Wednesday, June 30, 2010

30 Juni 2010 : Emas dalam Kubangan

Tiga hari ini saya banyak mendengarkan kotbah sehubungan dengan meninggalnya saudara sepupu saya. Salah satu kotbahnya adalah mengenai betapa Tuhan mengasihi kita. Sang pendeta memberikan ilustrasi yang menarik, diangkat dari kejadian nyata. Alkisah, seorang ibu dari Surabaya sangat kehilangan suaminya yang meninggal karena penyakit kronis. Sebagai tanda cintanya, si ibu mengenakan kedua cincin kawin di jarinya, menyatukan cincin kawinnya sendiri, dan cincin almarhum suami. Suatu ketika ketika sedang di kamar mandi, terjadilah sebuah insiden : cincin kawin suaminya yang agak longgar itu terjatuh ke lubang wc. Karena terkejut dan refleks, si ibu justru menekan tombol dan segeralah si cincin menggelincir hilang ke bak septitank. Keesokan harinya, dengan rasa kehilangan yang mendalam, sang ibu memanggil layanan pompa tinja. Ketika baknya sudah relatif kering, ia meminta tangga dan dengan dasternya ia turun mengobok-obok bak yang masih penuh tinja. Semua tetangga berdatangan dan mulai bergunjing, mengatakan ia gila. Ia memulai dari satu sudut ke bagian yang lain. Namun sudah beberapa area, cincin itu tak ditemukan juga. Ia tak putus asa. Ketika hari hampir berganti gelap, tiba-tiba terdengarlah teriakan riang : Akhirnya, ketemu! Ia menemukan cincin yang hilang dan mengusapnya dengan penuh kasih. Dengan linangan air mata, ia mengenakan kembali cincin yang masih kotor itu.

Sang pendeta membandingkan kejadian itu dengan kita manusia. Betapa kita ini hidup di kubangan dosa, dan betapa kasih Allah tak memedulikan kubangan kotor untuk mencari kita. Ketika Ia menemukan ummatnya yang hilang, Ia bersorak senang dan berpesta. Seketika itu juga, saya diingatkan bahwa saya ini tidak sedang dalam gelimang kenikmatan karena nikmat dunia itu bagaikan kubangan bagi kesucian. Sudah di kubangan, saya masih sok berkuasa, sok gaya, sok ini dan itu, padahal ibarat cerita tadi, saya ini bak cincin yang bergelimang lumpur tinja. Kalau Tuhan mau bersusah payah membongkar timbunan dosa untuk menemukan saya lalu menggosok hingga berkilau lagi, apakah usaha saya untuk membantu Tuhan menemukan saya? Adakah usaha saya untuk menjaga kualitas emas yang ada di dalam sehingga Tuhan tak usah susah-susah menggosoknya hingga berkilau, atau setidaknya mempermudah Tuhan menemukan kita karena kilau hidup kita?

Dalam suasana duka, saya diperdengarkan sebuah kisah yang mencerminkan Kasih Tuhan kepada saya. Dalam keadaan duka, Tuhan justru menunjukkan kasihNya kepada saya. Bahwa Ia tak peduli saya berkubang dosa, Ia tetap mencari dan ketika menemukan, Ia menggosok dan mengenakan saya di jari manisNya dengan penuh kasih, kebanggaan dan suka cita. Saya bersyukur sekaligus malu. Bersyukur atas semua karuniaNya, dan malu karena selama ini saya lebih banyak lupa dan berdiam diri saja menunggu Tuhan turun tangga mencari dikubangan demi menyelamatkan saya.

Namun pikiran saya tidak hanya berhenti pada rasa syukur saja. Saya tiba-tiba diberi teladan untuk tidak cepat-cepat menyerah dalam membuka pintu maaf dan dengan penuh kasih membawa orang-orang yang bersalah kepada saya mengembalikan kilau emasnya. Tiba-tiba saya teringat orang-orang yang membuat saya kesal, yang telah menzolimi saya, yang sudah membuat saya marah dan bahkan dendam karena kesalahan yang pernah dilakukannya kepada saya. Saya tiba-tiba ingat perumpamaan seorang ayah menyambut anaknya yang sesat dan hilang yang bertobat kembali ke rumahnya, dengan penuh suka cita dan pesta. Saya seharusnya tidak berhenti pada rasa syukur karena "ditemukan dan diselamatkan" Tuhan dari kubangan, tetapi saya sendiri juga harus turut bersama Tuhan berkubang mencari cincin-cincin emas lain yang hilang, dan ketika menemukannya menggosoknya dengan suka cita sehingga berkilau kembali dan mengenakannya dengan penuh kebanggaan.

Terima kasih Tuhan, melalui kehilangan seorang sepupu saya boleh melihat betapa besarnya kasihMu untuk anak-anakMu ini. Bantu aku untuk dapat menjaga diri dan meningkatkan kemilau cahayaku agar bersinar terang, walau terkubur di dalam kubangan serta kekuatan dan kearifan agar aku bisa ikut serta mencari cincin-cincin yang hilang supaya bisa sama berkilau kembali seperti yang kau lakukan saat menemukan kembali anak-anakMu yang hilang...

Tuesday, June 29, 2010

29 Juni 2010 : Sang Pemilih

Saya memperoleh pesan blackberry yang sudah hilang jejaknya, namun inti isinya masih teringat sampai sekarang. Pesan itu menceritakan seorang murid di suruh memetik sebuah bunga terindah di sebuah lorong kebun bunga dengan syarat tak boleh kembali. Di ujung lorong, terlihat sang murid tidak membawa apa-apa. Maka sang guru pun bertanya, "Apakah kamu tidak menemukan bunga yang menurut kamu indah?" Sang murid pun berkata, "Bukannya tidak menemukan, sebetulnya saya menemukan banyak "calon" bunga yang ingin saya petik, namun saya berpikir mungkin di depan nanti saya akan mendapatkan yang lebih baik. Ketika sampai di ujung lorong, saya akhirnya menyadari bahwa bunga yang terbaik sudah saya lalui, namun karena Guru melarang saya kembali, maka saya kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya. Hasilnya, saya tidak memperoleh apa-apa." Sang Guru berkata, "Begitulah pelajaran hidup, nak."

Saya tercenung membaca pesan yang sangat dalam ini. Berapa kali saya kehilangan kesempatan terbaik karena saya menjadi pemilih yang cerewet? Sering kali saya menilai bahwa yang baik tidaklah cukup baik buat saya, padahal kekurangannya tidak seberapa. Saya lupa, di dunia ini tidak ada yang sempurna, dan seratus persen seperti yang saya mau. Selalu ada kelebihan dan kekurangannya. Selama ini saya sering terlalu terfokus pada kekurangannya, padahal sering kali kesilauan kita terhadap sesuatu yang kita pikir baik, ternyata menyisakan kekurangan yang lebih banyak dari yang kita singkirkan sebelumnya.

Pesan di atas juga menyadarkan betapa seringnya saya kesal dan membuang untuk urusan yang sepele, lupa bahwa akan semua yang baik yang sebetulnya lebih besar dari kekesalan saya. Begitu terjegal sedikit masalah, saya langsung jengkel dan merasa, mungkin "dia" bukan yang terbaik bagiku, bukan yang cocok bagiku, mungkin sebaiknya saya cari yang lain, yang lebih baik, padahal sebenarnya tak ada yang lebih baik dari yang sudah ada.

Hari ini saya diajak untuk bisa menghargai dan mencintai apa yang sudah saya miliki, karena apa yang saya punya itu adalah yang terbaik. Kalau ada kekurangan, bisa jadi adanya di diri saya sendiri, kurang toleransi, kurang mau mengerti dan kurang menghargai.

Saat mau menutup blog hari ini, saya memperoleh lagi pesan yang lain, yang lagi-lagi mengingatkan kita untuk menghargai kehidupan dan apa yang sudah kita miliki. Begini bunyinya :

Hidup

•Di saat kamu ingin melepaskan seseorang..
ingatlah pada saat kamu ingin mendapatkannya
•Di saat kamu mulai tidak mencintainya. ..
ingatlah saat pertama kamu jatuh cinta padanya
•Di saat kamu mulai bosan dengannya..
ingatlah selalu saat terindah bersamanya
•Di saat kamu ingin menduakannya. ..
bayangkan jika dia selalu setia
•Saat kamu ingin membohonginya. ..
ingatlah disaat dia jujur padamu
•Maka kamu akan merasakan arti dia untukmu
Jangan sampai disaat dia sudah tidak disisimu,
Kamu baru menyadari semua arti dirinya untukmu
•Yang indah hanya sementara
•Yang abadi adalah kenangan
•Yang ikhlas hanya dari hati
•Yang tulus hanya dari sanubari
•Tidak mudah mencari yang hilang
•Tidak mudah mengejar impian
•Namun yg lebih susah mempertahankan yg ada
Karena walaupun tergenggam bisa terlepas juga
•Ingatlah pada pepatah,
"Jika kamu tidak memiliki apa yang kamu sukai,
maka sukailah apa yang kamumiliki saat ini"
•Belajar menerima apa adanya dan berpikir positif....
•Hidup bagaikan mimpi, seindah apapun,
begitu bangun semuanya sirna tak berbekas
•Rumah mewah bagai istana,
harta benda yang tak terhitung, kedudukan, dan
jabatan yg luar biasa, namun...
Ketika nafas terakhir tiba,
sebatang jarum pun tak bisa dibawa pergi
sehelai benang pun tak bisa dimiliki
Apalagi yang mau diperebutkan
Apalagi yang mau disombongkan
•Maka jalanilah hidup ini dengan keinsafan nurani
•Jangan terlalu perhitungan
•Jangan hanya mau menang sendiri
•Jangan suka sakiti sesama apalagi terhadap mereka
yang berjasa bagi kita
•Belajarlah tiada hari tanpa kasih
•Selalu berlapang dada dan mengalah
•Hidup ceria, bebas leluasa...
•Tak ada yang tak bisa di ikhlaskan... .
•Tak ada sakit hati yang tak bisa dimaafkan
•Tak ada dendam yang tak bisa terhapus....

Monday, June 28, 2010

28 Juni 2010 : kotak

Subuh-subuh saya sudah dibangunkan oleh dering telepon yang memberitahu bahwa sepupu saya sudah tiada. Karena kami semua Katolik, saudara saya lalu menghubungi yayasan pengurusan jenazah Katolik. Kami cukup tercengang permintaan kami ditolak karena sepupu saya ini berasal dari gereja non Katolik. Kami lalu menghubungi gereja almarhum, dan mendapatkan nomor telepon yayasan kristen, barulah pengurusan jenazah dapat dilakukan.

Sampai saat ini, kalau ingat kejadian di atas, saya jadi heran. Orang yang sedang bingung dan kesusahan ditolak ditolong karena beda gereja. Wow! Kemana rasa kemanusiaannya? Begitu ekslusifkah kelompok keagamaan ini sehingga menolak membantu ? Saya berpikir, jangan-jangan Yayasan Kristen ini akan melakukan yang sama kalau ada warga Katolik yang meninggal. Saya jadi ingin bertanya alasan penolakannya. Apakah karena tidak paham tata cara kematian gereja lain, dan kalau membantu malah disalahkan? Bisa jadi.

Saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu ketika banjir besar menimpa Ibu Kota tercinta kita, susah benar mencari bantuan. Teman saya terjebak di lantai dua di rumahnya di Kelapa Gading, dan tak ada satu pun yang bisa memasuki area itu. Kami tak tahu harus minta bantuan siapa, sampai pada akhirnya kami minta bantuan TNI dan mendapat pinjaman pelampung. Saat itu saya mempertanyakan, kenapa ya kita ini tidak punya layanan emergensi seperti 911 di Amerika? Ketika menyampaikan gagasan itu, banyak yang mendukung, tapi tak ada yang mau bergerak.

Saya masih terobsesi mewujudkan layanan 911 di Indonesia. Tapi rasanya semua ini masih sebatas mimpi saja, karena dalam skala kecil, pagi ini saya dipaksa berhadapan dengan kenyataan pahit. Yayasan keagamaan yang harus menunjukkan teladan di bidang kemanusiaan justru sama sekali tidak memperlihatkan kepeduliannya pada orang lain. Kemana perginya kotbah yang setiap Minggu diteriakkan sang imam? Begitu pentingnya kah menjaga kepentingan kelompok sehingga kehilangan sentuhan uluran tangannya bagi orang lain yang membutuhkan?

Saya jadi ingat kejadian sumbang menyumbang. Suatu saat ada yang berkomentar pokoknya yayasan yang disumbang harus di bawah kelompok agama tertentu. Saya gatal berkomentar, tapi batal. Jadi ketulusan kita membantu itu ada syaratnya juga. Harus yang seagama, harus yang ini dan itu. Kalau begitu, benarkah kita tulus? Pantas saja John Lennon kesal dengan pengotak-kotakan ini sehingga lahirlah lagu Imagine.

Injil Lukas 10:38-42 menceritakan ketika Yesus dan murid-muridNya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya. Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataanNya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." Tetapi Tuhan menjawabnya, "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri denan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu : Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."

Akankah kita seperti Marta yang sibuk sendiri, melayani orang-orang yang dianggap penting dilayani, tetapi tidak memperoleh esensi berkah terbaik? Hari ini saya ditunjukkan betapa sikap kekelompokan sering kali membuat kita buta akan hakiki persaudaraan yang sesungguhnya. Dengan kata lain, jangan fanatik. Semua sama, semua satu. Tak ada yang lebih penting, dan tak ada yang kurang penting...

Sunday, June 27, 2010

27 Juni 2010 : Experiencing Life

Hari ini untuk pertama kalinya saya berdandan ala busana Jawa Solo, lengkap dengan keris asli dan blangkonnya, sebagai among tamu di resepsi pernikahan kerabat bersama kakak-kakak tercinta yang khusus datang dari Perth. Untuk pertama kalinya pula saya mengikuti prosesi pernikahan adat Jawa yang "full version" sungguh penuh upacara yang setiap langkahnya bermakna filosofis yang dalam. Selama ini, saya hanya datang sepotong-sepotong saja. Dalam hati saya menilai, oooo jadi yang saya saksikan di Jakarta selama ini yang versi pendeknya ya, yang sudah disesuaikan dengan kebiasaan orang Jakarta yang serba cepat dan tidak sabaran. Dari acara resepsi dibanjiri orang jam 10:30 hingga saya harus pulang jam 13:00, acaranya belum selesai juga. Semalam, kerabat saya membisiki, ya gini ini adat Jawa, banyak ini itunya. Bahkan ketika semalam sang pengantin kecapaian dan istirahat terlebih dahulu, upacaranya sama sekali tak terpengaruh karena di malam midodareni itu, yang berperan justru wakil-wakil keluarga yang sibuk serah terima seserahan. Setengah bercanda saya bilang dalam hati, pantesan di Jakarta banyak yang cerai, upacaranya aja disunat, jadinya sang pengantin tak mendapat keseluruhan wejangan sebagai bekal pernikahan...

Yang membuat saya kagum adalah kegotongroyongan dan rasa kekeluargaan penduduk setempat. Kerabat saya bukan seorang kaya raya. Tinggalnya di gang nya gang di desa Tawangmangu. Namun sifat ringan tangannya dikenal luas. Tak heran yang datang hingga isteri menteri dan pejabat teras ibu kota sampai ke kerabat keraton. Tetangga-tetangga mereka menyediakan rumahnya yang lebih luas untuk tempat siraman dan malam midodareni, sementara rumah depan merelakan tempatnya dijadikan tempat panggung hiburan. Tetangga sebelahnya lagi, rela dijajah menjadi tempat rias. Rumah Pak RW bahkan terbuka luas 24 jam menjadi tempat "sekretariat" Dengan turun tangannya semua pihak, pernikahanpun menjadi megah bak keluarga kerajaan, dengan upacara yang tampak mewah dan gemerlap keraton.

Karena kerabat, saya yang biasanya punya kebiasaan menghilang dari sebuah acara pun menjadi terpaku di tempat acara. Karena tidak bisa ke mana-mana dan sinyal telepon genggam yang kadang ada kadang tidak, saya mengikuti keseluruhan acara dengan seksama dan menyelami kekayaan adat jawa yang sarat maknanya. Saya memperhatikan detil acaranya, detil busananya, ekspresi orang-orang yang terlibat dalam upacara maupun mereka yang datang sebagai tamu, apa yang dikatakan dalam tuturan Jawa halus yang begitu panjang, detik-detik upacaranya, semua terasa indah dan puitis.Semuanya terorganisir dengan sangat rapi. Sebagai among tamu, saya mendapat kemudahan untuk menyaksikan semua upacara ini dari jarak yang sangat dekat.

Sebetulnya, hari ini saya tidak belajar sesuatu secara khusus. Namun pengalaman pertama berbusana lengkap Jawa dan hanyut dalam suasana upacara Jawa yang kaya membuat hari ini hari yang istimewa. Saya beberapa kali "menjadi orang Sunda" ketika menjadi bagian keluarga mantan, tapi sebagai orang yang dibesarkan di tanah Jawa, dan kuliah di Jawa Tengah, saya tidak pernah mengalami apa yang saya alami hari ini. Saya sungguh menikmati keindahan alam pegunungan yang berbaur kental dengan nuansa Jawa. Saya merasa menjadi seorang Jawa sejati, tak peduli mata saya yang sipit, dan tampang yang menurut teman saya lebih cocok dalam balutan T-Shirt ketat. Pada akhirnya saya memahami. Hidup ini bukan hanya soal belajar. Hidup ini juga soal experiencing life. Itu lah yang saya alami hari ini. Dan saya bersyukur karenanya.

26 juni 2010 : Maaf

Saya bangun jam 3 pagi untuk bisa berangkat dari rumah jam 4 subuh agar sampai di bandara jam 5 karena akan lepas landas jam 6 menuju ke Solo guna menghadiri pernikahan kerabat di Tawangmangu. Saya tiba di terminal F jam 5 kurang dan langsung menuju ke konter keberangkatan. Begitu melihat waktu yang kurang satu jam, petugas mengarahkan saya untuk ke konter cepat check in mandiri. Namun gagal,karena dibilang wrong entry terus-terusan. Jadi, saya diantar ke konter eksekutif. Begitu melihat tiket, sang petugas dengan santainya bilang, "Pesawatnya cancelled." Saya seperti mimpi bertanya, "maksudnya?" "Ya cancelled. Tidak terbang, jadi kalau Bapak mau, ikut penerbangan kedua jam 9:30." Ketika nada saya tinggi menanyakan kok tidak ada pemberitahuan, petugasnya bilang,"Maaf pak, ini baru saja diberitahu." Jadi, kami penumpang tak diberi pilihan. Ketika saya dan saudara saya mau duduk bersebelahan, saya mendengar kata maaf lagi, sudah penuh, duduknya pisah.

Jadilah saya terlantar. Untung saya punya fasilitas untuk singgah di executive lounge, jadi masih bisa molor di sana selama 3 jam. Sampai di pesawat dan sudah mengudara, saya mendengar orang di belakang saya ribut. Ternyata mereka kelewatan tidak diberi konsumsi. Sekali lagi kata maaf saya dengar. Hari ini, saya mendengar kata maaf seperti sedang diobral dan tidak punya makna karena cuma sekedar ngomong saja. Maaf, tapi tetap saja melakukan kesalahan tanpa merasa bersalah.

Saya benar-benar kesal dan berteriak di status bbm, facebook dan twitter. Saya bilang, mendingan namanya diganti dari burung perkasa menjadi emprit saja! Saya benar-benar kesal disuguhi oleh wajah wajah yang tidak merasa bersalah namun dengan entengnya mengatakan maaf. Betapa seringnya kita menemui kejadian ini. Begitu banyaknya orang yang mengatakan maaf tanpa rasa bersalah. Asal buka mulut tapi tetap saja lurus melakukan kesalahan, dan melindas orang lain, tanpa memikirkan bahwa orang lain itu juga punya keperluan. Gara-gara pesawat yang mau ngirit, menyatukan penerbangan pertama dan kedua, saya jadi kehilangan waktu sama sekali, dan terlambat datang ke acara siraman kerabat. Sampai di sana, tanpa ganti baju yang lebih sesuai, kami langsung diterima keluarga pengantin yang sudah menunggu lama untuk memulai acara ini. Dan pihak penerbangan tidak mau tahu. Angkuhnya bukan main, kan yang butuh sana, bukan saya, begitu kira-kira sikapnya. Tapi kalau mau jujur, meskipun sangat jarang, saya juga pernah begitu. Asal sesuai dengan kemauan, saya pura-pura tuli dan tidak tahu, main "tabrak" saja kepentingan orang lain, sambil ala kadarnya bilang, "Maaf"

Hari ini saya kena batunya dan diingatkan agar tidak asal bilang maaf. Maaf itu mengandung penyesalan, dan penyesalan itu juga mengandung arti kita berusaha melakukan perbaikan atas kesalahan itu. Kalau tahu bakal cancel, paling tidak mereka punya usaha untuk memberitahu pelanggannya agar bisa mempersiapkan diri dan jadwal lebih baik, apakah mau ikut di penerbangan berikutnya, atau mengejar pesawat lain agar tidak ketinggalan jadwal seperti saya ini. Jadi, lain kali, kalau saya bilang maaf, maka saya mengatakannya dengan setulus dan sepenuh hati, penuh penyesalan dan melakukan usaha sebaik-baiknya untuk memperbaiki keadaan.

Soal saya jadi terlambat datang di acara siraman? Ya, terpaksa saya juga bilang "Maaf", tapi kan paling tidak saya sudah berusaha ngebut dan datang langsung ke tempat acara secepat mungkin...

Friday, June 25, 2010

25 Juni 2010 : Suci

Kasus Ariel-Luna Maya- dan Cut Tari memasuki babak baru ketika Ariel ditetapkan sebagai tersangka dan masuk tahanan. Infotainment pagi ini meliput kehadiran beberapa artis untuk menengok Ariel siang kemarin. Rupanya, aksi simpati ini mendapat reaksi keras dari Farhat Abbas sebagai ketua LSM yang sebelumnya tak pernah saya dengar. Ia mengatakan kehadiran para pesohor itu adalah bentuk dukungan yang salah kaprah dan tidak akan mengubah keputusan hukum.

Saya jadi heran, ada urusan apa dia dengan Ariel? Ia menggembar-gemborkan kecaman soal perzinahan dan perselingkuhan, tapi masih teringat jelas di benak saya ketika ia sendiri digempur kasus nikah siri sampai beberapa kali dengan wanita yang lebih tua darinya. Memang dia tak terlihat mendokumentasikan aksi ranjangnya dengan para wanita itu, tapi buat saya aksinya kali ini sangat aneh. Begitu gigih ia menyalak. Ada apa? Saya jadi berandai-andai, kalau suatu saat nanti dia yang kepentok (lagi dan lebih parah), bagaimana ya nasibnya? Saya membayangkan akan seru sekali bila ada orang yang menyalak sama kerasnya (atau bahkan lebih keras) dengan dia sekarang!

Saya jadi ingat cerita Yesus yang menyelamatkan perempuan yang dituduh berzinah dan akan dihukum rajam oleh masyarakat. Ia membuat garis di atas debu dan mempersilahkan orang yang tidak berdosa untuk melemparkan batu pertama. Seketika gonggongan pedas para penuduh yang sok suci itu pun senyap, dan satu per satu meninggalkan tempat, menyisakan Yesus dan perempuan itu. Maka Ia berkata,"Aku pun tak menghukum dikau, pergilah dan jangan berbuat dosa lagi."

Apa pelajaran yang bisa dipetik dari ke dua kejadian yang berbeda jarak lebih dari dua ribu tahun ini?

1. Tak ada manusia yang bersih dari dosa. Tak ada seorang pun yang berhak menghakimi apakah orang ini berdosa atau tidak. Hak itu semata-mata adanya di Tuhan.

2. Kalau seorang suci memberikan kesempatan bagi seorang berdosa untuk memperbaiki sikapnya, siapa kita manusia yang berhak merenggut kesempatan orang untuk memperbaiki kesalahannya.

Alkitab memberikan petunjuk di Matius 7:1-6

"Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.
Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.
Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balik di dalam matamu tidak engkau ketahui?
Bagaimanakan engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari saudaramu."

Apa yang dilakukan Farhat sebenarnya sangat mengganjal hati, namun setelah mengingat kisah Yesus dan membaca ayat Matius di atas, saya jadi disadarkan : siapa saya untuk memiliki hak menghakimi Farhat. Saya sendiri bukan orang suci, dan dalam berbagai kesempatan saya juga bertindak sebagai Farhat. Sok tahu mana yang benar, sok tahu seharusnya bagaimana harus bertindak, padahal minus saya banyak sekali. Saya jadi ngeri kalau semua ukuran yang saya pakai untuk menghakimi orang dibalikkan kepada saya. Bisa-bisa saya lebih "tidak lulus" lagi!

Lewat kelakuan Farhat, saya disadarkan. Semoga ada orang atau jalan yang mengingatkan dia akan ayat-ayat di atas, sama seperti Tuhan telah memakainya untuk mengingatkan saya...

Thursday, June 24, 2010

24 Juni 2010 : Jejak

Selama dua setengah jam tadi saya menunggui kerabat dekat yang tak sadarkan diri sejak kemarin di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Dengan selang di sana sini, ia berjuang dengan napas satu-satu melawan berbagai penyakit yang menyerangnya sekaligus. Badannya yang tadinya tegap ganteng terkulai layu. Saya duduk di samping isterinya dan mengobrol selama dua setengah itu, sambil sesekali diganggu suster yang melakukan pemeriksaan ini itu dan tindakan ini itu yang membuat perut saya mual dan keringat dingin.

Pikiran saya melayang-layang. Melihat ketakberdayaan kerabat yang begitu tadinya begitu giat, saya mempertanyakan apa gunanya hidup ini. Orang memang berjuang dalam hidupnya, melalui masa kanak-kanak, remaja, dewasa, menikah, sibuk membesarkan anak, menjadi kakek dan meninggal. Sudah? Begitu saja? Lalu buat apa hidup ini? Terbayang lagi milyaran orang hidup di dunia ini, semua dengan pola yang sama. Lalu mengapa harus melalui kehidupan di dunia ini? Apa gunanya kita eksis, hadir di dunia ini? adakah perlunya juga kita ini ada?

Saya lalu berpikir, kalau cuma begitu-begitu saja, apa gunanya kita hidup? Di awal tahun melalui proses hypnotherapy untuk meneropong kehidupan masa lalu, saya mengetahui kehadiran saya di dunia sekarang ini adalah untuk belajar berdamai dengan diri sendiri dan belajar unconditional love. Tapi, sudah? Sampai di situ saja? Mungkin juga, tapi saya merasa kalau "cuma" belajar itu saja, kok ya mubazir? Semestinya selain belajar ke dua hal itu, saya juga bisa memberikan sumbangsih yang berarti bagi dunia yang saya tinggali ini. Kalau saya telaah lagi, ternyata dari milyaran orang yang memenuhi bumi ini, hanya segelintir yang memberi manfaat, meninggalkan jejak positif bagi kemajuan dan kehidupan semesta. Sebagian lagi ada yang memberi dampak, tapi bersifat negatif. Namun sebagian besar lainnya, ya... ada tidak ada sebagai individu, tak ada bekasnya. Saya lalu menanyai diri sendiri : saya termasuk yang mana ya? Jangan-jangan cuma masuk yang sebagian besar ini.

Kalau ditanya saya inginnya seperti apa, ya saya akan menjawab mantap ingin meninggalkan jejak positif, yang selalu dikenang atas sumbangsih saya kepada dunia tercinta - apa pun sumbangsih itu. Namun, kalau melihat dari jumlah (orang yang bisa memberikan dampak positif), sumbangsih yang berarti itu benar-benar langka dan tak mudah untuk diwujudkan. Siapalah seorang "saya", yang cuma begini-begini saja mau memberi pengaruh bagi masyarakat banyak. Tiba tiba saya teringat film Oceans dan Ocean World yang saya tonton baru-baru ini. Ikan sardin adalah ikan yang relatif kecil dan lemah. Itu kalau dilihat satu per satu. Namun ikan sardin selalu bergerak bersama ribuan sardin lainnya sehingga kalau dilihat secara keseluruhan, kumpulan sardin itu bagaikan raksasa yang bahkan mengalahkan besarnya seekor paus. Saya lalu membandingkan sumbangsih saya sebagai seorang individu. Saya mungkin bukan seekor ikan paus, namun upaya yang saya lakukan bila digalang dan digabungkan dengan upaya serupa yang dilakukan orang lain bisa memberi dampak luar biasa besarnya.


Dalam perjalanan pulang, saya iseng membuka facebook dan di status Kafi Kurnia tertera:

What we do for ourselves dies with us. What we do for others and the world remains and is immortal - Albert Pine

Pas sekali dengan apa yang berkecamuk di kepala saya. Kalau di akhir hidup ini saya cuma sukses berdamai dengan diri sendiri dan memahami arti unconditional love, maka terlepas dari naiknya derajat kematangan roh, bagi dunia ini, upaya saya akan ikut mati bersama lenyapnya jasad ini. Tapi apa pun yang saya lakukan bagi sesama dan dunia, sekecil apa pun, akan tetap tinggal dan bermanfaat bagi kehidupan dunia. Saya jadi mengerti, bahwa hidup di dunia ini tidak hanya melulu soal "naik kelas" dalam hal ke-roh-an diri sendiri, tapi juga lulus dalam hal bagaimana saya mempergunakan kemampuan pribadi yang serba terbatas ini untuk memberikan kontribusi bagi kehidupan dunia yang lebih baik. Tiba-tiba saya merasa, hidup ini tidak cuma "begini-begini" saja. Our ability to make a difference (in life) will separate us from the billion clutter ...

Wednesday, June 23, 2010

23 Juni 2010 : Kecipratan!

Dua hari ini saya berkumpul dengan para saintis muda, pelajar puteri SMA kelas satu se Indonesia yang lolos seleksi menuju babak final dan bertemu dalama acara science camp dua hari di daerah Ciawi. Mereka luar biasa kreatif, pintar, cekatan dan penuh percaya diri padahal dari segi usia masih 15 - 16 tahunan. Mereka harus berhadapan dengan para juri peneliti senior yang sudah belasan, bahkan puluhan tahun malang melintang di bidangnya di universitas-universitas paling ternama di negeri ini, dan mereka dapat menjawab pertanyaan yang tajam dan "kejam" dengan tangkas. Pemenangnya datang dari berbagai SMU di Indonesia, menandakan bahwa sekolah daerah apa lagi luar pulau tak kalah kualitasnya dengan rekan-rekannya di Jawa.

Ketika saya berkesempatan memperkenalkan juara pertama kepada teman-teman media, salah satu teman wartawan menanyai pemenang, "uangnya akan diapakan?" Jawaban mereka yang polos awalnya mengundang tawa,"akan dibagi rata." Namun kelanjutannya membuat semua yang berada di tempat itu tercekat, termasuk guru pembimbing mereka, "Selain kami bertiga, kami punya dua guru pendamping. Karena ketentuannya hanya boleh bawa satu pendamping, maka yang hadir di sini hanya satu guru. Karenanya, uang yang kami dapat akan dibagi rata berlima, sehingga semua yang terlibat dapat menikmati hasil jerih payah bersama."

Wow, saya jadi terpikir, berapa sering saya melupakan orang yang "berjasa" dalam pekerjaan dan hidup saya? Pura-pura lupa, dan menikmati hasilnya sendiri, apa pun itu? Entah hadiahnya berupa kue yang sangat lezat sehingga enggan berbagi, atau bentuk rezeki lainnya? Lebih jauh lagi, saya jadi usil ingin tahu, dari ke 5 orang yang terlibat di sana, apakah peran mereka sama rata sehingga pantas dibagi rata hasilnya? Bagaimana kalau yang satu punya peran yang lebih besar dari yang lainnya? Bagaimana kalau ada yang khawatir kalau perannya tak kelihatan sehingga berusaha menonjol sendiri? Bagaimana kalau dalam pembagian tugas ternyata si petugas lebih berkonsentrasi pada pekerjaannya sendiri, pokoknya pekerjaan saya harus sukses! Sabodo teuing dengan yang lain?

Pagi tadi, begitu sampai tempat acara, saya sudah mendapat "siraman rohani" alias curhat dari kanan kiri mengenai "kelakuan seorang anggota tim." Merasa tahu orang lain bakal lapor dam mengeluh pada saya, orang yang bersangkutan lalu berusaha membela diri, padahal hingga selesai acara saya belum angkat bicara sedikitpun. Kelakuan yang dikeluhkan, adalah tindakan yang dilatarbelakangi tujuan agar tugas yang diembannya berjalan sukses. Tidak ada salah dengan hal ini, kalau saja ia tidak menginjak area tim yang lain sehingga merugikan yang lainnya. Pada akhirnya, toh apa yang dikerjakannya tidak akan berhasil secara keseluruhan kalau anggota tim yang lainnya tidak berhasil. Dengan kata lain, keberhasilan sebuah tim bukan hanya ditentukan oleh keberhasilan sebagian anggotanya, tapi keseluruhan anggotanya. Jadi, mestinya ia melihat dari perspektif yang menyeluruh. Ada kalanya mengalah dan memberi jalan kepada anggota yang lain justru memuluskan kesuksesan bersama karena kalau salah satu tim tak sukses, kita semua yang kecipratan! Kita tidak bisa serta merta menuding kepada yang gagal : gara-gara dia kita gagal!

Maka pas sekali acara ini ditutup dengan statement si pemenang. Semua jerih payah dan hasil dibagi rata. Tak peduli bahwa yang kerja setengah mati adalah si murid, dan si guru cuma ongkang-ongkang kaki mengomentari hasil keringat si murid, semuanya punya peran yang besar. Kalau si murid mengabaikan komentar si guru, bisa jadi mereka tidak menang. Kalau si guru terlalu menyetir si murid, bisa-bisa ketidakorisinalitasan proposal terlihat jelas.

Hari ini saya diingatkan dua hal penting melalui statement "semua kecipratan" tadi :

1. Jangan pernah lupa pada semua yang telah berjasa dan terlibat dalam sebuah proyek, apa pun bentuk proyek itu.
2. Jangan pernah lupa bahwa bagian tugas saya memang penting, namun tugas orang lain juga sama pentingnya, bahkan bisa lebih penting. Jadi bukan soal penting tidaknya peran saya, karena yang terpenting adalah keberhasilan bersama.

Terima kasih adik-adik muda, kalian telah memberikan jawaban atas apa yang harus saya katakan kepada tim saya besok ketika mereview "curhat" tadi pagi!

Tuesday, June 22, 2010

22 Juni 2010 : Cair alami

Setelah sekian lama mengenalnya di layar perak dan kaca, mulai dari "Ada Apa Dengan Cinta" yang fenomenal, akhirnya hari ini saya bertemu Nicholas Saputra. Tidak sekedar bertemu, namun menemaninya mengobrol, makan siang, menunggui presentasi, hingga mendampinginya bertemu wartawan di sebuah acara selama lebih dari empat jam karena ia adalah brand ambassador klien saya. Nico bukan tipe orang yang sombong sehingga dalam sekejap kami sudah seperti teman ngobrol yang cukup asyik. Meski demikian, boleh dibilang, kami cukup terselamatkan oleh blackberry dan telepon yang tak putus-putusnya "mengganggu" pembicaraan kami berdua. Terselamatkan? Ya, kalau dilihat, kami berbicara asyik-asyik saja, namun terus terang ada kalanya kami terdiam cukup lama, mungkin karena sama-sama berpikir, mau ngobrol apa lagi ya? Untungnya aksi diam kami terselamatkan blackberry, karena bisa melongok dan menjawab bbm yang masuk, sehingga kebisuan itu tak tampak sama sekali. Untungnya kami lalu menemukan sebuah pembahasan yang seru, sehingga menemukan "klik" nya dan sejak saat itu dan hingga mengantarnya pulang, kami merasa nyaman ngobrol apa saja.

Di luar dugaan banyak orang, saya ini orang yang sungguh introvert. Orang melihat saya sebagai seorang people's person, yang mudah dekat dan bergaul dengan siapa saja, namun sebenarnya saya ini no-body person. Karena tuntutan pekerjaan, saya sering terlihat seperti sedang terlibat pembicaraan seru dengan orang yang baru saya temui. Kenyataannya, kalau bertemu lagi di kesempatan lain, mungkin orang yang sama tak akan mendapatkan kehangatan pembicaraan yang sama ketika kami bertemu karena pekerjaan. Kalau diceburkan dalam sebuah pesta yang sebagian besar tamunya tak saya kenal, saya lebih senang sembunyi di pojok yang nyaman di mana saya bisa minum dan makan bebas. Alih-alih kenalan dengan orang baru, saya lebih banyak diam seribu bahasa dan baru buka mulut kalau ditanya. Itupun seperlunya. Jarang saya bisa langsung klik dan ngobrol seru. Buat saya, basa basi itu perlu upaya yang luar biasa besarnya, dan bukan pekerjaan yang mudah. Karenanya, di luar jam kerja, saya lebih memilih menikmati aktivitas sendiri, atau dengan orang-orang terdekat. Itu pun jarang dalam bentuk kelompok. Kebanyakan satu-satu karena saya menikmati kesantaian yang one-on-one, bisa saling bertukar kabar dan cerita secara pribadi, tanpa harus menjadi orang lain dengan segudang sopan santunnya.

Saya pernah membuat kesal kakak saat berlibur di Australia dan diajak piknik bersama teman-temannya. Saya menolak karena seakrab-akrabnya saya dengan teman-temannya, tujuan saya ke Australia adalah untuk "rehat" bersosialisasi (kalau dihitung, karena pekerjaan, dalam sehari saya bisa bertemu puluhan hingga ratusan orang. Jadi saya merasa perlu sekali-sekali "cuti" bertemu orang). Saat itu, saya lebih memilih piknik dengan kakak dan ibu saya, ketimbang ada orang lain di luar lingkup keluarga yang ikut. Kalau dengan saudara, saya bisa jadi saya apa adanya. Kalau ada orang lain, tentu sikap dan tingkah saya perlu diatur juga, dan untuk momen pribadi, saya enggan melakukannya.

Pekerjaan saya menuntut saya menjadi seorang yang people's person. Sampai saat ini, saya masih kesulitan untuk segera berakrab-akrab dengan orang yang baru saya jumpai. Kalau bukan soal pekerjaan, tentu saya akan lebih banyak diam dan meninggalkan orang yang baru saya kenal. Tahu akan kekurangan saya itu, saya diam-diam memperhatikan dan belajar dari memperhatikan orang-orang yang sehari-harinya berjumpa dengan orang, seperti Nicholas Saputra.

Tadi, di sebuah wawancara, ia ditanya bagaimana rasanya menjadi seorang selebriti. Ia menjawab, "Yang menentukan selebriti atau tidak itu masyarakat. Bagi saya, saya ini pekerja film." Ia nampak enggan dielu-elukan secara berlebihan. Ketika media ingin mewawancarainya, saya minta izin dulu apakah ia tidak keberatan diwawancara, sehingga ia punya waktu mempersiapkan diri. Dari pertemuan dengan beragam orang, saya belajar bahwa ada orang yang dari "sono" nya seorang yang people's person yang secara alami membuat nyaman orang yang baru pertama kali ditemuinya, dan pertemuan mengalir begitu saja penuh kehangatan. Namun tak sedikit orang yang seperti saya : butuh kesiapan mental untuk bersosialisasi. Saya pribadi merasa perlu siap mental untuk menghadapi audiens saat saya menjadi moderator atau narasumber atau pengajar tamu. Saya juga mempersiapkan mental ketika harus hadir di sebuah acara, apakah acara itu formal atau sekedar pesta kumpul-kumpul. Kesiapan yang saya lakukan adalah dengan mengetahui acara apa yang akan saya datangi, siapa audiensnya dan peran saya di sana apa : apakah sentral, atau hanya diperlukan sekejap saja, atau sekedar pelengkap alias undangan. Saya juga mempersiapkan diri apakah dalam acara tersebut saya bakal berjumpa dengan orang yang sebagian besar tidak saya kenal, atau sebagian besar saya kenal. Karena seringnya saya berjumpa orang, persiapan itu tentunya menjadi semakin singkat karena biasa. Namun, ada kalanya juga mood saya tidak "ngangkat" sehingga pertemuan yang sudah dijadwalkan terasa basi, setidaknya buat saya sendiri. Saya merasa tidak dapat chemistry nya dan menilai pertemuan itu "gagal". Apa yang terjadi pada saya ternyata dialami juga oleh para pesohor yang sudah selayaknya setiap saat dikelilingi oleh orang-orang yang tak dikenalnya. Karenanya saya tak heran bila membaca dan menonton berita, di saat tertentu dnara sumber terlihat begitu bersahabat dengan media, dan di kali lain terasa begitu jauh dan asing. Itu karena secara alami, dia bukan seorang people's person dan saat itu moodnya sedang tidak siap berhadapan dengan massa, baik dalam bentuk media atau penggemar. Buat saya sendiri, "social mode" adalah sebuah tombol yang tidak otomatis "on". Harus dinyalakan dulu, baru berfungsi.

Hari ini saya menyadari, memang sudah dari "sono" nya saya ini bukan "people's person" yang alami, and that's alright, karena bukan berarti saya tidak bisa menjadi seorang "people's person". Para pesohor sudah membuktikannya, bahwa mereka baik-baik saja, asal bisa menempatkan diri dan menyalakan "tombol social mode" nya pada saat yang tepat. Saya cuma perlu berlatih lebih banyak lagi agar bisa menyalakan tombol itu dengan super cepat sehingga tak ada yang melihat perbedaannya, antara yang alami dan yang bisa karena belajar dan latihan ...

Monday, June 21, 2010

21 Juni 2010 : Menguji Keberuntungan

Acara Super Deal 2 Milyar malam ini berujung dengan si pembawa acara mengawarkan kepada yang paling banyak menerima hadiah untuk maju ke babak final : kesempatan meraih 2 milyar! Tanpa ragu lagi si finalis menyatakan mau ikut main! Jsdi, ia mau menukarkan hadiah yang sudah ia kumpulkan sebanyak tujuh juta Rupiah demi mengejar 2 milyar. Iming-imingnya, kalau luput mendapat 2 milyar, ia masih berkesempatan memenangkan tirai 3 : liburan ke Universal Studio Singapura senilai 20 juta! Maka dengan penuh semangat ia memutar roda keberuntungan, dan ternyata berhentinya di 5 juta Rupiah. Seolah menjadi setan penggoda, sang pembawa acara pun menawarkan kesempatan sekali lagi, kali ini 2 milyar nya ditukar dengan 50 juta. Jadi selain punya kesempatan menukarkan hadiah 5 juta nya menjadi 50 juta, si finalis tadi masih mungkin juga dapat yang 20 juta. Roda diputar lagi, dan berakhir di 2 juta. Akhirnya, sang finalis membawa pulang 2 juta Rupiah, tekor 5 juta gara-gara mimpi 2 milyar nya.

Meskipun ini hanya permainan seru-seruan, tapi acara ini mengingatkan saya agar tidak serakah. Kalau saya jadi dia, saya akan berhenti di 7 juta. Kalau ternyata orang lain bersedia mengambil risiko dan memperoleh lebih dari yang saya dapatkan, itu rezekinya. Bukan rezeki saya. Memang, kita sering tertantang dan penasaran, kurang selangkah lagi, mencapai 2 milyar, tapi sebanyak apa probabilitasnya sampai ke dua milyar? Memang, kalau kita tak mencoba, kita tak pernah tahu hasilnya seperti apa. Kenyataannya, saya melihat dalam hidup ini betapa banyak orang yang serakah. Sudah mendapat jatah masih juga menyerobot jatah orang lain. Sudah mendapat rezeki, masih juga mengais rezeki tidak halal. Kurang-kurang-kurang. Tak pernah puas.

Saya sering dicemooh oleh teman karena sikap saya yang sangat konvensional dan sangat tradisional soal investasi. Saya pernah mendapat kuliah tentang wealth management dan sudah disediakan seorang konsultan untuk memutarkan uang di bursa saham. Tapi, waktu itu saya kok merasa tidak sreg karena merasa investasi seperti ini risikonya sama besarnya dengan imbalannya, jadi saya bilang saya mau pikir-pikir. Di saat saya pikir-pikir itulah bursa saham Amerika rontok berat. Sampai saat ini sang konsultan yang tadinya rajin menelpon lenyap tak berbekas. Saya ingat bagaimana ia mengiming-imingi uang saya akan bekerja sendiri menghasilkan keuntungan berlipat ganda.

Keberuntungan sering kali membuat kita ini seperti main judi. Sekali beruntung, kita sering mendorong keberuntungan kita sampai pada limitnya. Siapa tahu bisa dapat lebih, coba lagi, coba lagi. Yang ada, kita suka tak mau terima kalau keberuntungan itu ada batasnya. Sekali rezekinya selesai, kita baru sadar kalau bukan kita tambah harta, malah kehilangan harta.

Malam ini saya ditunjuki wajah kecewa dan meringis si kontestan yang mestinya bisa bawa pulang 7 juta, tapi malah cuma kebagian 2 juta. Saya ditunjukkan kapan harus berhenti menguji keberuntungan : bahwa kalau sudah diberi kesempatan mendapat rezeki, sebaiknya berhenti dan mensyukurinya. Kalau kita akan mendapat rezeki lebih, tentu dengan jalan apa pun kita akan mendapatkannya, asal halal dan ikhlas. Bukan berarti kita tak berusaha, namun yang penting kita tahu gelagat dan batasnya. Saya diingatkan kembali untuk bersyukur atas rezeki yang sudah dianugerahkanNya kepada saya. Juga untuk selalu minta bimbingan dan jalanNya, supaya kalau memang jodoh, rezeki tak akan kemana, ujung-ujungnya sampai ke tangan saya juga ....

Sunday, June 20, 2010

20 Juni 2010 : Mendengar

Semua keinginan saya untuk waktu santai terpenuhi di hari Minggu biasa ini. Bangun siang, ke gereja, nonton film, spa, belanja roti, transfer uang ke kakak untuk urunan duka cita, bayar kartu kredit, makan pagi dengan nasi goreng bawang cabe yang isitimewa, makan siang dan malam yang menyenangkan, semua terlaksana. Kesantaian saya rasanya terlengkapi dengan sebuah film yang sangat memanjakan mata, dari segi pemandangan maupun pemainnya, termasuk jalan ceritanya yang sangat ringan dan entertaining : Letters to Juliet.

Meskipun ringan, film tersebut membuat saya bertanya pada diri sendiri juga. Diceritakan Sophie Hall (Amanda Seyfield yang terkenal lewat Mamamia!)pergi ke Verona untuk berbulan madu sebelum tunangannya Victor membuka restaurant barunya di New York. Victor adalah orang yang workaholic dan apa-apa yang dibicarakan hanyalah seputar pekerjaan dan kecintaannya pada masakan. Apa yang diceritakan Sophie seolah tidak penting lagi. Selalu terpotong dan pembahasan kemudian kembali didominasi seputar masakan. Kelanjutan ceritanya, sebaiknya Anda tonton sendiri karena film ini begitu ringan dan indah untuk didengar melalui ocehan saya.

Yang mau saya bahas sekarang adalah sikap seperti Victor dan Sophie. Saya mengalaminya sendiri ketika pasangan saya berasal dari latar belakang kerja yang berbeda. Tentu saat berjumpa kami ingin saling berbagi pengalaman seharian, dan hal itu pasti tak lepas dari apa yang masing-masing alami seharian di tempat kerja. Awalnya, sebagai orang yang baru kasmaran, semuanya terdengar begitu menarik. Namun, kalau pembahasan mengenai pekerjaan lama-lama menguasai bahasan pembicaraan, saya kok jadi kurang tertarik dan lama-lama bosan juga. Bicaranya seakan tak ada yang lain, ituuuuu saja yang dibahas. Karena bosan, kadang-kadang saya menyela dan mengalihkan pembicaraan yang buat saya lebih menarik. Tapi ternyata belakangan, sikap saya ini menuai protes karena pasangan merasa saya tidak tertarik dan tidak mau tahu terhadap bahan bahasannya padahal ia ingin sharing tentang pekerjaannya pada saya. Saya jadi merasa bersalah.

Saya jadi ingin tanya : kalau Anda punya pasangan yang berbeda latar pekerjaan, akankah Anda tetap setia mendengarkan celotehnya setiap saat, dan kalau sedang santai tiba-tiba ingat, ia kemudian tak segan membahas lagi bidang kerjanya akankah Anda antusias mendengarkannya? Saya sih terus terang senang dengar cerita pasangan saya, namun tidak terus-terusan. Ketika santai di Minggu seperti ini tiba-tiba ia nyeletuk dan membahas mengenai lingkup kerjanya, terus terang bete juga rasanya.

Tiba-tiba, saya merasakan pentingnya wawasan yang luas, sehingga perbendaharaan pembahasan saya dengan pasangan tidak itu-itu saja, dan ujung-ujungnya balik ke bidang yang paling saya kuasai : bidang pekerjaan saya. Sekali-sekali senang juga mendengar pasangan membahas mengenai bidang yang saya geluti, atau justru lebih senang lagi membahas hal-hal yang sama sekali di luar bidang kami berdua. Sesuka saya mendengar cerita mengenai apa yang dikerjakannya, kalau cerita seputar kerjanya berputar dalam waktu tujuh hari seminggu, lama-lama di hari libur saya merasa masuk kerja juga, hanya bedanya kali ini saya bekerja di bidang pasangan saya.

Melalui film Letters to Juliet saya seakan melihat refleksi ketika seorang pasangan terlalu berkobar semangat terhadap pekerjaannya sehingga "lupa" bahwa pasangannya belum tentu seantusias itu. Bukan berarti pasangan kita tidak tertarik akan apa yang kita kerjakan, namun ia tentu akan lebih menghargai lagi kalau kita sama tertariknya akan hal-hal yang ingin ia bagikan dengan kita. Memang butuh dua orang untuk bisa mewujudkan agar persoalan dengar mendengar ini dapat berhasil dengan baik. Saya lalu berpikir, bagaimana ya caranya agar bisa berimbang?

Kalau melihat film tadi, tampaknya tak akan berhasil. Sophie kemudian mendapatkan kenyamanan mendengar dan didengar justru dari orang lain : si ganteng Charlie (Chris Egan), cucu Claire (Vanessa Redgrave) yang dibantunya mendapatkan kembali cinta lamanya Lorenzo Bartolini (Franco Nero)yang telah terpisah 50 tahun lamanya. Dan kepada Charlie lah akhirnya cinta Sophie tertambat.

Saya lalu dapat pelajaran. Kalau dua orang yang katanya cinta tidak dapat merasa tertarik terhadap apa yang dilakukan oleh pasangannya, lama-lama cintanya akan kabur kepada orang lain yang mau mendengarkannya. Saya jadi mendapat resep bahwa sebuah hubungan yang harmonis terletak pada ketertarikan dan kemauan untuk terlibat dalam minat pasangannya. Tanpa ketertarikan, kemauan akhirnya hanyalah menjadi paksaan saja, karena ketertarikan itu mengandung unsur kemauan alami yang keluar dari dalam hati. Jadi, kalau mulai merasa bosan dengan tuturan pasangan yang itu-itu saja, berhati-hatilah ! Kalau tingkat bosannya tinggi, bisa-bisa kita tergoda melirik orang lain, atau justru dia nya yang melayang ke pelukan orang lain yang seminat. Karenanya, kalau tidak mau ada yang kabur, ya harus dijaga keseimbangannya. Kita harus pandai-pandai mencari topik yang bisa jadi minat bersama, terutama di kala santai. Di atas semua itu, kita harus latihan mau mendengar. Kita diciptakan dengan dua kuping, dua mata dan satu mulut. Artinya harus lebih banyak (mau) mendengar dan memperhatikan dari pada mengoceh ...

19 Juni 2010 : Gratis!

Setelah puluhan tahun, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki lagi di bumi Pekan Raya Jakarta. Harga masuk per orang kalau weekend IDR 20.000 buka dari jam 10:00 - 23:00. Karena tumpahnya pengunjung, parkir saya jadi jauh sekali. Jalan kaki yang cukup jauh dari tempat parkir ke loket tiket menjadi semacam hukuman bagi saya yang tadi pagi membolos olah raga. Sesampai di loket, saya jadi terkejut karena sudah lebih dari jam 20:00 namun antreannya masih meliuk panjangnya. Ada saja orang yang mau menyerobot, tapi gagal karena saya pelototi. Yang datang aneka rupa. Di belakang saya rombongan Makassar. Di seberang ada sekelompok berbahasa Jawa. Ada juga kakek-kakek yang membawa armadanya. Semua campur, termasuk orang-orang bermata sipit. Saya jadi semakin excited, ingin tahu bagaimana sih rupa pesta rakyat ini setelah sekian lama tak pernah saya tengok!

Dengan uang yang saya keluarkan, saya mendapat sebuah kartu masuk, dan selembar kertas yang isinya kartu diskon dan kartu gratis. Gratis donut. Gratis ini. Gratis itu. Potongan segini. Potongan Segitu. Pokoknya, tukarkan kupon Anda begitu masuk selagi persediaan masih ada! Maka, begitu masuk arena, saya disuguhi antrean berjubel di counter penukaran. Karena lapar, saya jadinya cari makan dulu. Ternyata urusan cari makan tidak mudah. Saya jadi menyesal tidak makan di warung depan area PRJ yang menyuguhkan pecel lele kegemaran saya. Di dalam, "sumber" makanan yang ada benar-benar mengejutkan. Adanya stall-stall yang menjual makanan instan yang tak sehat, yang herannya penuh saja dijejali orang. Stall makanan itu kebanyakan tidak menyediakan tempat duduk, sehingga penikmat harus rela makan tersebar di jalan. Satu-satunya tempat makan yang senonoh berupa hidangan nasi ada di area Hall B. Jadi saya makan di sana.

Seusai makan seadanya, saya tergoda mencoba peruntungan menukar kupon. Ternyata dengan uang dua puluh ribu yang saya tukarkan sebagai tiket masuk, dan kupon janji diskon dan gratis, semuanya tipu belaka. Ada yang harus bayar IDR 25.000 untuk diganti 2 burger dan 1 minuman, ada juga yang gratis donutnya ternyata pakai tanda bintang. Di bawah kecil-kecil tertulis syarat dan ketentuan berlaku. Ternyata syaratnya adalah beli dulu minuman baru diberi satu donut gratis. Saya jengkel dan merasa ditipu kupon, akhirnya tidak beli. Yang saya heran, kok orang tetap mengantri ya di sentra-sentra penukaran kupon? Merasa menang karena harganya lebih murah dan dapat gratisan? Padahal kalau saya hitung-hitung modal produksinya bahkan dengan biaya promosi ikut nebeng tercetak di kupon itu, sang produsen masih saja diuntungkan! Lalu saya melewati counter yang tersedia. Berbagai promosi murah yang ada di sana juga tipu-tipu belaka, namun yang beli juga adzubilah banyaknya! Mulai dari merk terkenal, sampai yang baru saya jumpai di sana, penuh nuh!

Saya lalu berkaca. Kita ini memang suka ditipu dan diiming-imingi ya. Suka merasa menang kalau dapat hadiah (apapun hadiahnya, termasuk sampel minyak kayu putih dengan botol mini juga bikin hati senang). Saya juga terngiler-ngiler kena promosi TV 3D yang menawarkan gratis kacamata 3D setelah mencobanya. Padahal mestinya produsen kan memberikan fasilitas kacamatanya juga kalau beli TV 3D. Apa artinya beli tv dengan gambar ganda yang menumpuk tanpa kacamatanya? Mau juling nontonnya? Tapi masih saja saya terngiang-ngiang, dengan diskon tertentu, kalau sekalian beli blu ray 3D, saya bakal dapat 3 kacamata 3D! Wah, untung kan rasanya? Namun setelah melihat "penipuan" di PRJ malam ini, saya jadi mikir, eits, wait a minute! Saya lagi disirep nih sama produsen. Yang tidak penting jadi terasa penting untuk dibeli karena rasanya puas dan menang dapat diskon dan dapat gratisan kaca mata. Sebentar lagi, pasti turun juga harganya karena teknologi terbaru sudah mengantri mau masuk ke pasar. Maka akhirnya saya bilang sama yang jual,"Ntar deh mas, nunggu kalau harganya turunan dan lebih masuk akal." Si mas yang jual nyengir dan saya tidak jadi nonton siaran 3D paling tidak untuk beberapa saat ke depan, menahan diri sampai penawarannya masuk akal. Toh tadi siang saya sudah puas terpingkal-pingkal nonton Toy Story 3D di bioskop.

Soal iming-iming gratis ini, saya jadi teringat di mal-mal suka ditawari pena gratis tapi langsung diseret untuk mendengarkan ocehan berjam-jam dan disihir untuk beli ini itu. Juga iming-iming kartu kredit yang tidak jelas, menghadiahi boneka murah untuk dapat keuntungan sebesar-besarnya. Dan sekali lagi herannya, sudah habis diporoti orang masih saja merasa jadi pemenang, termasuk kakak dan ibu saya!

Pulang dari PRJ, saya justru merasa jadi pemenang besar : tidak beli apa-apan kecuali 2 kotak terasi Bangka yang sangat uenak itu, dan jarang ketemu di Jakarta! Dalam hati saya berterima kasih pada PRJ yang mengingatkan : hati-hati iming-iming gratis dan diskon!

Saturday, June 19, 2010

18 Juni 2010 : Salah

Sore ini saya dan tim sedang ada gawe sebuah perusahaan yang mengadakan ulang tahun perusahaan sekaligus pisah sambut pimpinannya. Tema yang diusung sangat Indonesia, karenanya ada unsur kecapi suling saat tamu mengadakan cocktail, dan di dalam ruang panggung besarnya mengusung tema pintu candi. Di penghujung acara, untuk menyimbolkan kerja sama dan kebersamaan, kami mendatangkan Kelompok Angklung Mang Udjo dari Bandung. Sebagai surprise kami membagikan kepada setiap hadirin yang hadir satu angklung sebagai perangkat untuk memainkan lagu bersama, sekaligus untuk suvenir. Setiap angklung diberi tulisan bakar nama perusahaan itu.

Untuk memastikan bahwa spellingnya benar, kami minta contoh satu angklung, dan ketika jadi, kami meneliti kebenarannya dan sudah memberikan approval. Tapi sore ini saya jadi terbelalak ketika secara sekilas melihat angklung-angklung yang dibawa dari Bandung itu dalam keadaan terikat. Saya langsung melihat adanya kesalahan fatal : salah spelling! Nama Perusahaan itu salah eja! Bagaimana mungkin? Contohnya sudah kami cek dan benar, kok jadinya salah juga? Bagaimana menghadapi klien kami yang terkenal sangat detil itu? Uuuuh! Ada ada saja! Semua yang baik bisa jadi berantakan karena kesalahan fatal ini. Permainan angklung bersama menjadi acara pamuncak malam ini!

Project Manager saya mengusulkan untuk diam-diam saja. Tapi, mengingat pengalaman saya kalau diam-diam saja malah berbuah petaka, saya kok tidak sreg. Kebetulan partner saya sedang ada di tempat dan saya berdiskusi dengannya. Ia yang sedang stress berat menghadapi persiapan acara kenegaraan, membuat saya terpesona atas reaksinya! Dengan kalem ia berkata terkejut : OOOoooow, sayaaaang ya. What a pity.... Kasihaaan sudah jauh-jauh dari Bandung keliru... mungkin karena spellingnya susah ya buat orang kita..." Tak ada solusi. Hanya kasihan. Jadi saya bilang, kita jujur saja ya pada si klien. Dan Beliau setuju. Jadi saya katakan kepada project manager, biar saya yang bilang pada klien dan kita serahkan kepada keputusannya. Saya sudah menghubungi Mang Udjo dan mereka sepakat mengganti dalam waktu 4 hari. Jadi, pilihan terburuknya adalah sehabis main, angklung ditarik kembali dan ditukar yang baru.

Ketika mendapat kesempatan untuk mereview acara secara detil bersama sang MC, saya mengutarakannya kepada Klien yang juga salah seorang direktur di perusahaan itu. Setelah dipertimbangkan, klien saya lalu mengatakan "tutup mata saja" dan jalankan. Saya menjalankan acara yang berakhir sangat sukses dan meriah itu dengan hati lega dan nyaman. Nyaman karena kesalahan saya diterima dengan baik dan dimaafkan serta diketahui oleh Klien.

Kejadian malam ini kembali meneguhkan bahwa apa pun yang terjadi, jangan biarkan pihak yang paling bersangkutan dan berkepentingan tahu belakangan atau menemukan sendiri kesalahan yang kita perbuat. Sebaiknya kita secara gentleman menghadap dan memberitahu serta memberi solusi. Niscaya pandangan yang bersangkutan akan berbeda terhadap kita. Respek, dan sama-sama mencari jalan keluar yang terbaik.

Saya tersenyum ketika malam ini My Daily Inspiration dari walktthetalk.com mengirimi saya sebuah pesan yang diilhami kata-kata Karen Casey :

Seeking the good in every experience ensures that you will bring your better self into every encounter. Lives change when we do this - ours as well s those we journey with today.

Benar sekali katanya. Hari ini saya mendapat pelajaran dari kesalahan saya sendiri.

Thursday, June 17, 2010

17 Juni 2010 : Komunitas

Baru saja memasuki lobby gedung Femina, saya bertemu "sahabat" lama saya Dewi Dewo. Sebetulnya maksud kedatangan saya ke Femina bukan untuk bertemu dengannya, namun sebagai pendamping dari Kepala Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan yang ingin berjumpa dengan para pemimpin redaksi kelompok media di bawah payung Femina Group.

Ketika saya kenalkan dengan Kepala Promkes, Mbak Dewi, begitu saya menyebut langsung bercerita tentang perjumpaan kami yang pertama. Ya, dia selalu bercerita awal jumpa kami saking uniknya. Di awal masa mencari kerja, saya melamar ke puluhan perusahaan. Apa saja saya lamar. Ada restoran, ada perusahaan obat, ada periklanan dan ada juga media, termasuk Gadis yang dulunya dikomandoi oleh Mbak Dewi. Selang setahun saya bekerja, tiba-tiba saya mendapat panggilan wawancara oleh Majalah Gadis. Penasaran, saya datangi. Setelah lebih dari satu jam diwawancara dan ngobrol sana sini, saya tak tahan lagi dan bertanya, "Mbak, saya ini dipanggil dalam rangka apa sih?" Mbak Dewi melotot, "Lha, ini kan kamu ngelamar di sini?" Saya dengan santainya bilang, "Mbak, baca nggak tanggal suratnya kapan?" Ketika menyadari bahwa lamaran yang dipegangnya sudah jauh kadaluwarsa, ia lalu bertanya, "Lha kamu kok gak bilang dari tadi?" Saya cuma nyengir, "Lha saya kepengen tahu jadi ya saya jalani saja." Itu lah awal persahabatan kami, hingga kini. Dengan berjalannya tahun, Mbak Dewi kemudian menjadi pemimpin redaksi femina, lalu menjadi editor-at-large nya femina group, memegang departemen sumberdaya manusia, dan menjelang pensiunnya, sekarang ia menangani Yayasan Sekar Melati.

Sekarang, saya juga kenal dengan beberapa pemimpin redaksi di kelompok femina, bahkan hari ini saya berjumpa dengan hampir semuanya. Sampai beberapa waktu yang lalu, pemimpin redaksi hanya berurusan dengan sisi editorial majalah atau medianya saja. Namun siang ini, saya mendapat penjelasan bahwa mengurusi pembaca atau pemirsa saja sudah tidak cukup. Urusannya adalah dengan komunitas. Maka pemimpin redaksi sekarang berurusan juga dengan komunitas. Yang disebut komunitas contohnya adalah para bloggers. Remaja sekarang adalah remaja yang beraktivitas di dunia maya, dan di sanalah mereka menemukan komunitasnya. Karena senang berekspresi secara mendalam, para remaja lebih nyaman mengungkapkan apa yang ada di kepalanya dalam bentuk blog. Maka adalah komunitas blog travel, blog ini dan itu. Dan ternyata ada fenomenanya juga penggunaan jejaring sosial ini. Saya lupa apakah saya pernah menulisnya di sini, tapi riset membuktikan bahwa usia di bawah 20 tahun sukanya main blog. 21 - 35 tahun karena ingin eksis sukanya main twitter, yang ringkas tapi selalu memberitahu kita ada di mana dan sedang apa . Di atas 35 tahun, facebook merajalela karena facebook kemudian jadi arena reunian, pasang-pasang foto dan sebagainya. Saya sendiri sesuai umur, gemar buka facebook, tapi entah mengapa saya juga gemar mengekspresikan pikiran lewat blog. Jadi kalau sesuai statistik, saya ini 35 tahun ke atas tapi jiwanya 20 tahun ke bawah. Kehebohan media pun, pindah ke era mobile. Maka kini, media konvensional seperti cetak dan elektronik saja tidak cukup. Kalau mau survive, harus bisa merangkul aktivitas komunitas yang begitu mengalir dan dinamis melalui dunia maya.

Saya lalu berkaca apa artinya semua ini bagi saya pribadi. Artinya, kebiasaan saya menerima dan menyampaikan informasi pun berubah. Saya sekarang ini sudah tidak pernah kirim surat pakai kertas lagi. Faks di rumah sudah lama menganggur. Semuanya saya kerjakan melalui blackberry atau laptop yang dapat mengakses dan diakses di mana saja, kapan saja. Saya sudah tidak lagi terikat ruang dan waktu, apa lagi jarak. Berkomunikasi dengan kakak di Australia, seperti sedang bbm an dengan teman di Jakarta, real time. Meskipun masih meneruskan tradisi membaca koran dan majalah, tapi sebagian besar update saya peroleh dari internet lewat blackberry, real time, tak usah tunggu besok, apa lagi sebulan. Karena itu media konvensional yang terkendala waktu harus cari akal agar tidak kehilangan pundi-pundi uangnya.

Dunia komunikasi sekarang mengubah cara dan gaya komunikasi saya dengan teman-teman dan kerabat. Saya jadi terkoneksi dengan teman teman SD yang dulu hilang. Dan blackberry pun memberi fasilitas grouping, alias secara elektronik, saya sudah diberi fasilitas untuk berinteraksi secara komunitas. Jadi, saya ini sudah seperti pemimpin redaksi saja, pemred untuk diri sendiri yang harus membina hubungan dengan komunitas ini. Mengelolanya sebenarnya menjadi semakin mudah, karena dengan bbm saya bisa berkomunikasi dengan berbagai komunitas. Di satu sisi saya bisa jadi komunitas eks kantor yang dulu, lalu komunitas teman sekolah. Juga komunitas travel, ada juga komunitas pekerjaan, komunitas makan-makan, komunitas keluarga, dan banyak lagi. Dan saya bisa menjalani peran sebagai anggota masing-masing komunitas itu dalam waktu yang bersamaan.

Selama ini, saya cuma sekedar seru saja, bicara dengan komunitas yang berbeda, namun istilah komunitas ini baru saya dapatkan hari ini, dan baru menyadarinya bahwa hidup saya terdiri dari berbagai gelembung pertalian, alias kelompok pertemanan. Saya baru menyadari bahwa hidup saya ini secara otomatis dibikin pola oleh teknologi. Memang nyaman, tapi saya kok sekarang jadi kuatir, jangan-jangan saya mau dijadikan robot oleh perkembangan jaman. Sekarang sih masih menikmati, tapi saya juga jadi waspada kalau-kalau semua ini bermuara pada sebuah industrialisasi manusia. Sudah mulai tampak sih, tanda-tandanya. Yang jelas malam ini saya jadi diingatkan, boleh saja sarananya disediakan untuk kemudahan kita, asal otak kita tidak disetir juga oleh teknologi. Saya mau tetap memegang prinsip saya : saya yang pegang kendali hidup saya, bukan yang lain, bukan pula teknologi. Teknologi cuma alat untuk membantu saya mengendalikan hidup...

16 Juni 2010 : Sejuk

Dua hari ini, saya bersama-sama Olga Lydia sedang mengadakan roadshow ke fitness center untuk mengedukasi para member seputar pentingnya makan buah. Kemarin, kami mendatangi fitness center di daerah Kelapa Gading dan keadaan jalanan tengah macet-macetnya. Tim saya sudah gelisah ketika Olga belum tiba di waktu yang sudah ditetapkan. Ditelepon tidak diangkat, disms tidak bisa, di bbm pun tak ada respon. Jelang 30 menit sebelum acara saya mendapat bbm dari Olga yang mengatakan bahwa ia sudah dekat. Ternyata, menyadari akan terjebak kemacetan maka ia nekad naik ojek motor dari TVRI ke Kelapa Gading dan meminta supirnya untuk menyusul. Wow! Saya sungguh salut atas komitmen dan keprofesionalannya.

Belum selesai salut saya, ia mengikuti secara penuh kelas body combat yang benar-benar menguras energi selama satu jam penuh, dan setelah itu masih dengan sabar dan ramah, dan bersemangat meladeni fans nya untuk ngobrol dan foto bersama. Semua ingin berlama-lama dengannya karena merasa nyaman dan bikin betah. Setelah mandi, saya lagi-lagi dikejutkan melihat penampilannya yang jauh berubah, menjadi sangat sederhana dan tanpa make up, santai berjalan dan makan malam bersama kami.

Hari ini, ia datang tepat waktu di Pondok Indah dan sekali lagi kesegaran dan semangat yang sama tak luntur dari dirinya. Semua yang melihat kagum atas semangat, dedikasi dan ketulusannya yang jauh dari kesan sok dan glamor seorang bintang. Ia sangat membumi dan tidak hitungan. Bukannya kami mau "ngelaba" minta ini itu, tapi ia sangat ringan tangan dan kalau ia bisa melakukan ia tidak keberatan membantu. Saya pernah dibantu ketika sedang mengumpulkan artis pro bono (alias tanpa bayar) untuk hadir disebuah acara amal, dan ia dengan senang hati membantu.

Dua hari ini, saya belajar dari seorang Olga Lydia untuk menjadi orang yang passionate, tulus, dan tidak hitungan, seberapa terkenalnya kita dan seberapa berpengaruhnya kita. Karena saya merasakan kesahajaan, semangat dan ketulusannya menyejukkan hati semua orang yang ditemui, termasuk saya. Saya mau jadi penyejuk, yang menjadi obat hati, bukan kompor seperti yang dilakukan sebagian orang...

Wednesday, June 16, 2010

15 juni 2010 : Main Bola

Pagi-pagi saya mendapat blackberrry messenger seperti ini:

BOLA KACA, BOLA KARET

Bryan Dyson, mantan eksekutif Coca-Cola pernah menyampaikan pidato yang sangat menarik:

Bayangkan hidup ini seperti pemain akrobat dengan 5 bola di udara. Anda bisa menamai bola itu dengan sebutan :

- Pekerjaan
- Keluarga
- Kesehatan
- Sahabat, dan
- Semangat

Anda semuanya harus menjaga semua bola itu tetap di udara dan jangan sampai ada yang terjatuh. Kalaupun situasi mengharuskan Anda melepaskan salah satu di antara lima bola tersebut, lepaskanlah "Pekerjaan" karena "Pekerjaan" adalah BOLA KARET. Pada saat Anda menjatuhkannya, suatu saat ia akan melambung kembali, namun 4 bola lain seperti keluarga, kesehatan, sahabat dan semangat adalah BOLA KACA. Jika Anda menjatuhkannya, akibatnya bisa sangat fatal!

Bryan Dyson mencoba mengajak kita hidup secara seimbang. Pada kenyataannya, kita terlalu menjaga Pekerjaan, bahkan mengorbankan keluarga, kesehatan, sahabat dan semangat demi menyelamatkan bola karet tersebut. Semi uang atau pekerjaan, kita mengabaikan keluarga. Demi meraih sukses dalam pekerjaan, kita jadi workaholic dan tidak memperhatikan kesehatan. Bahkan demi uang atau pekerjaan, kta rela menghancurkan hubungan dengan sahabat yang telah kita bangun bertahun-tahun lamanya.

Bukan berarti pekerjaan tidak penting, jangan sampai pekerjaan atau uang menjadi BERHALA dalam hidup kita. Ingatlah, kalaupun kita kehilangan uang masih bisa kita cari lagi, tapi jika keluarga sudah terjual, kemana kita membelinya lagi ...


Saya menerjemahkan bbm ini bukan sekedar memendahulukan pekerjaan atau keluarga. Semua yang tertera di atas benar. Saya lebih tertarik menyorotinya dari segi bagaimana kita menjaga fokus hidup kita. Sering kali kita terkecoh dan tidak fokus. Bilangnya bekerja demi keluarga, namun kenyataannya sering kita menelantarkan keluarga demi pekerjaan. Di luar lingkup itu, hari-hari ini saya disadarkan saya sudah "keluar jalur". Selama ini saya menjaga pola makan dengan baik dan berolah raga dengan rutin sehingga bobot yang sempat 78 kg itu menjadi 65. Namun belakangan ini saya teledor, makan cenderung rakus (karena lihat makanan apa saja ingin dicoba) dan karena padatnya jadwal kerja jadi kurang olah raga. Saya baru melotot ketika perut membuncit, celana mulai sesak, dan ketika ditimbang saya nyaris naik 5 kilo dalam hitungan 2 bulan! Pagi ini saya menetapkan diri untuk fokus fokus fokus. Maka saya mulai berolah raga lebih giat. Kalau kemarin-kemarin santai dengan 300 kalori, pagi ini saya mengikis 500 kalori. Mengurangi karbohidrat dan mengatur pola makan yang jauh lebih baik dari dua bulan kemarin. Target saya paling tidak balik 65, meskipun saya ingin turun jadi 63.

BBM pagi ini, tidak hanya mengingatkan tapi juga menyemangati saya untuk fokus pada prioritas hidup dan selalu siaga menjaganya tetap di jalurnya. Sedikit berbeda dengan Bryan, "bola" saya cuma ada 4 yaitu pekerjaan, keluarga, teman dan diri sendiri. Keberhasilan saya akan dinilai dari bagaimana saya bertanggungjawab terhadap keempatnya (kesehatan masuk di dalam bola "diri sendiri"), keselarasan hubungan antar "bola" dan bagaimana menjaga "semangat" agar ke empat bola itu tetap berputar di udara. Berbeda juga dengan Bryan, buat saya ke empat bola itu sama penting, jadi saya tak menganggap satu bola sebagai "anak tiri" yang bisa membal kembali...

Monday, June 14, 2010

14 Juni 2010 : Belajar dari Ariel Luna

Hari ini saya mau jadi pengamat berita video porno dan bagaimana para bintang yang terlibat di dalamnya bereaksi lalu dibandingkan dengan persepsi masyarakat. Saya jadi tertarik karena kasus mereka ternyata menjadi studi kasus yang sangat menarik bagi dunia komunikasi.

Setelah lebih dari seminggu berita dan video hubungan seks itu beredar, minggu ini mulailah para bintang yang disebut-sebut terlibat muncul ke permukaan. Diawali Jumat lalu ketika Ariel dan Luna ke Mabes Polri yang berakhir dengan bertambahnya tuntutan pada Ariel karena dianggap merusak kamera salah seorang pemburu berita. Sehari kemudian Luna muncul di acara publik, yang berakhir dengan keributan karena lagi-lagi wartawan merasa ditendang petugas keamanan yang melindungi Luna. Setelah main bulu tangkis, sang bintang kemudian berlari menghindar wartawan. Pagi ini giliran Cut Tari menggandeng tangan suaminya ke Mabes Polri. Sore harinya, alih-alih memenuhi panggilan polisi, Ariel dan Luna kembali muncul untuk melakukan wawancara pertama mereka setelah kejadian tersebut, sebuah wawancara yang menurut saya sia-sia karena seperti pepesan kosong saja, tidak menjawab esensi keingintahuan masyarakat : mereka berbuat atau tidak. Dalam berbagai kesempatan mereka selalu mengatakan sebagai korban dan hidupnya berjalan normal. Di lain kesempatan pengacara mereka OC Kaligis berkali-kali melontarkan kata no-comment ketika diminta konfirmasi apakah kliennya melakukan adegan seks di video tersebut.

Reaksi pun berdatangan dari berbagai kalangan. Ada LSM yang meminta para artis ditangkap. FPI dan MUI mengancam akan mencekal mereka. Walikota Bandung malam ini mengatakan bahwa Beliau mencekal Ariel, Luna Maya dan Cut Tari untuk manggung di Bandung serta ada kemungkinan mereka akan mencabut Ariel sebagai warga Bandung. Komentar pun datang dari berbagai pakar dan juga mereka yang pernah terkait video porno seperti Maria Eva.

Sebagai seorang yang bergelut di bidang komunikasi, sekali lagi saya melihat hancurnya kemampuan komunikasi orang-orang yang mestinya ahli berkomunikasi dengan audiens nya. Sebuah polling di sebuah situs menanyakan apakah Anda percaya bahwa ketiga pesohor itu adalah orang yang benar-benar ada di video heboh itu. Hasilnya, tak ada satu pun orang yang tidak percaya (0%) sementara sebagian besar menyatakan percaya, dan sekitar 23% mengatakan sangat percaya. Sebuah acara infotainment mewawancara juga orang kebanyakan, dan tak ada satu pun yang tidak yakin bahwa mereka melakukannya. Bahkan beberapa orang mengatakan dulu mereka idola namun kini mereka merasa jijik dan meminta mereka "ke laut aja, pulang kampung dan jangan berani lagi muncul di bumi Indonesia" karena sudah mencoreng nama bangsa. Berita mengenai video ini heboh sampai ke New York Times.

Mengapa mereka percaya bahwa Ariel-Luna-Cut Tari adalah pelakunya? Mereka mempertanyakan sikap yang ditunjukkan ketiganya. Kalau memang tidak, mengapa tidak langsung saja secara tegas mengatakan tidak? Mengapa Ariel justru merusak kamera? Mengapa justru menghindar publik? Mengapa pula sang pengacara mengatakan no comment? Dalam ilmu saya, kata "no comment" seringkali diartikan "Ya" oleh masyarakat, dan hal itu lah yang sedang berlaku saat ini. Karena itu, jangan sekali-sekali mengatakan no comment.

Apa yang harus dilakukan mereka? Komunikasi yang benar adalah komunikasi yang tidak berbohong. Karenanya, kalau mereka membeli waktu dengan berkelit ke sana ke mari, dan pada waktunya nanti dinyatakan bersalah, mereka akan menerima dampak yang jauh lebih buruk dari yang pernah mereka bayangkan. Kalau mereka tidak bersalah sih mudah, tinggal benar-benar tampil dan pasang badan saja sudah selesai. Masalahnya adalah ketika mereka benar yang melakukannya, ceritanya menjadi lain. Mau mengakui takut, karena mereka tinggal di negara yang azas dan norma keagamaannya kuat. Tidak mengakui, juga tidak tahu cara berkelitnya bagaimana. Maka, mereka menghindar. Dan justru tindakan menghindar itu mengkonfirmasi tindakannya.

Saya selalu mengatakan pentingnya kejujuran dalam komunikasi. Bila bersalah, akuilah kesalahan dan kekhilafan itu, lalu nyatakan tindakan dan upaya apa yang akan diambil dalam rangka memperbaiki kesalahan dan kekhilafan kita. Publik suka akan ketulusan. Publik menilai kesungguhan dan ketulusan "terdakwa". Maka sedikit saja isyarat ketulusan, akan disambut dengan memaafkan dan bahkan mungkin akan bahu-membahu membantu mengatasi kerusakan yang terjadi, sehingga citra publik kembali membaik karena simpati. Namun tindakan berkelit yang berakhir dengan terbongkarnya kebenaran bahwa mereka memang melakukannya akan berakibat fatal. Masyarakat akan cenderung menempelkan stigma dan memberikan hukuman tanpa ampun lagi. Kejayaan seorang pantunan moral yang tiba-tiba lenyap begitu saja beberapa tahun lalu menjadi bukti bahwa keteledoran berkomunikasi menjadi hal yang tak termaafkan di masyarakat. Ketika sang panutan yang dipuja ibu-ibu memilih untuk menikah lagi, ia mencoba membenarkan tindakannya dengan membawa isteri pertamanya seolah-olah ia mendapat restu untuk menikah lagi. Namun masyarakat menilai dari ekspresi sang isteri, dan cara bicara sang suami. Di situlah masyarakat menjatuhkan penilaian bahwa apa yang dilakukan sang panutan tidak mendapat restu dari isteri pertamanya secara tulus, bahkan ia dianggap mengkhianati sang isteri. Masyarakat lalu - dalam sekejap mata - meninggalkan sang idola.

Hari ini saya ditunjukkan kembali sembari diingatkan betapa pentingnya kejujuran dan ketulusan, tidak hanya di saat benar, namun juga ketika saya khilaf. Betapa sikap ksatria dan kesungguhan hati dituntut dalam menyikapi hidup ini. Tapi semua itu saja tidak cukup. Di akhir perenungan ini, tiba-tiba saya menerima sms kata bijak dari Andrew Grove yang mengatakan :

How well we communicate is determined not by how well we say things, but how well we are understood.

Sunday, June 13, 2010

13 Juni 2010 : Lepas!

Hari ini saya gagal ke Pekan Raya Jakarta, padahal sudah direncanakan dari kemarin. Sebenarnya mobil saya sudah berhasil memasuki arena parkir, tapi saking penuh dan semrawutnya, ditambah melihat lautan manusia mengantri, saya jadi menyerah duluan. Melihat gelagat saya sudah tak sabaran, teman saya langsung mengusulkan untuk membatalkan masuk ke arena pameran rakyat itu.

Sambil menyetir keluar area dan kehilangan uang parkir sepuluh ribu, saya menganalisa keengganan saya. Mungkin saya cukup nyaman makan pecel lele di pinggir jalan, naik bis berdesakan dan mendengarkan obrolan orang banyak di sela-sela hawa panas bis, namun ternyata sekarang ini, saya belum bisa nyaman dengan suasana semrawut dan hiruk pikuknya orang sebanyak itu, apa lagi jenis orangnya beragam dari yang paling tak berkelas sampai yang bawa mobil mewah tumpah ruah jadi satu. Selama ini saya lebih baik kena harga lebih mahal sedikit namun bisa nyaman belanjanya dari pada harus ke Glodok. Beli kebutuhan rumah tangga yang sedikit mahal di hypermart ketimbang pusing di pasar basah. Memilih lewat udara daripada sengsara berjam-jam di jalanan.

Saat sudah melewati kerumunan dan menikmati lancarnya jalan tol di hari Minggu, teman saya lalu bercerita bahwa ia setahun sekali bersama keluarga pergi ke Pekan Raya Jakarta untuk menikmati suasananya. Menikmati susahnya dapat parkir, menikmati desak-desakan dengan sejuta umat, makan kerak telor, menikmati sulitnya dapat taksi buat pulang, menikmati segala ketidaknyamanan dan ketidakteraturan. Mendengar ia bertutur seperti itu, saya jadi menyesal tidak masuk ke Pekan Raya Jakarta. Tadinya saya mengusulkan agar minggu depan balik pagi-pagi, saat masih banyak tempat parkir. Tapi ia bilang justru serunya di malam hari ketika lampu-lampu menyala. Lalu saya usul Jumat malam, katanya PRJ sudah mau tutup. Ketika saya usul naik taksi saja, dia bilang asal saya siap bete susah mendapat taksi. Arrrrrgghhhh!!!! Tapi setelah mendengar penuturannya, rasanya saya memang harus kembali ke Pekan Raya Jakarta di akhir pekan di malam hari, untuk berlatih "lepas!" Ya, lepas. Melepas semua peraturan pribadi yang mengharuskan ini dan itu, belajar ikut arus keramaian dan menikmati apa yang terjadi. Sebagai seorang selalu in control, tiba-tiba saya merasa perlunya membiasakan diri mengikuti arus yang out of control. Karena kalau tidak saya bisa stress sendiri ketika semua berjalan tidak seperti yang saya harapkan. Akhirnya saya hanya berani dan nyaman berkubang di daerah yang saya nyaman saja, padahal kalau mau membuka diri dan bersikap lepas, begitu banyak kesempatan dan hal-hal yang luar biasa indah untuk dinikmati.

Hari ini saya menyadari kekeliruan saya. Meninggalkan lahan parkir Pekan Raya Jakarta siang ini sebelum memasuki arena nya, saya membuktikan kekurang"lepas"an saya. Padahal setelah diceritai panjang lebar, saya jadi tahu saya kehilangan banyak kesempatan untuk menemukan berbagai hal yang selama ini tak pernah terbayangkan sebelumnya, dan semua pengalaman itu saya yakini akan semakin memperkaya wawasan saya, serta memperluas pengetahuan saya tentang kehidupan.

Saya bertekad untuk kembali ke Pekan Raya Jakarta sebelum pesta rakyat itu berakhir, untuk mengalahkan diri sendiri dan membuktikan betapa serunya hidup ini dan betapa luasnya samudra wawasan kita bila tidak dikungkung batasan-batasan yang memagari hidup kita dari semuanya itu. Doakan saya berhasil !

Saturday, June 12, 2010

12 Juni 2010 : 5 Pelajaran dari Karate Kid

Siang ini saya menonton Karate Kid, film yang sudah saya tunggu-tunggu sebagai nostalgia film dengan judul yang sama lebih dari 20 tahun yang lalu. Meskipun judulnya Karate Kid, film ini lebih tepat berjudul Kungfu Kid karena bercerita mengenai pendalaman seni bela diri Cina dengan setting kota Beijing yang lengkap dengan berbagai peninggalan historis dan budayanya.

Kalau Anda bertanya pendapat saya tentang film ini, maka jawaban saya adalah : BAGUS! Sangat menghibur. Akting Jackie Chan yang memang sudah teruji dan akting segar dan natural Jaden Smith - putera Will Smith membuat film ini menjadi semakin berwarna dan jauh dari mengantuk. Film yang sarat filosofi ini juga memberi berbagai pelajaran bagi saya. Setelah dihitung-hitung paling tidak ada 5 hal yang saya peroleh dari film ini :

1. Power hendaknya dipergunakan secara bijaksana untuk perdamaian dan kepentingan kebaikan sesama, bukan untuk menindas. Dalam dunia ini, kita begitu mendambakan memiliki power karena dengan power kita bisa menguasai, dan kalau sudah menguasai, kita cenderung mengeruk sebanyak-banyaknya manfaat dari yang kita kuasai. Kita kadang merasakan kepuasan dari ketakutan dan kecemasan orang lain karena kedigdayaan kita. Betapa banyak politisi dan penguasa dunia yang haus power. Saya agak kesulitan menerjemahkan power karena kok rasanya tidak tepat kalau diartikan kekuasaan atau kekuatan atau daya. Kedigdayaan mungkin lebih tepat. Perkumpulan Kungfu Merah yang harus dihadapi Pak Han dan Dre Kecil memiliki prinsip : No Fear. No Pain. No Mercy. Yang benar mestinya adalah : Jangan Gegabah. Jangan Pernah Menyerah. Jangan pernah kehilangan Hati Nurani.

Sebagai seorang yang memiliki power di pekerjaan, saya kini mengingatkan diri sendiri untuk jauh berhati-hati menggunakan wewenang yang saya miliki. Justru ketika kita memiliki power, kita harus lebih berhati-hati dan bertanggung jawab menggunakannya.

2. Sesuatu yang kesannya biasa ternyata memiliki makna yang luar biasa. Saya terinspirasi oleh latihan sederhana lepas jaket, gantung jaket, jatuhkan jaket, pakai jaket, lepas jaket dan seterusnya yang diajarkan Pak Han kepada Dre. Dre kecil akhirnya merasa bosan dan putus asa tidak merasa mendapat ajaran apa-apa setelah ribuan kali melakukan ritual itu. Namun ketika aksi sederhananya itu diterjemahkan menjadi aksi kungfu yang hebat, ia baru tersadar.

Dalam hidup kita sering mengeluh mengapa kita harus mengalami dan menjalani sebuah hal berulang kali, tanpa mengerti bahwa itulah cara Tuhan menempa kita untuk memperoleh kekuatan dan kemuliaan. Hari ini saya diingatkan untuk tidak mengeluh bila sedang ditempa Tuhan. Selama ini saya mengeluh karena tidak mengerti, namun hari ini saya dibuat mengerti apa arti kalimat "Bersyukurlah bila kita diberi cobaan oleh Tuhan, karena saat itulah ia menempa dan memberi pelajaran bagi kita.":

3. Jangan pernah minder meskipun yang kita hadapi memiliki kualifikasi yang luar biasa. Kalau tak bisa, belajar, bukan malah minder. Sebaliknya, seorang yang memiliki kemampuan jangan pernah menganggap remeh orang lain. Hidup ini membuktikan bahwa sering kali sang jumawa justru dikalahkan oleh orang yang sama sekali tidak diperhitungkannya. Corazon Aquino adalah ibu rumah tangga yang di luar perhitungan Diktator Marcos merubuhkan kekuasaannya dengan cinta kasih. Nelson Mandela menjatuhkan apartheid dengan tindakan damainya.

4. Pak Han menasihati : Hidup mengalahkan kita, terserah kita mau bangkit atau tidak. Memang benar, kita tak pernah menang melawan kehidupan. Bila "ia" ingin mengakhiri kita, matilah kita. Namun melalui kehidupan yang rumit ini saya juga belajar menghadapi pilihan : hidup mengontrol kita, atau kita yang mengontrol hidup. Saya pilih yang ke dua. Apa pun yang saya putuskan dan lakukan dalam hidup ini adalah hasil pilihan saya sendiri. Terserah kita, mau jadi orang yang terseret kehidupan, atau menjadi seorang yang mengukir hidup ini.

5. Ketakutan yang terbesar yang harus dikalahkan adalah diri sendiri. Dre Kecil menolak untuk berakhir di semi final kejuaraan bela diri karena kakinya dihajar secara curang oleh pihak lawan, sedang lawan yang harus dihadapi di final adalah anak yang selama ini ditakuti karena telah menghajarnya berkali-kali dalam kasus bullying. Melihat ia ngotot, Pak Han lalu menanyakan mengapa ia tetap bersikeras mengikuti babak final padahal kalau ia mau berhenti sekarang saja, ia telah kalah terhormat. Maka jawaban yang tak disangka-sangka keluar dari mulut si kecil, "Karena takut. Saya mau mengatasi rasa takut ini. Saya tidak mau keluar dari pertandingan ini masih memiliki rasa takut. Apapun hasilnya dari pertandingan ini, saya ingin saya tahu bahwa saya telah mengatasi ketakutan ini."

Saya terhentak. Jawabannya sama sekali bukan ingin membalas dendam atas babak belur selama ini yang didapat dari musuhnya, namun justru karena ingin mengalahkan diri sendiri! Betapa sering saya "kalah" karena tak berhasil mengatasi rasa takut. Padahal kalau saja saya bisa mengatasinya, saya bisa jadi pemenang.

Kalau kemarin saya merasa jadi orang yang lebih "hijau", maka hari ini saya keluar dari gedung bioskop merasa sebagai orang yang lebih "kaya" karena begitu banyaknya pelajaran yang saya dapat dari sebuah film hiburan yang ingin memenangkan hati orang Barat sekaligus orang Timur karena perpaduan budaya Amerika dan Cina yang terbalut cantik dengan bonus pemandangan Cina yang spektakuler. Sebuah film yang secara tidak langsung mengakui bahwa sekarang ini adalah era nya Asia ...

11 Juni 2010 : Hijau

Kali ini saya menonton film dokumenter mengenai laut yang berjudul Oceans, sebuah film Perancis yang mendapat dukungan luas dari berbagai yayasan lingkungan nirlaba. Selama hampir dua jam, saya menikmati gambar yang sangat menyejukkan mata mengenai alam bawah air dengan lagu dan suara yang indah, dan dengan narasi yang sangat minim, sehingga seluruh panca indera kita dibuai gambar yang sangat menyejukkan hati. Begitu banyak makhluk air yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Semua hidup dalam aturan yang sangat tertib dan hukum yang sangat terjaga ... sampai kamera merekam mengenai campur tangan manusia di alam yang tadinya tenang itu.

Kamera menyorot adegan manusia menangkap ikan dan bagaimana mereka menebas semua sirip ikan hiu, termasuk ekornya, dan membuangnya kembali hidup-hidup ke laut tanpa sirip, tanpa ekor, mirip guling tak berdaya yang berdarah-darah menggeliat di dasar laut. Sementara di atas kapal, sirip-sirip yang sudah terkumpul di gantung di seutas tali, dikeringkan. Sirip tersebut selain untuk obat, menjadi santapan mahal dan lezat seperti sup hisit. Saya benar-benar shock dan sampai saat ini tak bisa melupakan gambaran kesadisan manusia. Sebelum ini saya berpikir bahwa hiu yang tertangkap dimanfaatkan sirip dan dagingnya. Tak pernah terbayangkan bahwa si penangkap tega membuangnya hidup-hidup tanpa alat berenang seperti itu.

Adegan lain menggambarkan betapa laut tercemar dari hasil polusi manusia sejak dari awal sungai, dan juga bagaimana kapal-kapal penjelajah memecah balok es antartika sehingga mempercepat proses pelelehan tempat berpijak aneka binatang kutub dan mempercepat kepunahan mereka.

Manusia berkata bahwa mereka perlu mempelajari alam semesta ini. Tapi saya kok jadinya berpendapat berbeda. Lebih baik manusia tidak belajar apa-apa sehingga alam ini bisa lebih terjaga. Karena begitu terkena sentuhan tangan manusia, hancurlah ekosistem yang semula terjaga asri.

Film ini mengajak kita untuk memikirkan kelestarian alam dan bagaimana campur tangan manusia justru merusak alam ini. Keluar dari gedung bioskop, kepala saya masih terisi potret kesengsaraan makhluk lain karena keserakahan kita. Saya jadi teringat kasus pencemaran laut karena tumpahnya minyak di Teluk Mexico yang mengakibatkan tertundanya kunjungan Presiden Obama ke Indonesia bulan Juni ini. Potret binatang yang mati dan sekarat karena berlumuran minyak sangat menyesakkan dada.

Malam ini saya ditunjukkan bahwa kita ini tidak ada apa-apanya dibanding alam semesta yang diciptakan Tuhan, namun kita yang tak ada artinya ini sok nya bukan main dan sering kali berlaku bagaikan Tuhan. Kita ini benar-benar semena-mena dan serakah dalam memanfaatkan bumi ini, padahal tempat kita berpijak hanyalah satu. Kita tak mau ambil peduli bagaimana generasi mendatang harus berjuang untuk bertahan dalam bumi yang sudah semakin hancur karena kita cemari.

Malam ini saya berjanji untuk melakukan apa yang bisa saya lakukan. Membuang sampah dengan benar, sehingga bisa dikelola dan didaur ulang. Mendukung penghijauan. Mendukung penggunaan energi terbarukan atau yang lebih dikenal dengan renewable energy sehingga menghemat tabungan energi alam kita. Mendukung pelestarian hewan dan tanaman dan lingkungan. Mendukung pengurangan polusi.

Let's get back to nature. Preserve our green. Preserve our air. Protect our water. Safe our trees, creatures, soil, air and water. Safe life.

Keluar dari gedung bioskop, saya jadi manusia yang lebih "hijau'.

Thursday, June 10, 2010

10 Juni 2010 : Anugerah Alam

Salah satu channel TV favorit saya belakangan ini adalah LI TV, Life Inspired TV. Kanal ini menampilkan berbagai aspek kehidupan yang jarang diulas televisi lain. Hal-hal yang sederhana untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Seperti malam ini, sebuah acaranya menarik perhatian saya. Acara yang dipandu orang Asia itu menampilkan berbagai tanaman dan bunga yang dapat digunakan untuk obat sebagai alternatif obat komersial yang kita dapatkan di apotek-apotek.

Tadi, sang pembawa acara memperkenalkan bagaimana mengeringkan bunga lavender dan mencampurnya dengan garam untuk berendam, menghilangkan rasa capai. Lalu tumbukan bunga camomile sebagai bahan salep untuk menghilangkan eksem dan luka kulit. Ada lagi yang diseduh kemudian diminum untuk obat sakit tenggorokan.

Saya sudah lama mendengar dan membaca mengenai khasiat obat alam, bahkan salah satunya saya sebarkan kepada teman-teman yang membutuhkan karena saya sendiri sudah merasakan manfaatnya, dan kemudian sudah membuktikan juga pada ibu saya. Waktu itu saya batuk berat dan tidak selesai-selesai. Setiap malam tersiksa tak bisa tidur padahal dua kur antibiotik sudah saya habiskan, dan beragam obat batuk mulai obat batuk hitam sampai yang bermerk pun sudah saya telan dan tidak sembuh juga. Sampai seorang teman memberikan sebuah resep yang saya modifikasi lagi. Hasilnya? Pagi saya meminum ramuannya, malam tak terdengar lagi saya menggonggong. Hal yang sama terjadi pada Ibu saat kami berada di Perth. Saya yang tidur di samping Beliau merasa kasihan dan paginya saya mengeluarkan resep jitu saya. Malamnya, Ibu tidur nyenyak dan batuknya hilang.

Resepnya? Rebuslah dua sampai tiga batang kayu manis (cinnamon) bersama sebongkah jahe yang dipotong menjadi dua atau tiga bagian hingga airnya menjadi kecoklatan dan aroma kayu manis dan jahenya menjadi semerbak. Seduhlah air kayu manis jahe tersebut dalam cangkir dan minumlah dengan madu dan perasan jeruk nipis. Ulangi 3 kali sehari, dan jangan buang ampas kayu manis dan jahenya karena bisa dipergunakan lagi untuk beberapa kali rebusan.

Baru-baru ini seorang kerabat terkena demam berdarah. Saya segera memberinya air rebusan angkak. Angkak dapat dibeli di toko obat cina dan bentuknya seperti beras merah. Rebuslah 2 sendok teh angkak bersama 3 gelas air putih hingga airnya berubah menjadi merah dan surut menjadi 1,5 gelas. Minumkan pada penderita 3 kali sehari. Saya juga memberikan 3 x 1 sendok sari kurma. Hasilnya, dalam waktu 24 jam trombosit penderita segera naik dan terhindar dari masuk rumah sakit. Di saat yang sama, seorang anak karyawan saya menderita demam berdarah. Karena masih bayi, maka sang ibu memberikan setengah sendok makan sari kurma kepadanya. Selang beberapa hari, sang anak sembuh dan pulang dari rumah sakit. Menurut kakak saya Rachmat, sebaiknya bayi tidak diberi angkak kalau tidak tahu dosis tepatnya.

Ingatan saya kemudian berbaur dengan acara tv yang unik dan menarik ini. Yang membuat saya terinspirasi adalah ia mengambil semua bahannya dari kebun belakang rumah yang asri dan penuh bunga. Yang jelas bunga-bunga indah yang ada di taman itu adalah jenis yang bisa digunakan dan dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan dan bukan saja asal cantik. Sayang saya tinggal di Jakarta, yang suhu dan cuacanya tidak memungkinkan bagi tanaman yang ada di televisi itu tumbuh. Saya juga tidak berminat untuk membuat apotek hidup di belakang rumah karena jadinya taman belakang yang asri untuk bersantai bisa menjadi lahan penuh fungsi tapi tak sedap dipandang. Selama ini saya sudah "mencuri" lahan taman sebelah rumah untuk keperluan itu.

Tapi semuanya itu tak menghentikan saya ber-angan untuk mencari tahu bunga dan tanaman lokal cantik apa yang bisa dimanfaatkan untuk menggantikan tanaman hijau yang sekedar cantik di taman belakang saya. Karena saya sudah membuktikan bahwa anugerah alam lebih bisa diandalkan dari obat buatan manusia. Kebetulan besok hari Jumat, jadi saya bisa browsing di toko buku kesayangan untuk mencari buku mengenai tanaman obat.

Gara-gara kanal tv Life Inspired, hari ini saya terinsipirasi untuk sebanyak mungkin memanfaatkan anugerah alam untuk menjaga kesehatan saya. Lain kali Anda ke rumah, bisa dipastikan beberapa tanaman yang mengasrikan taman belakang adalah tanaman yang bermanfaat bagi kesehatan. Semoga Anda juga terinspirasi dan tergoda untuk mencoba keampuhannya...

9 Juni 2010 : Dihukum Publik

Dua hari ini, video seks Ariel Peterpan (yang kemudian dijuluki Ariel Peterporn), Luna Maya dan Cut Tari menjadi trending topic dunia yang mengalahkan Lady Gaga dan Paris Hilton. Trending topic adalah tren topik yang paling hangat dibicarakan di kalangan pengguna twitter.

Saya sendiri sudah menyaksikan dua versi video luna dan satu versi video Cut Tari dan merasakan gelegar magnitude nya di masyarakat. Video yang hampir seratus persen mirip dengan sang artis itu kemudian menjadi perbincangan di setiap sudut dan kesempatan dan ditonton oleh semua kalangan. Apa yang seharusnya menjadi koleksi pribadi menjadi konsumsi publik. Videonya ditonton baik secara sembunyi-sembunyi atau ditonton ramai-ramai dan dibahas sampai detil, di tempat-tempat santai, warnet, di kantor, ruang rapat dan bahkan di sekolah. Berbagai pendapat bermunculan, mulai dari yang kasihan sampai mengutuk, sampai soal cincin dan bentuk ini itunya, gaya mainnya, dan teknik si lelaki untuk membuat sang wanita merasa nyaman di kamera. Seketika semua mata telinga mulut dan otak mengarah pada ketiga pesohor. Infotainment mengejar tak kenal ampun, padahal salah satunya adalah pembawa acara infotainment. Ketika semua sembunyi, suami Cut Tari yang awalnya menarik simpati karena pembelaannya pada sang isteri pun diganjar gosip tentang preferensi seksualnya dan perselingkuhannya dengan sepupu si isteri.

Belum selesai di sana, kejadian ini pun berdampak pada kocek masing-masing. Luna kemudian lenyap dari acara musik yang dipandunya. Begitu juga Cut Tari. Pihak rekaman menunda peluncuran album Ariel. Pihak Unilever dengan kiat kehumasannya berkilah kalau program yang menampilkan Luna-Ariel sudah habis masa tayangnya dan akan diganti oleh produk lain. Belum jelas produk elektronik dan AC yang dibintangi kedua wanita cantik itu. Semua pihak komersial segera mengambil jarak. Di sisi hukum, ketiganya akan segera dipanggil untuk memberi keterangan pada yang berwajib,dan siap-siap dijerat hukum pornografi yang mungkin akan berujung pada tuntutan jeruji penjara selama enam tahun. Lalu orang-orang kepohdotcom ikutan angkat bicara, numpang beken : pakar telematika, pakar seks, psikolog, pengemuka agama semua menyemburkan pendapat yang rata-rata menyudutkan si pelaku. Bahkan acara gossip yang biasa dibawakan sendiri ikut ramai membicarakan kejadian yang menimpanya tanpa ampun. Intinya, sudah jatuh tertimpa tangga...

Dengan mata kepala telinga sendiri, hari ini saya melihat sebuah keteledoran yang berawal dari sebuah keisengan dan berlanjut menjadi kecanduan berakhir dengan disaster luar biasa. Hari ini saya belajar mengenai sebuah perbuatan dan dampak yang dituai dari perbuatan tersebut. Dan betapa dampak dan penghakiman sosial yang diakibatkannya jauh lebih besar dan berat dan berdampak seumur hidup ketimbang hukuman segelintir orang sekitar kita.

Saya jadi ingat pelajaran yang selalu saya tekankan dalam pelatihan menjawab pertanyaan : Tidak ada yang namanya off the record. Jadi kalau tak ingin dikutip (disiarkan), jangan katakan apa pun. Hampir mirip dengan saran saya, hari ini saya belajar lanjutannya : Kalau tak ingin runyam, ya jangan lakukan! Jangankan foto yang aneh aneh, foto saya yang mejeng cengar cengir berdua dengan gaya kaku bersama seorang kerabat saja digunakan oleh seseorang yang naksir berat pada kerabat saya itu untuk memfitnah sebagai balasan dendam karena ia ditolak jadi pacar kerabat saya. Maka saya semakin berhati-hati dengan apa-apa yang bisa disalahgunakan orang. Terutama foto dan video apa pun bentuknya.

Saya memperhatikan orang suka begaya macam-macam dan aneh-aneh di facebook, twitter dan bbm lalu menimbulkan sensasi. Menurut saya, mereka belum pernah kena batunya karena kita tak pernah tahu apa yang akan dilakukan orang terhadap foto-foto innocent itu. Saya sendiri diprotes oleh teman-teman kok fotonya itu itu saja. Namun sejak kejadian terkejut foto saya yang itu-itu saja itu diunduh tanpa izin oleh seorang dan disimpan di dompetnya, saya berhenti ganti-ganti foto dan mengatur hanya yang benar-benar teman yang bisa mengaksesnya. Semua foto yang agak gaya gila langsung saya hapus, bahkan foto yang "funny faces". Jadi sekarang, bahkan di telepon genggam adanya cuma foto nyengir manis saja. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi dengan peralatan canggih kita. Bahkan dalam keadaan lengah sedikit, waktu itu semua isi kontak telepon saya sudah disadap dan disalahgunakan.

Hari ini saya belajar betapa pentingnya menjaga sikap dan laku dalam hidup kita. Sekali lengah, tanpa terduga kelakuan kita bisa menghancurkan hidup dan karir kita sendiri. Maka tepatlah nasihat yang dituliskan Santo Paulus dalam 1 Timotius 4 : 14

"Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu."

Tuesday, June 08, 2010

8 Juni 2010 : Berhenti Mengusir

Sudah beberapa hari ini saya rajin nonton dvd di mobil. Mulai film debut nya Tom Ford sebagai sutradara, sebuah film manis dari Thailand, sampai hari ini sepulang kantor saya menonton The Back Up Plan yang dibintangi Jennifer Lopez.

Dikisahkan Zoe (J Lo) sudah bosan berharap mendapatkan cinta sejati, padahal ia ingin sekali punya anak. Jadilah ia beli sperma dari bank sperma dan melakukan inseminasi buatan. Di hari yang bersejarah itu, ia berebut taksi dengan seorang pria tampan bernama Stan (Alex O'Loughlin). Takdir mempertemukan mereka dalam berbagai kesempatan, dan mereka pun jatuh cinta, tepat pada saat Zoe mengetahui bahwa ia positif hamil. Ia menyesali keterburuannya memutuskan untuk inseminasi padahal kini ia bertemu dengan sang pujaan hati. Akhirnya ia memberanikan diri untuk jujur dengan pertimbangan terburuk Stan akan meninggalkannya. Ternyata dugaannya salah. Cinta Stan yang tulus membuatnya bertahan. Sayangnya niat tulus Stan tidak diimbangi dengan kepercayaan Zoe. Setiap kata dan perbuatan Stan dicurigai sebagai ketidak tulusan pria berbadan bagus sehingga puncaknya mereka berpisah. Ia baru menyadari kekeliruannya ketika kereta bayi pesanan Stan tiba di rumah. Zoe kemudian berusaha mendapatkan kembali cintanya.

Film yang penuh tawa segar itu mengingatkan saya akan dua hal :

1. Jangan pernah putus asa karena kita tak pernah tahu bahwa apa yang kita impikan dapat hadir justru di saat putus asa dan membuat keputusan yang lain. Bila itu terjadi, bisa dibayangkan betapa menyesalnya kita terburu-buru menyerah. Karena itu, never give up, you'll never know when your dreams come true! Ingat, Tuhan menjadikan indah pada waktunya.

2. Saya tahu saya pernah mengalami kekecewaan dan trauma yang menyebabkan saya sulit percaya pada orang lain. Setiap ada orang yang mulai dekat, tanpa sadar saya sudah membentengi diri dan memagari rasa percaya saya padanya. Beberapa kali, saya terlambat mengakui betapa tulus hati seseorang setelah ia pergi, karena saya "mengusir"nya. Saya kini sadar harus berhenti curiga dan mulai belajar untuk percaya. Trust. Kalau tidak, saya tidak akan maju-maju dan selamanya berstatus single.

So to wrap up today's lesson : never give up and start trusting!

Monday, June 07, 2010

7 Juni 2010 : Yang Penting Caranya

Malam ini saya dibuat kesal sekali dengan saran seorang kerabat. Mungkin apa yang disarankan dia benar, namun saya tidak suka gayanya yang menggurui dan bernada menakuti-nakuti bila suatu saat terjadi sesuatu. Mungkin karena sudah capai seharian bekerja, saya jadi lebih sensitif.

Saya jadi ingat tadi sore rekan kerja saya menasihati seseorang soal social grace. Ia juga mengatakan hal yang sama. Soal isi, yang diberi nasihat itu tidak salah. Namun bagaimana menyampaikannya itulah yang menjadi pokok permasalahan. Sering kali ia tidak tahu tempat, waktu dan kepada siapa ia berbicara, ia mengutarakan maksudnya secara lurus saja. Karena unsur-unsur itu sedang tidak sinkron, alias tidak tepat waktu, tempat dan kepada siapanya, maka apa yang diutarakan sering kali dianggap tidak tepat alias tidak appropriate.

Memang tidak mudah untuk memiliki kemampuan social grace tingkat tinggi terutama bila lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Kalau ditanya social grace itu apa, maka jawabnya susah juga diterangkan. Social grace adalah kepekaan dalam bersosialisasi sehingga ia bisa diterima dengan baik oleh berbagai kelompok. Dengan kepekaan itu, kita jadi tahu seni berkomunikasi yang baik. Tahu bagaimana menyampaikan suatu pesan. Tahu kapan harus menyampaikannya. Karena tahu dalam suasana apa dan kepada siapa kita menyampaikannya.

Dalam hal kerabat, iya sih, mumpung ia ingat, ia mengatakannya secara langsung kepada saya. Dan iya ia memberikan solusi yang masuk akal. Namun yang tidak dipahami sebelumnya adalah latar belakang dan bagaimana perasaan saya terhadap issue yang diungkitnya. Karena kurang peka, maka jadinya bukan diterima, usulnya malah terkesan menyebalkan buat saya.

Waktu tadi sore teman saya berceramah soal social grace, saya lebih banyak diam karena belum tahu resep yang jitu untuk mengatasinya. Malam ini saya menganalisa : apakah kalau suatu pendapat itu diungkapkan pada saat yang tepat dapat membantu mengatasi keadaan? Saya jadi teringat sering kali orang bilang, "kita lihat moodnya sedang bagus atau tidak." artinya, kita harus tahu suasana hati dan karakter orang yang sedang diajak bicara, baru kita mengatur strategi bagaimana menyampaikan pesan kita. Ternyata, yang dimaksud saat yang tepat itu ya saat dimana suasana hati seseorang sedang selaras alias tidak bertentangan dengan karakter orang yang bersangkutan. Maka cara menyampaikannya juga harus berjalan lancar semulus suasana hati dan karakter orang yang dituju.

Oke, teori itu sekarang saya sudah dapat. Tapi soal peka? Rasanya tidak ada jalan selain kita mengasahnya. Makin terasah, makin baik radar kepekaan kita berjalan. Yang jelas, kita bisa melihat dari reaksi orang yang kita ajak bicara. Begitu ada kata yang mengindikasikan adanya rejection atau penolakan, sebaiknya kita mundur dahulu, mengatur ulang strategi komunikasi kita. Paling tidak, kalau ide sudah sempat terlontar dan kita mundur sejenak, akan memberikan waktu baginya untuk berpikir tanpa harus berargumentasi. Kalau ia merasa perlu, pasti dengan sendirinya ia akan mendiskusikan solusinya.

Seperti yang tejadi dengan saya sekarang. Bedanya saya sudah sempat mengaum karena kesal. Setelah menguliti cara ia berkomunikasi, saya mendapatkan bahwa esensinya benar. Mungkin ia tidak belajar soal komunikasi seperti saya yang sehari-harinya berkecimpung di dunia ini. Malam ini saya diberi jawaban atas pertanyaan saya sore tadi tentang bagaimana memberi masukan kepada orang yang mengalami masalah dengan social grace. Ternyata cara yang terjitu adalah memiliki kepekaan terhadap suasana hati seseorang. Bagaimana pun, prinsip utama komunikasi tak dapat diabaikan : Siapa bicara apa kepada siapa kapan di mana dengan cara apa dan dengan efek apa. Kapannya bukan hanya berarti waktu, tapi dalam keadaan atau suasana apa...

Baiklah, saya harus berhenti untuk segera minta maaf karena sudah keburu naik darah. Habis, malam-malam begini diajak omong yang serius, dengan nada mengajari pula ....