya, saya jadi bertanya, keputusan apa yang sebetulnya tepat dalam menghadapi guilty pleasure? Melakukannya? Menghindarinya? Tanpa sengaja, dari yang saya ceritakan di atas, ternyata saya sudah punya kiat bagaimana mengatasinya. Tetap menikmatinya dalam bentuk pseudo-pleasure. Apa yang saya lakukan itu sebenarnya bukan benar-benar menelan 5 buah durian, tapi mencuri rasanya dari sebutir biji durian saja. Saya juga memakan 5 iris kecil kambing untuk menggantikan gumpalan daging yang biasa saya lahap. Saya melakukan berbagai hal kategori guilty pleasure yang semu, seperti melakukan padahal sebenarnya tidak melakukan. Hal yang sama berlaku untuk "hal-hal" lainnya...

Malam ini saya belajar trik mengubah guilty pleasure menjadi Real Pleasure melalui pseudo-guilty pleasure. Syaratnya : teguh pada peraturan diri sendiri, yaitu tidak tergoda melakukan lebih jauh! Karena kalau melangkah lebih jauh, bisa kejebur jurang ...

No comments: