Sunday, July 25, 2010

24 Juli 2010 : Gereja Rasa Cina

Kalau sebelumnya saya merasa biasa saja melihat gereja bergaya joglo, hari ini saya terkesiap ketika ada di halaman gereja Santa Maria de Fatima di Jl. Kemenangan III/47, tepat di jantung pecinan kota Jakarta. Gereja ini adalah satu-satunya gereja Katolik di Indonesia berarsitektur Cina dan letaknya pun tak jauh dari Kelenteng Petak Sembilan yang sangat terkenal terutama di saat Imlek saat semua media nasional memalingkan wajahnya pada kegiatan warga Tiong Hwa yang beragama Konghucu ataupun Buddha melakukan ritual tahunan yang paling semarak.

Sekilas wajah gereja ini tampak seperti Kelenteng, namun papan nama dan patung Maria serta Yesus di kanan kiri bangunan menandakan ini bangunan ini bukan diperuntukkan untuk ummat Kong hucu. Bangunan ini adalah bekas milik seorang kapitan Tiongkok bermarga Tjioe, asal Fujian yang dibangun awal abad ke-19. Kekunoannya membuat bangunan tersebut masuk daftar cagar budaya, sehingga tidak boleh dipugar.

Semua ciri khas bangunan Tionghoa kuno asli terekam di sana. Pada atap gereja, terdapat hiasan yang menggambarkan ian boe heng (ekor walet)dan dikawal sepasang cion sai (singa batu). Di pelisir atap bangunan terdapat tulisan Cina berbunyi hok shau kang ning yang artinya tempat kedamaian. Di kanan kiri bangunan gereja terdapat sepasang singa batu yang merupakan ciri khas rumah bangsawan Tionghoa. Gereja ini dulunya pernah menjadi asrama bagi orang-orang Hoakiauw (warga Tiongkok perantauan).

Altar gereja ini juga khas Cina dengan gaya tabernakel berwarna merah dengan ukiran hijau, dan kuning emas. Dua lampion cina menghiasi sudut kiri dan kanan atas ruangan altar.Karena tempatnya tepat di jantung China town, tak mengherankan bila 100% umatnya adalah keturunan Tiong Hwa. Bahkan gereja ini mengadakan misa khusus berbahasa Mandarin setiap Minggu sore.

Salah satu yang saya tangkap ketika mengikuti misa petang ini adalah kerapian umatnya, namun sebagian besar lelaki yang datang ke sana beralas sandal, sangat khas engkoh-engkoh Glodok. Kekaguman saya pada umat di sini yang membedakan dengan umat gereja Katolik mana pun di Indonesia yang pernah saya kunjungi adalah ketertibannya : Mereka patuh pada bagian yang harus didoakan umat dan tidak pernah melanggar bagian yang harus didoakan pastor. Mereka juga secara mencolok melakukan penghormatan menunduk kepada Tuhan sebanyak tiga kali di awal dan di akhir misa, sangat khas dengan cara menghormat orang Tiong Hwa. Juga, mereka sangat disiplin, tak ada yang terlambat, dan tak ada seorang pun pulang lebih cepat sebelum mereka semua bersama pastor menunduk hormat tiga kali di akhir misa. Mereka pun menyimak baik-baik kotbah sang pastor yang menurut saya terlalu panjang dan membuat saya sempat tertidur.

Hari ini, di tengah keindahan ritual gereja yang sarat bernuansa Cina, pikiran saya tiba-tiba melayang : Mengapa dunia sekitar saya begitu benci terhadap keragaman? Keseharian saya begitu kental dengan mereka yang mengatasnamakan ras, golongan bahkan Tuhan untuk mengekslusifkan diri seolah-olah takut kehilangan jati dirinya. Padahal saya bisa membuktikan saat ini, di tengah adat dan keindahan arsitektur Cina yang menyihir, saya tetap bisa menangkap dengan jelaskeagungan ritual kekatolikan saya. Saya jadi ingat ketika di suatu natal menonton siaran langsung misa dalam bahasa Jawa, di tengah semua nuansa dan ritual jawa, tak satu pun esensi kekatolikan yang hilang.

Sehari-hari kuping saya akrab dengan kata : memang biasa tuh orang..., atau orang .... memang tidak bisa dipercaya. orang itu orang ini begini begitu. Sebuah generalisasi pengkotakan ras, budaya dan agama yang luar biasa bahayanya karena kita tak sadar bahwa kita semua menjadi alat politik segelintir orang dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan kita rela, atau bahkan tanpa sadar mau saja diperalat menjadi biduk-biduk yang berlagak sok pintar dan sok tahu dalam mempertajam perpecahan. Pada akhirnya pengotak-kotakan dan pengelompokan ini sama sekali tidak memberi manfaat apa-apa bagi kita dan hanya membawa sengsara dan semakin sempitnya wawasan pandang kita. Pengotakan - yang diciptakan melalui fanatisme - yang justru dinikmati segelintir orang untuk kepentingan politik kekuasaan.

Hari ini saya diberi pecutan bahwa selama ini saya terlalu dipropaganda dan dijadikan alat untuk perpecahan dunia sehingga tidak bisa melihat betapa indahnya dunia dalam perbedaan dan keragamaan, serta betapa semakin indahnya hidup bila perbedaan dan keragaman ini bertemu dalam harmoni. Detik ini saya berjanji untuk tidak lagi mau menjadi antek-antek segelintir orang yang memainkan politik kekuasaan untuk kepentingan dirinya sendiri. Saya mau berperan aktif dalam membuat sebanyak mungkin orang mampu melihat dan merangkul indahnya harmoni keragaman dalam hidup ini. Lalu, bersama semua umat katolik penduduk asli pecinan di gereja Santa Maria de Fatima, saya menutup rangkaian ibadah gereja dengan menunduk tiga kali seperti kebanyakan orang Tiong Hwa melakukan tiga kali tundukan saat menutup rangkaian ibadahnya di meja altar ...

No comments: