Seorang kerabat yang datang menginap dari Solo kemarin memberi nasihat pada kerabat muda yang mengeluh mengenai banyaknya persaingan tak sehat dalam kantornya. Ia adalah manajer termuda di divisinya, yang berisi staf hampir dua kali lipat usianya. Tentu saja ia menjadi bahan kesirikan yang ingin dijegal dalam setiap kesempatan. Maka kerabat yang bijak itu mengatakan, "dalam setiap kesempatan berusahalah berprinsip : saya mengerti orang, bukan orang mengerti saya, dengan demikian kamu tahu bagaimana harus bersikap menghadapi orang tertentu di situasi tertentu. Kalau kamu akan memancing, tentunya kamu akan menentukan ikan apa yang akan dipancing, dan umpan apa yang cocok untuk ikan buruan kita."
Kerabat saya bilang,"kamu itu sekarang kerja buat orang, jadi siapa kamu mau ngotot minta orang mengerti soal kamu. Yang seharusnya terjadi adalah kamu yang harus mengerti orang."
Kata-kata itu menancap di benak saya. Tanpa sengaja, kemarin saya menemani Ibu Futikah Munawar, seorang isteri dokter yang membangun Rumah Sakit Jantung Swasta pertama di Indonesia untuk wawancara profil dengan sebuah majalah gaya hidup. Beliau bercerita pentingnya memahami kebutuhan pasien. Pasien terkadang memang menjengkelkan dan cerewetnya setengah mati, namun kecerewetan mereka berasal dari ketidakpahaman kita terhadap kebutuhan mereka. Ibu Futikah mengatakan, "Keberadaan dan kesuksesan rumah sakit ini terjadi berkat kehadiran dan kepercayaan pasien, jadi bukan pasien yang harus mengerti regulasi kami, tetapi lebih penting lagi bagaimana kami mengerti kebutuhan pasien dan bagaimana menjembatani kebutuhan mereka dengan fasilitas layanan yang bisa kami sediakan. Hal yang sangat penting adalah kepuasan pelanggan karena satu orang puas akan merekomendasikan kami ke banyak orang, namun satu orang tak puas dapat menghancurkan reputasi yang telah kami bangun." Pada kenyataannya Rumah Sakit Binawaluya ikut membantu pasien memikirkan biaya dan sistem pembayaran agar pasien teringankan bebannya dan dapat lebih berkonsentrasi pada kesembuhan dirinya.
Kedua hal di atas membuat pikiran saya melayang. Betapa seringnya saya menjadi orang yang egois, yang hanya ingin didengar, dimengerti tanpa mau mendengar dan mengerti orang lain. Yang penting orang harus mengikuti kemauan saya. Kenyataannya, kondisi seperti ini justru membuat saya dalam posisi tersudut dan tidak diuntungkan karena kehilangan fleksibilitas komunikasi dan posisi. Saya jadi malu karena sering menguasai forum pembicaraan, menjadi orang yang malas mendengar orang lain dan selalu mengalihkan pembicaraan dari sudut pandang yang saya mau, dan itu menjadi masalah. Orang menjadi malas bicara dengan saya, dan menghindar. Saya kehilangan kesempatan berkomunikasi. Saya tahu ini karena saya sering mendapat feed back dari teman-teman yang peduli. Ngotot dan sikap tak acuh seolah tak berminat menjadi indikator yang sering dikeluhkan teman teman saya. Mereka bilang, mungkin memang benar pendapat saya valid dan memiliki poin penting, tapi dengarkan juga pendapat orang lain, karena apa yang diutarakan juga valid dan sama-sama pentingnya. Meski sudah sering menerima keluhan seperti ini, wejangan kerabat saya menjadi petir yang membuka mata mengenai pentingnya mengerti dan memahami orang lain terlebih dahulu sebelum orang lain memahami kita.
Hari ini saya memahami arti kalimat : lebih baik mengerti daripada dimengerti, karena dengan mengerti kita akan dimengerti. mendengar daripada didengar, karena dengan mendengar kita akan didengar. Saya jadi ingat petuah Yesus Kristus yang mengatakan bila kita ingin memimpin, kita harus melayani; bila ingin ter depan kita harus menjadi yang ter belakang.
No comments:
Post a Comment