Wednesday, November 03, 2010

3 November 2010 : Dipanggil Atasan

Pagi ini saya menghadiri sebuah undangan peluncuran program yang sedianya dilakukan oleh seorang pejabat tinggi negara. Pada saat yang ditetapkan semua undangan sudah hadir, termasuk ketua organisasi bisnis dan ketua lembaga swadaya masyarakat berpengaruh di negeri ini, namun sang pejabat tidak tampak juga. Setelah tertunda sekian saat, acara kemudian dibuka oleh wakilnya yang meminta maaf bahwa sang pejabat sedang ada acara lain yang tidak dapat ditinggalkan, mendampingi pimpinannya. Pernyataan ini langsung membuat kecewa dan jengkel beberapa hadirin yang sudah susah-susah menyempatkan diri hadir guna mendukung program yang akan diluncurkan.

Seorang tokoh negeri ini yang duduk di sebelah saya lalu bertanya kepada saya, "Memang protokoler internasional juga seperti ini ya? Kalau pimpinan tertinggi ada perlu, sepenting apa pun pekerjaan si pejabat harus segera ditinggalkan dan menghadap sang pemimpin, bahkan bila si pemimpin itu "cuma" butuh ditemani saja?" Saya menaikkan pundak dan mengatakan tidak tahu, tapi saya sudah cukup kenyang dengan situasi seperti ini. Bagi yang tidak terbiasa, ya termuntah-muntah darah karena sebuah acara penting bisa pupus begitu saja kepentingannya karena sang pejabat yang berwenang di detik terakhir membatalkan hadir dan diwakilkan ke pejabat lain yang lebih rendah rankingnya dan seketika itu juga gaung yang diharapkan dapat diusung dengan kehadiran sang pejabat hilang begitu saja. Menimpali bisik-bisik ini, seorang tokoh lain kemudian bercerita bahwa beberapa saat lalu sebuah pertemuan internasional yang digelar sebuah badan dunia diadakan di Jakarta. Seluruh perwakilan dunia datang, dan tepat ketika Sekretaris Jenderalnya berpidato, pejabat kita pamit karena mendadak dipanggil atasan. Reaksi sang sekretaris jenderal? Dalam bahasa Inggris yang saya terjemahkan jadinya seperti ini : "Sayang Beliau tidak dapat mendengarkan isi pidato pembukaan saya, tapi saya bisa mengerti, urusan pimpinan tentu lebih penting" Kami semua yang mendengarkan cerita ini menarik napas.

Saya cuma ingin bertanya, seberapa penting sih panggilan pimpinan? Kalau tidak terlalu genting, tidak bisakah kita mengatakan kepada Beliau bahwa saat ini ada pekerjaan penting yang kalau saya tinggalkan kehilangan makna, jadi saya akan menghubungi Bapak kembali segera setelah acara ini berakhir? Kalau begini, kira-kira atasan marah tidak ya? Mestinya kalau pimpinan mengerti arti perencanaan, ia tidak marah, karena bukankah justru ia yang menginterupsi pekerjaan anak buahnya? Kalau ia mengerti arti kepemimpinan, mengapa ia harus mengecilkan arti pekerjaan anak buahnya sedangkan apa yang dikerjakan anak buahnya itu pada akhirnya memberi sumbangsih terhadap keberhasilan kepemimpinannya? Saya merasa budaya yang terbawa saat ini adalah budaya kolonialisme dimana titah atasan adalah titah Baginda Raja. Kalau hal ini masih di dalam otak Anda, sebaiknya Anda menyadarkan diri bahwa di zaman ini yang membuat kita berbeda adalah kemampuan kita menggolkan keberhasilan organisasi, bukan individu. Kalau individu, sudah begitu banyak orang yang melakukannya, sampai-sampai tujuan pribadi jauh lebih menonjol dari kepentingan bangsa.

Saya tentu mimpi besar kalau berambisi menyadarkan dan mengubah sistem yang sudah terbangun selama enam puluh tahun lebih ini. Dibutuhkan sebuah daya yang luar biasa besarnya untuk melakukan gebrakan. Namun saya belajar dari situasi ini. Saya harus bisa melihat prioritas kerja saya dari lingkup yang lebih luas, yaitu dari segi kepentingan organisasi tempat saya bernaung. Bila panggilan atasan saya berurusan dengan sebuah masalah yang akan mempengaruhi kepentingan bersama jika tidak diatasi saat itu juga - dan dalam mengatasi masalah itu keberadaan saya memegang peran kunci, sudah selayaknya saya meninggalkan semua yang saya kerjakan dan menghadap atasan untuk merembukkan penyelesaian persoalan. Namun bila tidak segenting dan se-urgent itu, saya akan secara sopan memberitahu bahwa saya sedang ada acara dan program yang memiliki nilai strategis bagi pengembangan organisasi yang telah direncanakan dengan cermat jauh-jauh hari dan bahwa saya akan menghubungi Beliau segera setelah saya selesai.

Jadi kalau dipikir-pikir, ini sih soal paradigma dan prioritas. Kalau paradigmanya saya ini adalah pembantu, ya apa pun yang disuruh-suruh atasan ya saya ikut saja, dan prioritas utamanya ya si atasan. Kalau paradigmanya sebagai seorang yang bertanggung jawab terhadap suatu bagian ya akan memprioritaskan keberhasilan program yang diserahkan padanya. Omong-omong, Anda termasuk yang mana?

1 comment:

Aman said...
This comment has been removed by the author.