Friday, July 23, 2010

23 Juli 2010 : Pura-Pura Baik

Hari Selasa yang lalu saya menepati janji mengirimkan pengalaman ketidaknyamanan saya sebagai seorang nasabah prioritas sebuah bank melalui surat pembaca ke semua surat kabar nasional dan majalah bisnis. Rabunya, surat saya mulai bermunculan di media nasional utama. Rabu itu juga, pihak Bank menghubungi untuk bertemu. Maka Kamis paginya bertemulah saya dengan tiga ibu pejabat Bank cabang tempat saya membuka rekening. Hasil pertemuannya, ya sekedar minta maaf, minta saya menandatangani surat permintaan maaf tersebut, menyodorkan kenang-kenangan sekedarnya, dan menawarkan kartu kredit platinum gratis iuran tahunan seumur hidup.

Kalau diingat, keluhan utama saya adalah karena ketidakleluasaan saya menarik uang sendiri. Maka apa yang dilakukan ibu-ibu tadi menurut saya adalah sungguh keterlaluan dan menyebalkan. Pertama, minta maafnya hanya untuk keperluan menyelamatkan diri dan prosedural, tidak dari hati. Mereka butuh tanda tangan saya untuk menyelamatkan mereka sendiri, tanpa peduli keperluan saya. Ke dua, mereka tidak menawarkan solusi bagi saya, namun justru ingin menarik keuntungan dari saya dengan menawarkan kartu kredit. Saya tidak butuh mengutang. Saya hanya mau bisa mengambil uang saya kapan saya butuhkan. Ketiga, setelah saya buka hadiahnya, wah basa basi yang tidak ada artinya sama sekali buat saya, gantungan label nama untuk bagasi. Sampai pulang, mereka sama sekali tidak memberi solusi yang berarti. Saya menolak tawaran kartu kreditnya.

Hari ini, saya sudah seperti diteror pihak bank. Pagi-pagi saya sudah di fait a compli oleh salah seorang ibu itu, mau mengambil tanda tangan untuk membuatkan kartu platinum. Saya menolak, tapi kalau kemarin saya menerima baik-baik, kini sudah dengan perasaan mulai mendongkol.

Sore ini saya berkali-kali dikejar oleh account manager saya mau minta surat klarifikasi yang menyatakan bahwa pihak bank sudah menyelesaikan masalahnya, untuk kepentingan pertanggungjawaban bank ke pihak Bank Indonesia. Tadinya saya bilang oke, saya menandatangani surat bila sesuai dengan keterangan yang saya bisa berikan. Tapi lama-lama saya jadi berpikir, mengapa saya membantu memberi solusi bagi pihak bank kalau tidak ada solusi yang diberikan pihak bank bagi saya dan nasabah lainnya? Sampai detik ini kebijakan bank tetap saja angkuh. Mengapa saya harus membantu orang yang culas, yang pura-pura minta maaf, yang hanya mau melindungi kepentingannya sendiri? Saya bukan di pihak yang salah, namun semakin hari saya merasa justru tambah diperlakukan semena-mena. Jadi biarlah si bank merasakan hasil kesemena-menaannya sendiri. Biarlah mereka belajar dari keangkuhannya.

Kejadian ini menyadarkan saya betapa kelirunya orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri: pada akhirnya ia justru kehilangan dan tidak mendapat dukungan dari pihak-pihak yang seharusnya dapat diandalkan untuk mendukung. Saya jadi ingat, ayat kitab suci : barang siapa menyelamatkan diri sendiri akan binasa. Hidup kita ini harus ada arti dan gunanya bagi orang lain. Jadi kalau hanya untuk diri sendiri, maka hidup kita ini justru tidak ada artinya dan tidak ada gunanya. Orang yang ingin menyelamatkan dirinya sendiri justru akan kehilangan. Mereka berpikir kita bisa dikelabui. Namun bila kita bisa berpikir jernih, kita akan bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang serakah. Hal ini akan saya camkan baik-baik : God loves the needy, not the greedy, and with this, we receive by giving...

No comments: