Friday, June 04, 2010

4 Juni 2010 : Juri Brain-less

Setelah berlangsung beberapa hari, saya baru sempat membaca secara detil hari ini di Kompas mengenai parahnya sebuah ajang pemilihan wakil Indonesia ke kontes dunia : Semula dari ketiga finalis utamanya tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan tentang "endurance". Baru setelah dijelaskan oleh sang MC - atas izin para juri, mereka baru "ngeh" kalau endurance itu artinya ketahanan atau daya tahan. Masalahnya karena sudah terlanjur disiarkan secara langsung oleh sebuah stasiun televisi swasta, juri harus memilih satu dari 3 orang yang tidak kompeten mewakili bangsa ini ke ajang internasional yang sangat mengandalkan beauty - brain - behavior. Dua hari lalu sebetulnya saya sudah mendengar dari seorang deputy menteri sebagai saksi hidup acara pemilihan tersebut tentang insiden para finalis ini.

Tulisan yang ada di Kompas saya tangkap sebagai kritik pedas dan olok-olok yang menjatuhkan pamor tidak hanya sang puteri, apa lagi sikap sang puteri di foto seperti pasrah saja, tapi juga sang juri sebagai representasi institusi ajang pemilihan ini. Komentar yang paling banyak keluar dari mulut orang yang membicarakan kejadian ini adalah : jurinya gak salah ya? Atau jurinya nggak kompeten?

Menjadi juri itu tidak mudah. Penilaiannya diharuskan menjadi cerminan penilaian orang kebanyakan. Jadi kalau masyarakat bilang, "Ia memang pantas menang" maka benarlah kerja si juri. Tapi kalau kejadiannya seperti beberapa hari lalu, orang langsung menanyakan kemampuan panel dalam menjuri.

Hari ini saya dan partner kerja menyampaikan evaluasi hasil kerja dalam setahun kepada setiap karyawan. Hasilnya beragam. Ada yang menggembirakan dan diterima dengan antusias, ada yang biasa-biasa saja, tapi ada juga yang protes dan merasa heran terhadap penilaian perusahaan. Padahal nilai perusahaan itu bukan cuma datang dari dewan direksi, tapi setiap unsur yang pernah bekerja dengan yang bersangkutan sehingga nilainya fair. Tapi karena fair itulah jadi sebagian penilaian kesannya pedas, walaupun nilai keseluruhan kinerja sang karyawan baik-baik saja. Tujuannya kan memang memberi masukan atas presetasi kerja selama ini untuk peningkatan kinerja ke depan.

Selama proses, kami mengumpulkan semua pendapat dan merapatkannya untuk mendapat hasil akhir. Saya kadang terkejut-kejut karena saya menilai baik, kok ada orang yang menilai kurang sekali untuk subjek yang sama. Dari situ saya mendapat pelajaran, meskipun menggunakan kriteria dan poin penilaian yang sama, penilaian seseorang bisa sangat berbeda. Seorang yang menurut kami direksi baik-baik saja, ternyata mendapat celaan luar biasa dari rekan sekerjanya. Dan dua-duanya tidak ada yang salah. Kami sebagai lapisan atas memiliki pengalaman yang berbeda dengan yang bersangkutan dengan mereka yang di lapisan sejajar atau di bawahnya. Tujuan kami berkumpul dan urun rembug adalah menguliti semua unsur sentimen dan hal-hal yang tidak relevan agar hasil penilaian kami merepresentasikan keadaan kinerja yang sebenar-benarnya dari sang karyawan, sehingga pada saat disampaikan sang karyawan merasa bahwa penilaian itu adalah penilaian yang jujur dan tulus dan memang menggambarkan keadaannya yang sebenarnya.

At the end of the day, menjadi juri, atau evaluator harus melihat evaluasi itu dari tujuannya. Penilaian itu adalah sebuah pesan. Pesan bahwa kinerja Anda selama ini luar biasa baiknya. Pesan bahwa meskipun sudah cukup baik, namun ada area yang harus dikembangkan. Pesan bahwa kalau Anda begini terus-terusan, umur Anda di perusahaan ini tak akan sampai setahun. Demikian juga halnya dengan penjurian puteri-puterian. Pesan apa yang ingin kita sampaikan melalui si pemenang mengenai wanita Indonesia? Kalau saya memilih dia menjadi puteri, apakah ia bisa mewakili citra wanita muda Indonesia? Dalam kasus pemilihan puteri kemarin, sayang sekali jawabnya tidak. Tidak semua wanita Indonesia tidak bisa bahasa Inggris seperti ke tiga finalis itu. Tidak semua wanita Indonesia bisanya hanya dandan dan berkegiatan sosial saja. Banyak wanita Indonesia yang berprestasi di bidang serius. Saya berkesmpatan untuk menangani sebuah kegiatan hasil kerjasama L'oreal dan Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco yang mengapresiasi wanita muda Indonesia yang berprestasi di bidang penelitian dan ilmu pengetahuan. Hasilnya sampai saat ini 17 wanita cantik Indonesia berusia di bawah 37 tahun terpilih menerima fellowship, 3 di antaranya diakui secara internasional. Sebagian bahkan berusia dua puluhan. Tidakkah orang-orang yang seperti ini, cantik, bermartabat, pintar dan dapat mengangkat harkat wanita Indonesia yang seharusnya terpilih?

Setelah menganalisa seperti ini, maka saya sekarang berani menyalahkan juri yang tidak tahu perannya sebagai seorang yang harus memilih seseorang yang bisa membawa pesan citra wanita Indonesia yang memiliki kecantikan khas nusantara, smart, berharkat, bermartabat dan punya social grace yang khas Indonesia. Sudah sangat salah kaprah kalau juri memilih seseorang berwajah bule karena biasanya yang dimenangkan para juri itu adalah yang berwajah bule. Maju ke ajang Miss World atau Miss Universe itu bukan cuma soal menang. Ajang-ajang itu juga merupakan alat yang jitu bagi kita untuk menyampaikan pesan tentang harkat dan martabat wanita bangsa ini kepada dunia.

Hari ini saya disadarkan akan peran seorang penguji, evaluator atau juri yang benar. Yaitu sebagai seorang yang bertugas menyampaikan pesan yang benar melalui penilaiannya. Tak peduli apakah hasil penilaiannya adalah kelayakan kelulusan seseorang, kenaikan pangkat atau turun pangkat, atau kah terpilihnya seorang untuk mewakili bangsa ini ke ajang dunia...

No comments: