Monday, June 14, 2010

14 Juni 2010 : Belajar dari Ariel Luna

Hari ini saya mau jadi pengamat berita video porno dan bagaimana para bintang yang terlibat di dalamnya bereaksi lalu dibandingkan dengan persepsi masyarakat. Saya jadi tertarik karena kasus mereka ternyata menjadi studi kasus yang sangat menarik bagi dunia komunikasi.

Setelah lebih dari seminggu berita dan video hubungan seks itu beredar, minggu ini mulailah para bintang yang disebut-sebut terlibat muncul ke permukaan. Diawali Jumat lalu ketika Ariel dan Luna ke Mabes Polri yang berakhir dengan bertambahnya tuntutan pada Ariel karena dianggap merusak kamera salah seorang pemburu berita. Sehari kemudian Luna muncul di acara publik, yang berakhir dengan keributan karena lagi-lagi wartawan merasa ditendang petugas keamanan yang melindungi Luna. Setelah main bulu tangkis, sang bintang kemudian berlari menghindar wartawan. Pagi ini giliran Cut Tari menggandeng tangan suaminya ke Mabes Polri. Sore harinya, alih-alih memenuhi panggilan polisi, Ariel dan Luna kembali muncul untuk melakukan wawancara pertama mereka setelah kejadian tersebut, sebuah wawancara yang menurut saya sia-sia karena seperti pepesan kosong saja, tidak menjawab esensi keingintahuan masyarakat : mereka berbuat atau tidak. Dalam berbagai kesempatan mereka selalu mengatakan sebagai korban dan hidupnya berjalan normal. Di lain kesempatan pengacara mereka OC Kaligis berkali-kali melontarkan kata no-comment ketika diminta konfirmasi apakah kliennya melakukan adegan seks di video tersebut.

Reaksi pun berdatangan dari berbagai kalangan. Ada LSM yang meminta para artis ditangkap. FPI dan MUI mengancam akan mencekal mereka. Walikota Bandung malam ini mengatakan bahwa Beliau mencekal Ariel, Luna Maya dan Cut Tari untuk manggung di Bandung serta ada kemungkinan mereka akan mencabut Ariel sebagai warga Bandung. Komentar pun datang dari berbagai pakar dan juga mereka yang pernah terkait video porno seperti Maria Eva.

Sebagai seorang yang bergelut di bidang komunikasi, sekali lagi saya melihat hancurnya kemampuan komunikasi orang-orang yang mestinya ahli berkomunikasi dengan audiens nya. Sebuah polling di sebuah situs menanyakan apakah Anda percaya bahwa ketiga pesohor itu adalah orang yang benar-benar ada di video heboh itu. Hasilnya, tak ada satu pun orang yang tidak percaya (0%) sementara sebagian besar menyatakan percaya, dan sekitar 23% mengatakan sangat percaya. Sebuah acara infotainment mewawancara juga orang kebanyakan, dan tak ada satu pun yang tidak yakin bahwa mereka melakukannya. Bahkan beberapa orang mengatakan dulu mereka idola namun kini mereka merasa jijik dan meminta mereka "ke laut aja, pulang kampung dan jangan berani lagi muncul di bumi Indonesia" karena sudah mencoreng nama bangsa. Berita mengenai video ini heboh sampai ke New York Times.

Mengapa mereka percaya bahwa Ariel-Luna-Cut Tari adalah pelakunya? Mereka mempertanyakan sikap yang ditunjukkan ketiganya. Kalau memang tidak, mengapa tidak langsung saja secara tegas mengatakan tidak? Mengapa Ariel justru merusak kamera? Mengapa justru menghindar publik? Mengapa pula sang pengacara mengatakan no comment? Dalam ilmu saya, kata "no comment" seringkali diartikan "Ya" oleh masyarakat, dan hal itu lah yang sedang berlaku saat ini. Karena itu, jangan sekali-sekali mengatakan no comment.

Apa yang harus dilakukan mereka? Komunikasi yang benar adalah komunikasi yang tidak berbohong. Karenanya, kalau mereka membeli waktu dengan berkelit ke sana ke mari, dan pada waktunya nanti dinyatakan bersalah, mereka akan menerima dampak yang jauh lebih buruk dari yang pernah mereka bayangkan. Kalau mereka tidak bersalah sih mudah, tinggal benar-benar tampil dan pasang badan saja sudah selesai. Masalahnya adalah ketika mereka benar yang melakukannya, ceritanya menjadi lain. Mau mengakui takut, karena mereka tinggal di negara yang azas dan norma keagamaannya kuat. Tidak mengakui, juga tidak tahu cara berkelitnya bagaimana. Maka, mereka menghindar. Dan justru tindakan menghindar itu mengkonfirmasi tindakannya.

Saya selalu mengatakan pentingnya kejujuran dalam komunikasi. Bila bersalah, akuilah kesalahan dan kekhilafan itu, lalu nyatakan tindakan dan upaya apa yang akan diambil dalam rangka memperbaiki kesalahan dan kekhilafan kita. Publik suka akan ketulusan. Publik menilai kesungguhan dan ketulusan "terdakwa". Maka sedikit saja isyarat ketulusan, akan disambut dengan memaafkan dan bahkan mungkin akan bahu-membahu membantu mengatasi kerusakan yang terjadi, sehingga citra publik kembali membaik karena simpati. Namun tindakan berkelit yang berakhir dengan terbongkarnya kebenaran bahwa mereka memang melakukannya akan berakibat fatal. Masyarakat akan cenderung menempelkan stigma dan memberikan hukuman tanpa ampun lagi. Kejayaan seorang pantunan moral yang tiba-tiba lenyap begitu saja beberapa tahun lalu menjadi bukti bahwa keteledoran berkomunikasi menjadi hal yang tak termaafkan di masyarakat. Ketika sang panutan yang dipuja ibu-ibu memilih untuk menikah lagi, ia mencoba membenarkan tindakannya dengan membawa isteri pertamanya seolah-olah ia mendapat restu untuk menikah lagi. Namun masyarakat menilai dari ekspresi sang isteri, dan cara bicara sang suami. Di situlah masyarakat menjatuhkan penilaian bahwa apa yang dilakukan sang panutan tidak mendapat restu dari isteri pertamanya secara tulus, bahkan ia dianggap mengkhianati sang isteri. Masyarakat lalu - dalam sekejap mata - meninggalkan sang idola.

Hari ini saya ditunjukkan kembali sembari diingatkan betapa pentingnya kejujuran dan ketulusan, tidak hanya di saat benar, namun juga ketika saya khilaf. Betapa sikap ksatria dan kesungguhan hati dituntut dalam menyikapi hidup ini. Tapi semua itu saja tidak cukup. Di akhir perenungan ini, tiba-tiba saya menerima sms kata bijak dari Andrew Grove yang mengatakan :

How well we communicate is determined not by how well we say things, but how well we are understood.

No comments: