Seperti janji saya kepada ibunda beberapa saat lalu, pagi ini saya meminta izin kepada partner kerja untuk diperbolehkan menerima keponakan saya magang selama tiga bulan. Ketika itu Ibu bilang untuk secepatnya, kalau bisa mulai Juli ini. Dengan IPK 3,71 dan kegiatan segudang di kampusnya, ia memang memenuhi syarat untuk diterima magang.
Ketika meminta untuk mengurusi keponakan, Ibu saya banyak berpesan untuk membantu satu-satunya cucu perempuannya dari kakak no 4. Saya berjanji untuk membantu tapi menolak intervensi lebih lanjut proses magangnya di kantor dengan dalih supaya ia belajar "hidup". Setelah pembicaraan ini, muncul lagi pertanyaan dari kakak, kali ini soal bisakah temannya ikutan magang. Saya bilang, wah kalau temannya, harus ikut proses yang berlaku. Saya tidak mau dijadikan aji mumpung orang lain. Soal memberi fasilitas "kemulusan jalan" adalah hal yang membuat saya sangat hati-hati dan alergi.
Pernah saya merekomendasikan teman baik ke sebuah perusahaan langsung ke Presiden Direkturnya, dan karena riwayat kerjanya memang impresif, ia langsung diterima. Sebulan kemudian, ia muncul dan mengatakan kalau ia berhenti dari perusahaan itu karena bersitegang dengan salah seorang teman kerjanya yang baru. Wah, saya benar-benar murka dan malu kepada Presiden Direktur kenalan saya : teman macam apa yang saya rekomendasikan ke Beliau? Saya heran dan sebal, tidakkah teman saya tahu bahwa yang namanya rekomendasi itu berarti reputasi saya juga ikut saya pertaruhkan di dalamnya?
Orang sering lupa bahwa yang namanya rekomendasi itu bukan hal yang mudah. Rekomendasi itu harus dipertanggungjawabkan. Jadi jangan berpikir bahwa selesai merekomendasikan, maka antara pemberi dan penerima sudah tidak ada urusannya sama sekali. Itu pendapat yang sangat salah! Tingkah laku si penerima rekomendasi berbanding lurus dengan jaminan pribadi yang diberikan pemberi. Sejak saat itu, saya sudah sangat alergi soal memberi rekomendasi!
Balik lagi ke keponakan saya tadi, sore ini saya mendapat sms bahwa ia sudah ditelepon oleh bagian SDM dan bisa mulai magang pertengahan bulan ini. Tapi beberapa menit kemudian ia balik sms dan mengatakan bahwa ia "tidak jadi PKL tanggal 12 Juli karena masih belum tahu apa nanti-nanti masih ada kegiatan kampus atau tidak." Wah, saya benar-benar terganggu dengan sms nya. Mungkin ia tidak seratus persen salah, karena ia tidak menyadari sudah berlaku semena-mena. Mungkin karena yang dipikir bahwa saya ini om nya, ia tidak lagi terpikir bahwa ia sudah minta magang di salah satu perusahaan konsultan komunikasi terbesar di negeri ini. Sebuah perusahaan yang yang menjadi dambaan banyak mahasiswa untuk magang, yang sangat hati-hati dan ekstra ketat menerima anak magang. Saat ia mengajukan surat untuk bisa magang secepatnya dan direspons sangat cepat, tanpa sadar ia malah "main jadi nyonya besar." Malu rasanya pada bagian SDM yang sudah saya minta tolongi. Saya tidak mau dianggap mentang-mentang keponakannya Pak Tjandra, bisa semena-mena, sedang orang lain termohon-mohon mau masuk di sini.
Meskipun terganggu, saya mencoba berhati-hati menanggapinya, terutama ini berurusan dengan keluarga sendiri. Maka ketika pengunduran ini secara hati-hati disampaikan lagi oleh kakak saya, saya cuma membalas singkat sms nya : Jangan kelamaan mundurnya, ini sudah nolak anak lain (dari universitas nomor satu di Indonesia!).
Akhirnya saya curhat pada kakak saya Gita dan minta tolong dia untuk berbicara dengan adiknya. Saya bilang padanya :" yang gini ini nih, hari ini saya terkonfirmasikan jangan kasih rekomendasi atau memberi kesempatan karena kenal atau keluarga, karena yang diberi kesempatan sering tidak mengerti "bahayanya" memberi rekomendasi dan kesempatan."
Saya benar-benar jengkel mendengar orang lain bilang, apa salahnya sih memberi kesempatan, rezeki pada keluarga sendiri, teman sendiri atau bahkan orang lain! Saya sering di cap sombong karena tidak mau memberi kesempatan, tapi saya tetap tak peduli. Ini bukan soal sombong atau tidak. Mengapa orang tidak mau berusaha sendiri dalam hidupnya? Mau enak jalan pintas melulu? Orang yang jalannya mau mulus mulus saja, tidak belajar dan mendapat apa-apa dari hidup. Mereka tidak bisa menghargai hidup lebih baik dari orang yang berjuang dalam hidupnya. Saya sungguh jauh lebih menghargai orang yang berjuang keras dalam hidupnya dari pada mereka yang keluar masuk mobil mewah tanpa usaha. Saya pernah mengalami berangkat dari nol sampai pada posisi sekarang, dan saya benar-benar bersyukur karena saya bisa mengatakan apa adanya, "Inilah hasil jerih payah saya." Saya juga bisa lebih luas pandangan hidupnya dan lebih bijaksana dalam memandang kehidupan karena berinteraksi dan merangkak bersama jutaan orang lainnya, melampaui mereka, dan mencapai apa yang saya raih selama ini dengan kemampuan sendiri.
Hari ini sekali lagi saya ditunjukkan bahwa yang mulus bukan selalu berarti bagus. Justru luka dan goresan, peluh dan kelelahan lah yang membuat hidup ini sempurna.
No comments:
Post a Comment