Pagi ini sambil duduk di lantai membaca koran dan makan roti gandum, saya mendengar berita infotainment yang mengabarkan bahwa Gugun "Gunawan" Gondrong digugat cerai oleh isterinya, Anna Marissa. Bagi yang mengikuti kisahnya, Gugun adalah mantan cover boy majalah Mode yang kemudian banyak berkecimpung di dunia keartisan. Ia kemudian menikah dengan Anna Marissa. Kalau tak salah dua tahun lalu, Gugun terkena kanker otak dan harus dirawat hingga di Singapura. Setelah melalui serangkaian operasi, ia kembali ke Indonesia. Selama perawatan sang isteri terlihat tabah dan setia menemani dan meladeni suaminya. Dalam masa penyembuhan, kita diberi kabar bahwa Anna hamil. Beberapa bulan lalu, mereka tampil lagi di infotainment dalam rangka ulang tahun Gugun ke 40. Mereka tampak mesra menggendong putera mereka. Kondisi Gugun belum pulih seperti sedia kala. Bicara dan geraknya sih pelan dan terbata.
Infotainment dengan gaya gosipnya menengarai adanya perselingkuhan di pihak sang isteri, yang kemudian dibantah berbagai pihak. Pengacaranya mengatakan bahwa mereka memang sudah sering cekcok sejak Gugun belum sakit. Yang lebih mendekati masuk akal adalah komentar keluarga Gugun yang memperkirakan sikap Gugun yang kadang tidak sabaran membuat Anna lelah dan tak sanggup lagi meladeni suaminya. Gosip lain yang beredar adalah masalah ekonomi dan tak terpenuhi nafkah lahir batin.
Saya yang asyik membaca koran menjadi mendongak dan terkejut. Reaksi spontan saya adalah bertanya : apa pun alasannya, kok ya tega dia meninggalkan pasangannnya yang lagi sakit ya? Tapi saya juga mengalaminya ketika satu bulan saya terpaksa istirahat karena terkena hepatitis yang kemudian sembuh total berikut timbul antibodinya enam bulan kemudian, artinya selama enam bulan lebih saya dalam tahap penyembuhan. Namun belum juga sebulan mantan saya sudah bosan menemani di rumah sakit, dan setelah itu di rumah. Padahal dia tak perlu meladeni seperti yang dilakukan Anna. Apa-apa saya lakukan sendiri, dan diurus pembantu. Dia cuma menemani saja. Itu pun ternyata membosankan, jadi saya ditinggal selingkuh. Jadi saya berkesimpulan, memang mengurus orang sakit itu bikin tidak betah, ya.
Saya kenal seorang ibu yang sudah sepuh yang memiliki anak-anak yang sangat sukses, dan tinggal tersebar di manca negara. Ibu sepuh ini sudah ditinggal mati oleh suaminya, dan sekarang tinggal di apartemen yang mewah bersama pembantunya. Di masa mudanya si Ibu adalah wanita yang anggun dan cantik, sampai saat ini kecantikan dan keanggunannya masih melekat. Sebuah serangan jantung membuatnya sempat mengalami keterhentian aliran oksigen ke otak, dan sejak saat itu pelahan-lahan Beliau mengalami kepikunan. Gejala ini kemudian dikonfirmasikan sebagai gejala Alsheimer, sebuah penyakit yang menggerogoti sistem ingatan seseorang. Saat ini kondisi pikunnya makin parah, ia berkali-kali bertanya soal hal yang sama, lupa ini dan itu. Keluarganya cemas dan sebisa mungkin secara berkala datang bergantian menemani sang ibu. Sayangnya jarak mereka jauh, sehingga kehadiran mereka tidak bisa sesering yang diperlukan. Jadilah si ibu kebanyakan waktunya seorang diri dengan pembantu di apartemen mewahnya. Sebagai orang yang tahu bahwa si Ibu terkena alzheimer, mestinya mereka maklum atas kepikunan Ibu. Namun ternyata, kondisinya membuat semua yang berurusan dengannya tak tahan berlama-lama di dekatnya. Saya pribadi memasukkan nama si ibu dalam daftar prioritas kasihan saya. Setiap ada kesempatan, saya mengajak untuk pergi makan bersama. Di saat cerah, Beliau bisa ingat cemerlang, di saat lain, ia benar-benar kosong. Tapi, itu tadi. Tak ada yang betah berlama-lama dengannya. Sebelum hari ini saya sempat bertanya : sebagai anak yang harus berbakti dan merawat orang tuanya, bagaimana yang seharusnya anak bersikap?
Melalui kejadian Gugun, si Ibu dan saya sendiri, saya lalu bertanya : sejauh mana kita harus bertahan? Kalau dari yang terjadi dengan Gugun, si ibu dan saya sendiri, kesimpulan saya, lama-lama orang yang menunggui capai, stress juga seharian berurusan dengan orang sakit sehingga mulai berpikir bagaimana dengan dirinya sendiri, bukankah dirinya sendiri juga punya hak dan kebutuhannya sendiri? Saya tiba-tiba jadi ingat kisah teman saya yang setia menunggui dan merawat kekasihnya hingga ajal menjemput. Ya, seperti itu lah semestinya sikap kita. Setia. Tapi setia itu tidak mudah. Setia itu melelahkan. Di titik inilah saya diingatkan perlunya belajar memahami unconditional love dimana semua egoisme pribadi sirna dan yang muncul adalah rasa cinta dan kasih yang murni.
Dalam berhubungan, jangankan dengan yang sakit, dengan yang sehat saja kita sering tak sabar. Kalau sudah kesal, kadang terpintas, aduh saya sudah capek, tidak tahan lagi. Maka, hari ini saya belajar pentingnya kembali ke fitrah. Kembali ke hakiki rasa cinta. Kalau saya ditanya apakah saya cinta dia, dan jawabnya adalah ya, maka seharusnya jawaban itu disertai dengan tanda titik. Bukan koma. Karena koma itu bisa menimbulkan kata tapi dan lain sebagainya. Cinta (titik) itu memberikan amanah bahwa tidak ada embel-embel lainnya, dan menerima semua konsekuensi yang datang bersama cinta itu. Jadi sekarang setiap terjadi apa-apa dengan orang-orang yang saya kasihi, saya tidak mau menimbang-nimbang dan mengeluh lagi. Saya cuma mau ingat : saya cinta dia titik!
No comments:
Post a Comment