Setelah sekian lama mengenalnya di layar perak dan kaca, mulai dari "Ada Apa Dengan Cinta" yang fenomenal, akhirnya hari ini saya bertemu Nicholas Saputra. Tidak sekedar bertemu, namun menemaninya mengobrol, makan siang, menunggui presentasi, hingga mendampinginya bertemu wartawan di sebuah acara selama lebih dari empat jam karena ia adalah brand ambassador klien saya. Nico bukan tipe orang yang sombong sehingga dalam sekejap kami sudah seperti teman ngobrol yang cukup asyik. Meski demikian, boleh dibilang, kami cukup terselamatkan oleh blackberry dan telepon yang tak putus-putusnya "mengganggu" pembicaraan kami berdua. Terselamatkan? Ya, kalau dilihat, kami berbicara asyik-asyik saja, namun terus terang ada kalanya kami terdiam cukup lama, mungkin karena sama-sama berpikir, mau ngobrol apa lagi ya? Untungnya aksi diam kami terselamatkan blackberry, karena bisa melongok dan menjawab bbm yang masuk, sehingga kebisuan itu tak tampak sama sekali. Untungnya kami lalu menemukan sebuah pembahasan yang seru, sehingga menemukan "klik" nya dan sejak saat itu dan hingga mengantarnya pulang, kami merasa nyaman ngobrol apa saja.
Di luar dugaan banyak orang, saya ini orang yang sungguh introvert. Orang melihat saya sebagai seorang people's person, yang mudah dekat dan bergaul dengan siapa saja, namun sebenarnya saya ini no-body person. Karena tuntutan pekerjaan, saya sering terlihat seperti sedang terlibat pembicaraan seru dengan orang yang baru saya temui. Kenyataannya, kalau bertemu lagi di kesempatan lain, mungkin orang yang sama tak akan mendapatkan kehangatan pembicaraan yang sama ketika kami bertemu karena pekerjaan. Kalau diceburkan dalam sebuah pesta yang sebagian besar tamunya tak saya kenal, saya lebih senang sembunyi di pojok yang nyaman di mana saya bisa minum dan makan bebas. Alih-alih kenalan dengan orang baru, saya lebih banyak diam seribu bahasa dan baru buka mulut kalau ditanya. Itupun seperlunya. Jarang saya bisa langsung klik dan ngobrol seru. Buat saya, basa basi itu perlu upaya yang luar biasa besarnya, dan bukan pekerjaan yang mudah. Karenanya, di luar jam kerja, saya lebih memilih menikmati aktivitas sendiri, atau dengan orang-orang terdekat. Itu pun jarang dalam bentuk kelompok. Kebanyakan satu-satu karena saya menikmati kesantaian yang one-on-one, bisa saling bertukar kabar dan cerita secara pribadi, tanpa harus menjadi orang lain dengan segudang sopan santunnya.
Saya pernah membuat kesal kakak saat berlibur di Australia dan diajak piknik bersama teman-temannya. Saya menolak karena seakrab-akrabnya saya dengan teman-temannya, tujuan saya ke Australia adalah untuk "rehat" bersosialisasi (kalau dihitung, karena pekerjaan, dalam sehari saya bisa bertemu puluhan hingga ratusan orang. Jadi saya merasa perlu sekali-sekali "cuti" bertemu orang). Saat itu, saya lebih memilih piknik dengan kakak dan ibu saya, ketimbang ada orang lain di luar lingkup keluarga yang ikut. Kalau dengan saudara, saya bisa jadi saya apa adanya. Kalau ada orang lain, tentu sikap dan tingkah saya perlu diatur juga, dan untuk momen pribadi, saya enggan melakukannya.
Pekerjaan saya menuntut saya menjadi seorang yang people's person. Sampai saat ini, saya masih kesulitan untuk segera berakrab-akrab dengan orang yang baru saya jumpai. Kalau bukan soal pekerjaan, tentu saya akan lebih banyak diam dan meninggalkan orang yang baru saya kenal. Tahu akan kekurangan saya itu, saya diam-diam memperhatikan dan belajar dari memperhatikan orang-orang yang sehari-harinya berjumpa dengan orang, seperti Nicholas Saputra.
Tadi, di sebuah wawancara, ia ditanya bagaimana rasanya menjadi seorang selebriti. Ia menjawab, "Yang menentukan selebriti atau tidak itu masyarakat. Bagi saya, saya ini pekerja film." Ia nampak enggan dielu-elukan secara berlebihan. Ketika media ingin mewawancarainya, saya minta izin dulu apakah ia tidak keberatan diwawancara, sehingga ia punya waktu mempersiapkan diri. Dari pertemuan dengan beragam orang, saya belajar bahwa ada orang yang dari "sono" nya seorang yang people's person yang secara alami membuat nyaman orang yang baru pertama kali ditemuinya, dan pertemuan mengalir begitu saja penuh kehangatan. Namun tak sedikit orang yang seperti saya : butuh kesiapan mental untuk bersosialisasi. Saya pribadi merasa perlu siap mental untuk menghadapi audiens saat saya menjadi moderator atau narasumber atau pengajar tamu. Saya juga mempersiapkan mental ketika harus hadir di sebuah acara, apakah acara itu formal atau sekedar pesta kumpul-kumpul. Kesiapan yang saya lakukan adalah dengan mengetahui acara apa yang akan saya datangi, siapa audiensnya dan peran saya di sana apa : apakah sentral, atau hanya diperlukan sekejap saja, atau sekedar pelengkap alias undangan. Saya juga mempersiapkan diri apakah dalam acara tersebut saya bakal berjumpa dengan orang yang sebagian besar tidak saya kenal, atau sebagian besar saya kenal. Karena seringnya saya berjumpa orang, persiapan itu tentunya menjadi semakin singkat karena biasa. Namun, ada kalanya juga mood saya tidak "ngangkat" sehingga pertemuan yang sudah dijadwalkan terasa basi, setidaknya buat saya sendiri. Saya merasa tidak dapat chemistry nya dan menilai pertemuan itu "gagal". Apa yang terjadi pada saya ternyata dialami juga oleh para pesohor yang sudah selayaknya setiap saat dikelilingi oleh orang-orang yang tak dikenalnya. Karenanya saya tak heran bila membaca dan menonton berita, di saat tertentu dnara sumber terlihat begitu bersahabat dengan media, dan di kali lain terasa begitu jauh dan asing. Itu karena secara alami, dia bukan seorang people's person dan saat itu moodnya sedang tidak siap berhadapan dengan massa, baik dalam bentuk media atau penggemar. Buat saya sendiri, "social mode" adalah sebuah tombol yang tidak otomatis "on". Harus dinyalakan dulu, baru berfungsi.
Hari ini saya menyadari, memang sudah dari "sono" nya saya ini bukan "people's person" yang alami, and that's alright, karena bukan berarti saya tidak bisa menjadi seorang "people's person". Para pesohor sudah membuktikannya, bahwa mereka baik-baik saja, asal bisa menempatkan diri dan menyalakan "tombol social mode" nya pada saat yang tepat. Saya cuma perlu berlatih lebih banyak lagi agar bisa menyalakan tombol itu dengan super cepat sehingga tak ada yang melihat perbedaannya, antara yang alami dan yang bisa karena belajar dan latihan ...
No comments:
Post a Comment