Hari ini untuk pertama kalinya saya berdandan ala busana Jawa Solo, lengkap dengan keris asli dan blangkonnya, sebagai among tamu di resepsi pernikahan kerabat bersama kakak-kakak tercinta yang khusus datang dari Perth. Untuk pertama kalinya pula saya mengikuti prosesi pernikahan adat Jawa yang "full version" sungguh penuh upacara yang setiap langkahnya bermakna filosofis yang dalam. Selama ini, saya hanya datang sepotong-sepotong saja. Dalam hati saya menilai, oooo jadi yang saya saksikan di Jakarta selama ini yang versi pendeknya ya, yang sudah disesuaikan dengan kebiasaan orang Jakarta yang serba cepat dan tidak sabaran. Dari acara resepsi dibanjiri orang jam 10:30 hingga saya harus pulang jam 13:00, acaranya belum selesai juga. Semalam, kerabat saya membisiki, ya gini ini adat Jawa, banyak ini itunya. Bahkan ketika semalam sang pengantin kecapaian dan istirahat terlebih dahulu, upacaranya sama sekali tak terpengaruh karena di malam midodareni itu, yang berperan justru wakil-wakil keluarga yang sibuk serah terima seserahan. Setengah bercanda saya bilang dalam hati, pantesan di Jakarta banyak yang cerai, upacaranya aja disunat, jadinya sang pengantin tak mendapat keseluruhan wejangan sebagai bekal pernikahan...
Yang membuat saya kagum adalah kegotongroyongan dan rasa kekeluargaan penduduk setempat. Kerabat saya bukan seorang kaya raya. Tinggalnya di gang nya gang di desa Tawangmangu. Namun sifat ringan tangannya dikenal luas. Tak heran yang datang hingga isteri menteri dan pejabat teras ibu kota sampai ke kerabat keraton. Tetangga-tetangga mereka menyediakan rumahnya yang lebih luas untuk tempat siraman dan malam midodareni, sementara rumah depan merelakan tempatnya dijadikan tempat panggung hiburan. Tetangga sebelahnya lagi, rela dijajah menjadi tempat rias. Rumah Pak RW bahkan terbuka luas 24 jam menjadi tempat "sekretariat" Dengan turun tangannya semua pihak, pernikahanpun menjadi megah bak keluarga kerajaan, dengan upacara yang tampak mewah dan gemerlap keraton.
Karena kerabat, saya yang biasanya punya kebiasaan menghilang dari sebuah acara pun menjadi terpaku di tempat acara. Karena tidak bisa ke mana-mana dan sinyal telepon genggam yang kadang ada kadang tidak, saya mengikuti keseluruhan acara dengan seksama dan menyelami kekayaan adat jawa yang sarat maknanya. Saya memperhatikan detil acaranya, detil busananya, ekspresi orang-orang yang terlibat dalam upacara maupun mereka yang datang sebagai tamu, apa yang dikatakan dalam tuturan Jawa halus yang begitu panjang, detik-detik upacaranya, semua terasa indah dan puitis.Semuanya terorganisir dengan sangat rapi. Sebagai among tamu, saya mendapat kemudahan untuk menyaksikan semua upacara ini dari jarak yang sangat dekat.
Sebetulnya, hari ini saya tidak belajar sesuatu secara khusus. Namun pengalaman pertama berbusana lengkap Jawa dan hanyut dalam suasana upacara Jawa yang kaya membuat hari ini hari yang istimewa. Saya beberapa kali "menjadi orang Sunda" ketika menjadi bagian keluarga mantan, tapi sebagai orang yang dibesarkan di tanah Jawa, dan kuliah di Jawa Tengah, saya tidak pernah mengalami apa yang saya alami hari ini. Saya sungguh menikmati keindahan alam pegunungan yang berbaur kental dengan nuansa Jawa. Saya merasa menjadi seorang Jawa sejati, tak peduli mata saya yang sipit, dan tampang yang menurut teman saya lebih cocok dalam balutan T-Shirt ketat. Pada akhirnya saya memahami. Hidup ini bukan hanya soal belajar. Hidup ini juga soal experiencing life. Itu lah yang saya alami hari ini. Dan saya bersyukur karenanya.
No comments:
Post a Comment