Subuh-subuh saya sudah dibangunkan oleh dering telepon yang memberitahu bahwa sepupu saya sudah tiada. Karena kami semua Katolik, saudara saya lalu menghubungi yayasan pengurusan jenazah Katolik. Kami cukup tercengang permintaan kami ditolak karena sepupu saya ini berasal dari gereja non Katolik. Kami lalu menghubungi gereja almarhum, dan mendapatkan nomor telepon yayasan kristen, barulah pengurusan jenazah dapat dilakukan.
Sampai saat ini, kalau ingat kejadian di atas, saya jadi heran. Orang yang sedang bingung dan kesusahan ditolak ditolong karena beda gereja. Wow! Kemana rasa kemanusiaannya? Begitu ekslusifkah kelompok keagamaan ini sehingga menolak membantu ? Saya berpikir, jangan-jangan Yayasan Kristen ini akan melakukan yang sama kalau ada warga Katolik yang meninggal. Saya jadi ingin bertanya alasan penolakannya. Apakah karena tidak paham tata cara kematian gereja lain, dan kalau membantu malah disalahkan? Bisa jadi.
Saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu ketika banjir besar menimpa Ibu Kota tercinta kita, susah benar mencari bantuan. Teman saya terjebak di lantai dua di rumahnya di Kelapa Gading, dan tak ada satu pun yang bisa memasuki area itu. Kami tak tahu harus minta bantuan siapa, sampai pada akhirnya kami minta bantuan TNI dan mendapat pinjaman pelampung. Saat itu saya mempertanyakan, kenapa ya kita ini tidak punya layanan emergensi seperti 911 di Amerika? Ketika menyampaikan gagasan itu, banyak yang mendukung, tapi tak ada yang mau bergerak.
Saya masih terobsesi mewujudkan layanan 911 di Indonesia. Tapi rasanya semua ini masih sebatas mimpi saja, karena dalam skala kecil, pagi ini saya dipaksa berhadapan dengan kenyataan pahit. Yayasan keagamaan yang harus menunjukkan teladan di bidang kemanusiaan justru sama sekali tidak memperlihatkan kepeduliannya pada orang lain. Kemana perginya kotbah yang setiap Minggu diteriakkan sang imam? Begitu pentingnya kah menjaga kepentingan kelompok sehingga kehilangan sentuhan uluran tangannya bagi orang lain yang membutuhkan?
Saya jadi ingat kejadian sumbang menyumbang. Suatu saat ada yang berkomentar pokoknya yayasan yang disumbang harus di bawah kelompok agama tertentu. Saya gatal berkomentar, tapi batal. Jadi ketulusan kita membantu itu ada syaratnya juga. Harus yang seagama, harus yang ini dan itu. Kalau begitu, benarkah kita tulus? Pantas saja John Lennon kesal dengan pengotak-kotakan ini sehingga lahirlah lagu Imagine.
Injil Lukas 10:38-42 menceritakan ketika Yesus dan murid-muridNya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah kampung. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya. Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataanNya, sedang Marta sibuk sekali melayani. Ia mendekati Yesus dan berkata: "Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku." Tetapi Tuhan menjawabnya, "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri denan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu : Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya."
Akankah kita seperti Marta yang sibuk sendiri, melayani orang-orang yang dianggap penting dilayani, tetapi tidak memperoleh esensi berkah terbaik? Hari ini saya ditunjukkan betapa sikap kekelompokan sering kali membuat kita buta akan hakiki persaudaraan yang sesungguhnya. Dengan kata lain, jangan fanatik. Semua sama, semua satu. Tak ada yang lebih penting, dan tak ada yang kurang penting...
No comments:
Post a Comment