Perjalanan Kelapa Gading - Karawaci malam ini saya tempuh dalam jangka waktu satu film. Film yang saya tonton kali ini adalah "Date Night", sebuah film komedi action yang diperankan Steve Carell dan Tina Fey. Film yang membuat saya terpingkal-pingkal ini sebenarnya didasari oleh sebuah kenyataan pahit : pernikahan yang sering berujung hambar. Dalam film ini diceritakan bagaimana pasangan menjadi bosan akan kehidupan pernikahannya karena semua yang akan terjadi di dalam rumah, maupun tingkah laku pasangan dapat ditebak dengan tepat karena semua kelakuan dan aktivitas sudah menjadi sebuah kebiasaan dan berjalan seperti mesin saja, sehingga sang pasangan bisa mengatakan dengan tepat dan tutup mata apa saja yang dilakukannya, dan apa saja yang dilakukan pasangannya, bahkan sampai urutan aktivitas ranjangnya.
Selama berpasangan, saya juga mengalaminya dan semua rutinitas yang sampai sambil memejamkan mata saja tahu apa diletakkan di mana dan setiap rute yang ada di dalam rumah. Saya bahkan bisa membuat jadwal rutin mulai bangun sampai memejamkan mata. Saya lalu bertanya, kenapa ya yang awalnya begitu exciting menjadi begitu rutin? Padahal kita ini terdiri dari dua insan yang berbeda perilaku dan gaya, punya teman-teman yang berbeda dan pekerjaan yang berbeda pula, apa lagi latar belakang. Lalu mengapa ketika menjadi satu atap semuanya menjadi seragam? Saya bahkan merasa kehilangan potensi yang dulu pernah ada dan tidak tahu lagi kalau saya memiliki kemampuan yang jauh lebih besar dari yang sehari-hari saya lakukan. Karena itu saya bisa memahami ketika dalam film sang suami terkaget-kaget melihat isterinya punya koneksi ini itu dan bisa berlaku genit, karena selama ini saya juga sudah punya imaji citra tersendiri atas pasangan saya berdasarkan rutinitas keseharian. Singkatnya, rutinitas sebuah hubungan punya potensi besar membunuh potensi diri.
Tak mengherankan, saat saya bercerai saya merasa bebas. Saya merasa hidup baru. Saya merasa : ini baru hidup! Saya bisa melakukan apa yang saya maui tanpa terikat suatu rutinitas yang menjenuhkan. Saya rasa saya tidak sendiri. Mungkin, ini juga yang dirasakan sebagian besar orang yang bercerai. Namun, sekarang saya juga menyadari bahwa kejenuhan dan kerutinan tersebut juga terjadi karena ulah saya dan pasangan saya yang membiarkan hidup ini menjadi monoton karena merasa bahwa sudah tidak ada lagi yang harus di "neko-neko" karena sudah menikah.
Masalahnya tidak mudah memberi warna pada sebuah rumah tangga. Ada anak pusing, tidak ada anak juga pusing juga. Ada pembantu pusing, tidak ada pembantu juga tak kalah pusing. Dulu waktu saya masih sendiri dan kos, wah, tak ada yang dipikir, bisa suka-suka. Saat saya memutuskan membeli rumah, kehidupan saya menjadi terjungkir balik. Saya tidak pernah terpikir bahwa rumah saya bisa kebocoran, korslet listrik, retak, cat memudar, kadar besi di air terlalu tinggi, mesti beli perangkat pel dan sapu, mesti gunting rumput dan segala macam tetek bengek rumah tangga yang sangat menyita waktu. Semuanya itu butuh uang dan tenaga yang tidak sedikit. Setelah menikah, ternyata tidak berarti tanggungan lebih ringan, malah berlipat. Bukan karena saya mau komplen, tapi kenyataannya begitu.Rumah jadi kurang besar, harus sedia tempat baju buat isteri, area make up dan meletakkan perangkatnya, dapur menjadi terlalu sempit karena dapur yang dulunya tak pernah ada aktivitas berarti kecuali masak mie instan, tiba-tiba dibebani masak sehari-hari. Dengan sederet kewajiban yang harus diurus dan dijalani, tak heran sebuah pasangan mudah tergelincir dalam rutinitas dan tanpa disadari kehidupan yang begitu-begitu saja berjalan bertahun-tahun sampai tiba saatnya kita ingin teriak dan keluar dari semuanya.
Saya jadi bertanya pada diri sendiri, bagaimana dong mengatasi hal ini karena cepat atau lambat saya toh akan menghadapi lagi situasi seperti ini? Tadi di film Steve Carell dan Tina Fey menetapkan sebuah date nite, satu malam yang menjadi us-time - namun lama kelamaan date nite yang seharusnya menjadi penyegar dalam pernikahan juga menjadi sebuah rutinitas : resto yang sama, tempat duduk yang sama, orang dan suasana yang sama, pembicaraan yang sama. Saya tiba-tiba teringat, tadi bertanya pada Account Manager saya ketika kami dalam perjalanan menuju klien di Kelapa Gading : Daerah mana di Jakarta yang belum pernah kamu explore? Jawabnya : wah banyak sekali. Saya juga begitu, padahal saya sudah terbosan-bosan di Jakarta. Bosan? Bagaimana saya bisa bilang bosan dengan Jakarta kalau yang saya lewati dan explore selama ini cuma beberapa area yang bisa dihitung dengan jari tangan? Saya bercerita waktu itu pergi ke daerah Pantai Indah Kapuk yang seumur-umur belum pernah saya kunjungi sebelumnya dan saya merasa berada di sebuah tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya ada di Jakarta.
Saya lalu mengambil kesimpulan, kalau begitu dalam kehidupan rumah tangga saya yang lalu, saya ini cuma explore satu dua area dan setelah itu balik lagi ke situ-situ juga sehingga tak heran saya terbosan-bosan. Coba waktu itu saya sesadar malam ini, tentu lain lagi ceritanya karena begitu saya mulai merasa jenuh, saya tentu mulai bertanya pada diri sendiri : have I explore enough?
Malam ini saya menemukan sebuah resep kuno dalam sebuah hubungan : explore and you will find life and love that actually have been there forever...
2 comments:
Ini masalah saya benar-benar dipecahkan, terima kasih!
Awesome posting. Benar-benar menikmati membaca posting blog Anda..
Post a Comment