Baru saja memasuki lobby gedung Femina, saya bertemu "sahabat" lama saya Dewi Dewo. Sebetulnya maksud kedatangan saya ke Femina bukan untuk bertemu dengannya, namun sebagai pendamping dari Kepala Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan yang ingin berjumpa dengan para pemimpin redaksi kelompok media di bawah payung Femina Group.
Ketika saya kenalkan dengan Kepala Promkes, Mbak Dewi, begitu saya menyebut langsung bercerita tentang perjumpaan kami yang pertama. Ya, dia selalu bercerita awal jumpa kami saking uniknya. Di awal masa mencari kerja, saya melamar ke puluhan perusahaan. Apa saja saya lamar. Ada restoran, ada perusahaan obat, ada periklanan dan ada juga media, termasuk Gadis yang dulunya dikomandoi oleh Mbak Dewi. Selang setahun saya bekerja, tiba-tiba saya mendapat panggilan wawancara oleh Majalah Gadis. Penasaran, saya datangi. Setelah lebih dari satu jam diwawancara dan ngobrol sana sini, saya tak tahan lagi dan bertanya, "Mbak, saya ini dipanggil dalam rangka apa sih?" Mbak Dewi melotot, "Lha, ini kan kamu ngelamar di sini?" Saya dengan santainya bilang, "Mbak, baca nggak tanggal suratnya kapan?" Ketika menyadari bahwa lamaran yang dipegangnya sudah jauh kadaluwarsa, ia lalu bertanya, "Lha kamu kok gak bilang dari tadi?" Saya cuma nyengir, "Lha saya kepengen tahu jadi ya saya jalani saja." Itu lah awal persahabatan kami, hingga kini. Dengan berjalannya tahun, Mbak Dewi kemudian menjadi pemimpin redaksi femina, lalu menjadi editor-at-large nya femina group, memegang departemen sumberdaya manusia, dan menjelang pensiunnya, sekarang ia menangani Yayasan Sekar Melati.
Sekarang, saya juga kenal dengan beberapa pemimpin redaksi di kelompok femina, bahkan hari ini saya berjumpa dengan hampir semuanya. Sampai beberapa waktu yang lalu, pemimpin redaksi hanya berurusan dengan sisi editorial majalah atau medianya saja. Namun siang ini, saya mendapat penjelasan bahwa mengurusi pembaca atau pemirsa saja sudah tidak cukup. Urusannya adalah dengan komunitas. Maka pemimpin redaksi sekarang berurusan juga dengan komunitas. Yang disebut komunitas contohnya adalah para bloggers. Remaja sekarang adalah remaja yang beraktivitas di dunia maya, dan di sanalah mereka menemukan komunitasnya. Karena senang berekspresi secara mendalam, para remaja lebih nyaman mengungkapkan apa yang ada di kepalanya dalam bentuk blog. Maka adalah komunitas blog travel, blog ini dan itu. Dan ternyata ada fenomenanya juga penggunaan jejaring sosial ini. Saya lupa apakah saya pernah menulisnya di sini, tapi riset membuktikan bahwa usia di bawah 20 tahun sukanya main blog. 21 - 35 tahun karena ingin eksis sukanya main twitter, yang ringkas tapi selalu memberitahu kita ada di mana dan sedang apa . Di atas 35 tahun, facebook merajalela karena facebook kemudian jadi arena reunian, pasang-pasang foto dan sebagainya. Saya sendiri sesuai umur, gemar buka facebook, tapi entah mengapa saya juga gemar mengekspresikan pikiran lewat blog. Jadi kalau sesuai statistik, saya ini 35 tahun ke atas tapi jiwanya 20 tahun ke bawah. Kehebohan media pun, pindah ke era mobile. Maka kini, media konvensional seperti cetak dan elektronik saja tidak cukup. Kalau mau survive, harus bisa merangkul aktivitas komunitas yang begitu mengalir dan dinamis melalui dunia maya.
Saya lalu berkaca apa artinya semua ini bagi saya pribadi. Artinya, kebiasaan saya menerima dan menyampaikan informasi pun berubah. Saya sekarang ini sudah tidak pernah kirim surat pakai kertas lagi. Faks di rumah sudah lama menganggur. Semuanya saya kerjakan melalui blackberry atau laptop yang dapat mengakses dan diakses di mana saja, kapan saja. Saya sudah tidak lagi terikat ruang dan waktu, apa lagi jarak. Berkomunikasi dengan kakak di Australia, seperti sedang bbm an dengan teman di Jakarta, real time. Meskipun masih meneruskan tradisi membaca koran dan majalah, tapi sebagian besar update saya peroleh dari internet lewat blackberry, real time, tak usah tunggu besok, apa lagi sebulan. Karena itu media konvensional yang terkendala waktu harus cari akal agar tidak kehilangan pundi-pundi uangnya.
Dunia komunikasi sekarang mengubah cara dan gaya komunikasi saya dengan teman-teman dan kerabat. Saya jadi terkoneksi dengan teman teman SD yang dulu hilang. Dan blackberry pun memberi fasilitas grouping, alias secara elektronik, saya sudah diberi fasilitas untuk berinteraksi secara komunitas. Jadi, saya ini sudah seperti pemimpin redaksi saja, pemred untuk diri sendiri yang harus membina hubungan dengan komunitas ini. Mengelolanya sebenarnya menjadi semakin mudah, karena dengan bbm saya bisa berkomunikasi dengan berbagai komunitas. Di satu sisi saya bisa jadi komunitas eks kantor yang dulu, lalu komunitas teman sekolah. Juga komunitas travel, ada juga komunitas pekerjaan, komunitas makan-makan, komunitas keluarga, dan banyak lagi. Dan saya bisa menjalani peran sebagai anggota masing-masing komunitas itu dalam waktu yang bersamaan.
Selama ini, saya cuma sekedar seru saja, bicara dengan komunitas yang berbeda, namun istilah komunitas ini baru saya dapatkan hari ini, dan baru menyadarinya bahwa hidup saya terdiri dari berbagai gelembung pertalian, alias kelompok pertemanan. Saya baru menyadari bahwa hidup saya ini secara otomatis dibikin pola oleh teknologi. Memang nyaman, tapi saya kok sekarang jadi kuatir, jangan-jangan saya mau dijadikan robot oleh perkembangan jaman. Sekarang sih masih menikmati, tapi saya juga jadi waspada kalau-kalau semua ini bermuara pada sebuah industrialisasi manusia. Sudah mulai tampak sih, tanda-tandanya. Yang jelas malam ini saya jadi diingatkan, boleh saja sarananya disediakan untuk kemudahan kita, asal otak kita tidak disetir juga oleh teknologi. Saya mau tetap memegang prinsip saya : saya yang pegang kendali hidup saya, bukan yang lain, bukan pula teknologi. Teknologi cuma alat untuk membantu saya mengendalikan hidup...
No comments:
Post a Comment